.
.
.
.
.
The Sins We Got
Yoonmin. Yoongi. Jimin
Taehyung. Jungkook. TaeKook
Namjoon. Seokjin. Namjin
[Soochan]
"We feel most alive when we are closest to death"
.
.
.
.
.
Rintihan api menggelegak di udara. Meretih pelan-pelan, namun suaranya tetap terdengar, bergemerisik dalam sunyi. Sedang udara dingin berputar tenang di sekitarnya, memberikan sebuah ketenangan ganjal.
Yoongi menyandarkan dirinya di jendela. Umurnya delapan belas, dan ia tidak pernah merasa segelisah itu sebelumnya.
Rambut tenggelam bersama keremangan rembulan, bahkan kulit putih pucat itu nampak muram. Ia tidak memakaikan tubuhnya sebalut selimut, atau pun sebuah piyama hangat. Yang ada hanya kaus tipis dan celana jeans yang tidak terganti-ganti seharian itu.
Ia berbalik, menatap tepat ke luar jendela. Matanya mengilat, bukan oleh keremangan rembulan, namun oleh kilatan api jauh, jauh di sana, di balik gedung dan bangunan, tenggelam bersama dataran tinggi sehingga Yoongi tidak akan tahu asalnya.
"Ambil tas dan mantelmu, astaga! Sudah kubilang siap-siap!"
Derap langkah dan suara yang menggebu-gebu itu terdengar, menghempas-hempas tiada berkeaturan, mengisi kekosongan di ruangan tempat Min Yoongi memijakkan kakinya. Namun laki-laki pucat itu tidak berkehendak menolehkan kepalanya dan menatap ke belakang, pada sosok yang telah merenggut sebuah mantel dan menyodorkannya pada Yoongi.
"Yoongi kita harus pergi," bersama suara itu, sebuah tangan tertepukkan pada pundak Yoongi, dan akhirnya pemuda pucat itu menoleh.
"Ke mana?"
"Ambil dan pasang mantelmu."
"Kau tidak tahu kita harus ke mana."
"Yoongi, cepatlah!"
Yoongi mendengus dan merebut mantel hijau tua itu dari pria di depannya, kemudian berbalik seperti seseorang yang merajuk. Ia tatap lagi guratan api jauh di luar sana, mencoba menebak-nebakkan apa yang telah menyulut merah menyala itu terbumbung di udara.
"Akan kita coba pergi ke bandara."
"Kita coba. Seokjin kau tampak ragu sekali."
"Bawa ini, dan ya, terserah apa katamu. Aku tidak peduli dengan drama hidupmu. Aku tahu kau baru saja kehilangan orang tua dan adikmu. Tapi ini sudah sejak bertahun-tahun sejak dunia ini jadi kuburan massal. Kau ha-"
"Pembicaraanmu membuatku muak," Yoongi berbalik merampas kunci dari tangan Seokjin, kemudian memutar kunci itu di seputaran jemari telunjuknya. "Aku saja yang menyetir."
Kemudian, mereka berdua. Meninggalkan rumah itu. Rumah yang sudah mereka pertahankan agar tidak pernah mereka tinggalkan atas dasar alasan apa pun, bahkan ketika keadaan di permukaan bumi mulai gila.
Itu bukan rumah Seokjin awalnya, ia hanya seorang tetangga, namun mereka menjadi terlalu dekat. Keluarga Kim yang meninggal dalam empat bulan pertama wabah dimulai. Dan pertolongan keluarga Min untuknya.
"Ada apa di bandara?"
"Aku punya seorang teman di sana," Seokjin membuka pintu pelan-pelan, menilik keluar. Dan ia melihat salah seorang anak keluar Han menengok keluar dari jendela, menatap dengan penasaran ke arah jalanan.
"Tidak ada patroli?"
"Entahlah, ini terlalu gelap, tapi aku memarkirkan mobil tidak begitu jauh."
Tepat saat Yoongi akan mengintip, seruan keras menghempas di udara dan kedua pemuda itu terhentakkan oleh rasa kaget. Jendela rumah keluarga Han juga ikut tertutup kembali dan anak kecil itu telah hilang di baliknya.
"Ada patroli," Yoongi menyimpulkan, menilik lagi, dan melihat sekumpulan pria muda dewasa berkeliaran, membuka pintu-pintu rumah. Menendang pintu dan berteriak pada rekannya.
Selama ini keluarga Min bertahan dengan bersembunyi di baseman. Namun Yoongi tidak akan pernah sudi kembali ke bawah sana. Menyusurkan mata pada tubuh kaku kedua orang tuanya, menatap pada adik perempuannya yang tidak bergerak-gerak. Sementara langkahnya tertapak pada ubin yang lembab, lengket oleh darah kering dan daging yang membusuk.
Yoongi pernah ke bawah, tiga hari lalu. Terakhir kalinya ia melihat keadaan orang tuanya, saat itu adiknya masih hidup, namun tidak cukup waras untuk mengingat bahwa Min Yoongi adalah kakaknya.
"Mereka akan menemukan kita," Yoongi berdiri dan bergerak dengan gelisah, seluruh lampu telah dimatikan, dan sosok keduanya telah terselimutkan dalam gelap sejak beberapa menit lalu, sebelum para serdadu pemerintah itu datang.
"Kita memutar," Seokjin menatap ke belakang, jauh-jauh, pada pintu belakang di balik dinding dapur, yang mereka ganjal dengan tumpukan meja dan lemari. "Kita tidak akan naik mobil."
"Maksudmu?"
Seokjin menatap Yoongi, seolah keyakinannya yang bulat itu tiada dapat terganggu guat kembali. Seolah meskipun hari itu mereka akan dilubangi kepalanya, Seokjin tidak akan pernah peduli.
Seolah,
Ini kesempatan terakhir mereka.
.
.
.
.
Yoongi terlemparkan pada awal, pada kejadian paling awal, memoarnya yang paling tua mengenai kerusakan ini.
Tuhan sedang marah.
Dan dosa manusia sudah tertimbunkan bersama ego dan sikap apatis.
Hal pertama yang terjadi;
Wabah. Penyakit otak.
Tidak ada zombie.
Tidak ada kanibalisme.
Hanya sekumpulan manusia dengan kepuasan akan darah. Kematian. Dan penderitaan. Sekumpulan pembunuh hilang akal.
Sebagian besar mati terbakar di Seoul, saat pemerintah menukaskan bahwa kota itu mesti dihancurkan.
Sebagian lagi berkeliaran dan mati kelaparan, atau terbunuh oleh serdadu dan manusia lain yang berusaha menyelamatkan diri.
Ah ya.
Yoongi ingat.
Adiknya.
...
"Yoongi!"
Yoongi tersentak, ia menatap Seokjin yang telah mengangkat kepalan tangan untuk melayangkan sebuah pukulan. Matanya disulut amarah, namun dalam manik teduh itu, Yoongi tahu Seokjin hanya cemas.
Yoongi menatap sekitar, ia ada di rumahnya, masih di rumahnya. Berdiri di depan pintu belakang dan membantu Kim Seokjin menyeretkan sebuah lemari besar.
Ah, mereka mesti kabur.
Min Yoongi mesti hidup.
Ia membayangkan kematian seperti orang tua atau adiknya.
Ia tidak mau.
Jadi Yoongi bergegas, ia menyeret lemari, mendorong meja hingga terjatuh dan membuka pintu pelan-pelan. Menelusukkan kepalanya sedikit sedikit keluar, mencar matanya, mencari selongsong senapan yang mengarah padanya.
"Sekarang!" sebuah seruan tertahan dari si pucat itu terdengar. Ia menoleh ke belakang dan menarik tangan Seokjin, berlari, jauh jauh. Menjauhi teriakan para budak pemerintahan.
Menjauhi lolongan orang orang yang telah tertangkap. Orang orang baik, orang orang yang sama seperti Min Yoongi.
Seseorang yang berusaha menyelamatkan dirinya.
Dan ia berlari, jauh-jauh.
Menghentamkam tapak sepatu mereka, menerobos jalanan dan gang sempit.
"Berhenti!"
Seokjin tersengal. Yoongi juga sama terengahnya, ia hampir tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menghembuskan napas terlalu keras begitu mereka tiba-tiba berhenti.
"Kenapa?"
Mereka tidak diikuti. Rumah mereka masih dekat daerah itu. Namun cukup jauh untuk menyembunyikan diri, menyelundupkan dua tubuh itu pada gang gang dan lorong sempit.
"Sudah aman?"
"Bukan," Seokjin menunjuk alasan mengapa ia berhenti berlari.
Mereka berada di lorong sempit, mereka benar harus mendongakkan kepala keluar lorong agar bisa melihat apa yang ada di sana, di jalanan di luar sana.
Kawasan itu kumuh, hampir hampir tiada berpenghuni. Sederetan rumah beton dan kayu sederhana, sebagian telah ambruk tergusurkan oleh waktu, dimakan oleh usianya yang melambat dan tiada berkeurusan.
"Nah, begitu, lepaskan bajumu."
Yoongi menajamkan dengarnya, gendangnya dihempaskan oleh suara di dekat mobil itu. Suara pria.
"Kau memang pelacur, nah sekarang celanamu."
Yoongi melihat dari tempat ia berdiri. Dan ia segera paham mengapanya Seokjin menghentikan langkah mereka.
"Itu anak buah pemerintah?"
"Jelas," Seokjin berdecih pelan.
Di depan pemuda berseragam gelap itu, seorang anak laki-laki membukakan kemejanya, melepaskannya hingga meluncur jatuh ke tanah. Yoongi yakin umurnya tidak akan lebih tua darinya.
Kemudian terdengar tawa lagi. Hening malam itu tidak menenggelamkan suara yang pelik oleh nafsunya sendiri itu. Suara dari seseorang berseragam resmi.
Dan anak laki-laki seolah tidak menolak, atau tidak berani menolak. Karena ia menggerakkan tubuhnya dengan terlalu patuh, terlalu tenang.
Yoongi tidak suka.
Ia benci semua omong kosong pemerintah dan tetek bengek mereka yang tidak berlogika.
Ia sudah bosan.
Dan Yoongi tahu, ia tidak akan dianggap gila oleh Seokjin atau oleh siapa pun di dunia itu, saat ia menggeretkan sebuah pipa besi, berjalan berderap dalam diam, tiada berkehendak mengaget-ngageti.
Seokjin tidak melarang, ia berjalan mengikuti Yoongi dari belakang. Mendekati anak laki-laki dan si pion pemerintah brengsek itu.
Oh.
Di sana ada anak lain.
Dua anak laki-laki lain.
Diikat dan dibekap mulutnya.
Tentu saja.
Mereka juga tidak akan melarang Yoongi untuk tidak menghancurkan kepala pria ini.
Anak laki-laki di depannya tidak. Pria ini tidak. Seokjin tidak.
Yoongi mengayunkan pipa besi di tangannya.
Suara desing dari besi menghentam. Suara suara tertahan dari anak laki laki itu dari Seokjin yang menyerngitkan alisnya dan meringgis keras.
Darah terhempas ke udara, baunya mengawang tepat setelah kejadian itu selesai. Tepat setelah bunyi berkelontang dari besi yang jatuh terdengar di jalanan.
Seokjin berlari dan mendekati dua anak laki-laki yang terikat, dan Yoongi melepaskan mantelnya untuk si rambut brunette di depannya yang telah menelanjangi bagian atas tubuh itu.
"Terima kasih!" yang paling tinggi dari tiga anak itu membungkuk, "terima kasih banyak!"
Kemudian yang bergigi kelinci. "Terima kasih."
Namun anak di depannya hanya diam. Yang tinggi merangkul anak itu dan mengeratkan mantel yang diberikan Yoongi.
"Aku Taehyung," ia berkata, tersenyum dan kemudian menunjuk si gigi kelinci. "Dia Jungkook."
Lalu ia menatap laki-laki yang tengah direngkuhnya dan senyumnya hilang.
"Dia Jimin."
Jimin tidak bilang apa-apa. Ia menatap tubuh penuh darah yang terhempas tak tergerak gerak di depannya itu. Terhening, tiada berucap dan bergerak pula.
Yoongi mematai anak itu, mencari cari identitas umumnya. Anak itu tidak menatap Yoongi, tidak mengatakan terima kasih, tidak membalas rengkuhan yang diberikan Taehyung.
Ia bahkan tidak bergetar ketakutan.
"Kau baik-baik saja?" saat itu suara Seokjin yang tercuatkan keluar, dan Jimin akhirnya mendongakkan kepalanya.
"Kalian orang-orang baik," ia tersenyum miring. "Suatu hari kalian bakal mati karena lagak pahlawan kalian."
Taehyung dan Jungkook sama-sama menyikut Jimin, dan mengatakan maaf di saat yang sama pula pada Seokjin dan Yoongi.
Namun Jimin hanya memberikan sebuah dengusan kecil.
"Kenapa tidak biarkan dia memperkosaku sampai mati saja tadi."
Kalimat itu keluar begitu saja seolah tanpa ada rasa sesal menyulut dibaliknya. Dan lagi Taehyung dan Jungkook meminta maaf.
Yoongi tidak marah. Ia tidak merasa dongkol menghentamkan dadanya.
Ia hanya menatap anak itu dalam-dalam, menelusuk hingga ia dapat menemukan sebuah jalur di balik manik itu. Sebuah rasa takut.
"Kami akan ke bandara, kalian ikut?"
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
Bxujsoahs ij bdhd
Maafkan.
Lagi sakit jiwa.
.
.
.
.
Dan btw, ini semacam pengenalan kecil aja, chapter depan bakal skip dalam jumlah banyak.
Dan ya, ini bukan tentang zombie. Ini cuman tentang aku yang sakit jiwa.
Gaya bahasa agak berubah(?), atau berubah banget(?).
Takutnya kalau fokus ke gaya bahasa, plot ga jalan. Tapi deskripsiku di sini rada ngebut gitu ya/?
Diterima sarannya, ini mesti gimana gimana.
.
.
.
.
See u!
Kiss!