Disclaimer : Naruto dan seluruh karakternya BUKAN milik saya.
.
Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27
.
Warning : SASUNARU, BOYSLOVE! YAOI! OOC (ini fanfiksi, BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan segala kekurangan dan kecacatan lainnya. Kalo gak suka, NGGAK USAH CAPER :v
.
Note : sekali lagi aku ingatkan, jurus yang dipakai untuk bertarung dan hal-hal lain tidak sesuai sama manga/animenya, ya. Aku nggak hafal tiap jurus yang mereka kuasai, wkwkwk.
.
.
SELAMAT MEMBACA!
.
.
Naruto duduk diam di atas ranjang. Matanya menerawang menatap langit biru. Terdengar helaan napas dari hidung mancungnya. Sesekali mata biru itu menatap telapak tangan, lalu menatap tubuhnya yang berubah drastis.
Ino, sang fairy yang duduk di sebelah Naruto ikut menghela napas untuk alasan yang berbeda. Ia lelah mendengar helaan napas Naruto yang sudah tak terhitung jumlahnya.
"Kau kenapa, Naruto? Dari tadi menghela napas terus. Aku sampai lelah mendengarnya," kata Ino.
Naruto menghela napas lagi untuk kesekian kalinya. "Apa yang harus aku lakukan kalau aku tidak bisa menjadi laki-laki lagi, Ino?" tanya Naruto tanpa mengalihkan perhatiannya dari awan-awan yang menghiasi langit.
"Ya sudah, terima saja. Menjadi perempuan tidak seburuk itu kok," jawab Ino.
"Tapi aku lebih suka menjadi laki-laki," Naruto menutup matanya, lalu merebahkan dirinya di atas ranjang.
Ino memperhatikan tubuh Naruto dari atas ke bawah. Rambut pirang panjangnya terlihat halus, kulit kecoklatannya terlihat mulus tanpa cacat. Dadanya lumayan besar, bahkan lebih besar dari punya Ino. Badan Naruto juga ramping, ditambah tinggi badannya juga berada di atas rata-rata perempuan pada umumnya karena Naruto aslinya adalah laki-laki.
Fairy itu mendengus dalam hati. Apa yang ada di tubuh Naruto versi perempuan, adalah tubuh yang diidamkan banyak perempuan di dunia.
"Ayo, ikut aku," kata Ino sambil mengulurkan tangannya pada Naruto.
"Kemana?"
"Sudah, ikut saja. Dari pada berdiam diri di sini meratapi nasibmu."
Naruto menyambut uluran tangan Ino dengan tampang tak bersemangat. Ia mengikuti langkah kaki Ino yang entah akan membawanya kemana. Pemuda itu menoleh ke kanan, ke arah jendela persegi yang ada di sepanjang koridor.
Pemandangan berupa taman bunga yang cantik menyambutnya. Taman dengan bunga beraneka warna itu membuat sudut bibirnya melengkung ke atas. Naruto tidak tahu jika ia bisa sesenang ini hanya karena melihat hamparan bunga berwarna-warni. Apa ini salah satu efek perubahan tubuhnya?
"Naruto? Sedang apa kau?"
Naruto menoleh ketika Ino memanggilnya. Mereka berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu kayu berukir rumit. "Ini ruangan apa?"
Ino tersenyum, lalu membuka pintu ruangan itu. "Ini kamarku, Naruto. Masuklah," katanya. Ino membuka pintu kamarnya lebar-lebar, mempersilahkan teman baiknya untuk masuk. Naruto boleh memasuki kamar Ino karena saat ini Naruto seorang perempuan. Kalau Naruto sudah kembali menjadi laki-laki, ia tidak boleh memasuki kamar Ino.
Fairy itu menarik tangan Naruto menuju ke lemari pakaiannya. Ia menarik satu dress selutut warna biru tua, lalu menempelkannya di tubuh Naruto. "Hmmm, sepertinya yang ini cocok untukmu. Dress ini terlalu panjang kalau aku yang pakai, karena aku pendek. Tubuhmu lumayan tinggi, sepertinya cocok. Cobalah," kata Ino.
"Kenapa aku berpakaian seperti perempuan?"
"Ya, karena sekarang ini kau adalah perempuan. Di sini, perempuan tidak boleh memakai pakaian laki-laki, jadi kau harus pakai dress."
Naruto menggembungkan pipinya kesal. Seumur-umur, baru kali ini ia diwajibkan untuk memakai dress.
"Baiklah," kata Naruto lirih. Dia tidak ingin mencari masalah dengan fairy lagi, jadi lebih baik ia menurut saja.
Naruto segera mengenakan dress itu. Ino juga meminjamkan pakaian dalamnya yang sedikit kekecilan untuk Naruto. Kasihan.
"Nanti aku akan mengajakmu berbelanja beberapa pakaian. Pakaianku yang lainnya terlalu kecil untukmu," kata Ino.
"Berbelanja? Memangnya di sini ada pertokoan?"
"Tentu saja ada! Peradaban kami tidak jauh berbeda dengan peradaban di desa Sakura-san," balas Ino.
"Aku pikir, semuanya bisa dilakukan dengan sihir," kata Naruto.
Ino tertawa mendengar kata-kata Naruto. Fairy memang bisa menggunakan sihir, tapi bukan berarti semuanya bisa didapatkan hanya dengan menjentikkan jari atau merapal mantra. Ada satu dua hal yang hanya bisa didapatkan dengan tekad yang kuat dan kerja keras.
Naruto menurut saja ketika Ino menyeretnya untuk duduk di kursi kecil di sebelah ranjang. Kemudian, fairy itu mengambil sisir dan perlengkapan lainnya. Naruto terlihat pasrah, mau didandani seperti apa juga ia tidak akan membantah.
Setelah Ino selesai bermain dengan rambut, kini giliran wajah Naruto yang diutak-atik. Naruto pasrah dan tetap diam sampai Ino tersenyum puas saat melihat hasilnya. Naruto baru bereaksi saat ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya berubah menjadi lebih manis dan girly. Duh, semoga saja Sasuke tidak pingsan ketika melihat wajah Naruto.
Ino menepuk kedua bahu Naruto. "Nah, sekarang sudah cantik, tidak kumal dan acak-acakan seperti tadi," kata Ino, membuat Naruto tersenyum kecut. Fairy ini memuji atau menghina? "Bagaimana kalau kita main ke hutan di belakang kastil?"
"Hutan?"
"Iya, di sana ada danau yang sangat cantik. Kalau beruntung, kita bisa bertemu dengan dewi yang sangaaaaat cantik," kata Ino dengan nada yang terdengar berlebihan.
Naruto terdiam, menimbang sejenak. Dia agak trauma dengan kata 'hutan'.
Ino berusaha menyakinkan kalau mereka akan baik-baik saja. Naruto pun akhirnya mengangguk. Benar kata Ino, lebih baik ia pergi keluar dan bersenang-senang, dari pada duduk diam sambil merenungi nasib.
"Baiklah. Tapi, Ino, kau punya tas tidak?" tanya Naruto.
"Tas? Untuk apa?"
"Untuk membawa pakaianku. Ya untuk jaga-jaga saja kalau aku berubah jadi laki-laki, kan tidak lucu kalau aku pakai dress," kata Naruto sambil mengendikkan bahunya.
"Sebentar," Ino berjalan menuju ke lemari lalu membongkarnya, setelah beberapa lama mencari ia pun menemukan satu tas kain yang bisa dipakai Naruto. "Ini, pakai tas ini tidak apa-apa, kan?"
"Tidak apa-apa, terima kasih mau meminjamkannya untukku."
"Bukan masalah. Jadi, kita ke hutan sekarang?"
"Ayo!"
Ino beranjak, menuju ke jendela lalu membukanya. Naruto mengernyit ketika Ino melewati pembatas jendela, lalu melompat keluar. Sayap transparan fairy itu tampak berkilauan saat Ino mengepakkannya.
"Aku tidak bisa terbang, Ino!" seru Naruto. Pemuda itu meringis ketika melihat ke bawah, dia bisa mati kalau terjatuh dari atas sini.
Ino tersenyum. Ia mengulurkan tangannya. "Pegang tanganku," katanya.
Naruto menyipitkan mata. "Memangnya kau kuat menahan tubuhku? Tubuhku lebih besar darimu, loh!"
"Santai saja, aku tidak selemah itu, tahu! Aku sudah pernah melawan Choumei. Ingat?"
Naruto terdiam. Benar juga, Ino tampak kuat saat melawan Choumei. Pemuda itu pun mengulurkan tangannya, menyambut uluran tangan Ino. Naruto sempat memekik ketika Ino menarik tangannya, ia mengira tubuhnya akan terjatuh, tapi nyatanya tidak. Naruto mengambang di udara.
Pemuda itu tersenyum lebar ketika Ino mengajaknya terbang. Dunia Fairy sangat indah jika dilihat dari atas sini.
Mereka terbang selama beberapa saat sampai akhirnya Ino memutuskan untuk mendarat di tanah. Mereka berhenti di depan sebuah hutan yang tampak dingin dan menakutkan. Naruto memperhatikan sekitarnya, lalu meneguk ludahnya gugup. Bagaimana jika ada monster yang menyerang mereka? Hutan ini mengingatkannya pada Hutan Barat.
"Ino, kau yakin mau masuk ke hutan menyeramkan itu?"
Ino tersenyum ketika melihat rasa takut di mata Naruto. "Tidak apa-apa, hutan ini memang terlihat menyeramkan, tapi percayalah, di dalam hutan ini tidak ada monster berbahaya seperti di Hutan Barat," kata Ino, berusaha menenangkan sahabatnya.
"Baiklah kalau begitu," jawab Naruto. Pemuda itu memeluk tasnya dengan erat, karena selain berisi pakaian miliknya, di tas itu juga tersimpan Kristal Bulan yang belum sempat ia serahkan pada Sakura, karena Naruto keburu diseret Inoichi ke Dunia Fairy.
Sambil berdoa dalam hati, Naruto mengikuti langkah kaki Ino, masuk ke dalam hutan menyeramkan itu.
.
.
.
Sasuke menatap tajam Itachi yang tampak santai sambil menyesap teh yang disuguhkan oleh pelayan di rumah pemimpin Klan Akimichi. Itachi sengaja mengabaikan wajah cemberut Sasuke yang sejak kemarin ditunjukkannya secara terang-terangan.
Yah, tidak ada salahnya untuk sesekali menggoda adik kesayangannya itu.
"Kau masih kesal dengan keputusanku untuk membantu Chouza, Sasuke?" Itachi bertanya pada Sasuke melalui mindlink.
"Tentu saja aku kesal!" sahut Sasuke dengan nada dingin.
"Sudah berapa kali aku katakan, kita harus berkomunikasi melalui mindlink," kata Itachi, pelan tapi tegas. Ekspresi pemuda tampan itu berubah serius. "Aku tidak ingin rencana yang sudah kita susun semalam gagal. Kau mengerti, Sasuke?"
Sasuke menghembuskan napasnya dengan keras. "Ya, ya, aku mengerti," jawabnya dengan nada malas.
Itachi tersenyum tipis. Semalam, ia sudah menjelaskan pada Kyuubi dan Sasuke tentang alasan mengapa ia bersedia membantu Chouza.
Sebenarnya, Itachi hanya berpura-pura menerima tawaran yang diajukan oleh Chouza. Menurutnya, akan lebih baik untuk mengikuti Chouza daripada mencari Naruto seorang diri. Setelah mereka berhasil menemukan Naruto, tinggal kabur saja lalu kembali ke dunia manusia. Terdengar mudah, bukan?
Dan demi memuluskan rencananya, Itachi melarang Kyuubi dan Sasuke untuk bicara secara langsung, lebih baik mereka memanfaatkan mindlink saja. Lebih aman dan tidak akan ada yang bisa menguping pembicaraan mereka.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian ketiga pemuda itu.
Seorang fairy bertubuh gemuk membuka pintu. "Kalian diminta menghadap Chouza-sama," katanya.
"Okay," Sahut Itachi. "Kami segera ke sana. Apa kau bisa mengantar kami?"
Fairy itu mengangguk, lalu Itachi, Kyuubi dan Sasuke mengikuti fairy gemuk itu tanpa suara. Fairy yang tidak mereka ketahui namanya itu membawa mereka keluar dari rumah pohon, menuju ke lapangan di sebelah rumah pohon itu.
Chouza duduk di pinggir lapangan, sementara anak buahnya duduk berjejer di depannya. Semua anak buah Chouza memakai armor. Itachi menyeringai dalam hati. Sepertinya mereka sudah siap berperang.
"Ah, Uchiha!" sapa Chouza, entah menyapa Uchiha yang mana. "Kemarilah, duduk bersama kami!"
Itachi tersenyum. "Selamat pagi, Chouza-san," Itachi balas menyapa, karena Kyuubi dan Sasuke tampak enggan membalas sapaan fairy itu. Mata hitamnya kemudian teralih pada sesosok fairy gemuk yang duduk di sebelah Chouza. Siapa dia?
Menyadari arah pandang Itachi, Chouza menepuk bahu fairy gemuk yang duduk di sebelahnya. "Ini Chouji, anakku, yang akan aku nikahkan dengan Ino!" kata Chouza.
"Ah," Itachi menggangguk, lalu tersenyum. "Rupanya ini anak Anda."
"Benar! Dia tampan, kan? Ketampanannya menurun dariku!" kata Chouza sambil tertawa terbahak-bahak. Dia memang sangat menyayangi dan memanjakan Chouji. Apapun akan ia lakukan demi sang anak.
Kyuubi berdehem, berusaha keras menahan tawanya yang nyaris menyembur keluar. "Sasuke, katakan padaku, bagian mana yang tampan dari Chouza?" tanya Kyuubi pada Sasuke, melalui mindlink.
Sasuke mendengus kecil. "Lubang hidungnya," balas Sasuke, membuat Kyuubi semakin keras menggigit bibir bawahnya agar tawanya tidak menyembur keluar. Kedua pemuda itu memang kompak jika disuruh menghina orang.
"Baik, kita mulai rapatnya!" seru Chouza.
Itachi duduk di sebelah salah satu anak buah Chouza, sementara Kyuubi dan Sasuke duduk di belakangnya. Ketiga pemuda itu mendengarkan rencana penyerangan Kastil Yamanaka dengan serius, sambil mencari celah agar mereka bisa menjalankan rencana yang sudah mereka susun.
Chouza dan anak buahnya akan menyerang Kastil Yamanaka pada malam hari, dimana para fairy di kastil itu sedang bersiap untuk istirahat. Inoichi pasti tidak menyangka kalau klannya akan diserang oleh Klan Akimichi. Setelah itu, ia membahas strategi perang yang akan digunakan dan rencana cadangan jika rencana awal mereka gagal.
Rapat itu selesai dua jam kemudian. Para anak buah Chouza segera membubarkan diri, menyiapkan diri dan juga senjata yang akan mereka pakai untuk peperangan malam nanti.
Sementara itu, Chouza mengajak Itachi, Kyuubi dan Sasuke untuk kembali ke rumah pohon.
"Oh, ya, bagaimana ciri-ciri teman kalian? Aku perlu tahu ciri-ciri teman kalian, agar anak buahku tidak salah menyerang," tanya Chouza.
"Laki-laki, tampan, berambut pirang, bermata biru," jawab Sasuke.
Chouza mengangguk. "Hmmm, bermata biru dan berambut pirang? Mirip Ino."
"Ya, perawakannya memang mirip Ino," sahut Kyuubi. "Apa kau berani menjamin kalau tidak akan ada satupun dari prajuritmu yang akan menyakiti teman kami?"
Chouza kembali tertawa. "Tenang saja, Kyuubi!" fairy itu mengangkat lengannya, lalu merangkul Kyuubi. "Temanmu akan baik-baik saja, asalkan kalian mau membantuku. Chouji harus menikah dengan Ino."
"Memangnya kenapa harus menikah dengan Ino?" tanya Kyuubi.
"Itu karena …," ucapan Chouza menggantung, lalu ia menyeringai. "Chouji mencintai Ino, tentu saja."
Kyuubi mendengus dalam hati. Chouza pasti mengincar kedudukan Inoichi. Pemuda itu kemudian melepaskan rangkulan Chouza dengan paksa setelah ia menyadari Itachi yang berjalan di sebelahnya memasang wajah seram. Gawat, bisa-bisa Itachi menerkam Chouza jika ia tidak buru-buru menjauh dari fairy gemuk ini.
"Wajahmu terlihat jelek, Itachi," Kyuubi mengirim mindlink.
Itachi mendengus. "Kalau tidak ingat rencana kita, aku sudah mencabik leher fairy gemuk itu sedari tadi," Itachi berseru kesal.
Kyuubi nyengir kuda. Ia paham, Itachi sangat tidak suka jika ada yang menyentuh Kyuubi seenaknya, apalagi disentuh orang yang memiliki sifat seperti Chouza.
"Ah, iya, apa kalian ingin ikut latihan bersama para prajuritku?" tawar Chouza.
"Bolehkah?" sahut Sasuke. Lumayanlah, untuk persiapan sebelum menghajar bokong Inoichi. Fairy sialan yang sudah berani menyeret Naruto ke dunia asing ini.
"Tentu saja boleh! Ayo!" ajak Chouza, menuju ke lapangan khusus untuk melatih para prajuritnya.
.
.
.
Obito berjalan menuju ke kamar Sakura sambil menyeruput kopi yang baru saja ia seduh. Ia tidak bisa tidur nyenyak semalam karena mengkhawatirkan Sakura yang masih belum sadarkan diri.
B sudah kembali dari tugasnya mencari informasi, dan kini sedang menjaga Sakura bersama Shukaku.
"B, ini kopi untukmu," kata Obito, sambil menyerahkan secangkir kopi pada B.
"Oh, terima kasih banyak, Obito-kun."
Obito tidak menjawab. Ia duduk di pinggir ranjang sambil menyuruput kopinya "Sakura masih belum sadar?" Tanya Obito, yang dijawab gelengen kepala B.
"Kalau aku boleh tahu, Obito-kun, apa yang terjadi padanya? Mengapa penyihir sekuat Sakura bisa tumbang seperti ini? Sepertinya ketika aku pergi untuk mencari informasi tentang Akatsuki, ia terlihat baik-baik saja."
Obito memejamkan matanya, lalu menghela napas lelah. "Aku juga tidak tahu. Awalnya ia meminjam energiku untuk melakukan ritual. Semacam ritual untuk melepaskan jiwanya atau apalah itu, agar ia bisa menemui Shion Si Penyihir. Lalu di tengah-tengah ritual, tiba-tiba saja ia berteriak histeris, katanya ada orang yang menyakiti Shion, tapi ia tidak menjelaskan siapa orang itu karena Sakura-san keburu pingsan."
"Ah, begitu," B mengangguk paham. "Sepertinya ia kelelahan, energinya habis, makanya ia pingsan."
Obito menghela napas sekali lagi. Ia sangat berharap, Sakura segera membuka matanya.
"Oh ya, bagaimana informasi tentang Akatsuki?"
B menyeruput kopi buatan Obito. "Pein dan anak buahnya masih berada di kastil Uchiha. Hanya beberapa anak buahnya saja yang terlihat berjaga di perbatasan. Selain itu, tidak ada informasi penting apapun. Sangat sulit mencari informasi tentang Akatsuki."
"Hmmm," gumaman Sakura terdengar.
Obito terperanjat, ia segera meletakkan cangkir kopinya lalu menghampiri Sakura. "Sakura-san? Kau sudah sadar? Kau baik-baik saja?" Tanya Obito.
Mata hijau Sakura terbuka. Ia tampak kebingungan sesaat, kemudian matanya fokus menatap mata hitam Obito. "Obito-kun?" kata Sakura dengan suara yang terdengar lirih dan serak. "Apa yang terjadi?"
Obito mencondongkan tubuhnya ke arah Sakura, lalu membantunya untuk duduk. "Kemarin kau tiba-tiba pingsan setelah menangis histeris sambil meneriakkan nama Shion."
Mata hijau itu terbelalak. "Ah! Shion!" Sakura terlihat panik dan hendak menuruni ranjang, tapi ditahan oleh Obito.
"Jangan sekarang, Sakura-san. Tubuhmu masih lemah. Akan sangat berbahaya kalau kau pergi sekarang. Apalagi Itachi dan yang lainnya masih belum kembali. Kau harus memulihkan tenagamu dulu. Oke?" bujuk Obito.
"T-tapi, Shion …,"
Obito menggenggam tangan Sakura. "Shion adalah penyihir hebat, dan dia adalah temanmu, kan?" Tanya Obito, membuat Sakura mengerutkan keningnya bingung.
Bukankah Obito sudah tahu kalau Shion adalah temanku? Batin Sakura.
"Jika jawabannya adalah iya, maka yang perlu kau lakukan adalah percaya pada Shion, percaya pada kemampuannya. Shion Sang Penyihir Hebat tidak akan kalah dengan mudah."
Sakura menatap Obito yang tampak sangat yakin dengan ucapannya. Entah dia salah lihat atau apa, tapi tatapan Obito terlihat lembut. Mau tidak mau, Sakura menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Obito-kun. Sahabatku memang hebat dan tidak akan kalah dengan mudah. Aku harus memulihkan energiku jika aku ingin menyelamatkan Shion, dan juga membantu kalian mengalahkan Akatsuki," kata Sakura, tanpa mengalihkan tatapannya dari Obito.
Obito tersenyum, membuat wajahnya terlihat berkali lipat lebih tampan.
Sakura menggigit bibirnya. Jantungnya mendadak berdetak kencang ketika melihat senyum di wajah Obito. Ia mengalihkan tatapannya, lalu mengusap-usap pipinya yang terasa panas.
"Ehem ehem!"
Deheman B membuat Sakura menoleh kaget. "Ah! B-kun! Kapan kau kembali? Maaf, aku tidak menyadari keberadaanmu."
B mengangkat bahunya acuh. "Ya, tidak apa-apa. Orang-orang memang selalu tak menyadari keberadaanku, padahal badanku sebesar ini," sindir B. "Oh ya, kau ingin mengembalikan energimu, kan? Aku bisa membantu, kalau kau tidak keberatan. Aku memiliki energi yang sangat besar, jadi aku bisa membagi energiku padamu."
"Benarkah? Bagaimana caranya?"
"Hmmm," gumam B, tampak berpikir. Tiba-tiba sekelebat ide muncul di kepalanya. Ia melirik Obito, lalu menyeringai. "Caranya, aku dan kau, berada di dalam sebuah ruangan, berdua saja," seringai B makin lebar ketika ia melihat perubahan ekspresi di wajah Obito. B mengangkat kedua tangannya, lalu menggerakkan jari-jarinya seolah jarinya adalah tentakel, "Kau tahu maksudku, kan–"
Belum selesai B berbicara, Obito melempar bantal tepat di wajahnya. "Jangan macam-macam pada Sakura! Atau aku akan–"
"Aku harus menggunakan tentakelku untuk menyalurkan energiku pada Sakura-san. Kami harus bermeditasi di sebuah ruangan yang sepi dan sunyi!" gerutu B, sambil melemparkan kembali bantal malang di tangannya ke arah Obito. "Ah, memangnya, apa yang kau pikirkan tadi? Kenapa kau marah?"
Wajah Obito tampak merah padam karena malu. Tadinya ia berpikir kalau B akan melakukan hal yang tidak-tidak pada Sakura, dan entah mengapa hal itu membuatnya kesal sampai ke ubun-ubun.
"Tidak ada. Aku tidak memikirkan apapun," sangkal Obito. "Sudah, aku mau mandi, lalu makan. Aku lapar!" katanya, lalu ia beranjak dari kamar Sakura.
"Bukankah tadi kau sudah mandi dan sudah makan?" sahut B.
Obito tak menjawab, dia segera kabur dari kamar Sakura.
B tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Obito. Dia memang seorang Uchiha yang hebat dan jago berkelahi, tapi, untuk urusan wanita, ternyata Obito termasuk tipe laki-laki pemalu.
"Kalian ini kenapa, sih?" Tanya Sakura. Wajahnya terlihat bingung.
"Rahasia!" jawab B sambil tersenyum jahil.
Sakura tertawa kecil mendengar jawaban B yang terdengar seperti anak kecil. Gadis cantik itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ia baru sadar kalau ia dikelilingi laki-laki yang unik dan ajaib.
.
.
.
Naruto berjalan sambil mengamati sekelilingnya. Deretan pepohonan hijau yang lebat seolah tidak ada habisnya. Ia dan Ino sudah berjalan memasuki hutan selama satu jam, tapi mereka belum juga sampai di tempat tujuan.
"Ino, apakah masih jauh?" tanya Naruto. Pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah untuk mengusir hawa panas. Pemuda itu menggaruk rambutnya yang terasa lembab karena keringat.
Ino menoleh, ia mendelik ketika Naruto menggaruk rambutnya hingga tatanan rambutnya berantakan. "Jangan menggaruk rambutmu seperti itu, Naruto! Sekarang ini kau seorang gadis, dan seorang gadis harus selalu tampak cantik dan rapi!"
Naruto mengangkat bahunya acuh. "Aku tidak peduli dengan penampilan," katanya.
"Nanti tidak akan ada orang yang menyukaimu kalau penampilanmu seperti monster gurun begitu!"
"Kata siapa? Aku punya Sasuke. Sasuke sudah bilang padaku, kalau dia tidak akan memandang bagaimana pun rupaku, dia akan menerimaku apa adanya," sahut Naruto. Terselip nada bangga dalam ucapannya.
Ino berdecih. Dia lupa, pasangan Naruto adalah seorang werewolf, yang tingkat kesetiaan pada pasangannya tak bisa diremehkan. "Ya sudahlah, terserah kau saja," katanya. "Danau tujuan kita sudah dekat."
"Benarkah? Kau terus mengatakan hal itu sejak satu jam yang lalu," Naruto mengerucutkan bibirnya, ia menunduk memperhatikan kerikil-kerikil kecil yang ada di bawah kakinya. Naruto menghentikan langkahnya ketika Ino berhenti berjalan. "Ada apa?"
Ino menunjuk ke depan. "Di depan sana adalah danau tempat dewi cantik itu."
"Benarkah?"
"Ya. Kata ayahku, tidak semua fairy bisa melihat wujud sang dewi. Hanya fairy tertentu saja. Kalaupun ada yang ingin bertemu sang dewi, ada ritual khusus yang harus ia lakukan, itupun tidak selalu berhasil," jelas Ino.
"Hmm, susah juga, ya. Sepertinya dewi cantik itu orang yang moody," komentar Naruto.
Ino menggandeng tangan Naruto, lalu menariknya menuju ke sebuah danau berair jernih di depan sana. Pemandangan di danau itu sangat indah, dikelilingi pepohonan dan juga perbukitan hijau. Naruto seperti sedang melihat lukisan yang sangat cantik di galeri seni.
Ia jadi teringat keluarganya di dunia manusia. Kalau saja mereka bisa main ke tempat ini.
"Tunggu di sini, Naruto. Aku ingin mengambil air danau itu, siapa tau aku bisa melihat wujud sang dewi," kata Ino, lalu berjalan menuju ke tepian danau yang terlihat bersih.
Naruto kembali menatap sekeliling. Perhatian pemuda itu teralih ketika ia mendengar suara tangisan seorang wanita. Kening pemuda itu berkerut, apakah ada fairy yang tersesat di hutan ini?
Naruto mengikuti asal suara tangisan itu. Asalnya dari balik sebuah pohon besar di pinggir danau, agak jauh dari lokasi Ino mengambil air. Pergi sebentar tidak masalah, toh ia masih bisa melihat Ino yang sedang berjongkok di pinggir danau, pikir Naruto.
"Halo?" panggil Naruto ketika ia sampai di pohon besar itu. "Apa ada orang disitu?"
Kerutan di kening Naruto semakin dalam ketika suara tangisan itu semakin jelas terdengar. Ia berusaha melongok ke balik pohon, dan betapa terkejutnya Naruto ketika ia melihat seorang gadis sedang terduduk di bawah pohon sambil menangis tersedu-sedu.
"Apa kau baik-baik saja, Nona?" sapa Naruto pelan, berusaha bertanya pada gadis yang sedang menangis itu.
Naruto tampak terkejut ketika gadis itu mendongak. Wajah gadis itu terlihat sangat manis dan cantik, membuat Naruto yang aslinya adalah laki-laki tulen, sempat terpesona untuk sesaat.
Gadis itu berambut gelap panjang, wajahnya mungil, kulitnya putih bersih. Bibir tipis merah jambunya sedikit terbuka, matanya yang bulat berpupil perak tampak terkejut menatap wajah Naruto.
"Kau siapa?" tanya sang gadis, dengan suara pelan yang terdengar merdu.
"Eh?" Naruto tampak gugup. Baru kali ini ia berhadapan dengan gadis secantik ini. "A-aku Naruto. Kau siapa? Kenapa menangis di sini?"
Gadis itu menundukkan kepalanya, wajahnya tampak murung. "Aku kehilangan selendangku, seseorang telah mengambilnya," gumam sang gadis.
Naruto yang tidak tega melihat wajah cantik itu terlihat murung, memberanikan diri untuk bertanya. "Siapa yang mengambil selendangmu?"
"Seseorang bernama Toneri. Dia adalah tunanganku, tapi dia malah mengambil selendang kesayanganku. Aku benci dia!"
Naruto mengangguk paham, lalu duduk di sebelah gadis cantik itu. Ternyata gadis ini menangis karena sedang galau.
"Namamu siapa?" Tanya Naruto.
Gadis itu mengusap air matanya dengan ujung jarinya, "Namaku Hinata. Namamu siapa? Kau cantik sekali," puji gadis itu.
Cantik? Naruto sempat bingung ketika mendengar pujian sang gadis, tapi kemudian ia teringat, sekarang dia adalah perempuan. Thanks to Inoichi.
"Ah, aku tidak cantik. Kau lebih cantik dariku," kata Naruto. Lagi pula aku ini laki-laki, tambah Naruto dalam hati.
Hinata tersenyum lembut. "Cantik itu tidak selalu tentang wajah. Hati yang baik dan bersih, lebih penting daripada wajah yang cantik," katanya.
Naruto tertawa kecil mendengar ucapan Hinata. "Benar juga," timpal Naruto. "Ah iya, apa kau ingin selendangmu kembali? Aku bisa membantumu kalau kau mau."
Hinata menatap wajah Naruto dengan wajah berseri-seri. "Benarkah kau mau membantuku?" tanyanya.
"Kalau ada yang bisa aku lakukan untuk membantumu, tentu aku mau."
"Tapi Toneri tak akan mau mengembalikan selendangku begitu saja," kata Hinata, wajahnya kembali murung. "Dia marah padaku karena aku selalu menolak undangannya untuk minum teh di istananya."
Minum teh di istana? Naruto ingin tertawa, rasanya seperti hidup di abad pertengahan.
"Tenang saja, Hinata, Toneri pasti mengembalikan selendangmu. Kalau Toneri benar-benar mencintaimu, dia tak akan pernah menyakitimu. Siapa tahu, dia hanya ingin menarik perhatianmu dengan cara mencuri selendang kesayanganmu."
"Naruto! Naruto! Kau dimana?!"
Naruto tersentak ketika ia mendengar suara Ino dikejauhan. "Hinata, disana ada temanku yang bernama Ino. Kalau aku berbicara dengannya, dia pasti akan membantumu juga. Bagaimana?"
"Apa kau yakin dia mau membantuku?"
"Tenang saja, Ino anak yang baik. Ayo!" Naruto menarik pergelangan tangan Hinata lalu berlari kecil menghampiri Ino.
"Ino!" panggil Naruto.
"Naruto! Kau kemana saja?! Aku mencarimu kemana-mana, ku pikir kau hilang–eh?" semburan amarah Ino surut seketika, ketika ia melihat Naruto sedang menggandeng–lebih tepatnya menyeret–seorang gadis yang sangat cantik.
Ino menarik lengan Naruto, lalu berbisik di telinganya, "Siapa dia? Cantik sekali! Aish, aku terlihat seperti butiran abu vulkanik jika dibandingkan dengannya," bisik Ino.
"Namanya Hinata. Tadi aku lihat dia sedang menangis, katanya seseorang bernama Toneri mencuri selendang kesayangannya," jelas Naruto. "Ino, apa kita bisa membantunya?"
Ino melirik Hinata, lalu menyentuh dagunya tanda ia sedang berpikir. "Hmm, baiklah, kita bisa membantunya. Tapi jika situasi berubah berbahaya, aku harus segera membawamu kembali, aku tidak bisa membahayakan nyawamu atau Sasuke akan mencabik leherku."
Naruto mengangguk mantap. "Aku setuju!"
Setelah itu, Ino menanyakan pada Hinata dimana mereka bisa menemukan Toneri agar mereka bisa mengambil kembali selendang yang dicurinya.
"Toneri tinggal di Istana Langit. Istana Langit terletak di Bulan," kata Hinata.
"Apa? Istana langit? Di bulan?" beo Naruto. Mata birunya membulat lucu. "Lalu, bagaimana caranya kita pergi kesana? Aku bukan astronot! Disini juga tidak ada roket!" racaunya.
"Sebenarnya, jika aku punya selendangku, aku bisa mengajak kalian untuk terbang langsung ke Istana Langit. Tapi karena selendangku dicuri oleh Toneri, aku memerlukan bantuan."
Hinata berjalan dengan anggun ke pinggir danau, lalu bernyanyi. Suara Hinata benar-benar merdu dan enak didengar. Tiba-tiba, permukaan danau yang semula tenang, menjadi beriak. Naruto melotot horror ketika sesosok naga berwarna keemasan muncul dari dalam danau.
Hinata tersenyum lembut kepada naga itu. "Selamat siang, Naga Emas," sapa Hinata. "Bisakah kau membantuku pergi ke Istana Langit? Aku ingin menemui Toneri."
"Dengan senang hati, Hinata-hime," jawab Naga itu. Suaranya berat dan dalam, membuat tengkuk Naruto meremang. "Apakah kedua orang itu teman Anda?"
"Benar, mereka temanku. Bolehkah mereka ikut bersamaku? Mereka ingin menemaniku."
"Tentu saja, Hime-sama. Silahkan Anda dan kedua teman Anda naik ke punggung hamba, akan hamba antarkan ke Istana Langit sekarang juga."
"Terima kasih, Naga Emas," kata Hinata, sambil tersenyum manis.
Naruto tak sanggup berkata-kata ketika ia dituntun untuk menaiki naga bersisik emas itu. Tidak pernah terlintas diimajinasinya yang paling liar sekalipun untuk menaiki seekor naga, bersisik emas pula. Kakashi pasti iri setengah mati kalau ia menceritakan semua hal tak masuk akal yang ia alami ini. Kakashi kan suka benda-benda berkilau.
Tidak butuh waktu lama bagi naga bersisik emas ini untuk terbang menembus angkasa. Naruto bagaikan menaiki roller coaster berkecepatan tinggi yang terbang menembus awan-awan di langit.
Setelah beberapa lama terbang menembus langit, akhirnya naga itu mendarat di depan sebuah bangunan yang mirip istana kerajaan. Istana ini berdiri di atas sebuah awan yang sangat besar.
Naruto menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia merasa familiar dengan adegan ini. Rasanya seperti sedang syuting film kolosal tak masuk akal yang sering ditonton Kakashi.
"Kita sudah sampai, dan ini adalah istana milik Toneri," kata Hinata, seolah menjawab berbagai pertanyaan yang berseliweran dipikiran Naruto.
Sejujurnya Naruto agak terkejut karena ia tak mengalami kesulitan bernapas.
"Aku bisa bernapas dengan normal, ya. Aku pikir aku akan mengalami kesulitan bernapas. Apa sebaiknya aku mendaftarkan diri untuk jadi astronot saja, ya?" kata Naruto.
Hinata tersenyum manis. "Manusia biasa memang akan kesulitan bernapas, Naruto. Tapi pengecualian untuk makhluk seperti kita," jawab Hinata.
Makhluk seperti kita?
Baru saja Naruto hendak bertanya apa maksud ucapan Hinata, pintu gerbang istana mendadak terbuka, seorang pemuda tampan berpakaian serba putih muncul dari dalam istana.
Ino dan Naruto sempat tercengang melihat betapa tampannya pemuda itu.
"Toneri," gumam Hinata. Gadis cantik itu melangkah dengan anggun mendekati tunangannya. "Bisakah kau kembalikan selendangku?"
Toneri menatap Hinata dengan tatapan yang terlihat lembut. "Bagaimana kabarmu, Hinata? Sudah lama sejak terakhir kali kau kemari," katanya. Tatapan pemuda tampan itu teralih pada Naruto dan Ino. "Ah, kau bahkan membawa teman. Seorang fairy, dan … hm? Makhluk apa kau?"
Naruto terkesiap, Toneri sedang berbicara padanya. "Aku manusia, lah, memangnya aku terlihat seperti ganggang laut?" jawab Naruto ketus, ia sedikit tersinggung dengan pertanyaan Toneri.
Toneri tak menjawab. Ia memandang Naruto dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Masuklah, kita bisa minum teh di dalam," Toneri mempersilahkan para tamunya untuk masuk ke dalam istananya. Menurutnya akan sangat tidak sopan jika ia tidak menawarkan teh pada tamu yang berkunjung ke istananya, apalagi mereka adalah teman Hinata.
Naruto dan Ino sibuk memperhatikan istana yang terlihat megah, namun suram di saat bersamaan. Istana ini juga sepi, tidak seperti istana pada umumnya. Seolah-olah Toneri tinggal sendirian.
Mereka digiring ke sebuah ruangan khusus untuk minum teh, lalu mereka disuguhkan teh yang sangat nikmat, sangat berbeda dengan teh yang pernah mereka minum selama ini.
Baik Ino maupun Naruto tidak ada yang berani membuka mulut.
"Toneri, bisa kau kembalikan selendangku?" Tanya Hinata, memecah keheningan di antara mereka. "Aku memerlukan selendangku."
Toneri menyesap tehnya dengan perlahan. "Tentu saja. Aku tidak ada niat untuk mengoleksi selendang wanita," jawabnya. "Aku hanya ingin mengundangmu minum teh bersamaku, di istana ini."
"Masa mengundang minum teh saja harus mencuri selendang segala? Kau tidak berani mengajak wanita minum teh?" celetuk Naruto. Bocah itu kemudian menepuk bibirnya yang sudah berbicara dengan lancang. "Ah, maaf, kebiasaan," tambah Naruto sambil meringis.
Toneri menatap Naruto. "Aku kesepian di sini, jadi itu satu-satunya cara agar Hinata mau menemaniku."
"Kesepian?" Ino ikut bertanya.
"Aku tinggal sendirian, aku tidak punya keluarga."
Naruto meletakkan cangkir tehnya yang sudah kosong. "Oh, kalau begitu ajak saja Hinata untuk membuat sebuah keluarga!" celetuk Naruto, membuat Toneri dan Hinata tersedak air tehnya nyaris bersamaan.
Ino menepuk wajahnya dengan frustasi. Komentar bocah pirang ini memang kadang-kadang membuatnya sakit kepala.
"Naruto, kau sadar apa yang kau ucapkan tadi?" tegur Ino dengan nada berbisik.
Naruto tampak tidak bersalah. "Memangnya ada yang salah? Kalau Toneri kesepian, dia hanya harus menikahi Hinata, dan anak-anak yang lucu pun akan terlahir. Benar, kan?"
Hening setelahnya. Tidak ada dari mereka yang membuka mulut. Toneri sibuk dengan tehnya, sementara Hinata menundukkan wajahnya yang terlihat merah padam karena malu.
"Tenang saja, Hinata, aku akan mengembalikan selendangmu setelah acara minum teh ini selesai," kata Toneri memecah keheningan. "Jadi, apa kau masih menolak untuk bertunangan denganku?"
"Tidak, jika kau bisa berhenti bersikap kekanakan."
"Sungguh?"
"Ya," jawab Hinata.
Setelah acara minum teh selesai, Toneri benar-benar menepati janjinya untuk mengembalikan selendang Hinata. Sejujurnya, ini agak melenceng dari imajinasi Naruto. Naruto pikir, mereka akan bertarung dengan Toneri atau semacamnya, tapi ternyata mereka hanya mengobrol sambil minum teh.
Hinata memakai kembali selendangnya, lalu mengajak Naruto dan Ino untuk kembali ke daratan. Hinata merentangkan selendangnya, lalu semacam bola transparan berpendar kebiruan menyelubungi mereka bertiga. Dan, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja mereka sudah sampai di depan danau tempat naga emas tadi muncul.
"Wah, cepat sekali! Rasanya seperti teleportasi!" seru Naruto.
"Kita memang teleportasi, Naruto," jawab Hinata. "Ah iya, terima kasih sudah bersedia menemaniku ke istana Toneri, ya. Kalau tidak ada kalian, kami pasti sudah bertarung habis-habisan di sana. Nah, sebagai tanda terima kasihku pada kalian, aku akan memberikan sesuatu."
Hinata mengangkat tangan kanannya, lalu dua buah kalung dengan bandul berwarna biru laut muncul di telapak tangan Hinata. Ia memberikan kalung itu pada Naruto dan Ino.
"Nah, pakailah kalung itu. Jika sewaktu-waktu kalian memerlukan bantuan, aku akan segera datang. Kalung itu juga sebagai tanda kalau kalian adalah temanku. Kalian bisa datang mengunjungiku kapan saja. Jika kalian menunjukkan kalung ini, orang-orangku akan langsung tahu kalau kalian adalah teman Hinata, Sang Dewi Bulan."
Ino membelalakkan matanya. Ia refleks berlutut, "Maafkan kelancangan hamba tidak mengenali Anda, Hinata-hime!" Ino menarik Naruto untuk ikut berlutut karena pemuda itu masih berdiri tegak dengan tampang bodohnya.
Hinata tertawa, tawanya benar-benar merdu dan enak didengar. "Tidak perlu berlutut padaku, Ino dan Naruto. Kalian adalah temanku," katanya. Ia kemudian membantu kedua orang itu untuk berdiri. "Ah, sebelum aku kembali ke istanaku, ada satu hadiah lagi untuk Naruto."
Hinata mengangkat tangannya, lalu dari ujung jari telunjuknya, muncul sinar berpendar kebiruan. Ia mengarahkan sinar itu ke kening Naruto. Naruto refleks memejamkan matanya ketika sesuatu yang hangat menyentuh keningnya.
"Apa itu?" Tanya Ino.
Hinata tersenyum lembut. "Ini akan membantu Naruto untuk mengendalikan Kristal Bulan dengan baik."
Mata Naruto refleks terbuka lebar. "Apa? Dari mana kau tahu aku membawa Kristal Bulan?!"
"Aku ini Dewi Bulan. Mudah bagiku untuk mendeteksi keberadaan Kristal itu. Dan sepertinya kristal itu sudah memilih pemiliknya yang baru. Semoga kau bisa menggunakan kekuatan kristal itu dengan bijak."
Naruto tersenyum lebar. "Pasti!" jawabnya.
"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Terima kasih dan sampai jumpa lagi, Naruto, Ino!"
Hinata melambaikan tangannya, lalu menghilang.
Setelah kepergian Hinata, kedua orang berambut pirang itu pun memutuskan untuk kembali ke kastil Yamanaka. Hari sudah beranjak gelap, Inoichi pasti khawatir jika anak gadisnya belum kembali.
.
.
.
Begitu menginjakkan kaki di halaman istana, Ino dan Naruto sudah disambut salah satu pengawal pribadi Inoichi. Pengawal itu memberitahu Ino jika ayahnya sudah menunggu di ruang pertemuan..
Tanpa banyak bertanya, kedua orang berambut pirang itu bergegas menemui Inoichi di ruang pertemuan.
"Ada apa, Ayah?" Tanya Ino ketika ia sudah sampai dihadapan sang ayah.
"Ah, Ino, anakku. Kau sudah tiba rupanya," kata Inoichi berbasa basi.
Perhatian Ino teralih pada seseorang yang duduk di sebelah Inoichi. "Sai? Ada urusan apa kau di sini?" Tanya Ino dengan nada ketus.
"Aku hanya ingin menemuimu dan juga ayahmu, Ino," balas Sai. Ia tersenyum lembut pada Ino.
Ino berdecih, lalu perhatiannya kembali lagi pada sang ayah. "Jadi, ada urusan apa Ayah memanggilku kemari?"
Inoichi menatap Ino dan Naruto bergantian. "Ayah ingin mempercepat pernikahanmu dan Sai," jawab Inoichi. Pria itu tersenyum ketika melihat reaksi sang anak yang sudah bisa ia tebak. "Sebelum kau membantah, ku harap kau mau mendengar alasan Ayah dulu, Ino."
Ino menggeram. "Kalau begitu jelaskan!"
"Ayah mendapat firasat kalau kau harus menikah dengan Sai secepatnya. Ayah tidak akan pernah menyerahkanmu pada orang licik macam Chouza, kau terlalu berharga untuk mereka. Mereka hanya mengincar harta dan tahta, dan ayah tak yakin apa anak Chouza bisa memperlakukanmu dengan baik."
"Kenapa aku harus menikah dengan Sai? Kita berperang saja melawan mereka!"
Inoichi memijat pelipisnya. "Ino, anakku, dengarkan ayah. Jika kau menikah dengan Sai, otomatis Chouji tak akan bisa menikahimu. Segala rencana Chouza akan gagal," jelas Inoichi. "Perang bukanlah hal yang baik, nak. Pikirkan rakyat kita yang pastinya akan menderita. Chouza ingin merebut tahta dengan cara menikahkanmu dengan anak tunggalnya. Jika kau menikah dengan anaknya, Chouji pasti akan menjadi pemimpin selanjutnya. Mereka itu orang-orang yang kejam, kau pasti tahu, kan, apa yang akan terjadi jika mereka menjadi pemimpin?"
Ino terdiam. Perkataan ayahnya memang benar. Jika Chouji menjadi pemimpin, rakyatnya akan menderita. Tapi dia tidak bisa menjadi istri Sai! Sai bahkan tidak menyukainya!
"Ino, pikirkanlah baik-baik," kata Inoichi. Nada suaranya terdengar pasrah, membuat Ino merasa bersalah.
Ino menatap Sai sejenak. Sebenarnya, Sai tidak jelek. Ia tampan, meskipun kulitnya teramat pucat. Otaknya juga cerdas, ia juga jago bela diri dan merapal mantra. Namun, Sai itu suka tebar pesona dengan fairy perempuan lain, dan hal itu yang membuat Ino malas dekat-dekat dengannya.
Tapi, jika memang keputusannya bisa berpengaruh pada rakyatnya, maka…
"Akan aku pikirkan, Ayah," jawab Ino pada akhirnya.
"Baiklah, anakku! Ayah akan menunggu jawaban darimu, dan ayah harap kau bisa memikirkannya dengan bijak," jawab Inoichi.
Ino pamit undur diri. Naruto mengikutinya dari belakang.
Ino berjalan menuju ke taman di sisi barat kastil. Naruto masih setia mengekori Ino. Ia tahu, sahabatnya sedang sedih.
Taman di sisi barat kastil ini sangat indah, banyak bunga-bunga cantik yang tumbuh disini. Meskipun hari sudah gelap, Naruto tetap bisa menikmati keindahan bunga-bunga yang tumbuh di taman ini.
Naruto menghampiri Ino yang sedang duduk di bangku taman.
"Jadi, kau akan menikah dengan Sai?" tanya Naruto.
Ino menggeleng. "Aku tidak tahu, Naruto, aku bingung," jawabnya.
Naruto menatap Ino. "Apa kau menyukai Sai? Jawab aku dengan jujur."
Ino terdiam. Beberapa saat selanjutnya, pipinya bersemu merah. "Jujur, aku suka pada Sai. Meskipun dia suka berbicara seenak hatinya, namun ia selalu berkata jujur, dia juga baik dan lembut pada perempuan. Dia juga tampan. Sayangnya, dia tidak menyukaiku. Sai suka menggoda gadis lain bahkan di depanku."
Naruto tersenyum simpul. "Menurutku tidak begitu."
"Maksudmu?"
"Tadi aku memperhatikan Sai. Dari sorot matanya, aku bisa tahu, dia suka padamu, ah, tidak. Dia cinta padamu," kata Naruto. "Biarpun penampilanku begini, aku ini laki-laki, Ino. Aku tahu arti tatapan Sai padamu."
Wajah Ino bertambah merah. "Sungguh?"
"Kau harus tanyakan itu pada Sai. Kau dan Sai harus berbicara, kalian harus saling jujur tentang perasaan masing-masing—dan ingat, tanpa emosi."
Ino mengangguk. "Kau benar. Aku akan membicarakan ini dengan Sai—tunggu, suara gaduh apa ini? Apa yang terjadi di luar sana?"
Sayup=sayur terdengar suara teriakan. Ino merasakan ada yang tidak beres karena kastil biasanya sepi saat malam tiba, namun malam ini kastil terdengar ramai oleh teriakan-teriakan yang tidak jelas.
Naruto dan Ino menoleh saat salah satu fairy yang merupakan prajurit ayahnya berlari ke arah mereka berdua dengan panik.
"Ino-sama! Ternyata anda disini! Kita diserang! Segera kabur—argh!"
Naruto dan Ino memekik saat prajurit itu tumbang. Di belakangnya, ada beberapa prajurit asing sekaligus familiar bagi Ino.
"Prajurit klan Akimichi! Sial!"
Baru saja Ino hendak menarik Naruto untuk kabur, prajurit-prajurit itu tumbang bersamaan karena ada yang menyerang mereka. Sosok yang sangat familiar muncul, memegang sebilah pedang yang berlumuran darah. Jantung Naruto nyaris copot saat ia melihat sosok itu.
"Sasuke?!" seru Naruto.
Sasuke mendekat. Ia melihat sesosok fairy perempuan yang berfisik mirip Ino, namun aroma tubuhnya sangat mirip dengan Naruto. Siapa fairy perempuan itu? Mengapa aroma tubuhnya sangat mirip dengan Naruto?
Ino berlari menghampiri Sasuke. "Sasuke! Mengapa kau bisa berada di sini?" tanya Ino.
"Aku datang kemari bersama Itachi dan Kyuubi untuk menjemput Naruto," jawab Sasuke.
"Mengapa kau memakai baju zirah Klan Akimichi? Kau bersekongkol dengan mereka untuk menyerang kastilku?!"
"Ceritanya panjang, Ino. Dan kami disini tidak untuk menyerang kastilmu. Kami terpaksa pura-pura bekerja sama dengan Chouza agar kami bisa menemukan Naruto dengan mudah. Sesuai rencana, kami akan mengirim mindlink jika salah satu dari kami sudah menemukan Naruto. Jika Naruto sudah aman, kami yang akan menghabisi Chouza dan para prajuritnya. Jadi, apa kau tahu dimana Naruto? Tadi aku mencium aromanya lalu berlari ke arah sini, tapi aku tak melihatnya."
Dahi Ino berkerut bingung. "Bicara apa kau? Naruto ada disitu—eh? Kemana perginya? Tadi Naruto berdiri disitu," kata Ino sambil menunjuk ke tempat dimana Naruto berdiri.
"Apa? Aku tak melihat Naruto. Aku hanya melihat kau berdiri bersebelahan dengan temanmu yang berambut pirang, tapi entah mengapa aromanya sangat mirip dengan Naruto."
Ino menepuk dahinya. Dia lupa, kini fisik Naruto telah berubah. "Itu Naruto! Ceritanya panjang, tapi dia benar-benar Naruto. Sekarang kita harus mencarinya sebelum ia terkena sabetan pedang fairy!"
Sasuke tampak bingung, namun ia mengikuti Ino yang kini berlari mencari Naruto.
Sementara itu, Naruto berlari entah kemana. Ia tidak siap bertemu dengan Sasuke, apalagi dengan fisiknya yang menyerupai perempuan. Dia harus kabur, ia malu!
Naruto terus berlari hingga ia tiba di halaman kastil yang ternyata sudah berubah menjadi medan perang. Naruto bisa melihat beberapa prajurit Inoichi saling beradu pedang dengan beberapa prajurit yang tampak asing.
"Apa yang terjadi?!" teriaknya.
Ketika Naruto hendak berbalik, ia menabrak dada bidang seseorang. Orang yang bertabrakan dengan Naruto itu reflek menangkap tubuh ber-dress ungu itu agar ia tidak terjatuh ke tanah.
"Kenapa kau lari, Naruto? Aku datang untuk menjemputmu."
"S-Sa-Sasuke?" gumam Naruto.
.
.
TBC
.
.
Udah lama banget aku nggak update fanfic ini. Mumpung lagi #dirumahaja, aku kepikiran untuk nerusin fanfic ini, meskipun aku harus ngetik ulang karena laptop lamaku rusak.
Tapi… Kok chapter ini hancur ya wkwkwkwk XD