Jadi ini adalah FF yang diupload tepat satu tahun yang lalu. Karena Author lhat reviewannya pas 100, jadi Author rasa lumayan banyak peminatnya, hehe.

Dan karena sekarang April, yang mana merupakan bulannya HunHan. Jadi, DILANJUTKAN.

Kedepannya, FF ini cuma buat seneng-seneng aja, NO CONFLICT INDEED, plus, ini juga PWP kan jadi pasti ada adegan NC.

So, nikmati saja alurnya ya hehe.

FF ini hanya sekedar hiburan belaka untuk kaum HUNHAN SHIPPER yang merindukan HUNHAN.

Kalau lupa jalan ceritanya bisa baca chapter sebelum ini.

JANGAN LUPA REVIEW.

SELAMAT MEMBACA.

.

.

"Apalagi darimu yang tidak kuketahui selain sifat gilamu ini?" Sehun nyaris mengerang saat mengatakannya.

Sementara kekehan ringan terdengar dari bibir Luhan, diiringi dengan rintihan dan desahan lembut mengalun merdu, ia menyelipkan nama Sehun dibalik desahannya, membuat gerakan tarik ulur yang pria itu lakukan semakin menggila.

Dan Luhan senang ia cukup bisa mengendalikan kakaknya.

Ia tak berniat menjawab apa yang Sehun tanyakan karena sejak tadi tak ada hal masuk akal yang bisa dipikirkan otak tumpulnya itu. Kejantanan Sehun yang memenuhi pusat tubuhnya secara menyeluruh, dalam, dan basah tak bisa lagi membuatnya berpikir jernih.

Luhan bisa merasakan hembusan angin yang mengusap kulit telanjangnya. Kecupan lembut Sehun di punggungnya yang nyaris basah karena keringat, juga cengkeraman tangan pria itu di rambutnya. Ini sensasi yang menakjubkan saat seorang Sehun mendorong dan menarik kejantanannya di dalam tubuh Luhan dari belakang.

Seolah ia bisa menikmati kejantanan Sehun tanpa penghalang apapun.

Dan Sehun juga selalu memberikan apa yang ia mau.

Kenikmatan tanpa batas.

Luhan sudah lupa sudah berapa kali ia menyerah di bawah Sehun pada sesi bercinta mereka yang panjang kali ini. Tulang dan sendinya sudah meneriakkan ribuan umpatan untuknya, juga seolah menyuruhnya menyerah. Tapi Luhan tau, Sehun belum selesai dengan ini.

Sama sekali belum selesai.

Jadi Luhan menunggu, memberikan apa yang Sehun mau, membiarkan pria itu menguasai tubuhnya lebih dalam lagi, membiarkan pengendalian dirinya terkikis sekali lagi di bawah Sehun. Dan menyerah untuk pria itu memang suatu hal yang menyenangkan.

"Sehun, please," rengeknya lagi saat ia bisa merasakan pengendalian dirinya yang nyaris habis.

Suara geraman Sehun ditelinga Luhan semakin membuatnya bergairah. Ia membiarkan Sehun mendorong lebih kasar, tubuh lemasnya terhentak-hentak di atas meja makan. Sehun menarik rambutnya lagi, sakit, tapi Luhan suka sensasi itu.

Ini gila, dan ia cinta kegilaan.

Luhan menjeritkan nama Sehun lagi saat pelepasannya untuk yang kesekian kali leleh membasahi tubuh selatan Sehun yang masih saja mendorongnya dengan konstan. Tubuhnya bergetar hebat sementara ia berusaha menyelesaikan pelepasan panjangnya.

Detik berikutnya, Luhan bisa merasakan puncak gairah Sehun yang menggantung. Pria itu membalikkan tubuhnya, sedikit mengangkat tubuh Luhan hingga ia terlentang di atas meja makan keras. Luhan masih berusaha mengatur napasnya yang berantakan saat ia bisa merasakan cairan panas Sehun membasahi dada hingga wajahnya.

"Sialan," umpatnya tipis, mengusap wajahnya yang lengket karena ulah Sehun.

Dan kakaknya itu tertawa, menyelesaikan pelepasannya sampai habis, kemudian mengecup bibirnya sekilas.

"Kau yang minta, ya," sahut Sehun, menjawab protes adiknya.

Luhan memutar bola mata sebal, kemudian sedikit menjilat bibirnya sendiri. "Ugh, aku benci rasa sperma,"

Tawa Sehun meledak dan itu semakin membuat Luhan kesal saja. "Kalau tidak suka mengapa selalu saja kau jilat, Luhan," ia menggelengkan kepala beberapa kali lalu menarik Luhan duduk dan membantu gadis itu membersihkan wajahnya yang basah.

"Sayang saja,"

"Sayang, kau bilang?" Sehun tertawa lagi, jemarinya mengusapkan tisu untuk membersihkan dada Luhan yang lengket. "Aku masih punya banyak kalau kau mau,"

"Gila, ya?" gerutunya sebal, ia mengerang lagi sambil berusaha membersihkan cairan Sehun dari rambutnya. Sedangkan pria itu tertawa lagi. "Kalau Mom tau, dia pasti membunuh kita berdua,"

"Makanya jangan sampai tau," bisik Sehun, kemudian tersenyum tipis dan mengecup bibir adiknya itu sekilas. Luhan mencibir kesal, mengusap bibirnya yang basah karena ciuman Sehun. "Kau sudah bersih, sekarang bantu aku membersihkan kekacauan ini," ia nyengir, lalu menoleh ke belakang, membuat Luhan mengikuti tatapannya juga.

"Sial, kapan kita membuat ini berantakan?" Luhan menggelengkan kepala beberapa kali melihat apa yang sudah mereka berdua lakukan di dapur sejak tadi.

Bahkan tidak sadar kapan ia dan Sehun membuat dapur seberantakan ini.

Memang, saat gairah menguasai, tidak ada lagi hal lain yang bisa dipikirkan.

Dua-duanya, sama-sama gila.

.

.

"Luhan, bagaimana California?" tanya ibunya saat makan malam.

Luhan hanya nyengir, melirik Sehun yang sedang makan dengan tenang disampingnya. "Baik, Mom," jawabnya singkat.

"Ayahmu bilang kau jarang berkunjung," tambah ibunya lagi dan Luhan akhirnya memilih untuk berhenti mengunyah makanannya.

Jika menyangkut masalah ini, ia harus bisa memikirkan jawaban yang tepat sebelum pertanyaan ibunya semakin jauh dan semakin lama semakin membuatnya berpikir keras untuk membuat bualan masuk akal.

"LA jauh, Mom. Lagipula Dad jarang sekali di rumah," sahutnya asal.

Memang, kedua orang tuanya sudah bercerai sejak ia dan Sehun menginjak bangku sekolah. Ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dan tinggal di LA, sementara ibunya tinggal di Korea. Luhan tidak begitu suka dengan ibu tirinya, masalah klasik, yang mana membuatnya malas mengunjungi rumah ayahnya sendiri.

"Kapan Appa pulang?" tanya Sehun –panggilan untuk ayah tiri mereka, suami baru ibunya. Dan Luhan cukup bersyukur karena Sehun mengalihkan topik pembicaraan dan menyelamatkannya dari ocehan panjang ibunya sendiri.

Luhan nyaris membisikkan kata terima kasih pada Sehun.

Ibunya mengangkat bahu sedikit. "Entahlah, rasanya masih panjang masa kerjanya di Bangkok,"

"Sampai kapan?" Luhan menambahkan, jaga-jaga kalau saja ibunya masih ingin tau banyak tentangnya.

"Kupikir masih beberapa tahun lagi, mungkin juga tahun depan. Lagipula adik kalian juga masih menyelesaikan kuliahnya disana," ya, adik tiri mereka.

Baik Luhan maupun Sehun hanya menganggukkan kepala beberapa kali, kemudian melanjutkan makan dengan tenang. Cukup lama mereka terjebak dalam diam seolah-olah sama-sama sedang berkuat dengan pikiran masing-masing.

Dan memang tak ada hal lain yang ingin dibicarakan.

"Oh ya, Sehun," suara ibunya membuat kedua orang itu menoleh dengan cepat. "Kau jadi pindah ke Shanghai?"

Shanghai?

Dengan cepat, Luhan menoleh kearah kakaknya, meminta penjelasan sementara Sehun tidak melihatnya sama sekali. Kening Sehun berkerut dalam seolah ia sedang berusaha memikirkan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan ibunya.

"Aku masih belum tau, Mom. Kalau perintah pindahnya sudah turun, aku baru bisa pergi," jawab Sehun, kemudian mulai mengunyah lagi.

"Kau akan pindah ke Shanghai?" suara Luhan yang nyaris melengking membuat kakak dan ibunya menatapnya dengan heran. "Kenapa?" tambahnya, kali ini mengurangi volume suaranya.

"Luhan belum tau?" sahut ibunya, entah itu pertanyaan yang dilontarkan untuk Luhan atau Sehun. Keduanya saling bertukar pandang sementara ibunya tampak bingung. "Kenapa kau tidak memberitahu Luhan, Sehun?"

Sehun hanya mengangkat bahu acuh, mengalihkan pandangan dari adiknya dan kembali piring separuh kosong dihadapannya.

"Kenapa kau tak bilang?" desak Luhan, mulai merasa kesal mendengar kenyataan bahwa Sehun akan pindah ke Shanghai sementara ia baru menginjakkan kaki di negara ini tidak lebih dari satu bulan.

"Itu bukan hal besar, Luhan," jawab pria itu dengan senyum lebar. "Lagipula dipindahkan ke Shanghai bukan prestasi bagus,"

"Itu hal bagus, Sehun," ibunya menyela, dan Luhan masih saja menatap kakaknya itu dengan raut wajah bingung bercampur kesal. "Itu tandanya kau dianggap mampu menjalankan pekerjaanmu, kan?"

Sehun tertawa ringan, terlihat bahagia meskipun Luhan tau itu hanya pura-pura. "Tentu saja, Mom. Aku berusaha keras untuk mendapatkan posisi itu,"

"Kau pasti bisa," sama seperti Sehun, ibunya juga terlihat bahagia sekarang. Bedanya, Luhan tau, ibunya sedang tidak berpura-pura.

Dan rasanya, disini hanya ia yang tidak tau seluk beluk keluarga ini. Bahkan Luhan merasa orang asing di rumahnya sendiri karena tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Mungkin karena ia terlalu lama jauh dari rumah dan membuatnya merasa seolah diasingkan.

Ini salahnya sendiri, sebenarnya.

Ia memang malas pulang selama masa kuliah.

Dan entah kenapa, Luhan sedikit menyesal dengan hal itu sekarang.

.

.

"Kenapa kau tak bilang kalau mau pindah?" dan Sehun nyaris tersentak saat Luhan hampir saja membanting pintu kamarnya.

"Bisa ketuk pintu dulu tidak, sih?" protes Sehun, kembali memusatkan perhatian pada buku yang sedang dibacanya sejak tadi.

Desahan ringan keluar dari bibir Luhan, ia menyeret kakinya melangkah masuk dan duduk di atas ranjang Sehun, tepat disebelah kakaknya yang sedang berbaring santai sambil membaca buku tidak jelas. Buku-buku yang Sehun miliki sama sekali tidak ada yang bisa Luhan pahami. Sejak dulu sekolah maupun sekarang.

Ia terlalu bodoh untuk membaca buku-buku milik Sehun.

"Kita butuh bicara," tambah Luhan, kesal karena Sehun seolah sedang mengabaikannya sekarang.

"Bicara saja, aku mendengarkan,"

Menahan kesal yang sudah mencapai puncak kepala, Luhan menarik napas dalam-dalam. Ia ikut berbaring disamping tubuh Sehun, tidur menghadap pria itu, dan menarik bukunya ke bawah.

"Saling bicara, bukan salah satu bicara, kau tau bedanya, kan?" ia berusaha melembutkan suara, berusaha membuat dirinya sendiri tidak kesal dan menarik rambut Sehun dengan kasar.

Satu desahan ringan keluar dari bibir Sehun. Pria itu memandanginya sekilas dan ia memaksakan seulas senyum manis. Menyerah dengannya, Sehun menutup buku, kemudian menggeser tubuh hingga keduanya bertatapan.

"Kau mau bicara apa?" tanyanya.

Luhan menatap mata kakaknya yang tampak sedikit berbinar karena cahaya semi temaram dari lampu yang berada dilangit-langit kamar. Butuh beberapa detik yang terasa panjang karena ia butuh kalimat yang tepat. Dan menyusun kalimat dalam otak bukan hal yang mudah untuknya.

Luhan terlalu bodoh memang.

"Kenapa kau memutuskan untuk pindah?"

Sehun menghembuskan napas berat dan memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Tahun depan Appa akan kembali kesini,"

"Lalu?" Luhan mendesak karena Sehun menggantungkan kalimatnya.

"Aku tak bisa tinggal dengan ayah tiri, Luhan," ucap Sehun dengan suara tipis.

Luhan sedikit terkejut mendengar kalimat itu terlontar dari bibir kakaknya. Ia berusaha mengendalikan raut wajahnya agar tidak membuat Sehun merasa tak nyaman. Jujur saja, ini mengejutkan untuknya. Selama ini, Sehun baik-baik saja tinggal dengan ayah tiri. Setidaknya saat kuliah dulu, karena saat sudah bekerja, ayah tiri mereka lebih sering berada di Bangkok.

Tapi Luhan juga tak pernah mendengar Sehun mengeluh tentang tidak nyaman hidup bersama ayah tiri. Bahkan, ia ingat betul Sehun yang mendukung ibu mereka menikah lagi setelah bercerai. Luhan sempat menentang pada awalnya, tentu saja, karena ia tak ingin punya ayah tiri dan juga saudara tiri.

Wajar, memang dulu ia masih jadi gadis muda yang labil.

Sehun selalu bisa menenangkannya disaat kesal karena ditinggal kedua orang tua menikah lagi. Sehun selalu mengatakan bahwa semua baik-baik saja, selalu mengatakan bahwa ayah dan ibunya juga butuh pendamping hidup baru, dan bualan-bualan lain yang masih Luhan ingat dengan baik.

Seolah, Sehun memang sudah jatuh cinta dengan ayah tirinya.

Tapi sekarang, fakta ini mengejutkan.

"Kenapa, Sehun?" tanyanya lagi setelah jeda yang cukup panjang. Luhan tak bisa memikirkan pertanyaan lain karena itu satu-satunya hal yang ingin ia ketahui.

Alasan mengapa Sehun tidak nyaman dengan ayah tiri mereka.

Sehun tidak menjawab, ia hanya tersenyum, kemudian mengusapkan jemarinya dengan lembut untuk membelai rambut Luhan yang berantakan. Sorot mata Sehun yang meredup cukup membuat Luhan tau ada suatu beban dalam pikirannya.

"Apa dia tidak memperlakukanmu dengan baik?" Luhan berusaha menerka setelah Sehun tidak memberikan petunjuk lagi.

Sehun menggeleng cepat-cepat. "Sama sekali tidak, dia baik sekali padaku, Luhan. Menanggapku seperti anak kandungnya sendiri,"

"Sama seperti dia memperlakukanku," dan Sehun menyetujui dengan senyuman manis. "Lalu apa masalahnya, Sehun?"

Sama seperti sebelumnya, pria itu tidak langsung menjawab. Cukup lama Sehun diam pada posisinya. Jemarinya masih membelai wajah Luhan dengan lembut, sementara keningnya sedikit berkerut dalam. Luhan tau dibalik senyum itu, kakaknya sedang menyembunyikan sesuatu yang juga tak bisa ia pahami.

"Kenapa, Sehun?" ia mendesak lagi saat Sehun benar-benar tak membuka mulut untuk bicara.

"Aku tidak mau mengganggu keluarga Mom, sama seperti kau tak mau mengganggu keluarga Dad," Sehun menghembuskan napas berat dan tersenyum lagi. "Aku benar-benar harus bisa hidup mandiri,"

"Aku akan ikut denganmu,"

Sehun sedikit terkejut saat mendengar itu, menarik tubuh sedikit ke belakang, kemudian melepaskan jemari dari wajah Luhan. Dan perubahan raut wajah itu cukup membuat Luhan bertanya-tanya apa ia baru saja mengatakan hal yang salah.

"Tidak, Luhan. Kau harus disini dengan Mom. Kau baru saja pulang, kan," suara Sehun terdengar tegas dan penuh penekanan. Seolah ia sedang memerintahkan Luhan melakukan hal itu.

Mendadak saja, Luhan merasa kesal. Sebuah perasaan aneh muncul begitu saja dalam dirinya. Seolah, baru saja Sehun menolaknya, seolah baru saja, ia dihianati oleh kakaknya sendiri. Ia kembali pulang dengan harapan akan berkumpul dengan keluarga, meskipun jauh dari ayah kandungnya, tapi nyatanya, disini, Luhan kembali merasa terasingkan.

Sehun akan meninggalkannya.

Percuma saja ia pulang dengan harapan bisa hidup bersama kakak dan ibu kandungnya disini.

"Itu egois sekali, Sehun." ia sedikit menarik tubuhnya hingga duduk dan menatap Sehun dengan pandangan marah. "Itu artinya kau akan meninggalkanku dalam keluarga ini sendirian," dan saat mengatakan hal itu, dadanya terasa sesak.

Mendadak saja, ia bisa merasakan matanya yang panas dan mulai basah.

Sadar melihatnya yang nyaris menangis, Sehun menarik tubuhnya untuk duduk. "Bukan begitu, Luhan," jawabnya, cepat-cepat mengusap sudut mata Luhan yang nyaris basah. "Bukan maksudku meninggalkanmu sendirian,"

"Lalu apa?" dan begitu saja, tangis Luhan pecah.

Ia tak tau sejak kapan emosinya berubah-ubah dengan cepat. Tapi hal ini memang benar-benar menyakiti hatinya.

"Jangan menangis, kumohon," Sehun berbisik sementara Luhan masih saja terisak-isak. "Aku tidak berniat meninggalkanmu, sungguh,"

Luhan tidak menjawab dan Sehun memeluknya hingga ia bisa menumpahkan tangisnya dalam dekapan kakaknya itu.

"Ini bukan karenamu, Luhan," bisik Sehun lagi. "Aku hanya merasa harus bisa hidup mandiri karena aku anak laki-laki dan bagaimanapun, aku harus bisa menghidupi ibu dan adikku, kan?"

Masih berusaha mengendalikan tangisnya sendiri, Luhan menarik diri dari pelukan Sehun. Ia memandangi wajah kakaknya cukup lama, membiarkan Sehun mengusap sisa-sisa air mata diwajahnya sambil tersenyum manis.

Sementara Luhan tersengal-sengal. "Kau benar-benar akan meninggalkanku, Sehun?"

Satu hembusan napas berat keluar dari bibir Sehun. "Apa aku punya pilihan lain?" ia mengatakan itu seolah bicara dengan dirinya sendiri dan Luhan menggeleng ringan, menanggapi pertanyaan kakaknya. "Aku memang harus melakukan ini, Luhan," ia menambahkan dengan senyuman lebar.

"Bagaimana aku bisa hidup disini sendirian, Sehun,"

"Kau bisa mengunjungiku, sayang. Jangan khawatir, Mom juga disini, kau tidak sendirian,"

Luhan tau memang Sehun benar, tapi bukan sendirian yang seperti itu yang ia maksudkan.

"Kalau aku bisa dapat pekerjaan di Shanghai, apa kau mengijinkanku pergi?" tanya Luhan lagi. Ia berusaha mencari cara agar Sehun mengijinkannya ikut dengan alasan apapun.

Kening pria itu berkerut dalam. "Kau akan mencari pekerjaan di Shanghai?"

Luhan mengangkat bahu acuh. "Aku juga belum tau. Tapi kalau memang ada pekerjaan disana, aku akan pergi,"

Kekehan ringan keluar dari bibir Sehun, dan itu cukup membuatnya bingung dengan sikap Sehun yang berubah-ubah dengan cepat. "Kau benar-benar tidak mau pisah dariku ya, Luhan?"

Malu-malu, Luhan menggelengkan kepala. "Aku harus melakukan apa saja agar tidak ditinggal disini sendirian,"

Sehun hanya tersenyum mendengar ucapannya, kemudian menarik wajah Luhan mendekat dan menempelkan bibir keduanya. Terkejut dengan apa yang Sehun lakukan, Luhan berusaha mendorong pria itu menjauh sementara bibir Sehun sudah bergerak cepat dibibirnya.

"Stop, Oh Sehun," bisiknya dengan suara nyaris habis.

"Kenapa?" balas Sehun dengan tawa renyah.

"Mom, di bawah," ia menambahkan.

Mengabaikan gadis itu, jemari Sehun menarik rambut Luhan ke belakang hingga lehernya bisa terlihat jelas. Masih dengan senyum manis, ia menempelkan bibirnya yang panas dan basah ke leher Luhan, nyaris membuat gadis itu memekik.

Luhan mendekap mulutnya sendiri sementara bibir dan lidah Sehun menelusuri lehernya. Tanpa sadar, Luhan menarik kepalanya keatas, membiarkan Sehun menikmati lehernya lebih penuh lagi.

Kemudian, ia kembali menyadari satu hal.

"Sehun, Mom bisa dengar,"

"Jangan bersuara kalau begitu," bisik Sehun tepat dibelakang telinga Luhan, dan itu membuatnya bergidik ngeri.

"Aku, oh," ia terkesiap saat Sehun menghisap perpotongan lehernya. "–tidak bisa mengendalikan suaraku," tambahnya setelah satu desahan panjang.

Sehun tidak menjawab lagi karena sibuk menyesapi leher Luhan. Desahan lembut mengalun dari bibir gadis itu tanpa ia sadar. Berusaha mati-matian menahan suara, Sehun malah membuka kaitan kancing baju tidurnya dan mulai mengecupi dadanya.

"Apa yang kau lakukan, Sehun?" ia berbisik, berusaha mendorong kepala Sehun menjauh.

"Menikmatimu," balasnya dengan satu kekehan lembut. Sehun kembali menarik wajahnya keatas, mengecupi telinga Luhan dengan lembut, lidah nakalnya bermian-main disekitar leher, membuat Luhan meloloskan satu leguhan berat.

Sehun melepaskan baju Luhan tanpa melepaskan bibirnya dari leher gadis itu. Tangan Sehun merambat ke belakang tubuh Luhan, sedikit mengangkat tubuhnya untuk meloloskan celana pendek Luhan di bawah sana.

Selesai membuat Luhan setengah telanjang, Sehun menarik wajahnya untuk mencium gadis itu lagi. Luhan mengerang saat Sehun seolah melemparkan tubuhnya dengan tiba-tiba keatas ranjang hingga ia terlentang dan terengah-engah. Kembali, bibir Sehun bekerja dibibirnya dengan gerakan panas dan basah.

Teramat cepat, begitu menuntut dan tergesa-gesa.

Luhan meleguh kasar, berusaha mendorong Sehun menjauh dan mengais udara.

Napasnya pendek-pendek.

"Ini ide buruk, Sehun," bisiknya dengan suara lemah.

Sehun tertawa ringan. "Kau begitu siap, mengapa bicara sebaliknya?" well, sial, itu benar. Bibir Sehun beralih menciumi leher Luhan, terus turun perlahan menuju Dadanya yang hanya tertutupi selembar bra tipis.

Luhan mendesah keras, nyaris terdengar seperti erangan, ia menggaungkan nama Sehun dengan suara kelewat indah.

"Kalau Mom dengar, kita berdua bisa mati, Sehun," erangan Luhan sedikit terdengar seperti rintihan karena Sehun menghidap kulitnya dengan kasar.

Kekehan Sehun terdengar mengalun lembut, bibirnya bergerak menelusuri Dada Luhan yang terbuka, mengecup, dan menjilat. Tangan pria itu sedikit mengangkat tubuh Luhan untuk melepas kaitan branya. Dan Luhan nyaris menjerit ketika tanpa aba-aba, Sehun menyesapi puncak payudaranya.

Bibir dan lidah basahnya bermain-main diatas sana.

Untuk sesaat, otak Luhan kosong. Ia mengerang keras saat gigi Sehun seolah menggelitik pundak payudaranya dengan lembut dan kasar disaat bersamaan. Permainan mulut Sehun memang tak bisa ia tolak sampai kapanpun.

"Aku membutuhkanmu, Luhan," ucap Sehun dengan suara berat. Ia menarik wajah ke atas untuk mengecup bibir Luhan lagi.

Sedangkan Luhan berusaha mengatur napas, ia memanggil nama kakaknya itu dengan suara nyaris habis. "Aku tidak mau dibuang dari keluarga ini, Sehun," bisiknya lagi, kemudian nyaris memekik saat Sehun menghisap dadanya dengan kasar.

Luhan menutup mulut rapat-rapat dengan kedua tangan.

"Jangan berteriak kalau begitu," balas Sehun asal. Lidah pria itu bergerak menelusuri perut rata Luhan, membuat jalan setapak basah menuju tubuh selatan Luhan.

Pusat kebahagiaan Sehun.

Dengan giginya yang tajam, Sehun menarik celana dalam Luhan hingga terlepas dari kaki gadis itu. Bibir dan lidahnya bermain-main di sekitar paha dalam Luhan, perlahan naik, terus naik, dan naik hingga mencapai pintu masuknya yang basah juga panas.

Luhan menahan napas berat, berusaha mengendalikan diri sendiri untuk tidak memekik atau menjerit.

Detik berikutnya, tubuh Luhan mengejang karena Sehun sudah memainkan lidahnya disana, dipusat tubuhnya. Ia menggeliat, menahan jeritan yang sudah sampai di ujung lidah. Luhan harus menahannya, ia harus bisa mengendalikan suaranya.

Demi apapun, ini akan jadi mimpi buruk jika ibu mereka tau apa yang sedang dilakukan dua anaknya itu.

Sehun tertawa saat melihat Luhan berusaha menahan napas dan menggigit bibir bawahnya sementara kedua tangannya terkepal kuat. "Kau cukup baik menahan jeritanmu itu, Luhan,"

Dan Luhan mengerang kesal saat Sehun menjauhkan bibirnya dari sana. Tubuhnya begitu panas dan siap, tapi Sehun menghentikan kegiatannya begitu saja, pria itu malah menggodanya. "Brengsek, sialan, Oh Sehun," umpatnya.

Sehun tertawa lagi, ia menggelengkan kepala beberapa kali melihat Luhan yang kesal. Kembali, Sehun memainkan lidahnya di tubuh selatan Luhan itu. Gadis itu mengerang, merasakan puncak gairahnya yang semakin membesar, mendekat dengan sangat cepat, lalu dengan satu desahan berat, ia melepaskan semuanya.

Kalah di dalam mulut Oh Sehun yang luar biasa.

Gairahnya menguap, melebur jadi satu dengan mulut basah Sehun di bawah sana.

Luhan hanya bisa mendesah lemah di bawah sentuhan mulut Sehun yang mengendalikannya. Ia membuka bibir lebar-lebar, berusaha mengatur napas yang berantakan paska pelepasannya yang luar biasa itu.

"Selalu manis dan panas," bisik Sehun dengan satu kekehan lembut, tapi Luhan terlalu lemah untuk merespon ucapan pria itu.

Sehun menarik tubuhnya hingga duduk, kemudian membuka celananya sendiri dengan gerakan yang terlewat indah. Ia meloloskan kausnya dengan satu gerakan cepat, kemudian melepaskan celana dalam. Dan Luhan membulatkan mata saat melihat kejantanan Sehun menggantung sempurna disana.

Ini bukan yang pertama ia melihat kejantanan Sehun secara langsung, tapi entah mengapa selalu menjadi seperti yang pertama.

"Oke, jaga suaramu sekarang," bisik Sehun lagi dan Luhan mengangguk singkat.

Sehun sedikit berdiri untuk membuka laci di meja samping tempat tidurnya, mengambil bungkusan aluminuim foli dari sana dan menggigitnya untuk membuka bungkusan itu. Sedangkan Luhan seolah mematung menyaksikan Sehun melakukan hal itu.

"Kau siap?" tanya pria itu lagi.

Luhan menarik napas berat, membuat Sehun tersenyum lagi. "Pelan-pelan, oke?" bisiknya, setengah memohon.

"Oke,"

Luhan mengerang kasar saat Sehun hendak menyatukan mereka. Rasanya begitu panas, basah, dan Luhan sudah seratus persen siap untuk Sehun. Menggoda Luhan di depan pintu masuknya, perlahan Sehun mendorong maju, sedikit demi sedikit, dan berhasil membuat gadis itu terkesiap, mengerangkan nama Sehun dengan lembut saat penyatuan mereka sempurna.

Luhan tanpa sadar mendesahkan nama pria itu dengan nada yang lebih rendah dan lebih berat.

Tubuhnya bergetar tanpa sebab.

Suara geraman Sehun terdengar mengerikan, pria itu masih tetap pad aposisinya, sedangkan Luhan memejamkan mata. Ia berusaha menikmati kejantanan Sehun yang memenujinya dengan menyeluruh, senang saat-saat seperti ini, karena seolah Luhan bisa mengenal lebih jauh tentang kebahagiaannya itu.

Dan Luhan mendesahkan nama Sehun lagi saat perlahan ia merasakan Sehun mulai bergerak, Mendorong dan menarik dengan gerakan yang sangat lembut, membuat Luhan nyaris kehilangan akal sehat.

"Sehun, oh, please,"

Dengan cengiran khas Sehun yang menyebalkan, pria itu memulai tempo yang lebih cepat. Gerakannya terasa statis dan kuat, membuat tubuh Luhan sedikit terhentak-hentak di atas ranjang empuk Sehun.

Tiba-tiba saja, suara ketukan dipintu membuat mata keduanya melebar sempurna.

"Sehun, kau sudah tidur?" itu suara ibunya.

Dengan gugup, Sehun menoleh kearah belakang. "Be-belum, Mom," suaranya terdengar serak, dan ia mematung ditempat.

Sementara Luhan juga tidak bergerak sama sekali.

"Boleh aku masuk?"

Sial.

"Aku baru selesai mandi, Mom. Masih telanjang, ada apa?" sahut Sehun lagi, berusaha mengendalikan suaranya yang terdengar begitu berat.

Luhan pikir, Sehun akan menghentikan kegiatan ini dan keluar kamar, tapi ia salah. Sehun malah melanjutkan kegiatan tarik dan dorong di dalam tubuhnya. Masih sambil berusaha menahan suara dan napas yang berantakan, Luhan mencengkeram lengan pria itu kuat-kuat.

Mengendalikan diri sendiri sambil berusaha mengingatkan Sehun.

"Sepertinya ada paket untukmu," tambah ibunya lagi.

Sehun mendekap mulut Luhan dengan sebelah tangan sementara ia kembali menggerakkan kejantanannya di dalam pusat tubuh gadis itu dengan tempo lembut. "Oh, uhm, itu, hanya beberapa berkas dari kantor, Mom. Letakkan saja di atas meja, aku akan selesai sebentar lagi,"

Oh Sehun brengsek.

Mata Luhan membulat sempurna saat kakak gilanya itu tidak berhenti bergerak.

"Oke," sahut ibunya. "Kau tau dimana adikmu?"

"Sepertinya Luhan sedang–," ia berhenti sebentar untuk melirik Luhan yang terlihat sedang begitu menikmati permainan mereka. "–hmm, dia bilang pergi untuk beli es krim,"

Tidak ada jawaban dari luar sana.

Dan Luhan berusaha sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara sementara Sehun terus menerus mendorong dan menariknya dengan kasar.

"Aku akan pergi ke supermarket untuk beli roti, kau butuh sesuatu?" tanya ibunya lagi.

"Ya, hmm, oh, itu. Tolong belikan aku susu cokelat dingin,"

"Oke,"

"Terima kasih, Mom,"

Lalu keduanya bisa mendengar suara langkah yang menjauh dan kemudian hilang.

"Kau bisa membunuh kita berdua, Sehun," protes Luhan saat Sehun melepaskan tangan dari mulutnya dan berhenti bergerak sebentar untuk mendesah lega.

"Maaf," bisiknya, nyengir. "Aku tak bisa menahannya,"

Luhan baru saja akan bicara, tapi Sehun kembali melanjutkan permainan gila mereka. Pria itu memainkan tempo yang lebih gila dari sebelumnya. Gerakan tarik ulurnya lebih cepat, lebih panas, lebih memenuhi Luhan dengan sempurna.

Mulut Luhan tak berhenti meracau, mengerangkan nama Sehun diiringi dengan umpatan merdu. Sehun bergerak-gerak dengan cepat di atas tubuhnya, yang secara teknis juga di dalam tubuhnya. Suara geramannya terdengar berat dan mengerikan.

Tapi menyenangkan untuk Luhan dengar.

Masih dengan tubuh menyatu sempurna dan tubuh yang terhentak-hentak tak beraturan, ia bisa merasakan bibir Sehun menyentuh lehernya, menghisapnya dengan kuat. Luhan mengerang kasar, sekali lagi, ia menarik rambut Sehun dengan gemas, berusaha melampiaskan kenikmatan pada apa saja.

Luhan nyaris gila, ia tak peduli lagi dengan hal lain.

Yang ia tau, hanya ada Sehun di dalam tubuhnya.

Hal lain tak lagi penting.

Luhan menjerit dalam dekapan tangan Sehun saat gairahnya terlepas. Hanya seperti sekian detik setelah Sehun menutup mulut gadis itu, pelepasannya yang dahsyat kembali membasahi. Ia terengah-engah merasakan sensasi panas menjalar dari pusat tubuh menuju seluruh sarafnya. Luhan terbakar habis tanpa sisa. Aliran panas itu menghilangkan kekuatan pada tubuhnya, ia nyaris terkuras habis.

Luhan kalah.

Sekali lagi karena Oh Sehun.

Sehun berhenti sebentar untuk membiarkan adiknya bernapas, mengambil napas dengan benar selama beberapa detik, kemudian memulai lagi dengan gerakan yang lebih gila. Sehun menghujam gadis itu tanpa kendali, membuat Luhan kembali tersentak-sentak dan menjerit lagi.

Beruntung, Sehun masih mendekap mulut Luhan.

Luhan menggumam, tapi tak jelas apa yang ia katakan. Rintihannya terdengar seperti permohonan, seolah meminta lebih dengan suara lemah.

ia bisa merasakan Sehun semakin penuh, semakin keras, dan semakin cepat. Jadi Luhan menunggu, ia membuka kaki semakin lebar, membiarkan Sehun menikmatinya lebih dalam. Luhan bisa merasakan pertahanan diri Sehun yang nyaris runtuh, juga bisa merasakan puncak gairahnya sendiri yang kembali memanas.

Sekali lagi.

Semuanya terlalu indah, terlalu nikmat.

Kemudian, setelah beberapa hentakan kasar, ia bisa merasakan sensasi panas menyenangkan kembali menyapa pusat tubuhnya. Kali ini lebih panas karena Sehun juga bergetar paska pelepasannya.

Luhan berusaha mengatur napas yang berantakan dengan Dada naik turun. Sehun melepaskan tangannya dari mulut gadis itu dan membuatnya meraup udara banyak-banyak.

Ia masih berusaha menikmati sisa-sisa pelepasannya yang luar biasa.

Luhan bisa mendengar suara tawa Sehun, jadi ia membuka mata menatap pria itu. Detik yang sama, Sehun menarik tubuhnya mundur dan melepas tautan mereka, membuat Luhan memekik lagi karena kaget.

"Brengsek keparat, Oh Sehun," umpatnya keras.

Biasanya Sehun marah jika Luhan mengatakan hal kasar padanya, tapi kali ini ia hanya tertawa mendengarnya. Sehun menggoyang-goyangkan kantung karet yang penuh dengan cairannya di depan wajah Luhan dengan cengiran lebar menyebalkan.

"Kau mau? Katamu sayang kalau dibuang, kan?" ucapnya sambil menyodorkan itu pada Luhan.

"Menjijikkan, Sehun, hentikan," Luhan nyaris menjerit, mendorong tubuh Sehun menjauh dan tawa keras pria itu terdengar lagi.

"Bagaimana? Masih mau tinggal denganku di Shanghai?" godanya lagi, Luhan hanya merengut kesal. "Kalau kau ikut denganku, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu setiap malam, adikku sayang,"

"Oh Sehun, gila,"

Ya, Sehun memang gila.

.

.

TBC or FIN

Author nunggu respon netijen dulu lah gimananya hehe.

.

.

SO, ENTAH KENAPA INI IDE LANCAR JADI FF INI DIKETIK DALAM SEKALI DUDUK SELAMA DUA JAM HEHE.

Semoga tidak mengecewakan ya semua.

Author nggak tau nih FF masih ada yang nunggui dan baca atau enggak, yang penting chapter ini diupload dulu lah hehe.

Jadi jangan tanya kelanjutannya ada apa tidak, Author harus lihat dulu respon netijen dan juga lihat ide yang muncul di otak nih.

Jadi buat yang masih nunggu, masih baca, Author minta saran, kritik, dan komentarnya di kolom review ya.

Oke itu aja.

Terima kasih sudah membaca, maaf jika ada kesalahan.

JANGAN LUPA REVIEW YA SEMUANYA.

With love,

lolipopsehun