TADAAAA! Ini ide yang unexpected.
Bakal sangat cheesy untuk ke depannya~
.
.
.
My third and shameless KaiSoo fanfict.
Enjoy!
Give me some reviews!
.
.
.
Jongin berjalan menyusuri lorong kampusnya dengan gitar yang sudah dalam case di punggungnya. Seperti biasa, menjalani hari-harinya sebagai salah satu mahasiswa seni musik dengan mayor gitar dan minor piano, tentu bukan hal yang aneh jika dia mengitari kampusnya dengan keadaan seperti itu. Meskipun pada kenyataannya dia tidak begitu menyukai jenis musik yang sedang dilakoninya saat ini, tapi demi kemampuan musik yang lebih baik, maka dia tetap menjalaninya.
Lagu Chopin's Waltz terputar di telinganya sembari mengingat part mana yang terlewat dari coretan-coretan yang ada di partiturnya. Dia masih belum hafal benar di bar berapa dia selalu melakukan kesalahan. Ah, sekali lagi, piano memang bukan mayor untuknya, karena baginya, gitar adalah alat musik terbaik yang pernah ada. Sebenarnya, dia bisa memainkan lebih dari itu, bass, biola, saxophone, hingga drum. Tapi perlu diingat, bagi Jongin, gitar adalah benda mati yang paling sempurna untuk diciptakan dan paling dicintainya selama ini.
"Ah, aku menemukannya." Gumamnya sembari melingkari bar di lembar ketiganya.
Dia kembali fokus dengan jalannya. Sesekali dia menyapa orang-orang yang berlalu-lalang—orang-orang yang dikenalnya dan Jongin memang sangat terkenal. Dia memang seperti itu, orang yang ramah jika bertemu dengan lainnya. Sesekali dia berhenti untuk membetulkan strap dari guitar casenya yang sering melorot. Semalam dia tidak tidur, karena harus mengaransemen lagu boygroup yang memiliki tipe musik EDM hingga diubah menjadi alternative rock. Pekerjaan itu membuat otaknya sudah berputar keras, bahkan matanya sudah berubah merah karena mengantuk.
Jongin berjalan menuju salah satu studio yang disediakan untuk para siswa berlatih. Kebetulan, hari ini dia harus berlatih untuk salah satu festival rock besar saat akhir tahun di Seoul. Lagu-lagu yang ia bawakan sebenarnya membuat Jongin merasa cringey. Terutama lagu girlgroup yang memang sebenarnya sangat catchy, dan walaupun sudah di aransemen dengan baik oleh dia dan Kris yang merupakan pemain synthesizer di grup—sekaligus leader yang saat ini dihindari oleh Jongin karena pasti lelaki itu mengomel karena aransemen lagunya yang belum sepenuhnya rampung.
"KIM JONGIN!" seru seseorang yang dengan santainya menepuk lengan Jongin dengan keras.
"Ack! Sakit!" Jongin menoleh dan mendapati sahabatnya, Chanyeol, berjalan di sampingnya, "Hentikan senyum bodohmu itu. Aku membencinya." Ujarnya.
Chanyeol, yang mendapatkan ejekan tersebut malah memamerkan giginya dengan lebih semangat, "But I'm your best friend!"
"Aku sudah meralat statusmu baru saja." Jawab Jongin sarkas.
"By the way, Jongin, nilai kuis sejarah musik sudah keluar. Dan kau tahu, kau," Chanyeol tertawa, "tidak lulus lagi kali ini."
"What the hell—aku tidak lulus lagi? Astaga—aku bisa gila kalau begini. Sudah yang keempat kalinya aku tidak lolos kuis dan ujian sejarah musik, Yeol," dia menghentikan langkahnya dan meluapkan kekesalannya dengan menghentak-hentakkan kakinya di tanah, "aku benci pemusik-pemusik klasik itu!" dia melihat Chanyeol yang memandangnya penuh ejekan, "Tapi jika tidak ada mereka tidak akan musik-musik yang lain—ah, ya sudah, kita ke studio saja dulu." Ucapnya sembari menyeret drummer bandnya itu.
Ah, band Jongin diberi nama Little Goblins. Beranggotakan lima orang. Dimana Kris—nama panggungnya yang terkadang membuat Jongin geli—yang bernama asli Yifan sebagai leader dan pemain synthesizer, Jongin sebagai gitarisnya, Chanyeol sebagai drummer, Sehun yang memainkan bass, dan Jongdae yang menjadi vokalis beserta gitaris juga. Satu lagi, lelaki yang sangat ketat mengatur jadwal latihan dan jadwal penampilan mereka, Junmyeon. Salah satu orang yang juga Jongin hindari untuk saat ini—karena dia selalu memburu mereka untuk latihan lebih giat lagi.
Jongin sedari tadi membiarkan Chanyeol berbicara hal-hal yang tidak jelas, seperti membicarakan tentang dosennya yang menyebalkan, hingga episode terbaru Spongebob Squarepants beserta dialog-dialognya yang entah bagaimana Chanyeol bisa menghafalkannya. Chanyeol memang begitu, dia dan Jongdae memang dumb and dumber di band mereka. Walaupun mereka berdua suka melakukan hal-hal konyol, tapi Jongin tahu jika band mereka tidak bisa berlanjut tanpa kedua orang tersebut. Jika diingat-ingat lagi, hanya dialah yang paling normal di antara kelima orang tersebut. Meskipun sebenarnya kata Junmyeon, dia—Jongin—dan Jongdae lah yang paling banyak mengeluh dan protes. Jongin tidak mengiyakan pernyataan tersebut, karena baginya Junmyeon hanya biased. Iya, dia tahu jika Junmyeon menyayangi Sehun seperti anaknya sendiri. Ini Sehun, itu Sehun—mungkin ini bentuk kecemburuan seorang kakak laki-laki pada adik bungsunya.
"KAMI DATAAAANG!" teriak Chanyeol yang menggegerkan studio.
"YA! Suaramu—hish, annoying, you know." Ujar Kris yang sedang bermain game di komputer jinjingnya.
"But I know that you love me, Hyung!" Chanyeol berlari kecil menuju belakang drum setnya, "Oh! Senar snareku ada yang putus. Siapa yang melakukan ini?" ujarnya yang menuduh ketiga orang—Sehun, Kris, dan Jongdae—yang terlebih dulu datang.
"Aku tidak memegangnya sama sekali." Ucap Sehun dengan ekspresi datar.
"Jongdae! Pasti dirimu—"
"Kau tidak ingat jika kau yang merusakkannya sendiri kemarin sore?" Jongdae mendesis dan melemparkan bantal pada Chanyeol, "Hidupkan otakmu, Park Chanyeol."
"Aku?" Chanyeol terdiam sebelum menunjuk dirinya sendiri, "HA! Benar juga. Aku lupa—" dia mengambil ponsel di sakunya sebelum menelepon seseorang, "Daeyeol-ah, bisakah kau mengantarkan snare drum baruku yang ada di studio—ayolah, aku akan membelikanmu pizza jika sudah pulang nanti."
"Dia memperalat adiknya lagi—" Jongin berkata dengan heran dan dijawab dengan anggukan teman-temannya.
"—I love you, Dongsaeng-ah! Bye!"
Jongin yang sibuk mengatur gitarnya itu berkata, "Daeyeol mau mengantarkannya?"
"Dia cukup bodoh untuk sekardus pizza."
"Dan Jongin cukup bodoh untuk lulus tes sejarah musik," Sehun menyela, "kau sudah mengerjakan tugasnya?"
"Tugas apa?" tanya Jongin yang seketika menghentikan kegiatannya.
"Kau tidak tahu? Mahasiswa yang tidak lulus kuis sejarah musik harus merangkum biografi tokoh musik klasik dan dikumpulkan dua hari lagi ke ketua kelas."
"Ah, aku bisa mencarinya di internet, kemudian copy paste—" ujar Jongin yang menundukkan kepalanya ke arah gitar bermerk Schecternya itu.
Sehun menambahkan, "Dosen Nam meminta untuk ditulis dengan tangan dan harus disertai sumber. Kau tahu sendiri orang itu sangat teliti dan tahu mana sumber dari biografi asli dan internet—Jongin-ah, kau mendapatkan jatah Johann Sebastian Bach. Aku sudah membaca keterangan tugas di chat room kelas."
"Benarkah?" dia segera mengeluarkan ponselnya dan mencari bahasan tentang tugas tersebut, "Matilah aku. Aku harus ke perpustakaan untuk mencari literatur kalau begitu."
"Kim Jongin? Pergi ke perpustakaan?" Jongdae berdiri dan bertepuk tangan, "Let's give standing applause to this rare occasion—" keempat orang yang lain melakukan hal yang sama dengan Jongdae, "Your father is so proud of you, Jongin-ah. Akhirnya!"
Jongin hanya mendecakkan lidahnya ketika melihat kelakuan keempat sahabatnya itu. Memang, selama ini Jongin tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di perpustakaan. Selama hampir tiga tahun belajar disana, dia tidak pernah pergi ke perpustakaan. Karena Jongin adalah orang yang mengandalkan semua informasinya dari internet.
"Aku benci kalian semua." Ucap Jongin yang akhirnya menaruh gitar kesayangannya dan pergi ke perpustakaan.
Dia keluar dari studio dan berjalan menuju lift yang ada tidak jauh dari sana. Dia harus cepat-cepat turun ke lantai satu agar bisa sampai di gedung perpustakaan yang berjarak sekitar 50 meter dari gedungnya saat ini. Dia menunggu lift itu terbuka. Sedikit rasa malas, karena dia bukan seorang kutu-buku atau bahkan tidak suka membaca sama sekali. Selama ini, selama dia mengerjakan tugas, dia selalu mengandalkan internet dan akan melakukan copy paste.
Pintu lift itu akhirnya terbuka. Dia, Jongin, menunggu orang-orang yang disana keluar dan masuk. Dia berada di dalam dengan seorang laki-laki yang baginya sangat jarang—atau mungkin tidak pernah—dia temui. Mungkin dia hanya sekali melihat lelaki itu. Dan bahkan Jongin lupa kapan. Ketika lift sampai ke lantai dua dan pintu terbuka, lelaki berkacamata itu keluar. Lelaki itu terlihat sangat pemalu dan bahkan mungkin suka menyendiri. Menurut Jongin begitu. Karena selama perjalanan dari lantai lima ke lantai dua, mereka hanya diam dan lelaki itu hanya menatap kosong ke arah lampu LED yang menampilkan sampai dimana lift tersebut.
Jongin yang telah sampai di lantai satu segera berlari menuju gedung perpustakaan. Gedung yang selama ini tidak pernah dia kunjungi. Bahkan saat itu, Jongin sempat merasa amazed dengan penataan gedung yang sangat bagus. Dengan cepat, dia segera menenggelamkan diri di deretan buku-buku musik dan dengan cepat menemukan rak dimana menyimpan buku-buku berisi sejarah beserta biografi dari tokoh-tokoh musik klasik. Satu-persatu dia membaca nama-nama yang ada disana, Mozart, Beethoven, Chopin, Vivaldi—dan hingga ujung rak. Namun dia tidak menemukan nama Bach disana.
"Johann Sebastian Bach—God, aku tidak menemukannya." Ujarnya setelah menyusuri rak yang sama sebanyak tiga kali.
Setelah menyadari apa yang ia cari tidak ada disana, Jongin segera pergi menuju meja dimana pustakawan—kebetulan temannya—ada disana. Dia yang mulai merasa panik itu langsung menanyakan perihal buku tersebut tanpa basa-basi sama sekali.
"Baekhyun-ssi," Jongin memanggil penjaga perpustakaan yang juga mahasiswa itu, "apa buku biografi dari Sebastian Bach sedang dipinjam?"
"Sebastian Bach? Sebentar…" lelaki berparas cantik itu segera membuka daftar peminjam buku, "Iya, dipinjam. Akan dikembalikan maksimal empat hari lagi."
"Oh, God. Matilah aku," dia menepuk dahinya sebelum berkata lagi, "siapa peminjamnya? Tidak ada salinan atau buku yang sama?"
"Do Kyungsoo. Mahasiswa departemen seni musik juga. Sama denganmu, I guess?" Ujar Baekhyun yang kemudian menggelengkan kepalanya pertanda jika buku tersebut hanya ada satu buah saja.
Jongin mengangguk, "Kenapa aku tidak pernah mendengar namanya—" dia bergumam pada dirinya sendiri sebelum berkata lagi, "baiklah. Aku akan mencarinya. Terima kasih, Baekhyun-ssi."
Jongin keluar dari gedung perpustakaan itu dan bermaksud untuk kembali ke studionya. Mungkin kali ini dia berniat untuk tidak mengumpulkan tugas saja—tapi dia malas jika harus berurusan dengan Dosen Nam yang selalu sensitif pada mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas. Jongin sendiri sebenarnya juga tidak berniat untuk mengambil mata kuliah itu, tapi sayangnya, mata kuliah tersebut merupakan hal wajib yang harus ia selesaikan.
"Jongin is back!" teriak Jongdae dengan suara melengkingnya.
"Ayo latihan." Ucap Jongin.
"Kau tidak mendapatkan bukunya?" tanya Kris.
Jongin menggelengkan kepalanya, "Si Do Kyungboo atau siapalah tadi meminjamnya."
"Do Kyungsoo maksudmu?" Jongdae menyela.
"Ah, iya. Anak itu."
"Dia satu mayor denganku. Dia mahasiswa vokal."
Seketika Jongin menoleh ke arah Jongdae, "Beritahu aku dia yang mana! Aku harus mendapatkan buku itu!" serunya.
"Kyungsoo? Dia bukan orang yang suka bersosialisasi. Aku menjelaskan sedetail apapun tentang Kyungsoo, kau akan kesulitan menemukannya. Karena… dia sangat pendiam dan… begitulah."
"Freak?" Chanyeol menimpali.
"Semacam itu. Tapi dia orang yang baik. Hanya dia berkedok seperti pembunuh berdarah dingin saja—"
"Kau punya nomor ponselnya? Atau id sosial medianya?"
"Nope. Aku bahkan tidak tahu dia punya ponsel atau tidak."
Dan kebiasaan merengek Jongin pun keluar. Meskipun dia bukan benar-benar maknae disana—karena Sehun lebih muda darinya beberapa bulan. Anggota bandnya sudah hafal dengan kebiasaan Jongin yang suka melemparkan amukannya pada semua orang yang bisa menjadi sasarannya. Jika bisa dibilang, dia bertingkah seperti anak kecil. Dan Jongin sempat mengatakan bahwa dia paling normal jika dibandingkan dengan anggotanya yang lain. Paling normal. Such a bullshit.
.
.
.
Jongin kembali ke perpustakaan sore itu. Dia berniat untuk meminta data pribadi dari orang bernama Do Kyungboo—bukan, Do Kyungpoo, ah, Do Kyungsoo. Dia merasa bodoh karena tidak meminta data pribadi Kyungsoo ketika pergi ke perpustakaan siang sebelumnya. Pertanyaannya, kapan Jongin tidak bodoh?
Ketika dia masuk ke perpustakaan itu, dia menyadari jika gedung tersebut sudah sepi. Karena mungkin, jam kuliah sudah selesai dan mahasiswa kembali ke dorm atau ke rumah masing-masing. Perpustakaan masih dibuka, karena memang perpustakaan kampus Jongin buka hingga pukul sembilan malam—untuk berjaga-jaga jika ada mahasiswa yang datang ketika malam tiba.
"Permisi," Jongin menyapa orang yang menata buku di rak perpustakaan itu, "oh, kau bukan Baekhyun—"
"Ada perlu apa?" ucap orang itu dengan nada yang dingin.
"Oh, aku hanya—" Jongin menghela nafas sebelum berkata, "aku hanya ingin tahu biodata pribadi Do Kyungsoo. Aku ingin meminjam biografi Sebastian Bach tapi dia yang membawanya—"
"Aku Do Kyungsoo."
God bless me.
Jongin memperhatikan lelaki bernama Kyungsoo itu. Dia bertubuh kecil—bahkan Jongin bersumpah badan lelaki itu seperti seorang perempuan saja. Matanya yang bulat itu ditutup dengan sebuah kacamata berframe tebal. Alis lelaki tersebut berkerut, seakan ingin tahu menngapa Jongin menanyakan data pribadinya—walaupun dia sudah tahu alasannya. Karena buku biografi Sebastian Bach. Begitulah.
Jongin terdiam. Dia baru ingat jika sudah bertemu dengan Kyungsoo ketika naik lift bersama-sama. Tadi, dia tidak memperhatikan bagaimana fitur wajah Kyungsoo, tapi sekarang, dia merasa terpaku ketika melihatnya. Dia tidak cantik seperti Baekhyun, tapi wajah itu Jongin rasa sangat menyenangkan. Walaupun sebenarnya, sedari tadi, Kyungsoo tidak menunjukkan keramahannya pada Jongin dan cenderung bersikap ketus.
"Untuk apa kau mencari data pribadiku? Stalking?"
"Bukan!" Jongin menggeleng dengan cepat, "Aku hanya ingin meminjam buku itu sehari saja darimu! Aku membutuhkannya untuk tugas sejarah musikku. Please. Aku mohon…"
"Kau tidak lulus mata kuliah itu?"
Fuck. Kenapa dia membahasnya?
"Aku tidak lulus kuis jadi aku harus mengumpulkan tugas—kenapa kita membahas hal ini sih? Astaga, berikan padaku bukunya. Jangan terlalu berbelit-belit—"
"Aku tidak akan memberikannya."
Jongin membulatkan matanya karena terkejut mendengar jawaban Kyungsoo, "What? Kau—YA! Aku membutuhkannya—"
"Kau memintanya dengan cara yang seperti itu. Aku tidak akan memberikannya."
"Astaga—" Jongin dia sejenak sebelum akhirnya berkata lagi, "baiklah, Kyungsoo-ssi. Aku mohon, aku ingin meminjam buku tersebut sehari saja—ah, dua hari. Aku harus menyelesaikan rangkuman biografi itu untuk tugas sejarah musikku. Jadi… bisakah?" tanya Jongin dengan senyum yang dibuat-buat.
"Bisa. Tapi kau hanya bisa meminjamkannya ketika siang hari. Karena aku akan membacanya ketika malam. Jadi, kerjakan tugasmu di perpustakaan karena aku bekerja di shift pagiku besok. Aku tidak ingin kau merusakkan buku itu atau kau melipat bagian halamannya—"
"No! I won't! Tapi pinjamkan aku hari ini. Aku harus mengerjakannya malam ini juga."
"Apa kau yakin akan mengerjakannya jika sudah pulang ke rumah nanti?" Kyungsoo melihat Jongin dari ujung kepala hingga kakinya, "Aku tidak yakin."
Sebenarnya Jongin juga tidak yakin untuk itu.
"Aku akan mengerjakannya malam ini!" serunya.
"No. Aku akan meminjamkannya besok siang—ah, pagi jika kau mau kemari. Aku masih harus membacanya nanti."
Jongin menghela nafas dan memutar bola matanya, "Okay, fine. Aku akan kemarin besok pagi. Dan kau harus sudah datang dengan buku itu."
"Hmm, okay." jawab Kyungsoo yang kembali menata buku-buku yang ada di kerajang yang di dorongnya.
"Kau membuatku kesal," Jongin bergumam dan membalikkan badannya pergi, "aku tidak mengerti mengapa ada orang yang membaca biografi seperti itu." Ucapnya yang kemudian meninggalkan Kyungsoo di sepinya gedung perpustakaan kampusnya.
.
.
.
Jongin duduk di salah satu meja perpustakaan pagi—keesokan harinya. Matanya masih sangat lengket. Karena dia harus—lagi-lagi—membuat aransemen lagu untuk festival akhir tahun nanti. Apalagi, sepagi itu, dia sudah harus berkutat dengan buku setebal lebih dari 200 halaman. Jongin harus membacanya, dan membuat poin-poin penting disana. Tapi sayangnya, baru saja dia menuliskan Johann Sebastian Bach lahir di kota—dia sudah tertidur. Matanya terlalu berat untuk dibuka. Apalagi jam sembilan pagi seharusnya dia masih tidur di ranjang dan baru akan berangkat ke kampus jika sudah jam satu siang—karena kelasnya dimulai jam dua siang.
"Hei."
Jongin merasakan bahunya digoyangkan oleh seseorang, "Oh, hei. Kyungsoo-ssi."
"Sudah selesai?"
"Ha?" Jongin tergagap dan mengecek jam tangannya, "Mati aku! Aku tertidur tiga jam…"
"Kau belum menyelesaikannya?"
Jongin menggeleng, "Aku baru menulis kalimat awal dan aku tertidur," dia mengangkat buku tebal itu dan memberikannya pada Kyungsoo, "Aku mengembalikannya padamu. Aku tidak akan melanjutkan tugas itu."
"Bagaimana bisa kau tidak mengumpulkannya?"
Jongin menghela nafas sembari membereskan semua alat tulisnya, "Aku menyerah. Dan aku lelah. Aku butuh tidur karena aku tidak tidur sama sekali semalam. Lagipula aku tidak suka dengan musik klasik. They sound suck."
Kyungsoo mengerutkan alisnya, "Kau membenci musik klasik bukan berarti kau tidak mengumpulkan tugasmu."
"Aku lelah, Kyungsoo-ssi. Ada tugas lain yang lebih penting dari itu."
Lelaki itu memejamkan matanya sejenak sebelum berucap, "Aku akan meminjamkannya padamu sehari penuh. Selesaikan tugasmu."
Jongin menggeleng, "Aku menghargai kebaikanmu, Kyungsoo-ssi. Tapi aku benar-benar tidak berniat untuk melanjutkannya," dia berdiri dan beranjak pergi, "aku lebih memilih untuk melakukan aransemen untuk festival akhir tahun nanti daripada membaca tentang musik klasik menyedihkan seperti ini—"
"Little Goblins?"
Jongin menaikkan alisnya, "Kau tahu bandku juga? Ah, sudah kuduga orang-orang tahu siapa kami," dia tertawa kecil sebelum berbicara ke Kyungsoo lagi, "kau tentu juga tahu kami, 'kan? Kau bisa datang ke festival akhir tahun nanti—"
"Aku tidak akan datang."
"Kenapa kau tidak datang? Acara akhir tahun akan sangat seru!"
Kyungsoo mengambil bukunya sebelum memberikan punggungnya pada Jongin. Namun, belum dia melangkahkan kaki, Kyungsoo membalikkan badannya, "Aku tidak suka musik rock. They sound suck," dia terdiam sejenak, "ah, satu lagi. Your music sounds suck too." Ucapnya sebelum meninggalkan Jongin yang terdiam di tempatnya.
Jongin terperanjat. Musik rock yang ia bawakan bersama rekan-rekan bandnya bukanlah musik rock yang buruk—menurut Jongin dan teman satu bandnya, tentu. Musik mereka mirip dengan My Chemical Romance, atau 30 Seconds to Mars. Atau mungkin… One Ok Rock? Itu adalah musik yang didengarkan oleh semua orang! Jongin meyakini itu. Bahkan dia menyukai Paramore. Selain karena Hayley Williams yang seksi dan berkharisma jika di panggung, tapi musik mereka sangat menyenangkan untuk didengar. Bagi Jongin, sangat aneh jika ada yang membenci musik rock seperti Kyungsoo. Toh musik yang mereka bawa selama ini tidak sekeras musik metal seperti band Megadeth, Black Sabbath, atau Dream Theater. Menjadi hal yang sangat menyebalkan ketika Kyungsoo, dengan santainya, mengatakan jika dia, tidak menyukai musik rock seperti Jongin. Ah, iya, menyebalkan.
Dengan tawa tidak percaya, Jongin mengambil semua barang dan perlengkapannya. Sempat dia mengibaskan kertas bertuliskan kalimat awal dari tugasnya—dan Jongin bertekad membuang itu jauh-jauh meskipun dia membiarkannya tergeletak di meja begitu saja. Ia, yang membawa tas ransel hanya dengan satu bahu itu kemudian keluar dari perpustakaan. Langkahnya begitu cepat karena tersinggung dengan ucapan Kyungsoo baru saja. Menghina musiknya sama saja dengan menghina karyanya—tentu itu merupakan hal yang menyakitkan untuk seorang pemusik sepertinya.
Dia segera pergi menuju dimana Chanyeol dan Jongdae ada disana. Meskipun dia tahu jika bertemu dumb and dumber itu hanya akan menambah masalah, tapi dia yakin jika dia menceritakan apa masalahnya, maka pria-pria bodoh itu akan mengerti. Langkah kakinya sangat cepat, bahkan dia sempat menabrak seorang mahasiswa yang membawa partitur berlembar-lembar dan Jongin tidak membantu anak itu sama sekali walaupun sudah berantakan kemana-mana.
"You hate my music? You suck too, Do Kyungloo—" gerutu Jongin ketika membuka pintu studio musik milik mereka.
Disisi lain, Chanyeol dan Jongdae menatap Jongin dengan wajah seperti orang berkata this bastard is making a scene again. Mereka tentu paham dengan sifat Jongin yang suka menggerutu dan mengamuk jika keadaan tidak berpihak padanya. Apalagi saat ini, dengan wajah masam dia datang dan dengan kasar pula melepas sneakers converse berwarna abu-abu itu.
"Ada apa lagi, anak ayah?" tanya Jongdae yang bersandar di sofa ujung studio sembari memetik senar gitarnya dengan lagu Twinkle-Twinkle Little Stars.
"Temanmu," Jongin melepaskan tas ranselnya dan kemudian menghempaskan dirinya di sofa di seberang milik Jongdae, "Do Kyungpoo—yeah, he is a poo—menghina musik kita."
"Maksudnya?" tanya Chanyeol yang merasa penasaran.
"Dia mengatakan musik kita buruk! He called us suck!" serunya berapi-api.
Jongdae mengangguk, "Oh."
"What? That's it?" ucapnya yang tidak percaya dengan reaksi Jongdae.
"Hmm," lelaki berwajah kotak itu mengangguk sembari menaruh gitarnya, "bukankah itu wajar? Akan ada orang yang menyukai musik kita dan ada yang tidak. Sama sepertiku, disaat banyak orang menyukai Nicki Minaj, aku tidak—"
Chanyeol mendelik, "Why? Kau tidak suka Nicki Minaj?"
"No! Bokongnya terlalu besar—itu membuatku kehilangan konsentrasi. Aku harus mendengarkan musiknya or watching her butt twerking—"
"YA! Ini bukan saatnya membicarakan bokong Nicki Minaj!" seru Jongin yang berusaha mengakhiri pembicaraan bodoh kedua sahabatnya.
"Sorry, Jongin. Chanyeol memancingku—"
"Kau yang membicarakannya lebih dulu!" tukas Chanyeol.
Jongin menghela nafas dengan keras, "Okay, enough guys, aku mohon."
Mungkin disaat itu Jongin berharap setidaknya ada Kris atau Junmyeon yang bisa menetralisir keadaan. Mereka berdua memang bisa menenangkan kedua iblis itu. Walaupun terkadang mereka berdua ikut menimpali ucapan Chanyeol dan Jongdae, tapi selebihnya, Junmyeon dan Kris bisa membuat mereka diam. Berbeda halnya dengan Sehun yang lebih memilih untuk ikut walaupun hanya sekadar tertawa. Sehun biasanya memasang wajah datar dan dengan bola mata mengikuti arah dimana salah satu pihak berbicara. Jika mereka berdua mulai adu mulut dan berujung dengan suasana panas, maka Sehun hanya akan mengangkat ponselnya dan berpura-pura menelepon Kris atau Junmyeon. Ada disaat keduanya tidak percaya dengan akal bulus Sehun, namun ketika Kris datang ke dalam studio tiba-tiba, mereka berdua terdiam dengan cepat. Bukan, mereka tidak takut dengan Kris, hanya saja Kris suka mengomel sana-sini dan sama statusnya dengan Junmyeon—mereka tidak suka itu.
Chanyeol berdiri dari kursi di balik drumnya, "Tapi Nicki Minaj sangat cool! My anaconda don't, my anaconda—"
"Park Chanyeol," mata Jongdae mengikuti kemana Chanyeol pergi, "please don't twerk in front of me—FUCK! MY HOLY EYES!"
Seketika, disaat itu, Jongin menyesal datang ke studio. Dia menyesal mendengar teriakan melengking dari Jongdae yang hampir membuat gendang telinganya hancur, dan dia menyesal melihat Chanyeol bertindak bodoh yang nyaris menggelindingkan bola matanya keluar. Dia menyesal, jika boleh jujur. Tapi selebihnya dia terhibur karena ucapan bodoh dari kedua sahabatnya tersebut—itu sudah membuatnya sukses tertawa walaupun dengan perasaan yang tidak sepenuhnya ikhlas.
.
.
.
Malam itu Jongin keluar dari studio musik kampusnya seorang diri. Keempat temannya sudah pergi lebih awal karena ada ujian mendadak esok paginya—karena keempat dari mereka mengambil mayor atau minor perkusi dan musik gesek. Dia meregangkan otot-ototnya yang sudah kaku karena terlalu lama di depan komputer jinjing dan tumpukan partiturnya yang siap untuk di revisi lagi. Aransemen lagu keduanya yang berjudul El Dorado itu belum selesai. Dia masih belum tahu apa yang akan dia lakukan nanti. Apalagi ketika Kris mengatakan bahwa dia belum mengerjakan tugasnya sama sekali dan izin untuk pulang lebih awal—itu membuat Jongin merasa separuh otaknya pergi begitu saja.
Dia membuka pintu studio dengan wajah yang sudah kusut. Bahkan kali ini dia merasa case yang—berisi gitar— ditenteng itu lebih berat daripada biasanya. Rambutnya sudah acak-acakan seperti ketika dia bangun dari tidur yang lelap. Dia sangat lelah, for sure. Tapi rasa lelahnya selalu terbayar jika membayangkan betapa ramainya festival rock akhir tahun nanti. Ah, band Jongin memang sudah terkenal disana. Bahkan beberapa agensi besar sudah pernah meminta mereka untuk bergabung disana. Namun karena agensi-agensi itu meminta band Jongin untuk mengubah musik mereka seperti yang laku di pasaran, maka mereka menolaknya. Jika dilihat lagi, memang jenis musik band Jongin kurang laku di Korea, walaupun tidak bisa dipungkiri jika mereka bisa laris di pasaran mancanegara.
Jongin memasang earphonenya dan memutar lagu Dream Theater yang berjudul Fatal Tragedy. Ah, meskipun Jongin tidak membawakan lagu death metal, tapi dia masih sangat menyukainya. Karena bagi Jongin, aliran musik tersebutlah yang menjadi inspirasinya untuk meningkatkan skill yang dia miliki saat ini. Terkadang, Jongin merasa tersesat jika mengingat dirinya yang masuk di sebuah universitas seni. Karena pasti, dasar dari seni musik ada di jenis musik klasik yang dia pelajari sekarang. Bukan, bukan berarti dia tidak bisa musik klasik. Hey, Jongin sendiri terkenal dengan julukan speed-learner. Karena dia dengan sangat mudah menangkap materi yang diberikan oleh dosennya. Namun, ketika dia ditanya apa dia mau bergelut di musik klasik, jawabannya big no. Karena bagi Jongin, musik klasik adalah musik yang kuno, musik yang membosankan, dan musik yang stuck di tempat itu-itu saja—tanpa perkembangan.
Kampus sudah sangat sepi. Hanya ada segelintir mahasiswa yang mungkin sedang berlatih recital untuk tugas pertunjukan. Dia sempat melihat ke salah satu aula besar dan melihat seorang pemain oboe yang sangat menarik baginya, Luhan. Tidak, Jongin tidak menyukai Luhan. Dia hanya merasa Luhan sangat anggun ketika bermain oboe. Ah, Jongin memang tidak menyukai musik klasik, tapi dia berhak mengagumi pemainnya, bukan?
Dia tersenyum ketika Luhan menghentikan permainannya dan tertawa dengan teman-temannya yang mungkin melakukan kesalahan bersama. Jongin selalu mengagumi bagaimana mata rusa Luhan yang selalu melengkung ketika tersenyum. White swan, Jongin selalu menyebut Luhan dengan panggilan itu.
Jongin melanjutkan perjalanannya menuju lift. Dia ingin segera sampai di rumah dan tidur. Walaupun dia pasti yakin akan diganggu Mingyu—adiknya—yang masih duduk di tingkat akhir sekolah menengah atas. Dia menyandarkan kepalanya di salah satu sisi dari lift itu. Sesekali dia membetulkan rambutnya yang berdiri kemana-mana, dan berusaha membuat dirinya senormal mungkin. Ketika sampai di lantai tiga, pintu lift terbuka. Dan sat Jongin melihat siapa yang akan masuk kesana, dia mendecakkan lidahnya. Sejenak dia berharap orang itu akan menutup pintu lift dan pergi dengan yang lain, namun dugaannya sangat keliru ketika lelaki tersebut masuk dan berdiri tak jauh dari tempat Jongin.
Lelaki itu tampaknya tidak peduli dengan kehadiran Jongin yang melirik ke arahnya dengan tatapan kesal. Sesekali bibir Jongin bergerak mengatakan sesuatu—cursing sebenarnya—dan berwajah masam. Ingin rasanya Jongin menghantamkan gitar kesayangannya ke kepala lelaki itu, namun dia lebih sayang dengan benda matinya.
Pintu lift terbuka ketika sampai di lantai satu. Dengan refleks Jongin berusaha keluar—karena dia malas bertemu dengan lelaki tersebut. Namun dia mendesis dengan penuh kekesalan ketika orang tersebut juga melakukan hal yang sama dengan Jongin.
Dengan kasar Jongin melepaskan earphonenya, "Biarkan aku keluar terlebih dulu!" serunya pada lelaki tersebut.
"YA! Kau pikir aku tidak berhak untuk keluar terlebih dulu?" jawab lawan bicara Jongin.
Jongin memutar kedua bola matanya, "Enough, Do Kyungsoo. Kau sudah membuatku kesal seharian."
"I've done nothing to you. Bisa-bisanya kau mengatakan jika aku membuatmu kesal. Ah, apa mungkin kau kesal karena kau tidak lulus mata kuliah sejarah musik?" sindirnya.
"I hate you."
Kyungsoo mengerutkan alisnya, "Kau pikir? Such a loser." Ucapnya yang kemudian keluar dari lift dan meninggalkan Jongin yang mengumpat di dalam hatinya.
.
.
.
Dua hari kemudian, Jongin bangun dengan keadaan yang sangat malas—padahal dia setiap harinya malas. Dia sedang tidak ingin datang ke kelas Dosen Nam karena dia pasti mendapatkan ocehan yang tidak perlu. Tapi mau bagaimana lagi, Jongin saja sudah malas—bahkan antipati—pada mata kuliah dari pria yang belum-menikah-meskipun-usianya-menginjak-kepala-lima tersebut.
"Hyung!"
Jongin, yang sedang membetulkan kerah kemejanya itu memejamkan matanya sembari menghembuskan nafas ketika mendengar adik satu-satunya masuk dan menghambur ke arahnya, "Apa, Mingyu-ya?" ucapnya bosan.
"Aku akan mengikuti tes masuk universitasmu sekitar tiga bulan lagi, Hyung. Mayor dan minor apa yang harus kuambil?"
Jongin terdiam sejenak. Tidak biasanya adik lelakinya menanyakan pertanyaan serius begini. Biasanya dia hanya menjadi biggest-brat-ever jika sudah bersamanya. Otaknya berpikir. Adik lelakinya ini memang orang yang pintar di dunia seni juga. Walaupun kemampuan musiknya tidak secemerlang Jongin, tapi Mingyu seseorang yang versatile. Dia seorang fotografer, pemain teater, bahkan bisa melukis. Mingyu bisa bermain gitar seperti Jongin, tapi Mingyu adalah seseorang yang mudah bosan. Jadi dia hanya akan menekuni satu bidang sesaat saja, dan akan meninggalkannya dalam jangka waktu yang pendek.
"Dari semua hal seni yang kau geluti, apa yang paling kau suka?" tanya Jongin yang saat ini membetulkan poni rambutnya.
"Hmm… fotografi? Tapi aku tidak yakin untuk pergi kesana, Hyung. Aku ingin seperti dirimu."
Jongin membalikkan badannya dan menghadap ke arah sang adik yang—mengenakan seragam sekolah—duduk di tepi ranjangnya, "Stop copying me, Kim Mingyu."
"But you are so cool, Hyung! Aku ingin berdiri di panggung seperti dirimu—"
"Mingyu-ya, terakhir kau mengikuti apa yang kau lakukan, kau memutuskan semua senar gitarmu dan menusuk selangkanganmu sendiri—bahkan aku tidak tahu bagaimana kau bisa melakukan itu."
"Tapi, Hyung—"
"Pursue your own dream—no, your own passion, Mingyu-ya," Jongin bergerak untuk menggantungkan tas ransel di punggung dan menenteng gitarnya, "aku tidak akan keberatan jika punya seorang adik fotografer terkenal—ah, mungkin kau bisa membuat photo exhibition sendiri?"
Mingyu tersenyum ketika mendengarkan ucapan kakak lelakinya, "Ay ay, captain! Aku akan menggeluti dunia fotografi!"
Jongin terkekeh dan mengacak-acak rambut adik lelakinya itu, "Aigoo, kau sudah mulai berubah rupanya."
"Hyung—"
"Hmm?"
"Aku akan menjadi fansitemu jika kau terkenal nanti," Mingyu bergerak dan memperagakan dirinya memegang kamera sembari fanboying, "Kim Jongin! I love you!" serunya.
Dan disaat itu Jongin menyesali perkataannya tentang Mingyu yang sudah berubah.
Dengan wajah bosan dia meninggalkan Mingyu yang ada di dalam kamarnya. Jongin memang berangkat lebih pagi daripada biasanya. Dia ingin menaruh gitarnya di studio terlebih dulu sebelum masuk ke kelas paginya. Dia, segera memindahkan letak tas ranselnya di punggung ke dadanya dan memberikan beban berupa case beserta gitar di punggungnya. Dengan semangat yang sebenarnya belum muncul, dia menyalakan motor skuternya dan bergegas menuju kampus.
Setelah sekitar 15 menit perjalanan, dia sampai disana. Sudah lumayan ramai, karena kelas pagi mungkin akan dimulai sekitar 15 menit lagi. Jongin segera berlari menuju studio untuk menaruh gitarnya, dan pergi ke kelas untuk menghuni bangku paling belakang—karena bangku itu menjadi hal yang paling diperebutkan ketika mata kuliah Dosen Nam tiba.
Tak beberapa lama, Dosen Nam masuk ke dalam kelas dengan membawa setumpuk kertas yang Jongin yakin, merupakan tugas yang sudah diberikan Taeil, ketua kelasnya. Jongin sudah menyiapkan mentalnya kali ini. Karena pasti, Dosen Nam akan mencemoohnya di depan kelas sekalipun—tanpa ampun.
Pria yang belum-menikah-meskipun-usianya-menginjak-kepala-lima itu mengangkat kertas keempatnya, "Kim Jongin."
Jongin yang sibuk dengan coretannya di bukunya itu mendongakkan kepalanya, "Ya?" jawabnya terkejut.
"Kau sudah tidak membenci musik klasik, huh?" ucap pria bernama lengkap Nam Woohyun itu.
"Maksudnya?" tanya Jongin tidak mengerti.
"Aku bisa memberikan kau nilai A—bahkan A plus jika bisa—kalau kau mengerjakan tugas dan ujianmu seperti ini," pria itu mengangkat beberapa lembar kertas yang cukup tebal, "sayangnya tulisanmu lebih buruk daripada biasanya. Tapi aku benar-benar menyukai pekerjaanmu kali ini."
"Huh? Tapi saya—" dia terdiam sejenak. Dia tidak mengerti. Seingatnya dia tidak mengumpulkan tugas, bahkan tidak membaca biografi Sebastian Bach sama sekali. Tapi… ada nama dan tanda tangannya di ujung atas kertas tugas tersebut. Karena dia merasa beruntung, maka dia menutupinya, "—ah, terima kasih." Ucap Jongin.
Dia tidak tahu siapa yang mengerjakan tugas tersebut. Dia berusaha mengingat-ingat siapa orang yang mungkin melakukan itu. Hanya ada satu nama, Do Kyungsoo. Karena Jongin masih ingat jika dia meninggalkan kertas tugasnya di meja besar perpustakaan. Tapi, dia tidak yakin Do Kyungsoo mau melakukan hal itu padanya. Atau mungkin, dia akan bertanya pada lelaki bermata bulat itu.
"Ah… I hate this situation." Gumam Jongin yang mengacak-acak rambutnya gusar.
.
.
.
TBC.
"I got one less, one less problem!" seru Jongdae menirukan sesosok Ariana Grande yang muncul di layar laptopnya.
"YA! YA! Suaramu! Hish!" seru Kris yang mulai risih dengan lagu Jongdae yang sedari tadi itu-itu saja.
"Hyung! Ariana Grande is so cool!" dia mengacungkan kedua kepalan tangannya, "Hey baby even though I hate ya, I wanna love ya—"
Jongin yang sibuk memetik gitarnya sesuai aransemen awal itu melirik ke arah Jongdae sembari mendesis—karena dia benar-benar ingin melemparkan hi-hat drum Chanyeol agar lelaki bersuara melengking itu terdiam. Ketika dia berusaha berkonsentrasi, pintu studio pun terbuka. The first dumb is coming.
"AKU DATAAAANG!"
Park Chanyeol.
"Oh God, I hate these two so much." Gerutu Jongin yang sebenarnya menjurus ke sebuah rengekan.
"Tell me, tell me, Baby. Why can't you leave me—" Jongdae lagi-lagi bernyanyi.
"YA! I hate Ariana Grande." Ucap Chanyeol.
Jongdae menoleh dan menyalak, "Kau tidak suka Ariana Grande? Kau bercanda—HA! Ariana is better than your fav. Nicki Minaj—who!"
"Nicki Minaj lebih seksi—at least Nicki Minaj has boobs, Loser."
"Chanyeol, for your information, you don't like boobs." Ucap Sehun menimpali.
"Benar juga, aku lupa—" Chanyeol kemudian berucap lagi, "Nicki Minaj can twerk! My anaconda don't—"
"Guys, stop—" ujar Kris yang mulai jengah.
Jongdae yang tidak terima itu berdiri, "Ariana lebih lucu—"
"YA!" teriak Sehun yang kemudian membuat semua orang menoleh ke arahnya, "Pinjam laptopnya," maknae tersebut mengetikan sesuatu. Ketika sudah selesai, dia menghadapkan laptop itu ke arah Jongdae dan Chanyeol.
Ketika Jongin melirik apa yang ditunjukkan oleh Sehun hingga membuat Chanyeol dan Jongdae antusias, dia ingin meledak. Karena Sehun memutarkan video lagu Side to Side dimana Ariana Grande berduet dengan Nicki Minaj.
"God, please, no." gumam Jongin dan Kris serempak—ketika melihat Jongdae dan Chanyeol yang sudah siap menyanyikan lagu berdua.
"Boy, got me walkin' side to side—"
Dan Jongin mendengar kalimat itu selama dua jam penuh—sampai-sampai dia yang semula tidak tahu-menahu lagu itu menjadi hafal dibuatnya.
Maaf kalo belum nyelesaiin yang lain tapi udah upload baru.
I just... can't help it, you know. Kalo udah ada ide pasti minta diketik :(
Tapi yang lain bakal diselesaiin kok. Trust me~
Hehe.
Salam, DerpMyungsoo.
N.