menerDisclaimer : Naruto bukan punya gue. Kalo punya gue… ratenya jadi NC-21 XD

.

Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27

.

Warning : SASUNARU, BL! OOC (sudah jelas, ini fanfiksi BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan seabrek kekurangan lainnya.

.

Sinopsis:

Naruto dihukum sang ayah karena selalu membuat masalah. Dia dikirim ke peternakan milik teman ayahnya agar tahu rasanya bekerja keras untuk sepiring nasi. Bagaimanakah nasib pemuda manja itu?

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

"Kau benar-benar keterlaluan, Naruto!" Minato membentak Naruto yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

Naruto menundukkan kepala sambil memainkan kukunya. Tidak lupa memasang wajah sedih andalannya. Tadi dia sempat berjengit kaget ketika sang ayah membentaknya. Ini adalah kali pertama sang ayah marah padanya, bahkan membentak dengan nada tinggi.

Well, orang tua mana yang tidak meradang, kalau anak lelaki satu-satunya, yang masih berusia enam belas tahun, sudah berani melakukan pesta di rumahnya? Bukan pesta ulang tahun yang penuh balon dan kue, tapi pesta yang dipenuhi gadis-gadis sexy dan alkohol!

Minato duduk di salah satu sofa, dia membuang napasnya dengan kasar untuk meredakan amarahnya. Kepalanya cekot-cekot sekarang. "Kenapa kau melakukan pesta seperti itu, hah? Apa Papa pernah mengajarimu seperti itu?!" tanya Minato. Dipijatnya pelipisnya yang berdenyut, "Demi Tuhan, perilakumu kali ini benar-benar keterlaluan!"

"Ini kan hanya pesta biasa! Papa tidak gaul!" Naruto berusaha membela diri. Menurutnya dia tidak salah. Apa salahnya mengadakan pesta di rumah?

Minato menggeram, "Kau pikir berapa uang yang kau habiskan untuk membeli alkohol dan tetek bengek pesta biasamu itu?! Lebih baik kau menyumbangkan uang itu untuk orang yang tidak mampu!"

"Jadi ini gara-gara uang?"

"Kapan Papa pernah mengungkit soal uang padamu? Papa selalu memberikan apapun yang kau minta! Mobil, apartemen–semuanya! Tapi kau tidak pernah bersyukur, selalu menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal tidak berguna!"

"Ini penting, tahu! Mereka semua temanku!" Naruto ngotot, dia tetap tak mau salah.

"Teman? Teman yang baik tidak akan mengajakmu berpesta alkohol!" Seru Minato. Pria berambut pirang itu berdiri, berkacak pinggang, "Sepertinya selama ini Papa salah, sudah memanjakanmu dengan uang. Sekarang, pergi ke kamarmu, lalu bereskan pakaianmu. Besok, kau akan tinggal di rumah Paman Shikaku!"

"Apa?! Aku tidak mau! Di sana banyak hewan-hewan bau dan menjijikkan, aku tidak suka!"

"Kau harus melakukan ini kalau kau ingin menjadi pewarisku!"

Naruto ikut berdiri, "Kenapa Papa membawa-bawa soal pewaris?!"

"Kau itu pemuda yang manja, taunya hanya menerima uang dariku, lalu berfoya-foya dengan berandalan yang kau sebut teman! Kalau kau tidak tahu bagaimana caranya mencari uang dengan tanganmu sendiri, perusahaan yang ku bangun sejak aku masih muda dengan keringat dan darahku itu bisa bangkrut, hancur di tanganmu!"

"Kalau aku tidak mau?"

"Aku akan mencoret namamu sebagai pewarisku! Aku bisa saja menunjuk anak Paman Shikaku! Dia pintar dan rajin, tidak seperti kau!" Minato menunjuk hidung Naruto saking emosinya. "Kau tidak boleh kembali ke rumah ini kalau kau tidak membawa uang sepeser pun, mengerti?!"

Dada Naruto memanas. Dia tidak suka dibanding-bandingkan. "Baik! Akan aku buktikan aku bisa mencari uang sendiri! Mencari uang itu hal yang mudah!" Naruto menghentakkan kakinya–kebiasaan jika dia sedang kesal–lalu berlari ke kamarnya dengan wajah bersungut-sungut.

Minato menghela napas lelah. Dia terduduk kembali di sofa, lalu meremas rambutnya dengan frustasi. Pria itu kemudian menyandarkan punggungnya sambil menutup mata. Pikirannya sedang kacau sekarang. Bisa-bisanya sang anak pesta alkohol di umur enam belas tahun?

Pria itu merasa gagal sebagai seorang ayah. Selama ini dia selalu memanjakan sang anak, membelikan apapun yang dia mau, tidak pernah memarahinya meskipun Naruto nakal ataupun bersikap buruk.

Minato hanya kasihan pada anak itu. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Istrinya meninggal beberapa hari setelah melahirkan Naruto. Dan sebagai seorang pria yang sangat mencintai sang istri, Minato tidak bisa menikah lagi. Hatinya hanya milik sang istri, selamanya.

Tetapi kesabarannya benar-benar habis ketika dilihatnya Naruto berpesta alkohol bersama gadis-gadis sexy seumuran anaknya. Tadinya, dia berencana ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya. Dia terpaksa kembali ke rumah karena ada dokumen penting yang tertinggal. Dan betapa kagetnya ia ketika melihat rumahnya berantakan, bagaikan kapal karam di dasar laut!

Minato sama sekali tidak mempermasalahkan uang yang dihabiskan sang anak. Dia bahkan tidak peduli. Asalkan sang anak bahagia, berapapun nominal yang diminta, akan dia berikan. Tetapi bukan untuk kegiatan yang negatif!

"Apa yang harus aku lakukan, Kushina?" Minato memanggil nama sang istri. Berharap ada jalan keluar untuk mengatasi perilaku Naruto yang sudah diluar batas, "Sepertinya aku benar-benar harus mengirim anak itu ke Konoha. Agar dia belajar caranya menghargai sesuatu." Gumam Minato.

.

.

.

Naruto membuka kaca jendelanya. Udara di Desa Konoha ini benar-benar sejuk, berbeda dengan di kota tempat tinggalnya yang penuh sesak oleh asap kendaraan. Di sisi sebelah kanan, ada pemandangan berupa gunung, sedangkan di sebelah kiri terbentang hutan yang cukup lebat.

Pemandangan indah ini sedikitnya mampu mengurangi kekesalan Naruto terhadap sang ayah.

Pemuda itu mendengus kesal ketika teringat sang ayah. Dihempaskannya punggungnya ke sandaran jok mobil, lalu jendela itu ditutup. Wajah merengutnya memancing rasa penasaran Kakashi, sekertaris pribadi ayahnya yang mengantarkannya ke rumah Paman Shikaku.

"Kenapa jendelanya ditutup, Naruto-sama? Apakah tidak suka dengan pemandangan di sini?" Tanya Kakashi pada Naruto.

Naruto merengut, "Aku suka sih, dengan pemandangan di sini. Tapi aku kesal kalau ingat Papa membuangku ke desa terpencil ini." Gerutunya. Matanya menatap keluar jendela, enggan menatap wajah Kakashi yang menurutnya mesum dan menyebalkan.

Kakashi tersenyum di balik maskernya, "Minato-sama tidak membuang Anda, Naruto-sama. Beliau hanya ingin Anda menghargai uang, dan tidak bersikap manja dan menyebalkan. Bagaimana pun Anda ini calon pewaris Namikaze Group." Jelas Kakashi.

"Kau itu sama menyebalkannya dengan Papa!"

"Tidak, saya tidak menyebalkan."

"Iya! Kau menyebalkan!" Kata Naruto sambil bersungut-sungut, "Apa masih lama? Badanku pegal!" Naruto merengek. Dia memijat-mijat bahunya yang kaku. Perjalanan darat selama delapan jam bukanlah sesuatu yang disukai Naruto.

Selang satu jam kemudian–yang terasa seabad bagi Naruto–akhirnya mereka sampai di sebuah rumah milik Keluarga Nara.

Rumah itu terletak di dekat hutan dan memiliki halaman yang sangat luas. Naruto berpikir sepertinya dia bisa bermain bola di halaman yang lebih mirip lapangan itu. Pagar besi yang diberi lilitan kawat berduri mengelilingi rumah itu. Mungkin untuk mencegah binatang buas masuk ke rumah?

Naruto sudah pernah kesini sebelumnya, tapi itu sudah lama. Mungkin ketika dia masih berumur tujuh atau delapan tahun. Paman Shikaku punya satu orang anak laki-laki pendek dengan wajah yang lucunya sangat mirip dengan ayahnya–meskipun Naruto sendiri juga sangat mirip dengan Minato. Kalau Naruto tidak salah ingat, nama anak itu Nara Shikamaru.

Mobil mewah berwarna hitam metalik itu memasuki pekarangan rumah, lalu berhenti tepat di depan seorang pria dengan rambut yang menyerupai nanas. Dialah Nara Shikaku, pemilik peternakan yang luasnya seperti lapangan ini.

Naruto turun dari mobil dengan kikuk.

Shikaku menyambut Naruto, "Selamat datang, Naruto! Bagaimana perjalananmu? Apakah menyenangkan?" Katanya. Dia tersenyum lebar sambil menepuk punggung Naruto.

"Ya, sangat menyenangkan, Paman." Sahut Naruto. Dia memaksakan senyumnya. Matanya melirik tajam Kakashi yang tersenyum dari balik maskernya.

Shikaku menoleh pada Kakashi, memberikan senyum penuh arti, "Selamat datang, Kakashi-san. Silahkan masuk ke dalam rumahku yang sederhana ini. Kau pasti lelah, menempuh perjalanan darat selama delapan jam."

"Ayah!" seseorang berseru dari sisi rumah.

Shikaku menoleh, "Ah, Shikamaru! Kemari, nak. Naruto sudah sampai." Shikaku melambai pada putra semata wayangnya itu.

Naruto melotot melihat seorang pemuda yang sangat mirip dengan Shikaku itu. Bukan, bukan wajah miripnya yang membuat Naruto takjub, tapi bentuk badan pemuda itu. Seingatnya, dulu Shikamaru adalah seorang anak yang pendek dan kurus. Sekarang pemuda itu sudah berubah. Bentuk badannya tidak beda jauh dengan petinju professional, tinggi badannya juga bertambah drastis. Lihatlah otot lengan dan perutnya, benar-benar membuat Naruto iri setengah mati. Dia bertelanjang dada, seakan memamerkan otot-otot itu pada Naruto.

"Hai, Naruto. Masih ingat aku?" Shikamaru menyapa. Pemuda itu tersenyum tipis.

"Tentu saja, aku masih ingat. Kau Shikamaru si kurus dan pendek itu, kan? Sekarang kau sudah besar!" canda Naruto. "Dulu kita pernah menangkap serangga di hutan sebelah sana, yah biarpun aku menangis ketakutan melihat serangga merayap di tanganku."

Shikamaru tertawa kecil, "Ternyata kau masih ingat. Ayo, masuklah. Ibuku sudah membuatkan ramen kesukaanmu." Katanya, "Selamat datang, Kakashi-san." Shikamaru menyapa Kakashi, yang dibalas senyuman.

Naruto disambut dengan hangat di rumah itu. Dia diberikan kamar di sebelah kamar Shikamaru. Tetapi karena ada Kakashi yang menginap semalam di sana, malam itu Naruto terpaksa tidur satu kamar dengan Shikamaru. Kamar pemuda berambut nanas itu dipinjam oleh Kakashi.

Keesokan harinya, Kakashi pamit untuk kembali ke Tokyo. Naruto nyaris saja merengek untuk ikut, kalau saja dia tidak ingat kata-kata ayahnya yang tidak membolehkan ia untuk kembali tanpa membawa sepeserpun uang. Dia ditantang oleh sang ayah, harus melewati masa hukuman ini selama satu bulan.

Naruto sudah bertekad dalam hati, dia akan menerima tantangan ini!

.

.

.

Naruto menggeliat ketika ada yang menepuk pipinya dengan lembut. Matanya masih sangat lengket dan berat, dia masih sangat mengantuk. Semalam dia tidak bisa tidur. Naruto memang memiliki kebiasaan tidak mudah tidur di tempat baru.

"Naruto, bangun!"

"Mmhh, lima menit lagi, Ayame! Masih ngantuk!"

Terdengar helaan napas, "Ayolah, bangun sekarang. Kita harus bekerja." Orang itu menepuk-nepuk pipi Naruto berkali-kali.

Naruto mengerut tidak suka, dia membuka matanya, "Ku bilang aku masih–eh?" Naruto menghentikan segala sumpah serapahnya, keningnya berkerut bingung menatap Shikamaru, "Apa yang kau lakukan di rumahku?"

Alis Shikamaru terangkat sebelah, "Kau mengigau? Ini rumahku, Naruto. Kau ke rumahku kemarin." Jawabnya.

Kantuk Naruto serta merta lenyap. Dia ingat! Tujuannya kemari adalah untuk bekerja di rumah Keluarga Nara. Pemuda itu segera bangkit, lalu menyibak selimutnya. Naruto hampir saja terjungkal karena tersandung selimutnya kalau saja Shikamaru tak menangkap tubuhnya.

"Kau ini, pelan-pelan saja. Kita belum terlambat, kok. Aku sudah siapkan air panas untukmu. Mandilah."

"Kenapa kau siapkan air panas untukku? Aku ke sini bukan untuk liburan, kau tahu? Aku sedang dihukum Papaku." Naruto mengerutkan keningnya bingung, kenapa pemuda ini malah melayaninya dengan menyiapkan air panas segala?

Shikamaru menepuk kepala Naruto, "Tidak apa, aku akan menyiapkan air panas setiap pagi untukmu. Asalkan kau mau membantuku di peternakan, bagaimana?"

"Oh, ya baiklah. Aku akan membantumu."

"Bagus. Sekarang, mandilah. Ibuku sudah menyiapkan sarapan untukmu."

Naruto bergegas. Dia tidak ingin terlambat di hari pertamanya bekerja di sini. Dia tahu pekerjaan di sini memerlukan tenaga untuk mengangkat hasil peternakan, jadi dia tidak boleh melewatkan sarapan yang dibuat Bibi Yoshino.

Selesai mandi dan sarapan, Naruto segera mengekor Shikamaru ke kandang ternak mereka. Di sana ada beberapa ekor kuda, beberapa ekor sapi, ayam, babi bahkan kelinci. Shikamaru memberitahu cara memberi makan hewan-hewan ternak itu, memerah susu, mengambil telur, membersihkan kandang dan pekerjaan lainnya.

Dibalik karakternya yang tak banyak bicara, Shikamaru sebenarnya cukup sabar dalam menghadapi Naruto yang berteriak jijik ketika dia disuruh membersihkan kandang sapi. Atau Naruto yang berteriak memanggil-manggil Shikamaru ketika sapi-sapi itu mengamuk ketika pemuda itu memerah susu.

Shikamaru mengajarkan semuanya dengan sabar dan telaten, hingga akhirnya di hari ketujuh, Naruto sudah mulai terbiasa mengerjakan pekerjaan mengurus ternak itu. Meskipun kadang dia masih berteriak kesal jika sapi-sapi itu buang air. Naruto tidak tahan baunya.

Naruto mulai mengerti kenapa badan Shikamaru bisa terbentuk sedemikian rupa, padahal di sini tidak ada fitness center. Yah, maklum saja. Setiap hari dia mengangkat berkarung-karung pakan ternak, juga mengangkat beberapa ember susu sapi. Naruto berharap badannya yang kecil dan tak menarik ini juga akan terbentuk dan tinggi seperti Shikamaru.

Awalnya, Naruto mengerjakan pekerjaan ini dengan ogah-ogahan dan setengah hati, tetapi lama-lama dia menikmati pekerjaannya di bawah bimbingan Shikamaru. Sesekali Paman Shikaku akan mengecek hasil kerjanya, dan dia selalu kagum karena ternyata dibalik sikap manjanya, Naruto termasuk seorang pekerja keras.

"Kau itu bukan anak yang nakal seperti yang dikatakan orang-orang, Naruto. Kau bersikap manja dan suka seenaknya untuk menarik perhatian Papamu yang sangat sibuk bekerja, benar, kan? Selama di sini, ku lihat kau sangat rajin dan selalu membantu Shikamaru mengurus ternak-ternak kami. Aku yakin, Papamu pasti bangga padamu." Kata Shikaku suatu sore.

Perkataan Paman Shikaku itu sangat membekas dibenak Naruto. Padahal mereka baru bertemu satu minggu, tapi dia seakan bisa "membaca" Naruto. Pemuda itu tahu, diam-diam orang disekitarnya mencap Naruto sebagai anak nakal, anak manja, dan sebagainya. Tetapi keluarga Nara sangat baik padanya, Bibi Yoshino kadang mengomelinya ketika dia tidak menghabiskan makanannya. Shikamaru bilang, ibunya hanya mengomel pada orang-orang terdekatnya, dan kalau Naruto mendapat omelan, itu berarti ibunya menganggap Naruto sebagai anggota keluarganya, bukan orang lain. Dan Naruto menangis ketika mendengar kata-kata Shikamaru. Selama ini dia tidak pernah mendapatkan omelan dari seseorang yang disebut ibu.

Naruto sangat senang ketika dia menyantap masakan Bibi Yoshino yang ternyata adalah hasil ternak yang diambil oleh Naruto sendiri. Padahal makanan di sini biasa saja, bukan makanan mewah seperti di rumahnya. Tapi entah mengapa rasanya jauh lebih nikmat.

Kini Naruto paham apa maksud papanya mengirimnya ke rumah Keluarga Nara. Bukan untuk membuangnya–tentu saja, Minato terlalu menyayangi Naruto–tetapi agar Naruto mengerti caranya menghargai sesuatu.

Naruto menyesal dan malu jika ingat dia sering menghambur-hamburkan uangnya untuk hal-hal tidak penting. Ayahnya benar, mereka semua itu bukan temannya. Tak ada satupun dari mereka yang menghubungi Naruto untuk menanyakan kabarnya, mereka hanya bertanya kapan party selanjutnya.

Pagi itu, ada yang berbeda. Jika biasanya Naruto akan memakai sepatu boots dan celemek yang dipinjamnya dari Shikamaru agar bajunya tidak kotor, pagi ini dia berpakaian seperti biasanya. Naruto memakai kaus hitam dipadu celana jeans warna biru tua, serta sepatu sneakers mahal favoritnya. Naruto juga memakai jaket untuk menghalau hawa yang lumayan dingin.

Shikamaru mengajaknya ke rumah neneknya, sebagai hadiah karena Naruto menurut dan selalu bekerja keras setiap harinya.

Nenek itu bukanlah anggota Keluarga Nara, tetapi mereka sudah menganggapnya sebagai keluarga. Namanya Nenek Chiyo. Beliau sudah tua dan sekarang tinggal di sebuah desa yang letaknya di tengah hutan. Nenek Chiyo tidak pernah mau diajak tinggal bersama Keluarga Nara, beliau selalu menolak dengan alasan tidak ingin menyusahkan.

Shikamaru meminjam mobil milik sang ayah, karena tidak mungkin berjalan kaki, rumah Nenek Chiyo lumayan jauh. Tetapi, mungkin karena hari ini bukanlah hari keberuntungan kedua pemuda itu, mobil itu mogok. Dan sialnya, mobil itu mogok ketika mereka sedang berada di tengah hutan.

"Mobilnya kenapa, Shika?" Naruto bertanya ketika mobil yang tadinya lancar-lancar saja tiba-tiba berhenti, "Jangan bilang … mobilnya mogok?!" Seru Naruto. Ini pertama kalinya mobil yang dinaiki Naruto mogok, di tengah hutan pula.

"Tenanglah, Naruto. Jangan panik. Kau tunggu di sini dulu, aku akan mencoba mengecek mesinnya. Kalau tidak bisa aku perbaiki, terpaksa kita harus menelepon Ayah." Kata Shikamaru, mencoba menenangkan Naruto.

Naruto menggigit kukunya, "Tidak jadi ke rumah Nenek Chiyo?" tanyanya. Dia sangat ingin pergi ke rumah nenek yang sangat jago membuat kue itu. Naruto pernah berkunjung ke rumahnya satu kali ketika dia pertama kali ke Desa Konoha. Dan pemuda itu jatuh cinta dengan kue buatan nenek itu.

Shikamaru hanya tersenyum sekilas, lalu tanpa banyak kata dia turun dari mobil, lalu mengecek mesinnya. Sementara itu Naruto yang bosan menunggui Shikamaru memperbaiki mobil, memutuskan untuk turun dari mobil itu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, hanya pepohonan yang dilihatnya.

Sejujurnya, pemuda itu agak takut. Ini seperti di film horror yang tempo hari ditontonnya bersama Ayame, pelayan pribadinya di rumah. Mobil mogok di pinggir jalan, lalu tiba-tiba ada pembunuh berdarah dingin yang mengintaimu.

"Shika, boleh aku jalan-jalan ke sebelah sana?" tanya Naruto pada Shikamaru yang sedang sibuk dengan mesin mobil dan alat-alatnya.

Shikamaru menoleh sekilas, mengecek tempat yang ditunjuk Naruto, "Boleh. Tapi jangan terlalu jauh, dan jangan masuk ke dalam hutan, kau mengerti?"

"Siap, boss!"

Naruto berjalan mendekati sebuah jembatan yang menyuguhkan pemandangan sungai berbatu yang ada di bawahnya. Udara di sini sangat sejuk, Naruto suka. Dia akan meminta sang ayah untuk membuatkan rumah di daerah ini.

Ketika sedang asyik menikmati pemandangan indah itu, mata Naruto terpaku pada seseorang yang sedang duduk di atas sebuah batu sungai. Pemuda itu berambut hitam, memakai celana selutut dan bertelanjang dada. Meskipun melihatnya dari kejauhan, tetapi Naruto yakin tubuh pemuda itu terbentuk sempurna, seperti Shikamaru tetapi jauh lebih besar dan kekar. Sepertinya tingginya juga lebih dari Shikamaru.

Ketika pemuda berambut hitam itu mendongak, tatapan mata mereka bertemu. Entah mengapa Naruto tidak bisa mengalihkan tatapannya dari pemuda itu. Tatapan pemuda itu seolah mengunci matanya agar tak kemana-mana.

"Naruto!" Teriakan Shikamaru membuyarkan pikiran Naruto dari laki-laki tadi.

"Ya?" Naruto menoleh, menatap Shikamaru yang berlari kecil menghampirinya. "Sudah selesai?"

Shikamaru mengangguk, "Sudah. Kau lihat apa, sih?" Shikamaru ikut memperhatikan apa yang dilihat Naruto. Keningnya mengerut, hanya pemandangan biasa yang sudah sering dilihatnya, tidak ada yang menarik. "Aish, ku pikir kau melihat gadis sedang mandi, sampai bengong begitu." Candanya.

"Tidak, lah. Aku tidak suka mengintip gadis." Kata Naruto, bibirnya mengerucut lucu. Dia menoleh kembali ke arah pemuda misterius di sungai tadi, "Lho?" gumamnya. Dia menoleh kesana kemari ketika dilihatnya sang pemuda sudah tak ada di tempatnya duduk tadi.

"Apa yang kau cari?"

"Eh?" Beo Naruto. "Oh, bukan apa-apa. Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" kata Naruto. Pemuda itu menarik tangan Shikamaru yang masih memperhatikan sungai di bawah jembatan.

Diam-diam Naruto menghela napas. Entah mengapa dia merasa kecewa karena pemuda tadi menghilang begitu saja. Dia masih penasaran dengan pemuda itu.

Kedua pemuda itu pun melanjutkan perjalanan mereka ke rumah Nenek Chiyo yang sempat tertunda. Mereka sama sekali tak menyadari seorang pemuda sedang mengintip dari balik rindangnya pepohonan hutan.

Pemuda berambut hitam itu menatap tajam, dengan matanya yang berpupil merah. Bibirnya menyeringai, "Akhirnya ku temukan juga kau."

.

.

.

Setelah perjalanan dua jam yang serasa seperti satu menit bagi Naruto, pemuda itu segera melompat turun dari mobil. Rumah Nenek Chiyo sama sekali tidak berubah. Tetap sama seperti ketika Naruto berkunjung dulu.

Nenek Chiyo keluar dari rumah ketika dia mendengar suara mobil di pekarangan rumahnya. Nenek tua itu merentangkan tangan lebar-lebar melihat dua pemuda yang sangat disayanginya, "Naruto-kun! Bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali sejak kau terakhir kali kemari!" Nenek itu memeluk Naruto dengan sayang. "Kau sudah besar sekarang."

Naruto balas memeluk nenek itu, "Aku kangen Nenek! Dan juga kue buatan Nenek." Katanya, sambil terkekeh. Dia memang menyukai kue buatan Nenek Chiyo.

"Nenek sudah membuatkan kue yang enak untukmu," kata Nenek Chiyo. Matanya beralih menatap Shikamaru, "Shikamaru, bagaimana kabarmu?" dia merentangkan tangannya untuk memeluk Shikamaru.

"Kabarku baik, Nek." Balas Shikamaru. "Aku kemari dua minggu yang lalu. Nenek sudah merindukan aku, ya?" candanya.

"Tentu saja Nenek merindukan semua cucu-cucu Nenek!" katanya, sambil menepuk lengan berotot Shikamaru, "Ayo masuk, cuaca sedang jelek. Sebentar lagi turun hujan."

Benar saja, ketika mereka sedang asyik bercengkrama di dalam ruang makan sambil minum secangkir teh hangat dan setoples kue, hujan turun dengan deras. Udara yang memang sudah dingin, menjadi lebih dingin lagi.

Naruto yang lebih menyukai suhu hangat, menggigil kedinginan. Nenek Chiyo memerintahkan Shikamaru ke ruang bawah tanah untuk mengambil cadangan kayu bakar untuk perapian, sementara sang nenek membuatkan satu cangkir teh lagi untuk Naruto.

"Naruto, ini tehnya."

"Terima kasih, Nek. Maaf kalau merepotkan."

Nenek Chiyo tersenyum. "Tidak apa-apa, Nenek senang kalau kau main kemari." Katanya, "Oh, ya. Apa kau pernah mendengar legenda Werewolf?"

Naruto nyaris menyemburkan teh yang sedang diminumnya. Apa-apaan itu? Naruto berusaha menahan tawanya, untuk menghargai perasaan sang nenek agar tak tersinggung. Jaman sudah modern Nek, dan tak ada satupun ilmuwan yang berhasil menemukan Werewolf asli seperti di dalam dongeng.

"Pernah dengar, memang kenapa, Nek?" tanya Naruto, pura-pura tertarik.

Nenek Chiyo mencondongkan tubuhnya, "Di sini, di hutan ini ada gossip yang beredar. Katanya disini adalah tempat tinggal Werewolf. Ayahku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka ketika sedang berburu bersama kakekku. Dia bilang, Werewolf itu berwujud seperti manusia, sangat tampan jika ia laki-laki dan sangat cantik jika ia wanita. Badannya tinggi dan kekar. Lalu, matanya berwarna merah. Dan tentu saja, dia bisa berubah menjadi seekor serigala yang sangat besar, lebih besar dari serigala normal pada umumnya." Jelas Nenek Chiyo.

Naruto terdiam. Entah mengapa dia teringat pada sesosok pemuda yang dilihatnya di sungai tadi. Tetapi kemudian pemuda itu mendengus, mana ada Werewolf? Ini adalah jaman modern, dan makluk itu hanyalah mitos belaka.

Pembicaraan mereka terhenti ketika Shikamaru kembali dari ruang bawah tanah. Mereka memutuskan untuk menginap karena cuaca sedang buruk dan akan sangat berbahaya jika mereka nekat melewati hutan dengan angin sekencang ini.

"Shika …" panggil Naruto. Mereka sedang tidur bersebelahan dalam satu ranjang.

"Ya?"

Naruto menoleh, menatap mata berpupil hitam Shikamaru, "Apa kau percaya Werewolf?"

Kening Shikamaru mengernyit, "Hah? Kau itu bicara apa? Mana ada Werewolf jaman sekarang? Itu kan cuma mitos." katanya. Kemudian pemuda itu mendengus geli, "Apa yang sudah Nenek ceritakan padamu?"

"Tidak ada. Nenek hanya menceritakan legenda Werewolf."

Pemuda berambut hitam itu menghela napas, "Itu cuma legenda, jangan terlalu dipikirkan," Shikamaru membenahi selimut yang mereka pakai, "Sudah. Tidurlah. Ini sudah malam, besok aku akan mengajakmu bermain di sungai sebelum kita kembali. Bagaimana?"

"Sungguh?"

Shikamaru mengangguk sambil tersenyum. Kemudian kedua pemuda berbeda warna rambut itu memejamkan mata, tenggelam dalam mimpi masing-masing. Naruto sudah tidak sabar untuk petualangan besok!

.

.

.

Naruto dan Shikamaru sedang memakan sarapan buatan Nenek Chiyo.

"Jadi, hari ini kalian akan pergi ke mana?" tanya Nenek Chiyo.

"Kami mau ke sungai, Nek! Aku sudah tidak sabar ingin main ke sana. Di tempat asalku, aku tidak bisa bermain di sungai karena Papa selalu melarangku." Jawab Naruto.

Nenek Chiyo tersenyum, dia sangat hafal sifat Minato yang kadang kelewat protektif pada sang anak, "Ya, Papamu memang begitu. Dia tidak suka kau bermain sesuatu yang membahayakan. Tetapi itu adalah tanda kalau Papamu sangat menyayangimu, Naruto."

Naruto tidak membalas, dia hanya mengangguk sambil menguyah roti isi telur buatan Nenek Chiyo yang lezat. Mata biru Naruto melirik Shikamaru yang sedang fokus membaca koran sambil menyeruput kopi hitamnya. Hidung Naruto mengerut jijik, dia tidak suka minum kopi hitam, rasanya sangat pahit.

Setelah menghabiskan sarapan, mereka bergegas pergi ke sungai. Cuaca pagi ini lumayan cerah. Langit biru menaungi mereka selama perjalanan menuju ke sungai. Mereka berjalan kaki, karena mobil tidak bisa masuk ke dalam hutan.

"Shika, sungainya di sebelah mana?" tanya Naruto.

"Di dekat sini, mungkin sekitar sepuluh menit berjalan kaki."

"Oh, berarti dekat juga, ya."

Hening setelahnya. Tidak ada yang bersuara. Entah mengapa Shikamaru hari ini menjadi lebih pendiam. Pemuda itu sesekali berhenti sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah mengawasi sesuatu. Naruto sendiri tidak peduli, dia mendengarkan lagu dari ponselnya menggunakan earpod.

Setelah sepuluh menit berjalan kaki, Shikamaru membimbing Naruto untuk menuruni tebing landai, agar mereka bisa mencapai sungai di bawah tebing itu.

Naruto berdecak kagum melihat pemandangan di sekitar sungai itu, "Whoaaa, pemandangan di sini seperti di film-film barat! Kereeeeeeen!" Naruto berteriak nyaring. Pemuda itu tergelak ketika suaranya bergema.

Shikamaru tersenyum kecil melihat perilaku Naruto. "Dasar orang kota, melihat sungai saja seperti melihat harta karun!" candanya.

"Iya lah, di tempatku, sungainya tidak bisa dipakai untuk mandi!" balas Naruto, "Oh, ngomong-ngomong, aku bisa main air di sungai ini, kan?"

Shikamaru mengangguk sembari melepaskan kausnya. "Tentu saja. Tapi, kau hanya boleh berenang sampai di bebatuan sebelah sana," Shikamaru menunjuk beberapa deret batu yang berada agak jauh di tengah, berkumpul seolah membatasi wilayah mana yang boleh dijamah manusia dan mana yang tidak, "Karena setelah batu itu, arus airnya sangat deras dan sungainya juga lebih dalam. Kau mengerti?"

Naruto menjawab dengan anggukan, lalu ia segera menanggalkan jaket, kaus dan sepatunya, kemudian menggulung celananya sebatas lutut. Pemuda itu menyusul Shikamaru yang sudah masuk lebih dulu ke dalam air.

Mereka berdua bermain air seperti dua orang bocah yang tidak pernah bermain di sungai.

Sudah lama Naruto tidak bermain seperti ini. Naruto melemparkan air ke arah Shikamaru, menendang air itu hingga membasahi tubuh bagian atas Shikamaru. Pemuda berambut hitam itu membalas, ia juga melemparkan air ke arah Naruto sampai rambut pirang pemuda itu basah kuyup. Mereka juga adu lompatan, mana yang lompatannya lebih tinggi, dia yang menang. Naruto tak perlu bingung soal celananya yang basah, karena Shikamaru punya beberapa potong baju dan celana yang sengaja ditinggalkan di rumah Nenek Chiyo, dan sepertinya muat di tubuh Naruto.

Saat sedang asyik bermain air, tanpa sengaja kepala Naruto mendongak ke atas, ke arah pepohonan tempat ia meninggalkan bajunya tadi. Dan mata biru itu membelalak ketika tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata lainnya. Pemuda itu yang duduk di sungai kemarin!

Naruto yang penasaran, keluar dari air. Dia tidak menghiraukan teriakan Shikamaru. Kalau sudah penasaran, Naruto seakan lupa dengan keadaan di sekelilingnya.

Kaki pemuda itu berlari menginjak tanah di tepian sungai untuk mengejar pemuda yang malah berlari masuk ke hutan itu. Naruto tidak hati-hati. Kakinya terpeleset, dia terjatuh lalu terguling di tepian sungai yang landai itu, kemudian tercebur ke sungai.

"GYAAAAAAA!"

BYUUUUR!

"NARUTO!" Shikamaru berteriak, dia berlari dengan hati-hati untuk menolong Naruto tetapi ketika dia sampai di lokasi Naruto terjatuh, pemuda itu sudah tak terlihat. Sepertinya Naruto terseret arus yang cukup deras, karena Naruto tercebur ke bagian sungai yang dalam dan berarus deras.

Beberapa meter dari lokasi ia terjatuh, kepala Naruto sempat menyembul, lalu kembali tenggelam. Dia berusaha berenang ke tepian, tetapi derasnya arus sungai menyulitkannya.

Dan sepertinya hari itu bukanlah hari keberuntungan Naruto. Belakang kepala dan punggung pemuda itu menghantam batu besar di tengah sungai, membuat kesadaran pemuda itu makin lama semakin memudar.

Sebelum semuanya berubah gelap, Naruto sempat melihat siluet seseorang melompat masuk ke dalam air.

"Papa … tolong aku," gumam Naruto dalam hati.

.

.

.

Minato meremas rambutnya dengan frustasi. Dia sama sekali tidak menyangka, putranya satu-satunya akan terjatuh ke dalam sungai lalu terseret arus!

Pria itu merasa darah di tubuhnya berubah sedingin es ketika Yoshino meneleponnya dengan panik, memberitahukan kabar tidak menyenangkan itu. Naruto tercebur ke sungai, dan sampai sekarang belum ditemukan.

"Kenapa Naruto belum ditemukan juga, Shikaku?" gumamnya frustasi. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Bagaimana kalau putranya itu tidak selamat? "Seandainya saja aku tidak menghukumnya, dia tidak akan mengalami hal ini."

Shikaku menepuk bahu Minato, "Sabarlah, Minato. Aku yakin Naruto baik-baik saja."

"Tetapi kenapa belum ditemukan juga? Aku tidak akan bisa hidup kalau sampai terjadi sesuatu pada anakku."

"Maafkan aku, Paman Minato. Aku tidak menjaga Naruto dengan baik." Kata Shikamaru. Pemuda itu benar-benar menyesal tidak bisa menjaga teman kecilnya itu dengan baik. "Seandainya aku bisa mencegah Naruto berlari ke tepian sungai itu, dia tidak akan jatuh."

Minato menatap Shikamaru. Dia tahu, ini semua murni kecelakaan, Shikamaru tidak akan tega melukai sang anak, "Ini bukan salahmu, Shikamaru. Naruto memang kadang ceroboh." Jawabnya. Pria berambut pirang itu menghela napas, "Tetapi aku menyesal sudah menghukumnya."

"Anakmu menjadi pemuda yang jauh lebih baik ketika berada di sini, Minato. Dia rajin dan bekerja dengan keras, aku sudah memberikan laporan padamu setiap menitnya, kan?"

Minato tersenyum sedih. Dia memang selalu menelepon Shikaku, menanyakan apakah putra kesayangannya itu sudah makan, apakah dia baik-baik saja, apakah cuaca di sana membuatnya sakit, dan sebagainya. Minato memang sangat mencintai putra semata wayangnya itu, lebih dari apapun.

Dia sudah mengerahkan anak buah terbaiknya untuk mencari Naruto, tetapi ini sudah tiga hari semenjak Naruto tercebur, dan pencarian itu belum membuahkan hasil. Pria itu langsung pergi ke Konoha begitu ia mendengar kabar itu, tanpa mempedulikan pekerjaannya yang ia tinggalkan.

Minato akan terus mencari Naruto, sampai kapanpun juga, karena dia yakin sang anak masih hidup.

.

.

.

Naruto mengerutkan keningnya. Tangannya terangkat, secara refleks menyentuh kepalanya yang terasa nyeri. Pelan-pelan dibukanya matanya yang terasa berat, dikerjapkan beberapa kali untuk memperjelas pandangannya. Bayangan yang semula blur itu lama-lama berubah jelas, Naruto menatap atap ruangan yang terlihat asing, terbuat dari … batu?

Naruto berusaha bangkit, pemuda itu mendesis nyeri ketika merasa punggungnya seakan mau patah.

Mata biru Naruto berkeliling, dia baru sadar ternyata dia berada di dalam sebuah gua. Kenapa dia bisa berada di sini? Seingatnya, dia tenggelam di sungai berarus deras. Apakah ada yang menolongnya?

Gua ini terasa hangat karena ada api unggun kecil yang sedang menyala. Sepertinya gua ini berpenghuni. Naruto menoleh ketika ada seseorang masuk ke dalam gua itu. Dan mata biru itu membelalak. Dia adalah pemuda yang dikejar Naruto!

"Kau sudah sadar?" Suara berat itu mengalun, membuat tengkuk Naruto meremang. "Kau sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari."

"T-tiga hari?" beo Naruto. "M-maaf, tapi kau siapa? Apa kau yang menolongku di sungai?"

Pemuda berambut hitam itu menatap Naruto dengan tajam, "Ya." Jawabnya singkat, dengan nada yang terdengar datar.

"Wah, kau sudah sadar rupanya," terdengar suara berat yang lainnya dari mulut gua. Seorang pemuda tampan berambut hitam panjang diikat ke belakang, menghampiri Naruto lalu duduk di sebelahnya, "Kau lapar? Kami menangkap ikan untukmu, ada air juga. Makanlah."

Naruto beringsut mundur, siapa kedua pemuda tampan ini?

"Jangan takut, kami tidak akan melukaimu. Adikku–" Pemuda berambut panjang itu menunjuk si pemuda berwajah datar, "–dia yang menolongmu di sungai. Kami tidak berniat jahat, hanya ingin menolongmu. Nah, ini. Makanlah. Aku tahu kau lapar."

Naruto menatap tiga ekor ikan yang sudah matang itu. Dengan ragu, dia menerima sodoran pemuda yang terlihat ramah itu, "Terima kasih," bisiknya. Naruto mengambil satu ikan, lalu memakannya dalam diam. Pemuda berambut panjang tadi benar, dia memang lapar. Setelah menghabiskan tiga ikan itu sendirian, Naruto terkesiap, "Aduh! Aku menghabiskan semuanya! Maafkan aku!"

Pemuda berambut panjang tadi tersenyum tipis, "Tidak perlu minta maaf, itu memang untukmu. Aku tidak begitu suka ikan." Katanya, "Bagaimana lukamu? Sudah lebih baik?"

Naruto mengangguk, "Sudah, hanya masih terasa nyeri. Mungkin besok akan hilang. Sepertinya aku terbentur cukup keras." Katanya. Naruto menatap mata hitam yang terlihat hangat itu, "Namamu siapa?"

"Oh, maafkan aku. Namaku Itachi, dan dia–"

"Sasuke." Pemuda berwajah datar tadi memotong kata-kata Itachi. "Namamu siapa?" tanyanya pada Naruto.

Entah mengapa, Naruto sedikit takut pada pemuda itu, "Naruto. Namikaze Naruto."

Mereka mengobrol tentang siapa Naruto, mengapa dia bisa berada di sungai di tengah hutan bahkan sampai tercebur. Naruto menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak dilontarkan oleh Itachi, sedangkan Sasuke hanya diam sambil memperhatikan. Sepertinya Sasuke adalah tipe pendiam.

"Aku mau keluar sebentar." Tiba-tiba Sasuke bersuara. Dia beranjak menuju ke mulut gua, tanpa menoleh ke belakang.

"Mau kemana, Sasuke?" tanya Naruto. Pemuda berambut pirang itu menggigit bibirnya ketika merasa dia terlalu lancang. Apalagi sekarang Sasuke menatapnya dengan tajam.

Pemuda berwajah datar itu tidak menjawab pertanyaan Naruto. Sebelum pergi, Sasuke melemparkan tatapan mengancam pada Itachi, yang dibalas dengusan mengejek. Dia berlari pergi meninggalkan gua itu, entah kemana.

Naruto yang tidak mengerti apa-apa hanya diam, lalu kembali melanjutkan obrolannya dengan Itachi. Pemuda itu bersyukur, meskipun Sasuke terlihat dingin tetapi Itachi baik dan ramah padanya. Benarkah mereka kakak adik? Yah, meskipun wajah mereka mirip tetapi sifat mereka berbeda jauh.

Ketika malam tiba, hujan turun dengan deras. Naruto memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan. Dia tidak memakai atasan, ingat? Dia hanya memakai celana panjangnya ketika ia tercebur ke sungai. Tampaknya api unggun yang sedang menyala itu tidak bisa mengurangi hawa dingin yang terasa menusuk sampai ke tulang.

"Kau kedinginan?" Sasuke bertanya, dia duduk di sebelah Naruto yang sedang berbaring.

Naruto menggerutu dalam hati. Mata birunya melirik tubuh berotot milik Sasuke yang juga tidak menggunakan atasan, tetapi pemuda itu tidak tampak kedinginan sedikitpun. "Kenapa kau bertanya? Kau tidak lihat aku menggigil?" tanyanya, sedikit kesal. Pemuda ini sama sekali tidak peka.

Sasuke tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Tiba-tiba dia ikut berbaring di sebelah Naruto, lalu membawa tubuh yang lebih kecil darinya itu ke dalam pelukan hangatnya. Lengan pria itu memeluk Naruto dengan protektif.

Naruto membeku, "K-k-kenapa kau memelukku?"

"Lebih hangat, kan?"

Mau tidak mau Naruto mengangguk, tubuhnya memang jauh lebih hangat ketika Sasuke memeluknya. Badan besarnya bagaikan selimut tebal bagi Naruto. Terasa hangat, nyaman, dan entah mengapa terasa aman.

"Sudah hangat." Jawab Naruto malu-malu. "Mm, Sasuke?"

"Ya?"

"Maaf aku baru mengatakannya sekarang, tapi … terima kasih sudah menolongku."

Sasuke tidak menjawab, dia mengeratkan pelukannya di tubuh Naruto. Sementara itu, si pemuda pirang memejamkan matanya, rasa hangat dan nyaman itu membuat matanya terasa berat. Naruto pun tertidur lelap dipelukan Sasuke.

Sasuke menatap wajah Naruto yang tertidur pulas. Pemuda itu menunduk, lalu mengecup puncak kepala Naruto, "Tidurlah, Sayang. Aku akan menjagamu di sini." Bisik Sasuke. Matanya yang biasa menatap tajam pada Naruto itu melembut, seulas senyum hadir di wajah tampannya.

.

.

.

Naruto menggerutu dalam hati. Dia bosan hanya duduk diam di dalam gua ini.

Berbeda dengan Itachi yang selalu mengajaknya mengobrol, Sasuke lebih banyak diam. Dia baru berbicara jika Naruto mengajukan satu atau dua pertanyaan, dan sisanya, dia hanya diam sambil memperhatikan pemandangan dari mulut gua yang terletak di atas tebing ini.

"Sasuke, aku mau pulang. Bisa kau tunjukkan jalannya?" tanya Naruto. Sasuke menoleh, tetapi tidak menanggapi kata-kata Naruto. Naruto kembali mengulangi kata-katanya dengan nada kesal, "Aku mau pulang, Sasuke. Ini sudah dua hari sejak aku sadar, berarti sudah lima hari sejak aku menghilang. Aku harus kembali–"

Naruto berjengit kaget ketika Sasuke tiba-tiba berdiri, memperhatikan sekitarnya, kemudian berbalik menghadap Naruto, "Tunggu di sini, dan jangan pergi kemana-mana. Di luar sana berbahaya." Katanya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Naruto.

Pemuda berambut pirang itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Manusia itu aneh sekali, datang dan pergi seenaknya, lalu memerintahku seenaknya! Dia pikir dia siapa?! Aku ini Namikaze Naruto, tidak ada yang boleh memerintahku!" Naruto mendengus kesal.

Naruto berdiri, lalu berjalan menghampiri mulut gua. Pemuda itu memperhatikan pemandangan dari mulut gua itu. "Apanya yang berbahaya? Tidak ada apa-apa." Pemuda itu menjentikkan jarinya, "Lebih baik aku pulang saja. Pertama aku cari dulu sungai itu, kemudian baru aku cari jalan pulang. Sungai itu pasti mengarah ke pemukiman warga, kan? Ah, kau jenius Naruto!"

Setuju dengan pemikirannya, Naruto menuruni jalan setapak di depan pintu masuk gua. Jalan itu landai, jadi Naruto bisa turun dengan mudah. Seandainya gua itu terletak di tebing yang curam, mungkin Naruto akan berpikir ulang soal mencari jalan pulang seorang diri.

Pemuda itu benar-benar mengabaikan peringatan Sasuke.

Naruto berjalan terus menembus hutan. Jika awalnya dia semangat, lama-lama dia pegal juga. Sungai itu belum juga ditemukannya. Padahal Naruto yakin, sungai itu tidak mungkin berada jauh dari gua. Sasuke tidak akan kuat menggendong seorang laki-laki yang sedang pingsan sambil berjalan jauh.

Naruto tidak yakin berapa lama dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya mulai terasa pegal dan lelah. Tubuhnya juga mulai berkeringat, tetesan keringat itu meluncur menuruni punggungnya yang tak tertutupi pakaian. Matahari sudah condong ke barat, pertanda sebentar lagi malam tiba.

Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon yang rindang. Dia meluruskan kakinya yang terasa pegal. Pemuda itu meneguk ludahnya, dia haus dan lapar. Kerongkongannya terasa kering.

Di sini tidak terlalu banyak ada pohon yang berbuah, apalagi air. Dia adalah pemuda yang lahir dan tumbuh di kota besar. Di sana serba ada, kalau haus tinggal pergi ke supermarket, maka dia akan langsung mendapatkan minuman dingin yang menyegarkan. Tapi ini di hutan! Mana dia tahu bagaimana cara bertahan hidup di hutan!

Naruto heran, dimana Sasuke mendapatkan makanan dan minuman untuknya kemarin? Seharusnya tidak jauh, kan? Seingatnya Sasuke hanya pergi beberapa menit. Tapi kenapa dia berjalan berjam-jam, malah tak menemukan apa-apa?

Naruto mengusap dahinya yang berkeringat. Pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir hawa panas.

"Gggrrrrr …"

Gerakan tangan Naruto terhenti ketika dia mendengar geraman. Pemuda itu meneguk ludahnya, lalu pelan-pelan kepalanya berputar ke kanan, ke arah dimana suara geraman itu berasal. Berharap bukan suara geraman binatang buas, meskipun otaknya mengenali suara geraman itu sebagai geraman binatang buas.

Mata biru itu melotot ketika dilihatnya tiga ekor serigala yang terlihat buas–bukan, bukan kehadiran serigala itu yang membuat Naruto terperangah. Tetapi ukuran serigala itu. Tingginya mungkin nyaris dua meter! Serigala jenis apa yang tumbuh sampai sebesar itu?!

Satu serigala berbulu cokelat terang, yang satu berbulu kelabu, dan yang satunya cokelat gelap.

Naruto berdiri dengan perlahan, berusaha untuk tidak membuat serigala-serigala besar itu kaget lalu menerkamnya. Dia sangat takut sekarang. Keringat dingin meluncur menuruni dahinya, menetes ke dagu.

Naruto mundur perlahan, membalikkan badannya sepelan mungkin. Dia pernah dengar, kalau bertemu dengan serigala, jangan lari. Dia akan menangkapmu karena menganggap kau adalah mangsanya yang berusaha kabur. Ada juga yang mengatakan, berdoa, memohon pada Tuhan adalah satu-satunya cara agar serigala-serigala itu tak menerkammu.

Masa bodoh!

Naruto berlari sekuat yang dia bisa.

"Papaaaa! Papaaaa! Tolong aku!" Naruto berteriak ketakutan ketika serigala-serigala itu menggeram, menyalak lalu mengejarnya.

Naruto jelas kalah kalau disuruh lomba lari melawan serigala. Ketika salah satu serigala itu nyaris menerkamnya, tiba-tiba dari arah samping muncul seekor serigala berbulu hitam dengan mata merah, menerjang serigala yang nyaris menerkam Naruto itu. Ukuran serigala berbulu hitam itu sama besarnya dengan serigala-serigala itu.

Serigala berbulu cokelat terang yang diseruduk serigala berbulu hitam tadi mendengking, lalu berdiri dengan tertatih-tatih. Naruto mendelik melihat tiga pohon tumbang karena tertimpa serigala sebesar truk itu.

Serigala-serigala itu saling menggeram, saling mengancam sambil memamerkan taring mereka yang setajam pedang.

Serigala berbulu cokelat gelap tadi menggeram marah, lalu menerjang serigala berbulu hitam. Mereka bergulat, saling menggigit, mencakar dan menyeruduk lawannya. Suara perkelahian itu terdengar keras dan menakutkan.

Naruto berjongkok di antara pepohonan sambil menangis ketakutan. Biar saja dia bilang cengeng, dia benar-benar takut! Mana ada orang yang nyaris diterkam serigala sebesar truk malah pasang tampang sok keren? Ia benar-benar menyesal sudah mengabaikan perintah Sasuke tadi.

Pertarungan sengit antar serigala itu berakhir. Serigala berbulu hitam itu pemenangnya. Dia menggeram pada ketiga serigala yang terluka parah itu, membuat mereka berlari ketakutan. Serigala berbulu hitam itu menoleh ke belakang, lalu berjalan tertatih-tatih mendekati Naruto. Kaki depan serigala itu terluka.

Serigala bermata merah itu menggeram lirih. Naruto mendongak, dia terjengkang ke belakang ketika dilihatnya serigala bermata merah itu mendekatinya. Pemuda itu mundur ketakutan, gerakannya terhenti ketika punggungnya menyentuh batang pohon. Naruto pasrah, dia sudah tidak sanggup berlari lagi. Dipejamkannya matanya ketika serigala itu mendekatkan moncongnya yang berlumuran darah.

Naruto semakin memejamkan matanya dengan rapat ketika serigala itu mengendusnya beberapa kali, lalu menjilati wajah Naruto. Pemuda itu berpikir mungkin serigala itu ingin mencicipi rasanya terlebih dahulu. Dia berharap semoga saja serigala itu tidak doyan pada rasanya, lalu meninggalkannya begitu saja.

"Kau baik-baik saja, Naruto? Kau terluka?"

Naruto mengerutkan keningnya ketika mendengar suara berat yang familiar. Pemuda itu membuka matanya perlahan, kemudian mata biru itu melebar. "S-Sasuke?"

Naruto membeku. Dia seolah kehilangan kemampuannya berkata-kata. Dihadapannya, bukanlah sosok serigala besar berbulu hitam tadi. Melainkan sosok Sasuke, sedang menangkup wajahnya seolah mengecek apakah Naruto baik-baik saja. Dia menatap Naruto dengan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah tampannya. Mata pemuda itu berwarna merah dengan tiga koma yang melingkari pupil matanya. Tangan kanannya terluka, persis seperti luka yang didapatkan serigala berbulu hitam tadi.

.

.

TBC

.

.

Gue lagi cuti kerja, nih. Mumpung ada ide langsung gue tulis aja keburu lupa. Tapi maaf kalo gue malah balik lagi ama SasuNaru, hahahahaha. Susah juga berhenti nulis, kayaknya musti pelan-pelan. Dan entah kenapa Naruto versi cowok lebih cocok di FF ini. FF ini gak panjang kok, two shoot doang kayaknya.

Semoga masih bisa dinikmati, ya.

Adios!