Disclaimer ©Tite kubo

(Saya hanya meminjam karakter di dalamnya sebagai karakter dalam fanfik saya, tanpa berniat mengambil keuntungan apa pun selain kesenangan pribadi)

.*.

Devil Beside Me

by

Ann

.*.

Peringatan: AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo(s),

tidak suka? Mungkin bisa tekan tombol 'Back' atau 'Close'

Dan untuk kalian yang berniat meneruskan membaca ...

selamat menikmati!

.*.

Masa lalu tak dapat diubah, dan masa depan tak dapat diduga.

.*.

Bagian Satu

.*.

Bagi Rukia pindah ke Karakura adalah jalan untuk memulai kehidupan baru. Ia meninggalkan semua yang ia kenal di Rukongai, membawa segala benda berharga miliknya yang jumlahnya sangat sedikit. Dengan ijazah SMA, ia hanya berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah kedai makan sebagai pelayan merangkap tukang cuci piring. Gajinya tidak banyak, tetapi cukup untuk membayar sewa apartemen kecil, biaya makan, serta disisihkan untuk mengisi tabungannya, yang rencananya akan ia pakai untuk biaya kuliah. Sedikit demi sedikit, Rukia mulai kembali memiliki kehidupan yang dulu pernah ia miliki di Rukongai, bahkan ia merasa kehidupannya yang sekarang lebih baik. Setidaknya, ia tidak lagi tinggal di lingkungan kumuh yang dipenuhi pemabuk dan penjudi. Tak ada lagi malam-malam penuh ketakutan karena seorang pria─beberapa pria, mencoba membuka pintu untuk masuk ke dalam huniannya yang hanya berupa kamar berukuran 2x3 meter. Lalu yang terpenting, di sini tak ada orang-orang yang akan menyakitinya.

"Rukia! Tolong antarkan pesanan meja nomor 5."

Perintah dari pemilik toko tempatnya bekerja, membuat Rukia mendesah. Ia melirik jam dinding yang menggantung tak jauh darinya. Pukul 9 malam. Itu artinya pelanggan yang duduk di meja nomor 5 adalah orang itu. Si pelanggan menyebalkan.

Pria itu datang setiap hari, tepat jam 9 malam, duduk di meja nomor 5 di dekat pintu yang menghubungkan dapur dan ruangan depan kedai, memesan sepiring ramen yang hanya akan teronggok di meja tanpa tersentuh. Pria dengan rambut berwarna oranye itu tak pernah memakan pesanannya. Dia hanya duduk selama satu jam di sana, lalu pulang di jam sepuluh tepat.

Tidak ada yang berani mengusiknya. Pun Hiroto-san, si pemilik kedai, padahal pria itu sangat perhitungan dan sangat tidak suka jika ada pelanggan yang numpang duduk di kedainya. Rukia pernah bertanya tentang keanehan pria itu. Namun, tak ada penjelasan yang ia dapat dari orang-orang yang ditanyai. Mereka hanya diam, lalu memberinya lirikan tajam seolah berkata, "Jangan pernah menanyakan tentang itu."

Rukia merasa orang-orang takut pada pria itu. Sebenarnya, ia pun sependapat. Pria itu memang menakutkan. Posturnya tinggi dan terlihat kuat, dengan wajah sangar mirip preman. Bisa jadi, pria itu memang preman. Entahlah, Rukia tak mengerti. Dan ia semakin tak mengerti, mengapa dirinya yang selalu mendapat tugas untuk mengantarkan pesanan pria itu. Apa bosnya tidak sadar bahwa ia pun takut pada pria sangar itu?

Tapi ia bisa apa. Karena tak mau kehilangan satu-satunya sumber nafkah hidupnya, ia terpaksa mengangkat nampan, lalu melangkah ke meja nomor lima.

"Selamat menikmati," ucapnya setelah meletakkan semangkuk ramen dan segelas air putih di depan pria oranye itu.

Rukia sudah terbiasa dengan kediaman pria aneh itu. Pun dengan kernyitan nyata di dahi sang pelanggan. Tapi malam ini pria itu melakukan hal lain, sebelum ia sempat pergi pria itu berbicara.

"Sebenarnya, aku tidak suka ramen."

Seharusnya, ia mengabaikan perkataan itu dan melangkah meninggalkan meja. Namun, yang ia lakukan justru bertanya, "Kalau tidak suka, mengapa memesannya?"

Rukia melihat Hiroto-san memucat di belakang meja kasir. Bosnya menggeleng pelan, memperingatkan. Sebelah alis Rukia terangkat. Ia tak mengerti apa yang salah. Ia hanya berbicara dengan pelanggan seperti yang seringkali dilakukan. Lagi pula, bukankah Hiroto-san yang memintanya untuk selalu ramah kepada pelanggan.

"Apa kau tahu mengapa aku tidak suka makan ramen?"

Itu pertanyaan aneh. Diajukan oleh orang yang sama anehnya.

"Aku tak mengenalmu, jadi aku tidak tahu," jawab Rukia seadanya.

"Kau tidak menenalku?" Sorot mata berwarna cokelat itu tajam, mengarah tepat ke mata Rukia.

Untuk sesaat Rukia merasa dirinya tak bisa pergi ke mana pun. Napasnya tertahan, seketika ia menjadi gugup, dan ... takut. Ia merasakan kengerian dalam mata cokelat itu, kehampaan.

"Apakah kau ingin aku memperkenalkan diri?"

Rukia menggeleng pelan. Tidak. Ia tak ingin mengenal pria itu. Kini, ia memahami mengapa orang-orang ketakutan dan enggan membicarakan si pria oranye. Dan mulai sekarang ia pun akan menjadi bagian orang-orang itu.

"Tapi aku ingin mengenalmu, Nona."

Terlambat! Sekali lagi, Rukia merasa dirinya terlempar ke Rukongai. Ia kembali berdiri di tepi jurang. Namun kali ini rasanya tak ada jalan keluar.

.*.

Gadis itu takut. Itu sudah jelas. Ichigo sudah sering melihat sorot tak berdaya seperti itu di mata orang-orang. Lawan maupun orang awam. Bahkan tak sedikit bawahannya menunjukkan sorot yang sama. Ia sudah terbiasa. Terlalu terbiasa sehingga muak melihatnya. Sewaktu kecil ia dianggap pembuat onar, pembawa masalah. Kini ia adalah si pembawa petaka. Orang-orang menganggapnya setan, sang penebar kengerian di Karakura. Kekuatan dan kekuasaannya, membuat orang menunduk di depannya, tak berani memandang apalagi melawan.

Ia kira, gadis itu akan memberinya hal yang berbeda. Karena selama sebulan terakhir kehadirannya, gadis itu tak sedikit pun terlihat ketakutan di dekatnya, bahkan tak jarang ia mendapati raut kesal sang gadis ketika harus mengantarkan pesanannya. Tapi tenyata gadis itu sama saja seperti orang-orang itu.

"Gadis payah." Ichigo berdiri, memutar badan, melangkah dengan santai menuju pintu, berniat meninggalkan tempat itu.

Sang pemilik kedai memandang dengan waswas, khawatir jika Ichigo akan memerintahkan untuk menghancurkan tempat usahanya. Pria itu tidak tahu bahwa Ichigo tak sekejam itu. Ichigo hanya akan menghajar orang yang melakukan kesalahan.

.*.

Rukia mengembuskan napas lega, ketika pelanggan itu melangkah pergi. Namun, ketenangan tak mengikuti orang-orang di sekitarnya. Pelanggan lain bergegas meninggalkan kedai, lalu dalam satu menit tempat itu kosong. Ia hanya bisa memandang bingung kejadian itu, lalu mengarahkan matanya pada Hiroto-san.

"Apa yang─"

Sebelum Rukia sempat menyelesaikan pertanyaannya. Hiroto-san mendekat, menjejalkan uang ke tangannya. "Pulang. Kemasi barangmu, lalu pergilah dari kota ini."

"Eh?" Rukia memandang bergantian Hiroto-san dan uang di tangannya dengan bingung.

Memahami kebingungannya, Hiroto-san memberi sedikit penjelasan. "Pria tadi adalah Kurosaki Ichigo, pemimpin geng Black Sun yang sangat ditakuti di sini. Kau sudah membuatnya tidak senang, mungkin dia akan melakukan sesuatu padamu untuk membalas dendam. Sebelum itu terjadi, pergilah dari sini. Cari tempat aman."

Rukia menelan ludah dengan susah payah. "Tapi aku harus pergi ke mana?"

"Entahlah." Bosnya hanya menggeleng. "Pergilah sejauh mungkin, selagi kau bisa."

Rukia mendesah. Masih bingung, ia memandangi uang dalam genggamannya. Ke mana aku harus pergi?

.*.

Mereka bertingkah berlebihan.

Ichigo mengernyit melihat kemarahan berlebihan yang dikeluarkan teman-temannya. Entah dari mana mereka mendengar kabar kejadian di kedai tadi, yang jelas ketika Ichigo sampai di bangunan berlantai dua, yang merupakan markas Black Sun. Ia disambut gerutuan dari mereka.

Sebenarnya, itu hanya hal remeh yang tak patut diributkan. Hanya ada seorang gadis berkata tidak mengenalnya. Tak perlu ada kemarahan berlebihan untuk itu. Yah, ia pun awalnya kesal. Tapi sekarang kekesalan itu sudah menguap dengan sempurna. Tidak meninggalkan bekas sedikit pun.

"Kau harus membalasnya," kata Renji berapi-api dari sofa di seberangnya.

"Apa?!" Kernyitan Ichigo semakin jelas mendengar saran dari tangan kanannya itu.

"Ya. Kau harus membalas. Gadis itu harus mendapat pelajaran. Dia sudah menghinamu." Shuhei, kawan lain menyarankan.

"Penghinaan apa yang diberikannya padaku?" tanya Ichigo bingung.

"Bukankah sudah jelas," jawab Shuhei. "Gadis itu tidak tahu siapa kau."

Ichigo memutar mata. Terkadang, tingkah teman-temannya berlebihan. Gadis itu hanya tidak mengenalnya, bukan menghinanya.

"Aku tak akan melakukan apa pun, dan kalian juga. Gadis itu tidak bersalah." Ichigo mengatakannya dengan ketegasan yang tak bisa dibantah, membuat kedua kawannya itu hanya mengangkat bahu lalu memutuskan untuk bermain biliar.

"Tenang saja, kami tidak akan melakukan apa pun padanya. Yang perlu kaukhawatirkan adalah yang orang-orang di luar sana lakukan padanya." Ishida yang sedari tadi duduk diam di dekat jendela dengan sebuah buku bersuara. Ketika Ichigo mengarahkan pandangannya pada Ishida, pria berkacamata itu memberikan isyarat pada pemandangan di luar jendela.

Ichigo beranjak dari sofa, mengarahkan langkah ke jendela kaca.

"Mereka mengusirnya dari kota."

Tanpa Ishida mengatakannya pun, Ichigo mengerti apa yang terjadi. Gadis itu berjalan di trotoar dengan ransel di bahu dan tas berukuran sedang di tangan.

"Sialan!" Sambil menyumpah, Ichigo melangkah cepat melintasi ruangan, menghilang di pintu, kemudian terdengar langkah cepat menuruni tangga.

"Dia pergi ke mana?" tanya Renji bingung.

"Mengejar gadisnya," sahut Ishida sembari kembali menekuni bukunya.

"Ekh?" Renji dan Shuhei saling tatap, lalu keduanya bergegas mengikuti Ichigo.

.*.

Sebenarnya, apa yang tengah terjadi pada hidupku? Kenapa aku begitu sial?

Rukia berusaha melangkah cepat dengan beban berat di bahu dan tangannya. Tak cukup dipecat dari pekerjaannya di kedai, sekarang ia pun diusir dari apartemen sewaannya. Pemilik gedung memang mengembalikan secara penuh uang sewa yang baru ia bayarkan seminggu lalu untuk bulan ketiga, tapi tetap saja pengusiran itu terasa tak menyenangkan. Apalagi dilakukan selarut ini.

Sekarang sudah pukul sebelas malam, kereta hanya beroperasi sampai jam dua belas. Itu artinya ia harus mencapai stasiun kurang dari setengah jam lagi. Ia bisa mengatasi itu, jika berjalan dengan cepat ia bisa mencapai stasiun kurang dari dua puluh menit. Masalahnya, kereta mana yang harus ia naiki? Ia tak memiliki tujuan, tak ada tempat yang bisa ia datangi. Tak ada keluarga atau teman yang akan menampungnya, dan kembali ke Rukongai sama sekali bukan pilihan yang akan ia ambil.

"Bertahanlah, Rukia. Kau kuat. Kau akan mengatasi ini, yang penting sekarang sampai ke stasiun." Ia bergumam menyemangati diri sendiri.

Namun, baru beberapa langkah hujan tiba-tiba turun. Dengan terseok, Rukia mencoba mencapai emperan sebuah gedung berlantai dua dengan cepat.

Ia berhasil berteduh sebelum tubuhnya kuyup terkena hujan. Dengan muram ia memerhatikan hujan yang tetesan hujan yang menghujam tanah dengan kejam.

"Lengkaplah sudah," ujarnya tidak kepada siapa pun.

"Teman-teman, lihat apa yang kutemukan."

Kepala Rukia tertoleh ke arah suara. Sekelompok pria berpenampilan preman melihat ke arahnya. Ia menelan ludah.

Sekarang kesialan apa lagi yang datang padaku.

Rukia melirik sekitar, mencoba mencari pertolongan. Nihil. Tak seorang pun terlihat di sekitarnya.

Lari! Hanya itu satu-satunya cara menyelamatkan diri. Rukia mencoba mengingat di mana letak pos polisi yang tadi ia lewati. Di pertigaan sebelah kiri. Ia mengambil ancang-ancang selagi gerombolan itu mendekat.

Satu ... dua ... ti─

"Jangan mengganggunya!" Suara itu terdengar sebelum Rukia sempat berlari.

"Kaichou!" Gerombolan itu langsung berbaris dan memberi hormat pada seorang pria yang mendekat.

Awalnya, Rukia tidak mengenali pria itu. Baru ketika mereka hanya berjarak sekitar dua meter ia menyadari siapa yang disebut kaichou oleh gerombolan tadi. Seketika emosinya meluap. Itu adalah si pelanggan aneh. Ketua Black Sun yang menyebabkan dirinya mengalami semua kemalangan ini.

.*.

Ichigo mengira akan menemukan tatapan ketakutan lagi di mata violet itu. Tak menyangka sama sekali bahwa ia akan mendapat kejutan. Tatapan yang ia dapati sekarang adalah tatapan tajam penuh kemarahan. Ia belum sempat menyuruh anak buahnya pergi, ketika gadis itu menerjang ke arahnya, menunjuk dadanya dengan penuh kemarahan disertai omelan panjang.

"Kau pikir kau hebat, hah? Kau pikir dengan menguasai wilayah ini, kau berhak mengintimidasi orang-orang yang tinggal di dalamnya? Kau menggunakan kekuasaan untuk menindas yang lemah, mengintimidasi, menggertak mereka. Kau meman─"

"Hei, beraninya kau bicara seperti itu pada Kaichou!" Salah satu anak buahnya berniat mendekati gadis itu, tapi Ichigo menahannya. Ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk diam di tempat masing-masing.

"Kau memanfaatkan ketakutan mereka, membuat mereka tunduk pada perintahmu, lalu bertindak semena-mena. Kau menyebut dirimu ketua, tanpa menyadari pantas tidaknya kau menyandang posisi itu. Seorang ketua seharusnya─" Gadis itu menutup mulut sebelum ucapannya selesai. Membuang muka dengan marah.

"Kau belum menyelesaikan kata-katamu, Nona," kata Ichigo.

Gadis itu mendengus. "Aku tidak mau menambah masalah," sahutnya. Kemudian gadis itu memungut ransel dan tasnya. "Sudah cukup masalah yang kautimbulkan untukku dalam dua jam ini." Gadis itu kembali berkata, menegakkan tubuhnya yang hanya setinggi dada Ichigo, lalu melanjutkan dengan penuh percaya diri. "Sesuai keinginanmu, aku akan pergi dari tempat ini. Kau tidak akan melihatku di daerah kekuasaanmu ini lagi. Aku akan pergi ... jauh, sejauh mungkin darimu. Kau puas?"

Ichigo memandang gadis berambut hitam sebahu itu lurus-lurus. Gadis mungil yang berusaha terlihat kuat meski tubuhnya gemetar, menggigil di bawah hujan yang turun dengan deras, ketakutan karena masa depan yang tak memiliki kepastian. Seketika itu juga Ichigo tahu bahwa ia tidak akan melepaskan gadis itu.

"Bagaimana jika aku tak ingin kau pergi?"

"Apa?!" Violet gadis itu membeliak ngeri. Seketika gadis itu melepaskan ransel dan tas, lalu berlari menjauh darinya.

Tindakan yang percuma. Dalam tiga langkah lebar, Ichigo berhasil meraih pinggang gadis itu, mengangkat tubuh mungil ke atas bahunya, lalu berjalan kembali ke markas Black Sun.

Gadis itu meronta, berteriak, memukul-mukul punggungnya sekuat tenaga. Namun Ichigo bergeming, langkahnya sama sekali tidak terganggu dengan ulah si gadis.

"Bawakan barang-barangnya ke kamarku." Ia memberi perintah pada Renji dan Shuhei yang ditemuinya di pintu masuk. Di belakangnya terdengar sorakan memberi semangat dari anak buahnya.

Memangnya mereka pikir apa yang akan kulakukan. Ichigo mendengus sembari melangkah cepat menaiki tangga, dengan seorang gadis yang meronta di bahunya.

.*.

bersambung ...

.*.

Sebenarnya, saya mau hiatus. Serius! Niatnya mau libur ngetik fanfik di bulan April ini. Tapi saya labil. Wkwkwk ... Kayaknya belum bisa ninggalin dunia fanfik demi ngelarin naskah novel, yang belum juga kelar dari bulan Februari tadi. :'v Menulis fanfik ternyata masih menjadi hobi no.1 saya.

Udahlah, daripada saya curcol panjang-panjang, saya mau ngucapin terima kasih aja buat kalian yang sudah mendukung manusia labil ini (baca: saya) untuk tetap berkarya di ffn.

See ya,

Ann *-*

ps: jangan ngarep fic ini update cepet ya. Wkwkwkwk ...