WELCOME TO MY LIFE AGAIN

Prolog

.

Cast :

Byun Baekhyun

Park Chanyeol

Moon

Lee Jehoon

.

Genre :

Romance, Family, Fluffy, Hurt/Comfort

.

Rate :

T/ M / Gender Switch (GS)

.

Disclaimmer : FF ini murni hasil pemikiranku. Cast-nya milik Tuhan, tapi alur dan cerita adalah karyaku.

.

.

Beware of typos

.

.

Happy reading!

.

.

.


Seorang bocah laki-laki berusia lima tahun berjalan menyusuri trotoar seorang diri. Masih mengenakan seragam taman kanak-kanak dan tas punggung. Sambil mengedarkan pandangannya ke keramaian, dia berusaha mencari wajah yang cocok dengan seseorang yang ada di dalam foto yang sedari tadi dipegangnya.

Namun sayangnya, setelah sekian lama dia berjalan, dia belum berhasil menemukan sosok yang dicarinya. Tentu saja dia tidak menyerah sampai di sini saja, toh, dia sudah payah menyelinap dari sekolahnya hanya untuk mencari sosok yang ada di secarik foto itu.

"P-permisi..." ujarnya pelan sambil menarik-narik ujung pakaian seorang wanita yang sedang menunggu lampu merah untuk menyebrang jalan. Wanita tersebut menoleh.

"Ada apa?" tanyanya bingung karena mendapati seorang bocah yang berkeliaran seorang diri tanpa didampingi orangtuanya.

"Apa ahjumma kenal orang ini? Ini ayahku... Aku mau mencarinya."

.

.

.

"Apa?! Moon tidak ada di sekolahnya?!" pekik Baekhyun yang membuat seluruh anak buahnya menoleh terkejut. "Pastikan sekali lagi! Cek seluruh kelas di sekolahnya! Aku yakin Moon masih di sana. Atau, oh! Mungkin dia di taman bermain. Ya, ya! Di taman bermain. Cari dia di sana. Aku akan tiba dalam dua puluh menit."

Terburu-buru, Baekhyun mengemasi barang-barangnya yang tercecer di atas meja kerja. Kemudian setelah memastikan semua telah berpindah ke dalam tasnya, dia berjalan tersaruk-saruk meninggalkan butik.

"Nyonya Lee, apa terjadi sesuatu?" tanya asistennya dengan dahi berkerut bingung melihat kepanikan tergurat jelas di wajah Baekhyun.

"Aku harus pergi. Moon tidak ada di sekolahnya," kata Baekhyun dengan cepat mendorong pintu kaca butik.

"Astaga! Semoga saja Moon segera ditemukan," ujar asistennya itu.

Baekhyun segera memasuki mobilnya. Tidak membuang waktu lagi untuk menyalakan mesin dan melesat pergi. Kepanikan benar-benar mencekiknya. Bagaimana bisa Moon tidak ada di sekolahnya? Bukankah penjagaan di sekolah itu sangat ketat? Mereka tidak akan membiarkan murid-murid di sana pergi tanpa didampingi orangtua atau pengasuhnya.

Kurang dari dua puluh menit Baekhyun sudah sampai di taman kanak-kanak tempat putranya bersekolah. Membanting pintu mobilnya, dia bergegas masuk ke lingkungan sekolah. Di sana, dia menemukan babysitter pengasuh Moon sedang berdiri panik, ketakutan, dan hampir menangis. Guru wali kelasnya pun ada di sana.

"Bagaimana?" tanya Baekhyun terengah, mengharapkan sebuah jawaban dari dua orang itu.

"Kami sudah mencarinya ke mana-mana, nyonya Lee. Tapi Moon tidak ada."

Bahu Baekhyun terkulai lemas. Dadanya tiba-tiba terasa begitu nyeri. Seakan-akan sebilah pisau sedang menghujam jantungnya hingga remuk redam.

Anaknya...

Moon...hilang?

"Bagaimana ini, nyonya?" sang babysitter menatapnya dengan airmata yang sudah pecah.

Baekhyun terdiam dengan mata nanar. Kakinya terasa lemas sampai-sampai tak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Dia merosot ke lantai, tak tahu lagi harus bagaimana. Haruskah dia menelepon polisi? Ke mana dia harus mencari Moon?

Tak berapa lama, ponsel-nya berdering. Baekhyun melirik sekilas nama yang tertera di layar. "Halo?" ucapnya dengan suara parau.

"Sayang, kudengar dari asistenmu kalau—"

Tangisan Baekhyun tiba-tiba pecah tak tertahankan. "Oppa, Moon hilang..."

.

.

.

Park Chanyeol menguap lebar sambil merentangkan tangannya. Matanya mengerjap berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya keemasan yang menembus kaca jendela van-nya. Tadi siang dia memarkir mobilnya di pinggir sungai Han, kemudian merasa mengantuk dan tertidur sampai sore hari seperti ini. Dia hanya terbangun karena merasa terdesak ingin buang air kecil.

Chanyeol keluar dari van-nya kemudian mencari spot yang sedikit tersembunyi untuk menuntaskan urusannya. Dia menghela napas lega ketika seluruh cairan di kantung kemihnya berhasil dikeluarkan. Dia hendak kembali namun harus terpaku ketika melihat seorang bocah mengetuk-ngetuk pintu van-nya.

"Hei bocah!" panggil Chanyeol galak. "Apa yang kaulakukan di sana?"

Bocah laki-laki itu tersentak kemudian menundukkan wajahnya dengan takut. Tak berani menatap mata Chanyeol. Tangannya yang menggenggam secarik foto tampak gemetaran.

Chanyeol menggerutu pelan. Entah kenapa dia tidak suka dengan anak kecil. Baginya, anak kecil tidak ada bedanya dengan anak anjing atau anak kucing. Semuanya adalah makhluk merepotkan. Lagipula, kenapa ada anak kecil berkeliaran seorang diri di sini? Bagaimana jika dia jatuh dan hanyut terbawa arus sungai?

"Aish!" Chanyeol mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi ketika bocah di depannya kini malah menangis. Tidak tahu harus berbuat apa, Chanyeol berjongkok untuk mensejajarkan pandangannya dengan bocah itu. Dia memiringkan kepalanya, berusaha menatap mata bocah itu. "Hei," panggilnya, berusaha lebih lembut.

Bocah itu menyusut hidungnya yang berair, namun menolak untuk membalas tatapannya.

Sial, batinnya. Kenapa dia harus berurusan dengan bocah kecil seperti ini sih?!

Chanyeol berdehem pelan. "Hei," panggilnya lagi. "Kenapa kau ada di sini? Mana orangtuamu? Kenapa kau mengetuk-ngetuk mobilku?"

"Moon sedang...hiks...mencari ayah," katanya terbata-bata.

"Oh, kau anak hilang?"

"Bukan—" Bocah itu tertegun ketika mengangkat wajahnya dan mendapati wajah yang sangat familiar. Dia berhenti menangis, menatap Chanyeol tak berkedip.

Chanyeol yang ditatap seperti itu hanya mampu menatap balik dengan kikuk. Dia menggaruk tengkuknya, tak tahu harus bagaimana bereaksi pada tatapan itu.

Anak ini kenapa sih...?

"Ayah!" pekik bocah itu yang detik berikutnya menerjang tubuh Chanyeol dan memeluknya erat.

Chanyeol terkesiap dengan segala ketiba-tibaan ini. Ayah? Seorang bocah mengklaim diri Chanyeol sebagai ayahnya?

"Tunggu!" kata Chanyeol sambil memegang bahu bocah itu dan menjauhkannya dari tubuhnya. "Kau sudah salah sangka, nak. Aku bukan ayahmu. Mana mungkin aku ayahmu!"

"Kau ayahku!" kukuh bocah itu.

"Bukan! Aku tidak punya anak! Ya Tuhan, istri saja aku tidak punya!" sergahnya panik.

"Kau ayahku! Aku punya bukti!" kata bocah itu sambil mengulurkan secarik foto pada Chanyeol.

Chanyeol mengambil benda itu dan menatap dirinya di foto itu. Ya Tuhan, itu benar-benar dirinya! Park Chanyeol dalam versi lebih muda beberapa tahun? Astaga! Chanyeol menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa nyeri.

.

.

.

Chanyeol pria yang sangat mencintai kebebasan. Tidak suka dikekang, apalagi diikat oleh sebuah hubungan seperti pernikahan.

Dia hidup di jaman modern. Di mana dirinya bahkan tak butuh rumah untuk tinggal. Orang bilang, rumah adalah tempat untuk kembali. Tempat untuk berlindung dari panas, hujan, salju, dan badai. Tapi Chanyeol tetap pada pendiriannya. Dia tidak butuh tempat tinggal. Dia punya mobil van butut yang bisa diandalkan. Selalu menemaninya ke manapun dia pergi.

Seperti hari ini, dengan berbekal uang beberapa puluh ribu won, satu botol air mineral, dua botol soju, dua bungkus roti murah, dan kaos-celana lusuh, Chanyeol mengendarai van-nya dengan kecepatan tinggi.

Barang-barang yang berada di dalam van sebagian jatuh karena goncangan. Tak terkecuali seorang anak kecil yang tengah tidur pulas di belakang. Dia tidak terjatuh, tapi cukup terusik oleh suara benda berjatuhan itu.

Chanyeol melirik bocah itu dari kaca spion depan. Anak laki-laki usia lima tahun itu menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya. Dia duduk dan memandang Chanyeol yang tengah sibuk mengemudi, bahkan terlihat tak peduli pada sekitarnya.

"Ayah..." Gumam anak itu.

Chanyeol tidak merespon.

"Ayah, Moon ingin pipis," kata anak itu.

Chanyeol kembali tidak merespon. Dia seolah tak mendengar ucapan bocah di belakang. Bukan, bukan tidak mendengar. Dia hanya tidak peduli.

"Ayah, Moon butuh toilet." Bocah bernama Moon itu mengempat. Dia sudah kebelet, benar-benar di ujung tanduk. "Sekarang, Yah. Sekarang."

Chanyeol mendengus. Dia menepikan van kesayangannya ke bahu jalan dan langsung menatap Moon dengan tatapan tajam. "Cerewet!" gerutunya. "Sana pipis di luar. Jangan lama-lama atau kau mau kutinggal?"

Chanyeol pemarah. Tidak, dia tidak pemarah. Dia memang menyebalkan. Bahkan pada bocah polos yang mengaku sebagai anaknya itu.

Moon tidak berkomentar banyak ketika Chanyeol menyuruhnya pipis di pinggir jalan, bukan mencarikan sebuah toilet.

"Merepotkan saja!" Chanyeol menggerutu lagi.

Sepanjang jalan tadi Chanyeol benar-benar berpikir keras. Kenapa anak ini memanggilnya ayah? Dan kenapa foto dirinya bisa ada di tangan anak ini? Ah, kepalanya rasanya mau pecah saja. Semuanya terasa tidak masuk akal. Kalau benar bocah ini adalah anaknya, lantas dia lahir dari rahim wanita yang mana?

Chanyeol sudah tidak bisa menghitung lagi berapa banyak wanita yang sudah ditidurinya. Tapi dia bersumpah kalau selama ini dia selalu bermain aman.

"Ayah," panggil Moon setelah dia kembali masuk ke dalam van.

Chanyeol menghela napas geram. "Duh, bisa tidak sih kau jangan memanggilku dengan sebutan itu?"

"Sebutan yang mana?" tanya Moon polos.

"Sebutan yang itu! Yang membuat telingaku gatal!"

Moon mengerutkan dahinya, semakin bingung.

"Astaga! Maksudku, berhenti memanggilku ayah! Aku bukan ayahmu!"

"Tapi Moon kan sudah berikan buktinya..." Moon mengerucutkan bibirnya sedih. Kenapa ayahnya masih saja menyangkal? Apakah ayah tidak suka padanya? Apakah ayah tidak suka memiliki anak sepertinya? Padahal selama ini Moon sudah menjadi anak yang baik.

"Foto itu tidak memberikan kejelasan apapun. Siapa tahu kau hanya memungutnya di pinggir jalan dan tiba-tiba saja mengaku sebagai anakku."

"Aku menemukan foto ayah di rumah! Bukan di pinggir jalan!"

Chanyeol terdiam. "Oh ya?" tantang Chanyeol, berdecih tak percaya. Dia tidak habis pikir anak jaman sekarang, masih bocah saja sudah bisa berbohong dan menipu seperti ini. "Kalau begitu, beritahu padaku siapa ibumu!"

"Ibuku?"

"Ya, ibumu. Siapa nama ibumu?"

"Byun Baekhyun," sahut Moon.

Byun...Baekhyun?

Tiba-tiba saja Chanyeol menginjak pedal rem. Dan van kesayangannya itu segera berhenti tanpa aba-aba. Chanyeol bisa merasakan wajahnya memucat seiring semua memori-memori masa lalu menjejali kepalanya. Memori-memorinya bersama gadis bernama Byun Baekhyun.

.

.

.

"Oppa!" Baekhyun merangsek ke dalam pelukan suaminya ketika pria itu muncul di hadapannya. Baekhyun tersedu. Merasakan tubuhnya lemas bukan main. Hatinya sakit dan dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Dia ingin mencari Moon tapi ke mana dia harus pergi? Seoul begitu luas dan Moon bisa berada di mana saja, bahkan mungkin di pelosok-pelosok yang tidak pernah terpikirkan oleh Baekhyun.

"Sudah...Sudah... Jangan menangis. Kita pasti akan menemukan Moon." Suami Baekhyun yang bernama Lee Jehoon itu mengelus punggung Baekhyun, berusaha menenangkan istrinya. Dia juga diliputi rasa khawatir yang begitu besar karena bagaimana pun, putranya hilang. Tapi kalau dirinya sama-sama terpuruk, keadaan malah akan menjadi semakin buruk. Jadi dia berusaha menjadi sisi yang tegar demi istrinya.

"Kita harus melapor polisi, oppa. Secepatnya. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Moon," isak Baekhyun.

Jehoon mengangguk setuju. Ya, polisi pasti bisa menemukan putranya dengan cepat. "Moon akan baik-baik saja, sayang. Dia bocah yang kuat dan pemberani," katanya, membisikkan kata-kata penguat untuk istrinya.

.

.

.

Chanyeol menatap langit malam yang kelam. Sesekali dia melirik pada bocah yang tengah duduk di dalam van. Wajah polosnya mengingatkan Chanyeol pada wajah seseorang. Dan Chanyeol tidak habis pikir kenapa dirinya tidak menyadari hal itu sejak awal.

Hah, Byun Baekhyun...

Dari mana dia harus memulainya?

Byun Baekhyun adalah...cinta pertamanya. Gadis yang untuk pertama kalinya membuat dunia Chanyeol jungkir balik. Bahkan jika dipikir lebih jauh, Baekhyun-lah yang sudah membuatnya seperti ini. Chanyeol menjalani sisa hidupnya tanpa mempercayai arti cinta lagi. Semuanya karena Byun Baekhyun.

Baekhyun sudah membuatnya patah hati. Tidak. Baekhyun sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping.

"Ayah..."

Chanyeol tersentak dari lamunannya ketika Moon memanggilnya. Anak itu tidak jera dan tetap bersikukuh memanggilnya ayah. Chanyeol berdecak pelan kemudian masuk ke dalam mobil.

"Ayah, Moon lapar."

"Aku hanya punya roti," kata Chanyeol sambil menyodorkan sebungkus roti pada bocah itu.

Dengan senang hati Moon menerima makanan itu dan mulai memakannya dengan lahap. "Ini enak," katanya.

Chanyeol mendengus. "Apanya yang enak? Itu hanya roti murahan."

"Moon tidak pernah makan roti seperti ini tapi Moon menyukainya," katanya sambil menunjukkan cengiran lebar.

Chanyeol menatap anak itu dengan perasaan tak menentu. "Hei," panggilnya.

"Namaku Lee Moon, yah."

Chanyeol memutar bola matanya. "Ya...terserah."

"Siapa nama ayah?"

"Kau bilang kau anakku tapi kau tidak tahu namaku. Cih!" kata Chanyeol sambil membuang muka.

Moon mengerucutkan bibirnya. Menatap roti di tangannya dengan sedih. "Moon tidak tahu nama ayah karena ibu tidak pernah memberitahu Moon."

"Kau harus pulang. Ibumu pasti khawatir."

"Tidak mau!" teriak Moon kencang, membuat Chanyeol tersentak. Bocah itu berhenti memakan rotinya dan kini airmata sudah menggenang di pelupuk matanya.

Ah sial, batin Chanyeol. Dia tidak melakukan apa-apa tapi kenapa bocah ini menangis?

"Moon t-tidak mau...hiks...pulang! Moon ingin..hiks...bersama ayah."

"Kau sudah punya keluarga kenapa masih mencariku? Kau ini benar-benar aneh ya!"

Moon mengangkat wajahnya dan menatap Chanyeol dengan airmata yang berurai. "Moon ingin bersama ayah..."

Chanyeol bersumpah dia merasakan dadanya berdenyut mendapat tatapan putus asa dari bocah itu. Kenapa dirinya seperti ini? Ini bukan Park Chanyeol yang dikenalnya. Park Chanyeol yang berhati dingin dan tidak peduli pada apa pun. Park Chanyeol yang hanya tahu tentang wanita, mabuk-mabukan, dan bersenang-senang. Dan sekarang, sesuatu yang lain di dalam hatinya seperti sedang menggeliat dan meronta-ronta.

Chanyeol membuang napas dengan gusar. "Habiskan makananmu. Setelah itu, pergilah tidur."

.

.

.

"Maaf, Tuan. Kami belum bisa memproses laporan anda karena ini bahkan belum 24 jam sejak anak anda hilang. Anda bisa kembali melapor dua hari lagi."

"Apa?!" Baekhyun menatap polisi itu tak percaya. Amarahnya tiba-tiba saja naik ke ubun-ubun. "Dua hari lagi? Apa kalian sudah gila?!" pekiknya di antara tangis.

"Sayang, sayang. Tenanglah..." Jehoon berusaha memeluk Baekhyun, menahan istrinya agar tidak lepas kendali saat itu juga.

"Anakku...! Anakku hilang! Apa kalian pikir aku bisa menunggu sampai dua hari?!" amuknya.

"Nyonya, ini adalah prosedur yang sudah ditetapkan. Maafkan kami."

"Prosedur? Hah, omong kosong! Anakku ada di luar sana, mungkin sekarang dia sedang menangis kebingungan tidak tahu jalan pulang. Atau... dia mungkin sedang berada di tangan orang yang..." Baekhyun tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Tidak berani membayangkan sesuatu yang buruk menimpa putranya. "Apa tidak ada yang bisa kalian lakukan, huh? Aku akan bayar berapa pun biayanya agar anakku kembali!"

"Sayang..." Jehoon memohon.

"Oppa, mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak," kata Baekhyun di pelukan suaminya. "Seharusnya kita tidak datang ke tempat ini. Akan lebih baik kalau kita mencari Moon sendiri, oppa."

"Kita akan mencari Moon. Besok. Sekarang, kita pulang. Kau butuh istirahat, sayang."

"Aku tidak mau pulang..." Baekhyun kembali terisak. "Aku ingin anakku kembali. Aku ingin Moon-ku kembali..."

.

.

.

Chanyeol menghentikan mobilnya. Dia melirik jam duduk di dashboard yang menunjukkan pukul sebelas malam kemudian mengalihkan pandangannya pada Moon yang terlelap dengan posisi yang terlihat kurang nyaman di samping kursi kemudinya. Chanyeol menghela napas dan membenarkan posisi tidur bocah itu, menyelimutkan jaket kumalnya pada tubuh mungil Moon.

Keluar dari van kesayangannya, Chanyeol masuk ke dalam sebuah bangunan dengan lampu kerlap-kerlip di atasnya yang bertuliskan nama tempat itu. Beberapa orang hilir mudik masuk ke dalam gedung tersebut. Chanyeol berusaha mengabaikan sekelilingnya.

Ruangan gelap yang luas menyambut penglihatannya. Musik yang menghentak-hentak pun segera menyapa telinganya. Chanyeol mengernyit, melirik pada orang-orang yang sedang menari-nari di lantai dansa. Tapi bukan itu tujuannya. Dia sedang dalam suasana hati yang buruk dan butuh sesuatu sebagai pelampiasan.

"Hei Park!"

Chanyeol menoleh ketika seorang bartender memanggilnya. Chanyeol segera menghampiri orang itu dan memberikan tos persahabatan. "Malam ini cukup ramai juga."

"Hmm sudah satu minggu terakhir memang cukup ramai. Ini berkat bar sebelah yang tutup mendadak karena pemiliknya tertangkap mafia dan dihajar habis-habisan karena berhutang banyak sekali. Jadi pelanggan mereka berpindah kemari."

Chanyeol berdecih. "Kau itu tukang gosip ternyata."

"Mau minum?"

"Aku tidak bawa uang."

"Ayolah... untuk apa kau punya teman yang kerja di sini kalau untuk segelas minuman gratis saja kau tidak bisa mendapatkannya?"

Chanyeol memandang sahabatnya itu. "Aku ingin bir saja, Minseok."

"Segera datang."

Chanyeol mengedarkan pandangannya, sedikit rasa khawatir terselip di dadanya mengingat dirinya meninggalkan seorang bocah tertidur di dalam mobilnya sendirian. Tapi seperti yang sudah dikatakan, Chanyeol sedang butuh pelampiasan. Dia tidak mau kembali kalau hatinya belum merasa lebih baik.

Kemudian matanya menangkap satu sosok wanita di ujung ruangan, tengah duduk menyesap rokoknya yang mengepulkan asap tipis. Dan sepertinya wanita itu juga sedang balik menatapnya.

"Siapa dia?" tanya Chanyeol pada Minseok yang datang dengan sebotol bir.

"Spesial untukmu," katanya sambil menyodorkan botol bir tersebut. "Dia orang baru. Penilaianku dia itu 85/100. Wajahnya cantik dan tubuhnya mendekati sempurna."

"Kau bicara seolah-olah kau sudah pernah mencicipinya," kata Chanyeol.

"Aku tidak, tapi temanku iya. Katanya wanita itu agresif di ranjang."

Sekali lagi Chanyeol melirik wanita itu. Dan detik berikutnya, langkahnya sudah tidak bisa dihentikan lagi. Chanyeol mendekati gadis itu, mengobrol sebentar dengannya membahas ini itu, kemudian mulai saling menggoda satu sama lain. Kadang-kadang saling membisikkan kalimat-kalimat tidak senonoh. Dan saling memberikan sentuhan-sentuhan ringan.

Lebih dari satu jam kemudian, Chanyeol keluar dari pintu bar. Dia berjalan gontai sambil merangkul wanita berpakaian seksi itu, membawanya menuju tempat di mana dia memarkirkan van bututnya. Pintu van pun terbuka. Chanyeol masuk bersama wanita itu ke dalam.

Moon terjaga ketika mendengar suara ribut dari bagian belakang. Dia mendengar suara ayahnya dan suara lain. Seorang wanita. Dia mengintip sedikit ke belakang dan mendapati sang ayah yang terlihat mabuk sedang tertawa tidak jelas dengan seorang wanita. Mereka bahkan saling menyatukan bibir mereka.

Moon kembali menatap ke depan, menutup telinganya dan meringkuk ketakutan. Dia tidak mengerti kenapa ayahnya bisa bersama wanita itu dan saling berpelukan di sana. Dia takut. Saking takutnya dia merasa lututnya begitu lemas.

Chanyeol melepas pakaian atasnya sementara pakaian tipis si wanita sudah berserakan di mana-mana, hanya meninggalkan dalamannya saja. Dia kembali bergelut dengan wanita itu tanpa menyadari bahwa ada orang lain di dalam mobilnya. Moon memang tidak menyaksikan mereka, tapi dia bisa mendengar semuanya.

Tidak! Ini benar-benar keterlaluan!

Chanyeol sudah tidak waras!

Akhirnya Moon tidak bisa menahan tangisnya. Dia menangis kencang di sana, melampiaskan rasa takutnya.

Chanyeol dan wanita itu menghentikan 'kegilaan' mereka dan saling bertatapan. Setelah itu Chanyeol baru menyadari kalau Moon ada di sana. Dia merangkak mengecek keberadaan Moon di jok depan. Anak itu meringkuk di sana sambil menangis sejadinya.

Chanyeol menjambak rambutnya sendiri seperti orang frustasi. Dan dalam hitungan detik berbalik mengusir wanita itu pergi. "Keluar dari mobilku!"

"Tapi kita bahkan belum apa-ap—"

"KELUAR!"

Akhirnya wanita itu keluar sambil mengucapkan semua sumpah serapah yang ada di dunia ini. Ya, Chanyeol pantas dikutuk. Menjadi katak? Atau menjadi manusia buruk rupa? Tidak. Chanyeol pantas dikutuk jadi batu!

Chanyeol tidak berniat menghentikan tangisan Moon. Dia membiarkan anak itu menangis dan terus menangis. Dia sendiri sedang pusing. Kepalanya benar-benar pening karena dicekoki empat botol bir oleh wanita itu. Yang ia butuhkan saat ini adalah tidur. Tidur sepuasnya.

.

.

.

"C-chan...ahh..."

Chanyeol tersenyum puas melihat wajah terangsang Baekhyun. Gadis itu menggelinjang di bawahnya, terlihat begitu menikmati sekaligus tersiksa ketika Chanyeol menyelipkan tangannya di balik celana dalam Baekhyun dan mulai memainkan kemaluannya di bawah sana. "Kau sungguh cantik, Baekhyun."

"Ahh..shh..kumohon.. yeol..." Baekhyun mencari wajah Chanyeol dan menggunakan kedua tangannya untuk menarik wajah itu dan menyatukan bibir mereka.

Chanyeol dengan lembut menyesap bibir manis yang menggoda itu. Memagut bibir bawah Baekhyun dan menghisapnya cukup keras hingga gadis itu membuka mulutnya dan memberikan kesempatan bagi Chanyeol untuk menciumnya lebih dalam.

Chanyeol merasakan kejantanannya sudah mengeras dan berdenyut nyeri di balik celana. Namun dia harus sedikit bersabar. Ini adalah pertama kali untuknya dan Baekhyun. Dia tidak ingin menyakiti Baekhyun karena terlalu terburu-buru dan memaksakan diri. Dia ingin baik dirinya dan Baekhyun, sama-sama menikmati keintiman ini.

Chanyeol mengalihkan ciumannya dari bibir ke leher jenjang Baekhyun, menghisap kuat dan terkadang memberi gigitan kecil hingga Baekhyun mendesah dan mengerang. Tangannya yang lain dia gunakan untuk meremas lembut dada Baekhyun. Memberikan kenikmatan dari berbagai tempat secara bersamaan.

Baekhyun merasa dirinya sudah tidak sanggup lagi menerima gelombang kenikmatan yang diberikan Chanyeol untuknya. Tubuhnya menggelinjang, desahannya semakin keras. Kemudian dia merasakannya. Puncak kenikmatan yang sebelumnya dia tidak pernah dia rasakan.

Terengah-engah, Baekhyun memeluk tubuh Chanyeol. Memejamkan mata dengan begitu rapat.

Tapi semua itu belum selesai. Chanyeol melepaskan celana yang sejak tadi menyiksa kejantanannya. Kemudian memposisikan tubuhnya di antara kaki Baekhyun, mengungkung gadis itu. Dia mengusap wajah Baekhyun, menyibakkan rambutnya yang basah berkeringat. Memberikan kecupan di dahi Baekhyun kemudian mulai melesakkan kejantanannya ke dalam tubuh Baekhyun.

"Ahhhshhh ahhhh..." Baekhyun memekik, tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya.

Chanyeol pun turut memejamkan mata merasakan kenikmatan dan rasa sakit yang pertama untuknya. Namun dia sadar, Baekhyun merasakan rasa sakit yang lebih besar darinya. Dilihatnya Baekhyun memejamkan mata, airmata berlinang di kedua pipinya. Chanyeol menurunkan wajahnya untuk mengecup bibir Baekhyun. "B-baek, kau baik-baik s-saja?"

"S-sakit, Yeol..."

"Bersabarlah s-sedikit shhh ahh..."

Baekhyun menggigit bibir bawahnya ketika Chanyeol semakin melesakkan kejantanannya. Rasa sakit yang tak tertahankan seperti sudah mengoyak seluruh tubuhnya. Tangannya mencengkram punggung Chanyeol dengan kuat.

Ketika kejantanan Chanyeol sudah tertanam sepenuhnya di dalam tubuhnya, barulah Baekhyun bisa membuka matanya. Rasa sakit masih berdenyut di bawah sana, namun setidaknya kini Chanyeol sudah berhenti bergerak.

"Yeol, aku k-kesakitan..." rengek Baekhyun.

"Aku tidak akan bergerak sebelum kau memintanya," kata Chanyeol sekuat tenaga menahan sensasi dinding vagina Baekhyun yang menjepit kejantanannya begitu erat seperti sedang meremasnya.

"A-aku takut akan s-semakin sakit."

"Kau akan baik-baik saja nanti, sayang. Kau akan terbiasa."

"Menurutmu begitu?" tanya Baekhyun, menatapnya polos.

Jujur, Chanyeol pun tidak tahu jawaban pastinya. Namun orang-orang selalu berkata, bercinta itu memang menyakitkan pada awalnya. Kemudian nanti hanya kenikmatan yang akan dirasakan. Benarkah seperti itu...?

"Yeol..." Baekhyun memanggil lagi. "Kurasa aku tidak apa-apa. Aku mencintaimu. Rasa sakit ini...aku bisa mengatasinya, Yeol."

"Kau yakin?" Chanyeol menatap mata Baekhyun.

Baekhyun mengangguk pelan.

Chanyeol mulai bergerak dengan sangat perlahan dan hati-hati. Setiap gerakan yang dilakukan Chanyeol, membuat Baekhyun terasa seperti diiris benda tajam. Tapi Baekhyun berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Dia tidak ingin menghentikan Chanyeol.

"Shhhh ahh yeol..." Baekhyun mulai meracau.

"B-baekhyun... Wae?"

Baekhyun tidak bisa mengatakan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Bukan rasa sakit. Tapi sesuatu yang lebih besar, membuncah. Kenikmatan yang luar biasa. Baekhyun mendesah dan mendesah ketika Chanyeol tanpa henti menghujamnya.

Dan ketika puncak kenikmatan itu datang lagi, kali ini menderanya lebih dahsyat, Baekhyun tidak bisa lagi menahan desahannya. Tak lama setelah itu, Chanyeol mulai bergerak tak beraturan yang disusul oleh lenguhan panjang dan seluruh sperma dari kejantanannya memenuhi rahim Baekhyun.

.

Cahaya mentari terasa hangat menerpa wajahnya. Chanyeol mengerjap perlahan, menyesuaikan matanya dengan cahaya yang menyilaukan. Dia berusaha mengangkat kepalanya namun dengan cepat dia kembali berbaring. Kepalanya pusing bukan main. Rasanya seperti berputar-putar.

Kemudian Chanyeol merasakan sesuatu yang bergerak di sampingnya. Merapat lebih dekat ke tubuhnya. Sebuah tangan mungil tersampir di pinggangnya. Chanyeol menunduk dan menemukan sepasang mata bulat yang lugu tengah menatapnya.

"Selamat pagi, yah."

.

.

.


TBC


.

.

.

Yeayyyy! Everybody! I am back...!

Dengan cerita baru dan cast yang cetar membahana jodoh dunia akhirat favorit author : CHANBAEK

Bahahahahaha

Setelah merampungkan IICC, aku dapet ide untuk bikin cerita sequel yang baru... semoga kalian berminat membacanya dan memberikan review di FF ini yaa...

Btw, aku nggak lupa kok kalo FF Artificial Love nya belum rampung. Masih dalam proses. Hehe.. Ditunggu ya update-annya ;)

Hmmm ini baru prolog ya... Silahkan tinggalkan REVIEW dan apakah menurut kalian FF ini layak dilanjutkan atau dihapus saja, author serahkan pada reader semua, oke?

Thanks for reading, guys!