Disclaimer: Kuroko no Basuke (黒子のバスケ) belongs to Fujimaki Tadatoshi-sensei. Semua material referensi yang digunakan untuk membuat fic parodi abal ini milik Fujiwara Cocoa-san. I only own this fic for non-material use.

Author's Notes: Saya kembali. Surprise, surprise! (Curhatan lanjutan di bawah.)

.

.

(Bab ini adalah hasil revisi, sehingga kontennya agak berubah. Maafkan kemampuan menulis saya jika terasa penurunannya, berhubung saya sudah cukup lama tidak mengarang dalam Bahasa Indonesia.)

Sosok berbalut sutra serba biru menghela napas. Angin musim semi membelai surai secerah langit, menggelitik rongga hidungnya dengan dingin musim dingin lalu.

Seiring dengan pergantian musim, tiba pula waktu baginya untuk memulai hal baru. Kehidupan yang baru.

Sepasang ceruelan menatap datar gedung mewah berjarak lumayan jauh dari pagar besi pembatas. Taman-taman luas dengan berbagai bunga bermekaran dan pohon teduh nan menjulang memisahkan keduanya. Pagar hitam mengilap itu sangatlah tinggi sampai kepala harus didongakkan untuk melihat puncaknya.

"Ayakashi-Kan, ya?"

"Maison de Ayakashi, maksudmu?"

"Iya, apartemen supermewah itu, 'kan?"

Merasa dibicarakan, kepala biru menengok ke kanan. Dua gadis asyik bercengkrama di trotoar sembari menilik gedung tinggi di sana, sesekali terkikik membayangkan hidup nyaman dan enak.

"Wah, tak heran gadis itu pindah ke sana," kata yang berambut sebatas pinggang dengan suara dipelankan. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan objek pembicaraan. "Lihat saja kimono-nya. Dia pasti orang kaya!"

"Bukankah tak wajar seseorang berkeliaran dengan kimono hari begini?" balas kawannya yang bersurai hitam. "Tapi dia cantik sekali, lho. Mirip seorang geisha."

Tubuh tiba-tiba diserang tremor, sosok biru itu menggigil. Sejenak tangannya memainkan rantai shidare yang menuruni kanan kepalanya. Manik lazuardi bergulir ke setelan yang melekat di badan.

Nagajuban biru tak berlengan tersembunyi di bawah hikizuri longgar yang kerahnya melorot sampai ke bahu. Obi bercetak floral melingkar di pinggang beserta seutas kain putih yang disimpul pita.

Baginya, tidak ada yang aneh dari penampilannya. Semuanya normal, termasuk fakta bahwa ia kemari dengan, secara harfiah, hanya membawa badan dan baju.

"Yo, Tetsu!"

Tersentak, sosok yang dipanggil 'Tetsu' itu mendapati seorang berkemeja putih degan lengan yang digulung sampai siku dan rompi hitam longgar. Kulitnya lumayan gelap dengan surai biru dongker yang dipotong cepak.

"Aomine-kun," balasnya dengan senyum supertipis sembari Aomine membuka gerbang. Pria itu adalah sahabat karibnya yang entah bagaimana dapat selalu menemukannya ketika sedang butuh.

Begitu jalan masuk tersedia, Aomine langsung merangkulnya sambil mengusap kasar puncak kepalanya.

"Ohisashiburi, Tetsu! Sopan dan unyu seperti biasanya, naa?" seringai nakal si biru tua memamerkan taring yang terlalu tajam untuk disebut normal.

Ekspresi Tetsuya menggelap dalam sekejap. Pandangan dilarikan ke pakaian, kemudian ke wajah sumringah Aomine, dan terakhir ke dua gadis yang membeku saat dihunjam tatapan menusuk.

"Terima kasih, Aomine-kun. Aku bersyukur sampai detik ini aku masih seorang lelaki."

Bagian terakhir sengaja dikeraskan. Melihat dua gadis yang tadinya asyik rasan-rasan bungkam seketika, Tetsuya mengulum senyum kemenangan.

.

.

00.

Prolog

.

.

Tempat ini adalah Ayakashi-Kan. Nama aslinya Maison de Ayakashi. Apartemen elit yang mana penghuninya hanya orang-orang tertentu.

"Bagaimana hidupmu, Aomine-kun?"

Tanya Tetsuya begitu lift yang mereka tumpangi bergerak. Bukannya langsung menjawab, sahabat karibnya itu malah menggaruk tengkuk sambil mendumelkan sesuatu yang tidak bisa didengarnya. Alisnya tertaut dalam… frustrasi?

Karena Aomine tak membalas, pemuda ber-kimono itu melanjut, "Apa di sini pelayanannya enak?"

"Eh, kau tidak tahu, ya?" Aomine mengangkat sebelah alis. "Begini, Tetsu—uh, aku bukan penghuni apartemen ini."

Kepala baby blue dimiringkan penuh tanda tanya. "Maksudnya….?"

"Pernah dengar tentang Secret Service?" Pria tan berdeham jaim ketika Tetsuya menggeleng. Kentara ingin mengungkapkan sesuatu yang—baginya—memaluan. "Semacam bodyguard atau pelayan pribadi. Dan… aku termasuk salah satunya."

"Apa hidupmu sesedih itu sampai rela diperbabu, Aomine-kun?"

Denting lift tiba-tiba terdengar seperti alarm yang memekakkan telinga.

"… kenapa kata-katamu mentah sekali?"

Merasa yang biru gelap tersinggug, biru yang lebih cerah memasang tampang inosen.

Tetsuya perlahan melangkah keluar, berhati-hati supaya jalinan kimononya tidak terjerat. Yang pertama dilihatnya adalah jendela besar yang terbuka, menerbangkan kelopak-kelopak sakura ke dalam lantai perhentian mereka.

"Jadi, apa klienmu yang memberikan itu?" sembari Aomine menuntunnya ke kamar, Tetsuya mencuri pandang pada kalung rantai yang menggantung di leher sahabatnya. Ia memang terkenal observan sejak dulu, dan seingatnya Aomine Daiki bukanlah penggemar aksesori.

"Oh, ini?" Aomine menarik liontin yang tersembunyi di bawah kerah kemejanya. Liontin itu berbentuk bola, sepertinya terbuat dari kristal dengan kilau-kilau kecil keemasan di dalamnya. "Ya, begitulah. Dia akan serius membunuhku kalau sampai hilang."

Mata kalung berpulang ke tempat asal. Tetsuya serasa melihat berjuta bintang dalam bola bening itu. Terlihat seperti barang perempuan, batinnya, sekilas mengingat satu dari dua kegemaran konkret sahabatnya.

Bunyi ceklak kunci memecah lamunan Tetsuya.

"Ya, sudah sampai." Ujar Aomine sembari menarik kunci dari lubangnya, kemudian diserahkan ke tangan Tetsuya yang sudah menunggu. "Ini kamar nomor 11, lantai enam. Aku di nomor 7, lantai empat, jadi mampirlah kalau butuh apa-apa."

"Bukannya setiap penghuni mendapatkan agen SS-nya sendiri?"

Pria cobalt mengangkat bahu. "Sepertinya dia belum datang," alisnya potek sesaat, seolah terbayang sesuatu yang sangat tidak mengenakkan. "Mungkin khusus hari ini, aku akan menjadi Secret Service-mu. Sial, kuharap aku jadi agenmu saja, Tetsu."

Tetsuya tak paham dengan perkataan barusan, tapi karena ia dididik untuk menjadi anak sopan dan berbakti, ia hanya menjawab, "Terima kasih, Aomine-kun."

Pelayan pribadi, ya?

.

.

"Ini… ini berlebihan."

Gumam Tetsuya, meneliti tiap meter persegi kamarnya yang ternyata luar biasa luas. Jangankan kamar, rumah manapun yang pernah ia diami dahulu tidak dapat menyaingi satu kamar di Ayakashi-Kan. Bagaimana tidak?

Dengan kamar mandi beratribut lengkap, TV flat screen di ruang tamu bersofa empuk, dan kasur queen size yang cukup untuk ditempati setidaknya tiga orang dirinya, Tetsuya merasa seakan dirinya akan hidup dalam kemewahan mulai hari ini.

Hidup mewah, ya.

Tunggu, siapa yang membayar uang sewanya?!

Sambil gemetar penuh horor, Tetsuya merogoh sebuah dompet dari balik obinya. Ketika dibuka, isinya hanya beberapa lembar 1000 yen dan receh yang mustahil untuk makan tiga kali tiap hari dalam minggu ini.

Dengan fasilitas sebagus ini, akan butuh puluhan—jika tidak, ratusan—ribu yen untuk membayar semuanya.

Mungkin nanti ia akan minta pertanggungjawaban Aomine—karena pria itulah yang mengajaknya kemari. Jika ia sendiri yang bayar, maka sejarah moneter Tetsuya (dan nyawa serta harga diri Aomine) akan berakhir seketika ini juga.

Mengesampingkan biaya sewa, Tetsuya menghampiri pintu kaca menuju balkon. Hampir semua tirai disibakkan hingga dunia tampak dari dalam rumah barunya. Cahaya mentari pukul sembilan memenuhi ruangannya dengan sensasi hangat.

Setelah puas berjemur, Tetsuya baru teringat akan tujuan utamanya masuk ke dalam. "Ah, ganti baju." gumamnya sembari membuka pintu walk-in closet di dinding barat. Terdapat beberapa pasang yukata putih polos di dalamnya.

Tetsuya ingin membeli baju lain, namun apa daya, isi dompet mengatakan tidak.

Meletakkan satu setel di matras, ia mulai melucuti kimononya. Mulai dari obi, hikizuri, hingga tersisa nagajuban saja. Geta dan tabi dilepas dan diganti dengan sandal kamar. Lembar sutra biru dilipat dengan rapi, kemudian masuk ditelan lemari.

Baru saja Tetsuya hendak melepas nagajuban-nya, sesuatu mengalihkan perhatian.

"Nyaan~"

"Eh?"

Terhenyak, Tetsuya mendapati seekor kucing bertubuh ramping yang tengah meloncat dengan lihainya dari pagar balkon. Kaki-kaki kecil itu membawa si kucing ke hadapannya.

"Oh, kucing. Halo," ia tersenyum. Dari sananya ia memang pecinta binatang, jadilah ia berlutut untuk membelai bulu lembut si kucing yang semerah delima.

"Siapa tuanmu?" Tetsuya bertanya lembut. Mengherankan, bagaimana bisa kucing liar menyusup ke kamar seseorang di lantai enam? Dan tentu saja si kucing tidak berbicara. Yang ia dapatkan hanyalah ekor yang bergoyang antusias.

Tetsuya mengamati makhluk itu lekat-lekat. Lapisan bulunya terlihat mewah dan rapi, seperti permata rubi. Tak lupa warna mata yang eksotik; janggal, sebelah kanan sewarna tubuhnya dan yang kiri berkilat keemasan.

"Nya?" ucap Tetsuya, mengimitasi suara kucing merah itu. Sesaat kemudian ia tertawa pelan. "Tunggu sebentar, nyanko. Aku akan memakai yukata ini, nya?"

Menurut, si kucing langsung masuk posisi duduk anteng.

Kemudian Tetsuya melanjutkan acara gantinya yang sakral. Sesekali ia menengok ke belakang untuk mendapati si kucing masih terduduk dengan mata tertuju ke arahnya, dan entah kenapa ia merasa bulu kuduknya berdiri.

.

.

.

"Oh, sepertinya dia menyukaimu."

Baru saja ia melangkah keluar kamar berbalut yukata putihnya, Tetsuya disambut Aomine yang sedari tadi menunggu sampai terkantuk-kantuk. Netra cobaltnya melihat ke arah kucing merah yang bersantai di dekapan sang sahabat.

"Sebenarnya ini kucing siapa, Aomine-kun?" pemuda baby blue mulai kepo. Sambil menuju elevator untuk memulai tur keliling, jarinya tak absen menggaruk belakang kuping hewan itu.

Sekali lagi Tetsuya tak paham ketika Aomine sweatdrop setelah pertanyaannya diajukan. "Dia... itu—kucing peliharaan kita. M-Maksudku, kucing itu bukan benar-benar milik seseorang di sini, j-jadi kami merawatnya..."

Lalu Aomine memalingkan muka seakan refleksi diri di dinding elevator lebih menarik dari lawan bicaranya. Suasana tiba-tiba menjadi tegang dan bulu kuduknya serasa berdiri lagi; Tetsuya akhirnya berkomentar cangggung, "Pantas saja dia jinak sekali."

Kucing merah itu mengeong senang.

.

.

.

"Ini taman rooftop kita."

Mungkin samar, tetapi kedua iris Tetsuya berkilat dengan paduan kagum dan tertarik. Bagaimana tidak jika disuguhi pemandangan taman bunga yang indah? Sebuah gazebo berdiri di tengah area taman dan ada bangku beserta meja yang diatur sedemikian rupa.

"Mungkin kau bisa bersantai disini. Rasanya seperti bisa melihat seluruh kota—" langkah mereka terhenti beberapa jarak dari salah satu meja. Aomine mendecakkan lidah. "—Sialan."

Heran mengapa pria itu menyumpah, Tetsuya mengikuti arah pandangnya.

Pemuda—lebih seperti pria—berkulit putih bersih, kontras dengan sahabatnya yang terkenal gosong itu, tengah duduk dengan kepala bertumpu pada sebelah tangan. Helai keemasan agaknya berkibar terkena angin sepoi-sepoi. Tubuh semampainya tertutup kemeja putih dan kardigan cokelat. Tak lupa bulu mata lentik yang membingkai iris sewarna topaz, melengkapi aura bishonen yang dipancarkannya.

Dengan gerak slow-mo ala adegan dramatis, sosok itu menengokkan kepala pirangnya dengan senyum ceria yang mengembang. "Aominecchi!" panggilnya dengan penuh semangat.

-cchi?

"Che, Kise." ujar Aomine dengan gaya sok tidak peduli. Sambil berkacak pinggang layaknya tokoh antagonis, pria remang-remang itu menambahkan, "Kupikir siapa."

"Hidoi-ssu! Begitu caramu memperlakukan seorang klien?" Pria yang dipanggil Kise merajuk. Mulut dicibirkan seakan baru saja menerima perlakuan paling tidak adil di seluruh penjuru dunia.

-ssu?

"Ano," sela Tetsuya, melangkah untuk menempatkan dirinya antara duo blueband itu. "Anda siapa, ya? Sepertinya kita belum pernah bertemu—"

Tangan Aomine tiba-tiba mendarat di bahunya. "Jangan, Tetsu! Dia suka sekali dengan—"

"Ten..."

"Eh?" kedua biru berkorus kompak. Heran ketika Kise spontan berdiri dengan mata terbelalak. Kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh.

"TENSHICCHI-SSU!" Pria bersurai mentega berteriak, secara magis sudah melesat dari posisi awal ke depan Tetsuya—yang berakhir terjangkit epilepsi dadakan akibat kedua belah bahu yang diguncang dengan tenaga berlebih.

Untung saja kucing merah yang digendongnya sudah menghindar sebelum penyet.

"Kamu malaikat, kan?! Sudah pasti malaikat-ssu!" Perkataan Kise terdengar samar. Pusing mulai memenuhi kepala Tetsuya. Hancur sudah imejinya setelah tahu persona kekanakan bertolak belakang dengan penampilan tampan menggiurkan.

"Hoi, Kise! Kau membunuhnya!" Aomine menengahi seperti kakak yang overprotektif. Memisahkan si kuudere dari kliennya yang hiperaktif.

"Gomen, gomen." Kise tertawa canggung. "Namaku Kise Ryouta-ssu! Aku tinggal di kamar 7. Tetangga baru, ya? Siapa namamu, tenshicchi?"

Hujan rentetan pertanyaan itu sangat tidak membantu. "Salam kenal, Kise-kun. Tetsuya—dan jangan seenaknya memberiku panggilan, itu menjijikkan."

"Kalian berdua sama jahatnya-ssu." Kise menangis pelangi.

"Aomine-kun, apakah semua penghuni disini sama anehnya?" tanya Tetsuya polos, tak menghiraukan Kise yang pundung mengais tanah.

Aomine menepuk bahunya bijak dan berpetuah, "Percayalah, kau belum melihat semuanya."

Mungkin ia merasa terabaikan, Tetsuya sampai dapat merasakan sinis dalam tatapan heterokrom kucing temuannya itu, tertuju sepenuhnya pada Kise Ryouta.

.

.

.

Tak disangka, tur keliling apartemen kelewat luas ini sungguh melelahkan. Padahal tidak semua lantainya mereka besuk. Taman, lobi, pemandian umum terlewati, berakhir dengan lounge. Seingatnya Tetsuya melihat seorang lelaki berambut hitam yang tampaknya sedikit lebih tua dari Aomine di balik bar.

Kini, mereka sudah kembali ke habitat asli.

"Oh, aku harus mencari Kise sialan itu—dia pasti keluyuran." Komentar Aomine sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan. Tangan satunya digunakan untuk mengusap puncak kepala Tetsuya yang terlalu lelah untuk merespon. "Jaa na, Tetsu!"

Pria bersurai cobalt itu berbalik dan melambai sebelum berbelok ke arah pintu elevator. Tetsuya tersenyum tipis, kemudian mengunci diri dalam kamarnya.

Ia melupakan seekor kucing yang ikut masuk dan berbaur dalam kegelapan.

.

.

.

"Ugh..."

Tetsuya terpaksa menghembuskan napas ketika sesuatu mengganggu tidurnya. Rasa-rasanya seperti sesuatu tengah menindihnya—padahal tidak ada seorangpun selain dirinya dalam kamar ini.

Atau jangan-jangan tempat ini berhantu dan Aomine tidak mengatakan apapun tentangnya.

Ketika hawa tiba-tiba mendingin, Tetsuya membuka mata untuk menarik selimut dan mengubur tubuh di dalamnya, namun ternyata lembar fabrik itu tidak bergerak. Tetsuya mencoba duduk. Apa daya, ia masih bergeming dalam posisi awal.

Penglihatannya diburamkan kantuk, namun samar-samar ia dapat melihat siluet seseorang. Dari perawakannya sepertinya bergender sama. Mengedip beberapa kali, kini tampak bahwa sosok itu adalah seorang pemuda bersurai merah dengan iris rubi-emas.

"S... Siapa?" layaknya penglihatan, tutur katanya pun tak jelas.

Kekeh mistis disuarakan sosok scarlet. "Aku kucing yang datang untuk membalas budi." Kata-katanya pun terdengar mistis. Dalam akal sehat Tetsuya, tidak ada yang namanya 'hewan membalas budi'. Lagipula sudah jelas kalau sosok ini bukanlah hewan—

—Hanya saja ia pemuda aneh bertelinga dan berekor kucing.

"Ini pasti mimpi." Gumam Tetsuya cepat sambil kembali merebahkan diri.

"Ini bukan mimpi." Sanggah pemuda mencurigakan itu, namun yang bersurai biru tak peduli. Mata dipejamkan dengan niat hendak kembali tidur.

"Kalau mau bicara besok saja. Dan... tolong menyingkirlah dari selimutku."

Terbayang pemuda itu mengibas ekor dengan suka cita, sadar bahwa dirinya diperhatikan. "Baiklah jika itu yang Tetsuya mau." Tukas si scarlet misterius sembari perlahan menuruni ranjang dan berganti duduk di sebelahnya.

Selang lima menit kemudian, lagi-lagi Tetsuya merasa bulu kuduknya berdiri untuk kesekian kalinya hari ini. Tubuh dimiringkan menghadap dinding, berpaling dari penghuni dadakan kamarnya. Dalam hati ia tertawa geli.

Seekor kucing membalas budi? Mustahil.

.

.

.

Perlahan azure kembar terbuka dan disambut cerianya mentari pagi. Tangan ditarik ke wajah untuk mengusap kedua kelopak mata. Napas dihembus dalam satu lenguhan malas.

"Pagi..."

Gumam Tetsuya dengan suara sarat kantuk. Tubuhnya menggeliat tak nyaman kala sensasi berat menahannya untuk duduk.

Berat...?

"Ohayou, Tetsuya."

Suara itu mengalun horor di telinga, menumpas segala kantuk yang tersisa dan mengubahnya menjadi suatu kengerian sempurna.

Setelah itu barulah terasa bahwa Tetsuya nyaris jadi sandwich antara matras dan tubuh seseorang. Kuping kucing itu, surai semerah stroberi itu, ekor berjumlah sepa—tunggu, sepasang?

"JADI SEMALAM BUKAN MIMPI?!"

Setelah kesadaran menamparnya telak barulah Tetsuya memekik histeris. Dipacu adrenalin dan dengan wajah diliputi ngeri luar biasa, ia melayangkan satu tinju ke perut oknum tak bertanggungjawab.

Sayang sekali oknum yang dimaksud dianugerahi refleks yang tidak manusiawi hingga berhasil menyelamatkan diri dari hantaman bogem Tetsuya. Dengan kelincahan seekor kucing, si setan merah melompat ke sisi ranjang.

"Memang bukan," ujarnya santai, buntut bergoyang sana-sini penuh semangat masa muda. "Kau kira aku ini apa?"

"SUDAH JELAS KAU ITU PK!" sebuah bantal melayang menemani jeritan Tetsuya seolah memergoki om-om pedo yang menyelinap kala malam tiba. Yukata berkerah merosot dirapikan buru-buru demi menghindari tampilan aurat berlebih.

"Akashi Seijuurou." Akashi berujar dengan sarkas terselip. Seringainya memamerkan kanina meruncing abnormal. "Dan aku takkan meninggalkanmu meski kau memintanya."

Merasa kedua manik berbeda kroma itu menelisik—mungkin sampai ke relung hati terdalam—Tetsuya otomatis mengkeret. Tiba-tiba dirinya merasa sangat kecil... dan apa tadi katanya? Tidak akan pergi?

"Benar sekali. Biarkan aku mengulanginya lagi," Akashi membungkuk separuh, bukan hormat sejati namun sebatas formalitas. Sebelah tangan disilangkan di atas jantung, dan dengan suara manis namun beracun ia berkata,

"Akashi Seijuurou, disini sebagai Secret Service. Ada permintaan kah, Tuan?"

Oh, tidak. Tetsuya dapat melihat visi hidup damainya pecah berkeping-keping.

.

.

.

.

Sebentar, sepertinya ada sesuatu yang aneh.

"Jadi kucing kemarin itu kau?"

"Benar sekali."

"Jadi..." kedua alis bertemu, Tetsuya menginspeksi pemuda itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemudian sesuatu membuat wajahnya memanas. Tenggorokannya terasa kering seketika. "Jadi—jadi, jadi—kemarin waktu... ganti baju..."

Akashi berbalik dengan ekstra watados. Sejenak terlihat seperti ia menahan tawa.

"Jadi pacarmu? Langsung ke pelaminan saja, Sayang."

"AKASHI-KUN MESUM!"

.

.

Shidare — Rangkaian bunga dari sutra, biasa digabungkan dengan kanzashi (hiasan rambut).

Nagajuban — Dalaman untuk kimono, biasanya putih dan kerahnya terlihat setelah setelan dipakai lengkap.

Hikizuri (susohiki) — Mirip furisode dalam hal model lengan (panjang se-mata kaki), namun bagian bawahnya juga lebih panjang, sekitar 2 meter. Hanya dipakai oleh geisha.

[Youkai Corner]

Nekomata adalah siluman kucing berekor dua (sejenis bakeneko, tapi jauh lebih kuat). Semakin panjang ekornya, semakin tinggi kemampuan spiritualnya. Dikatakan memiliki kekuatan ilusi dan mampu memberi kutukan yang ampuh.

[Pojok Curhatan Author]

Kaget, nggak?

Wah, saya sudah hilang hampir dua tahun, ya. Kalau penasaran, waktu itu saya habiskan untuk menyelesaikan serial orisinil. Well, nggak semuanya, tapi sebagian besar sudah beres.

Saya kembali karena sedang stres dan butuh menulis sesuatu yang lebih ringan. Maklum, serial saya cukup berat dari segi riset dan tema, jadi... maklum lah, butuh refreshing. Berhubung saya sudah mendekati UN, masa depan serial ini kurang meyakinkan, tapi saya akan berusaha untuk menamatkannya!

.

.

[Omake]

"Apa maksudmu dengan kucing peliharaan, hah?"

Dihadapi Akashi yang tersenyum keriting, Aomine ketar-ketir. Sedari tadi lututnya tidak berhenti gemetar akibat fokusnya yang terpaku pada sepasang belati heterokromatik. Alih-alih kuping hewan yang dimaksud, kini pemuda ceri itu bagai menumbuhkan tanduk setan.

(Tapi, kalau dipikir-pikir, dia memang setan, sih.)

Dengan wajah ditegarkan, Aomine bermaksud membela harga dirinya. "Kau sendiri yang menyuruhku tidak berbicara apa-apa soal wujud kucingmu! Lagipula cepat atau lambat Tetsu akan curiga—"

"Jadi kau menyamakanku dengan kucing rumahan, Daiki?" nadanya datar namun menusuk. Teringat bahwa rumahan dan murahan adalah isomer struktur alfabetis. "Kau harus melihat dirimu sendiri. Bukankah kau juga anjingnya Ryouta?"

"Dia klienku, bukan majikanku!"

Abai dengan protes, Akashi merogoh saku dan mengeluarkan sebuah benda melingkar secara gaib. Aomine menatap horor ke benda itu ketika rekan sesama pelayannya itu memutar-mutarnya berporos telunjuk.

"Mungkin aku harus membenahi konsepmu tentang kata 'peliharaan'." Ujar pemuda merah dengan seringai iblis. "Bagaimana kalau dengan praktek langsung? Aku yakin pelajaran ini akan lebih mudah dipahami, Aomine Daiki."

"TIDAAAAAAAK!"

.

.

.

Di area bar sana, Kise bertopang dagu dengan wajah bosan.

"Dasar anak muda."

.

.

.

00. Prolog/END.