A Ghost Like Me

Cast:

Haechan and Mark as main cast

Author:

Real Soseol


"Aku menyukaimu"

Saat kalimat itu terdengar olehku, aku tau itu salah. Tapi aku tidak mengelak saat tangan sedingin es itu mulai menggenggam jemariku.

.

.

.

.

.

.

Pagi ini Haechan duduk setengah malas di bangkunya saat tau ternyata ia datang terlalu pagi dan menjadi orang pertama yang sampai di kelas. Melihat tidak ada seorangpun yang bisa diajak bicara, ia memilih untuk tidur sembari menunggu teman-temannya. Ia menarik tudung hoodie hitamnya untuk menutupi kepalanya lalu membaringkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan sebagai tumpuannya. Tidak sulit untuk kembali tertidur karena ia memang merasa sedikit mengantuk. Tugas sekolah membuatnya tidur lebih larut semalam. Saat ia mulai merasa semakin jatuh ke alam mimpi, perlahan hawa dingin membuatnya sedikit terusik. Hawa dingin itu terasa begitu dekat dengannya hingga ia pastikan pasti sumbernya berasal dari bangku yang kosong di sebelah kanannya. Memilih mengabaikannya, Haechan masih tidak bergerak dari posisi awalnya dan berpura-pura tidak menyadari bahwa ada sesosok tak kasat mata tengah duduk di sisi kanannya, tepat diatas bangku kosong itu.

"Haechan"

Haechan tidak tuli, jadi ia dengar dengan jelas suara yang hampir seperti berbisik itu memanggil namanya. Tapi ia masih tidak ingin menanggapi hal tersebut. Hingga akhirnya Haechan merasa ada beban yang menimpa bahunya, hampir seperti kepala.

"Jauhi kepalamu dari bahuku"

Perlahan Haechan mengubah posisinya dan duduk bersandar di bangkunya. Ia perlahan menoleh ke arah bangku kosong di sebelahnya dan mendapati sosok dengan wajah pucat pasi, di lehernya terdapat memar bekas jeratan yang Haechan tau pastilah tali atau semacamnya, dan bekas luka sayat dan pukul mulai dari wajah hingga tangannya. Sepersekian detik kemudian Haechan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jangan muncul dengan wujudmu yang seperti ini, Jaemin"

Haechan melembut. Niatnya ia ingin protes pada 'teman'-nya itu karena mengganggu tidurnya namun ia urungkan setelah melihat 'teman'-nya, Jaemin, datang dalam wujud seperti itu.

"Aku melihat ibu semalam. Ia dipukuli lagi"

Suara Jaemin hampir berbisik tapi Haechan mendengarnya seperti ingin menangis. Haechan memperhatikan ekspresi Jaemin dan ia jadi ikut sedih. Jaemin itu sebenarnya sangat periang dan berisik, jadi jika begini Haechan biasanya membiarkan Jaemin menyendiri di suatu tempat untuk memperbaiki suasana hatinya.

"Kau pulang ke rumah ya?'

Jaemin mengangguk sebagai jawaban. Hantu berseragam sekolah itu hanya akan muncul dengan wujud aslinya jika ia pulang ke rumah dan mendapati ibunya dalam keadaan yang sama, saat ia masih hidup dulu. Jaemin pernah bercerita padanya bahwa ia menyesal telah meninggalkan ibunya sendirian hanya karena merasa tertekan. Padahal ibunya bahkan lebih tertekan dan sakit darinya tapi ia dengan egoisnya malah memilih untuk mengakhiri hidupnya.

"Aku menyesal meninggalkan ibu. Harusnya aku bisa melindungi ibu sekarang"

Haechan tidak tau apakah ada yang namanya kontak batin dengan teman yang tidak kasat mata tapi sekarang ia benar-benar merasa sedih. Sedih mendengar apa yang Jaemin katakan dan sedih karena ia tidak bisa melakukan apapun untuk 'teman'-nya itu.

"Hei tenanglah"

Haechan menggenggam tangan temannya yang terasa janggal dalam genggamannya itu. Dingin dan terasa tidak nyata secara bersamaan. Ia berusaha menenangkan Jaemin yang menunduk seperti ingin menangis. Hingga tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kelas dan membuat Haechan menoleh ke arahnya. Itu Renjun, teman sekelas sekaligus teman dekatnya, yang nyata. Renjun melempar senyum pada Haechan yang kemudian memberi sinyal padanya untuk tidak berisik. Renjun yang sebenarnya tidak begitu mengerti kenapa Haechan memberinya sinyal semacam itu hanya mengangguk saja. Ia meletakan tasnya di atas meja lalu berjalan perlahan ke arah Haechan. Renjun memilih duduk pada bangku yang berada tepat di depan bangku Haechan karena Haechan melarangnya duduk di sebelahnya.

"Ada apa?"

Renjun bertanya dengan suara hampir berbisik pada Haechan. Renjun tau ini pasti berhubungan dengan sesuatu yang ia tidak dapat lihat tapi bisa terlihat oleh Haechan.

"Jaemin sedang punya masalah"

Renjun sedikit terkejut lalu matanya melirik bangku kosong yang berada di sebelah Haechan kemudian menatap temannya itu yang memberinya anggukan.

"Jaemin, aku tidak tau apa masalahmu tapi aku harap masalahmu dapat selesai"

Jaemin hanya mengangguk kecil sebagai jawaban yang tentunya hanya dapat dilihat Haechan. Haechan sebagai perantara memberikan anggukan kecil pada Renjun.

"Aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku akan temui kalian setelah moodku membaik. Terima kasih, teman-teman"

"Baiklah"

Setelah itu Jaemin menghilang dalam sekejap dan Haechan menghela napas. Ia membuka tudung hoodienya lalu menatap Renjun yang juga sedang menatapnya.

"Ia sudah pergi"

"Tapi ia akan kembali lagi kan?"

"Iya, tenang saja. Ia bilang akan datang lagi setelah moodnya membaik" Haechan mengusap wajahnya lalu kembali menatap Renjun yang masih duduk di depannya. "Kau dan Jaemin bahkan tidak bisa mengobrol tanpa aku, tapi kalian bisa sedekat ini sekarang. Aneh sekali"

Renjun hanya melempar cengiran pada Haechan lalu beranjak dari tempatnya duduk ke sebelah kanan Haechan yang sekarang benar-benar kosong.

"Bagaimana rasanya?"

Dahi Haechan mengernyit dengan mata menatap temannya itu. Rasa apa? Renjun membicarakan apa? Ia tidak mengerti.

"Rasa apa yang kau maksud?"

"Melihat 'mereka' yang tidak bisa aku lihat. Sepupu dari ibuku yang punya kemampuan yang sama denganmu bilang, hal seperti ini bisa menguras tenagamu. Benar ya?"

Haechan menghela napas lalu mengeluarkan buku matematikanya. Hari ini kelas akan dimulai dengan pelajaran yang paling Haechan tidak suka dan hal itu sudah cukup mengurangi semangatnya. Lalu Jaemin datang dengan penampilan yang sama sekali Haechan tidak ingin lihat, hingga membuat moodnya jadi buruk. Sekarang Renjun menanyakan perihal kemampuan anehnya yang semakin membuatnya tidak berniat untuk tetap berada di sekolah. Tiba-tiba Haechan rindu kasurnya.

"Renjun, moodku sedang tidak baik. Jangan bicarakan itu, oke?"

Renjun merengut dan Haechan melihatnya dengan jelas. Ia mengehela napas lagi.

"Jaemin datang dengan rupa penuh luka itu sangat membuatku sedih jadi jangan menambah beban pikiranku, Huang"

"Iya maaf deh"

Renjun juga jadi tak enak hati lalu setelah lama keduanya berdiam diri, Renjun berjalan keluar dari kelas saat melihat kakak sepupu kesayangannya tengah bermain dengan beberapa senior tingkat akhir di tepi lapangan basket. Haechan sendiri lagi sekarang. Masih belum ada yang datang atau jangan-jangan ia tidak tau hari ini libur. Haechan memilih untuk meneruskan tidurnya. Jadi ia kembali merebahkan kepalanya di atas meja lalu memejamkan mata.

Hening menyergap ruang kelas yang berada di lantai 2 itu. Di luar langit terlihat mendung dan kemungkinan akan menurunkan titik air dalam waktu dekat. Haechan mulai terlelap jauh ke dalam mimpinya ketika derit pintu kelas berbunyi. Haechan mulai gelisah dalam mimpinya, perasaan aneh mengusik tidurnya dan ia kembali terjaga. Ia merasakan perubahan suhu disekitarnya mulai membuatnya merinding. Dingin menjalar perlahan diatas kulitnya tapi ia hanya ingin mengabaikannya. Ia kembali memejamkan mata sampai ia merasa sesuatu menyentuh kepalanya. Seperti tengah mengelus rambutnya dengan lembut. Napas Haechan terasa serat di dadanya dan matanya berair.

"Aku tau kau mendengarku"

Haechan hapal betul pemilik suara serak ini. Suara yang mengganggunya hampir bertahun-tahun lamanya. Sesuatu yang melayang di belakang Haechan itu bergerak perlahan dengan tubuhnya yang tembus dan rapuh. Perlahan memeluk sosok laki-laki berseragam yang tengah merebahkan kepalanya di meja. Bibir itu mendekat pada teling Haechan, berusaha mengucapkan sesuatu disana.

"Aku ingin hidupmu, Haechan"

.

.

.

.

.

.

Next?