Soonyoung memandang ke luar jendela klub dance. Dua hari ke belakang, senja kembali diiringi rintik hujan seakan memahami isi hatinya.

Ia menunduk memperhatikan bagian luar kaca, sedari tadi memilin para siswa yang mulai keluar dari kelas satu persatu. Ratusan kepala berhambur di lapangan mengarah ke luar gerbang, dan Soonyoung tetap fokus memperkatikan.

Barharap bahwa indra serta seluruh sarafnya mendapati sosok Lee Jihoon melangkah di sana, sekedar menghilangkan debar putus asa di jantung hatinya. Marasa begitu kepayahan karena rasa rindu dan sakit yang terasa sama perih.

.

.

.

.

.


Jo Liyeol's present

©2017

.

Terms d'Amour

as my heart can't be denied


...

Satu pekan. Entah sejak kapan Jihoon jadi suka menghitung hari akhir-akhir ini, praharanya dengan si Kwon minggu lalu adalah kali terakhir ia mendapati siswa itu.

Jihoon tak pernah lagi menjumpainya, mendapati Soonyoung di pagi esok depan kelas atau senja hari di pinggir gerbang. Hingga hari penggenapan satu minggu ini, si Kwon benar-benar lenyap seakan sosoknya tak pernah ada.

Kegaduhan kecil; cicit para siswi pengagum siswa itu masih berkoar berisik seperti biasa, merapalkan betapa tampan Kwon Soonyoung beserta kesempurnaan Kwon Hoshi. Satu orang yang sama dalam tampilan berbeda, hanya nama sebagai penentu gaya; sedangkan kelakuan sosok itu tetap terpaku dalam prangai ramahnya.

Desas-desus ini membuat Jihoon menyimpulkan, bahwa keabsenan Soonyoung dari jarak pandangnya disebabkan adi kompetisi yang diikuti sosok itu. Olimpiade eskul jenjang SMU, perkumpulan bintang besar yang diadu dalam satu ring perlombaan.

Soonyoung sudah dipastikan berpartisipasi dalam lomba dance, perwakilan YaGook sebagai juara umum nasional yang membanggakan.

Omong-omong, harusnya Jihoon juga berada di sana sekarang. Mengikat sabuk di tengah arena dan siap berperang, mengungguli kejuaraan lalu membawa mendali emas atas nama sekolah. Tapi isi kepalanya terlampau kacau di sisa-sisa hari. Ia tidak konsen dalam belajar dan kehilangan fokus selama latihan.

"Haaah …," helaan napas kembali terembus. Jihoon tidak tau apa yang salah, tapi tiga hari kebelakang ia merasa kosong dan hampa.

Jiwa ambisiusnya terkubur, dan tanpa sadar gairah kehidupannya turut meredup. Ia memang pendiam, tapi ini tidak beres, Park ssaem sedang mendiagnosis jumlah kalor dalam kecepatan kilometer, merapalkan abjad-abjad alpha yang suka cita Jihoon dengarkan tanpa kedip. Di depan sana guru botak itu mengarahkan laser melingkarkan kata dalam papan tulis, serius mengumandangkan rumus-rumus dari soal KBM yang diberinya pekan kemarin. Tapi yang Jihoon lakukan justru menyumbat lubang telinga pakai headset, karena usahanya buat tetap fokus sama sekali tidak bekerja.

Pening menggerayap, isi kepalanya buyar dan ia frustasi sekarang.

Atensinya terganti pada siaran live radio dari olimpiade di pusat kota. Gema riuh teriakan penggemar, pendukung dan sesama peserta lomba memenuhi indra pendengaran Jihoon dilanjut suara presenter yang terdengar paling dominan.

Dentum speaker melantunkan musik elektron lagu bertajuk Wach Me dari idola muda Amerika menggaung sepenjuru ruangan, mengalun nyaring ditengah kegaduhan heboh di sana. Seorang remaja bernyanyi menggantikan Silentó diiring beatbox panas yang menjadikan suasana semakin riuh.

Tidak tau dari mana asalnya, secara tiba-tiba, yang terbayang di kepala Jihoon justru ketidak hadiran Soonyoung di sekitarnya.

Ada yang salah.

Jihoon merasa sebuah kekurangan—kejanggalan di setiap langkahnya di tiga hari terakhir.

Awalnya ia merasa luar biasa senang, namun ketidak hadiran Soonyoung memberi rasa hambar tersendiri bagi Jihoon.

Fisika sialan.

Jihoon keluar kelas sepuluh menit sebelum waktu istirahat habis. Tuhan, apa yang bisa dia lakukan dengan waktu sesempit itu?

istirahat? Omong kosong.

Jalan ke kantin saja perlu tiga menit dari lantai kelasnya, belum lagi kalau antrian masih berjejer di depan konter nasi. Yang ada belum sempat ia menyuap makanan, dentang bel lebih dulu membuatnya tersedak nyaris mati.

Ia berinisiatif melangkah ke tempat yang sama sekedar membeli jajanan ringan atau air mineral; tatkala kenangan lebih dulu menerobos barbar memorinya.

Mengingat bagaimana Kwon Soonyoung yang selalu hadir tanpa diduga-duga, secara ajaib membawa apapun kebutuhannya seperti memiliki kantung ajaib Doraemon.

Emosi Jihoon meluap, "Fuck!" mengumpat marah, tak sengaja menggigit lidahnya sendiri ketika menggemelatukan gigi, membuat ia memekik kaget dan menutup mulut menahan sakit.

Kesal bukan main karena pikirannya terus membayangi wajah Kwon Soonyoung, hingga tanpa sadar merindukan eksistensi sosok itu. Tertera jelas dari bagaimana degup jantungnya mendentum tak bernada.

Tapi Jihoon belum paham, sama sekali tak menyadari apa yang ia rasakan.

Hingga umpatan lah yang terus mengudara, saat lagi-lagi bayangan Soonyoung terngiang bagai slide film durasi pendek. Gigi kelincinya yang muncul saat tersenyum, tingkah anehnya yang tidak bisa ditebak, pernyataan menggelikannya yang terus mengumandangkan cinta, juga mata sipitnya yang selalu terarah pada jam sepuluh lewat sepuluh.

Tidak bisa si Lee pungkiri, bayangan Kwon Soonyoung yang demikian terasa menggemaskan.

Dan Jihoon sama sekali tidak bisa meleburkan bagaimana obsidian Soonyoung menatapnya penuh puja di setiap waktu, tak ada bahasa lain yang sanggup si Kwon tuturkan dari pendaran retinanya; selain suka dan bahagia—tiap kali membelenggu Jihoon dalam bingkai matanya.

Namun adik ketua OSIS itu sempat menanggkap disonansi, dari bagaimana obsidian Soonyoung sungguh-sungguh berduka di hari terakhir mereka bertemu. Cara yang justru membuat isi kepala Jihoon amburadul, mulai membayangkan betapa kasar perlakuannya pada Soonyoung selama ini, dan sangat kelewatan di penghujung kebersamaan mereka tempo hari.

"Bangsat—bangsat! Sadar Lee Jihoon! Sadar!"

Pada akhirnya Jihoon berbalik kembali ke kelas, masa bodoh mengabaikan rasa laparnya.

.

.


Jihoon tidak tau bahwa dikeesokan hari Soonyoung kembali masuk sekolah, sampai hari senin ia baru sadar kalau si Kwon sudah sekolah lagi.

Senin ini siswa itu lagi-lagi berdiri tegak di atas podium usai nama kelahirannya terpanggil, menarik senyum kecil saat kepala sekolah menyambutnya dengan tepukan bangga di sebelah pundak.

Ya, Kwon Soonyoung kembali mengharumkan nama YaGook dengan membawa pulang mendali emas.

Seperti biasa di momen yang sama; siswa itu mengumbar senyum renyah ke barisan rapih siswa-siswi di depannya, sedikit berkata tatkala diarahkan pada mik mimbar dan membungkuk sopan pada semua orang. Diiringi tepuk tangan, Soonyoung beranjak turun kembali ke barisannya.

Yang Jihoon pertanyakan, ke mana jejak siswa itu dalam indra pengelihatannya akhir-akhir ini? Soonyoung sudah kembali beberapa hari lalu. Lantas, ke mana jejak historinya di sekolah selama itu? Apa Jihoon terlalu sibuk hingga tak menyadari keberadaannya? Atau sudah tiba saat di mana Kwon Soonyoung mengabulkan permintaan Jihoon buat pergi jauh-jauh?

Jihoon mau menepis, tapi kenyataan mengungkap bagaimana jantung hatinya berdesir gelisah, untuk tanda tanya tidak penting di isi kepalanya.

.

.


Jika memang ini fakta absolut paling nyata. Satu sisi, Jihoon sangat-sangat bahagia mendapati kenyataan bahwa ia berhasil mendepak Kwon Soonyoung dari bingkai matanya. Mengenyahkan sosok itu tanpa sisa. Hingga dengan tenang ia bisa menikmati celoteh Chan yang bercerita dengan semangat, menyesap bagimana sepupu yang ia sayangi merekahkan senyum lebar dan sepasang obsidian berpendar ceria.

Tanpa paham sama sekali apa yang bocah itu rapalkan dengan berisik.

Jihoon hanya memandangi, menatap lamat-lamat sosok itu dengan minat penuh. Tidak mencerna curhatan Chan yang perlahan menipis.

Tapi sisi lain, ia merasa ada yang makin tidak beres dengan dirinya sendiri.

Terlebih ketika celotehan Chan akhirnya tertangkap indra pendengarannya di sisa-sisa curhat sosok itu, "—bagaimana ini Hyung? Kurasa aku jadi benar-benar suka!"

Jihoon mengedip beberapa kali, kurang paham tapi menyulut kehendak buat menanggapi sepupunya, "Ah, iya," sepasang obsidiannya berpendar kosong membelenggu Chan seakan figur monokrom, "Kwon Soonyoung 'kan?" sudut bibir Jihoon memaksa sebuah senyum dengan gemetar tipis, otaknya melompong tiba-tiba; menjadi luar biasa bodoh, tak menyangka akan mengeja nama itu kembali di depan Chan.

Ya, pada kenyataannya Lee Chan tetap menyukai Kwon Soonyoung sampai akhir.

Sedangkan yang diajak bicara tergugu di tempat, membeku dengan sepasang mata mengerjap pelan. Sedikit heran, Chan memiringkan kepalanya, "Hyung," bersuara sama kosong dengan cara Jihoon menatapnya.

"Ya?" sedangkan cuma itu tanggapan yang lebih tua tanpa tanda-tanda dosa.

Chan mendengus keras, mendecak sesaat sebelum menanggapi, "Jihoonie hyung! Kau tidak mendengarkanku dari tadi?" keningnya berkerut tiga lapis pertanda sebal bukan main. Baru kali ini ia melihat sosok perfeksionis semacam Lee Jihoon bisa tidak fokus juga, "Aku sedang cerita soal Hong Jisoo! Sunbae tingkat tiga di kelas Vokal, bukan Hoshi hyung!"

Kedipan polos Chan menular pada Jihoon. Sosok itu mengedip banyak sekali, benar-benar tidak paham akan situasi dan kepalanya pening sekarang.

"Maksudmu? Kau—kau bukannya suka Soonyoung?"

Kemudian Chan diam, iris matanya mengedar tanpa arah. Sebelum subjek pandangnya kembali berpangku pada Jihoon, "Hmm … benar," Chan mengangguk sekali, terasa inosen didamping perkataannya yang melanjuti bersama helaan napas halus, "Ini bahkan cinta, Hyung."

Ada secercah binar kupu-kupu yang Jihoon tangkap dari bagaimana Chan mengakui fakta itu, satu hal yang kembali membuat detak jantungnya berdesir nyeri. Berusaha mengukir kebencian bertambah pada Kwon Soonyoung, namun sebagian alam bawah sadarnya mengiringi rasionalitas untuk menyatakan fakta; bahwa ia tidak bisa. Maka seiring menarik napas dalam-dalam, Jihoon menanggapi kikuk, "Lalu?"

Chan menangkapnya, bagaimana sepasang retina kosong Jihoon berpendar separuh kuatir. Lee Jihoon sering kali mengkhwatirkannya—selalu, tapi kali ini Chan yakin ada implikasi lain dalam binar hampa obsidian itu. Kenyataan bahwa yang Jihoon kuatirkan bukan hanya tentang sepupu kecil tersayangnya.

Yang lebih muda terkekeh sempit, "Yah … lalu?" mengulang pertanyaan tersendat abang sepupunya sedikit main-main. Lalu menggedik bahu sekali, "Entahlah—ngg … merelakannya?"

"Apa?"

Chan menghela napas panjang. Seutuh hatinya bergetar ketika sadar ini tenggat akhir kewarasaanya, batas limit di mana ia wajib mengungkap kebenaran, "Memang aku harus bagaimana lagi, Hyung? Aku mesti move on—karena itu bukan pilihan. Hoshi hyung sangat-sangat baik, aku bersyukur dia masih mau ada didekatku tanpa canggung. Aku tidak boleh egois," jawabannya begitu yakin. Kembali mengundang desir implisit dalam sanubari Jihoon, "Aku tidak mau jadi serakah. Jika tidak bisa jadi milikku, setidaknya berada di dekatnya sudah cukup."

"Chan—" panggilan lirih Jihoon terputus berkat selaan berat suara Chan yang mencoba tegar.

"Hyung," katakanlah Jihoon manusia paling naif sedunia, Chan Jelas-jelas menyadari perubahan sikap sosok itu semenjak Kwon Soonyoung menjauh dari jangkauannya. Namun bagaimana bisa Lee Jihoon masih tetap mau menyangkal kenyataan? Apa harus Chan yang meraung nista mencekal kaki-kaki Jihoon supaya tak lagi berlari? Mustikah Chan yang mensalib pergelangan Jihoon agar berhenti dan berbalik?

Karena yang Chan khawatirkan, justru bagaimana cara ia kembali mendorong Kwon Soonyoung—untuk tetap tegar mengejar hyungnya, yang bahkan tak pernah mau memperlambat langkah.

Di sisa kesabaran, Chan menarik napas dalam-dalam, merutuki Jihoon dalam hati karena sosok itu luar biasa bodoh dalam pengelihatanya, "Dia menyukaimu, Hyung!" berkata sedemikian tegas usaha menyadarkan Jihoon—tidak peduli jantung hatinya yang berdegup sakit mengungkapkan fakta itu dari mulutnya sendiri. Lamat-lamat ia menunduk, memainkan jemarinya kalut sebelum menarik napas buat menghindari kantung matanya yang mulai sembab, "Dia jatuh cinta padamu," hening sebentar saat ia tau Jihoon di depannya menggeleng tanpa arti. Kembali menyangkal kenyataan demi menjaga sepupu tersayangnya—karena Jihoon tau, dengan fakta yang dipahaminya; Chan tidak mungkin baik-baik saja selama ini. Tapi tidak ada lagi yang bisa Jihoon katakan ketika Chan kembali menengadah mensibobrokan tatapan mereka, "Jadi kumohon … jika aku tidak bisa bersamanya, setidaknya melihat dia bahagia dengan orang yang ia cintai—" batin Jihoon teriris mendengar bagaimana suara Chan tercekat di kerongkongan. Ia tau adiknya hanya sok kuat, berusaha menahan tangis meski air mukanya sudah semerah jambu air, "Itu sudah lebih dari cukup."

Lagi-lagi Jihoon menggeleng. Tidak—ia tidak mau. Benar-benar tidak mau seperti ini, ia memaki Soonyoung demi Chan; bukan sebaliknya. Bukan sepupunya yang mesti mengalah akan cinta, bukan sosok itu yang harus melepas Soonyoung demi kebahagiaan siapapun, bukan Chan yang harusnya merelakan. Jihoon yang mulai, tapi kenapa musti Chan yang menjadi korban? Seharusnya—bukan begini, "Chan …."

Nyaris emosional Jihoon meledak di tempat menyerapahi Kwon Soonyoung, ketika menyaksikan di depan matanya sendiri sepupu yang begitu ia sayangi meneteskan air mata tanpa alih-alih. Chan tidak pernah begini, anak itu kuat dan ceria, tapi hanya karena seonggok nama Kwon Soonyoung; ke mana perginya Lee Chan yang Jihoon kenal?

Tapi Jihoon tidak bisa berbuat apa-apa, ia tertegun di tempat saat jemari Chan meraih punggung tangannya, "Jihoonie hyung sayang aku 'kan?" bertanya polos dari obsidiannya yang memerah, "Ayo bahagia sama-sama!" mengajak begitu yakin padahal vokal suaranya terdengar sengau tersangkut sengguk di kerongkongan, "Jangan bohongi perasaanmu sendiri, Hyung. Jangan buat aku merasa jadi orang jahat di sini—tidak peduli kalau aku mati kesakitan sekalipun, melihat kalian berdua saling memiliki …," Jihoon mau menolak, berkata bahwa bukan begini akhir dari awal yang ia lakukan. Namun jemari sepupunya yang mengerat menggenggam tangannya sungguh memberi dampak lain, hati Jihoon menghangat, "Adalah kebahagiaan terbesar buatku," dan satu senggukan lolos dari pangkal tenggorokan Chan ketika ia sama sekali tidak lagi sanggup menahan air matanya, kemudian merengek tanpa arah, "Karena aku juga menyayangimu, Hyung. Cukup—jangan terus mengalah karena aku, aku sudah besar!"

Yang Jihoon lakukan hanya menunduk memperkatikan tangannya yang digenggam begitu erat. Ia tak bersuara, tapi Chan sendiri sadar bahwa Lee Jihoon menangis dalam diam.

Ya, pada kenyataannya Lee Chan tetap menyukai Kwon Soonyoung sampai akhir—dengan mengaguminya, dan merelakan sosok itu bahagia dengan orang yang ia cintai.

.

.


Saat dibatas emosi, Jihoon tidak pernah punya toleransi dan bisa berbuat hal gila sesuka hatinya. Otaknya menjadi irasional dan emosi lebih menuntun akal sehatnya.

Jadi sore ini, setelah bel pulang berdentang nyaring ia buru-buru ke luar kelas. Melangkah lebar bersama sekembar obsidiannya yang menyalang marah. Tangisan Chan di jam makan siang tadi makin membuat isi kepalanya berantakan, emosionalnya kalut dan degup paru-parunya hancur.

Satu tujuannya kini, hanya sesegera mungkin sampai di ruang klub dance.

.

.


Brak!

.

Dobrakan kasar itu menggema seantero ruangan, berasal dari pintu masuk yang lantas menjadi objek pandang seluruh orang di dalam sana.

Ada lebih dari dua puluh siswa, dan satu diantara mereka melebarkan mata tanpa kedip.

Pacu jantungnya terhenti absolut dan kepalanya terasa luar biasa berat dalam sejenak—nyaris mati, hanya karena mendapati sosok mungil yang amat dirindukannya berdiri di sana, menatap mereka satu persatu tanpa gentar sedikitpun.

Dan ketika Lee Jihoon mengambil langkah, mendekati mereka lewat jejak-jejak pongahnya. Wen Junhui yang pertama kali menyambut, figur itu lantas bangkit dari duduk di lantai sekedar menghalangi jalan Jihoon ke arah yang ia sendiri tau pasti.

Tujuan utama si Lee, ketua klub mereka—Kwon Soonyoung.

"Minggir," hanya satu kata. Jihoon sama sekali tidak minat bersuara banyak-banyak atau emosinya bakal menghantarkan tinju ke rahang bawah si Wen.

Namun yang dimaksud tak menggubris, berbalik menggulung lengan di depan perut sambil menghalangi Jihoon makin jadi, "Tidak akan."

"Kubilang minggir …," desisannya terdengar lebih keras, menggema sepenjuru ruangan sampai Soonyoung sadar akan situasi.

Sesaat sebelum Junhui kembali melawan si Lee, Kwon Soonyoung sudah berdiri di belakangnya. Menepuk sebelah pundak siswa Wen itu membuat Junhui menoleh ke arahnya, Soonyoung menarik senyum tipis; menandakan bahwa siswa itu tidak perlu campur tangan. Maka anggota klub dance ini menurut, kembali menatap Jihoon sekedar memicing buas untuk terakhir kali, dan berbalik kembali ke tempatnya di sebelah Myungho.

Selepas kepergian Junhui, anggota lain klub masih menatap Jihoon penuh tanya. Ada yang menyalak tidak suka; namun si Lee tidak peduli sama sekali, ia hanya fokus menatap Soonyoung saat ini. Entah kenapa, mendapati figur ini berdiri di hadapannya mengundang desir aneh itu kembali merasuk tak terkendali, sensasi yang nyaris membuat tatapan tajamnya melebur jadi hampa.

Hampir sama dengan yang dirasakan Soonyoung, si Kwon mati-matian menahan diri buat tidak merengkuh tubuh mungil itu. Menariknya dalam dekapan dan tak akan ia lepas sampai kapan pun, ini bukan mimpi, setelah hari-hari terberat; Lee Jihoon benar-benar lebih dulu muncul di hadapannya.

Soonyoung bahkan tidak peduli akan kelakuan barbar si Lee atau tatapan galak yang siswa itu berikan.

Menangkap figur Lee Jihoon di sini bukan lagi sesuatu yang bisa ia tawar-menawar buat kemunculan yang mesti diinginkannya. Senyuman manis Jihoon atau tawa renyahnya—untuk saat ini, ia tidak perlu. Selama sosok Jihoon kembali ada tepat di depan wajahnya, ini sudah sangat-sangat berlebihan bagi Soonyoung.

"Ada … apa?" si Kwon yang bersuara pertama kali, retinanya tak kunjung melepas raga Jihoon dari bingkai matanya.

"Ikut aku keluar, kita perlu bicara."

Rintik hujan menyambut setiba mereka di pinggiran lapangan outdor belakang sekolah. Melupakan bagaimana frustasi anggota klub dance yang berusaha menahan si Kwon tadi—supaya tetap tinggal dan acuhkan saja keparat Lee itu. Tapi mereka yang justru tidak digubruis sang ketua klub, Soonyoung memilih mengikuti gerak kakinya buat membuntuti Jihoon usai melempar senyum tipis seakan berkata pada kawan-kawannya; bahwa ini adalah urusannya.

Dan Jihoon merasa jadi orang jahat di sini.

Bagaimana mungkin hanya karena menolak Kwon Soonyoung, ia dibenci nyaris setengah siswa-siswi di sekolah?

Setidaknya, karena hal ini ia mulai bersyukur menjadi adik dari seorang Lee Yoongi; dan akan adanya pelajar di sekolah yang mengenalinya sebagai minister klub taekwondo. Kalau tidak, mungkin Jihoon sudah jadi tujuan nomer satu pembulian di YaGook. Jelas sekali kemungkinan itu absolut terjadi, karena atas dua tameng besarnya Jihoon masih sempat mendengar desisan cela serta tatapan sinis yang terarah padanya.

Ini sudah konsekuensi—dan sial, Jihoon sama sekali tidak peduli.

"Ji, mau du—"

"Tidak perlu," Jihoon menyela cepat akan tawaran Soonyoung untuk menepi dan duduk di bawah pohon, "Aku membuang waktu bukan untuk bersantai ria denganmu."

Soonyoung menghela napas, sudut bibirnya menarik senyum kecil.

Ia tau ruang hatinya terasa nyeri, namun bukan itu yang mesti ia pikirkan sekarang, "Jadi apa yang mau kau bicarakan?"

Jihoon menengguk gumpalan liurnya yang terasa berat. Menimbang-nimbang bahwa sorot mata Soonyoung terlampau berbinar untuk ia nodai lagi dengan kepedihan, Jihoon mau mengontrol kosa-katanya buat terlontar, tapi egoisme dalam ufuk emosi justru tak bisa ia kendalikan, "Jauhi Chan," hingga hanya kebengisan yang tertera di selaput mata serta raut wajahnya, "Jahanam sepertimu—berhenilah bersikap sok malaikat, prangaimu ini hanya omong kosong Kwon. Topeng biadab yang kau gunakan untuk menjerat hati polos tak berdosa, lintah brengsek—"

"Apa maksudmu?" Soonyoung menyela di tengah-tengah. Ia menggeleng samar; keningnya berkerut tak paham, sekembar retinanya berpendar tidak mengerti dan hatinya terasa diremat kencang sekali.

Namun Jihoon masa bodoh, ia melanjutkan tanpa peduli ekspresi Soonyoung yang terluka, "Kau tidak lebih baik dari sampah—kau terlalu pandai memanipulasi pikiran orang. Ekting sok lugumu benar-benar bagus, Kwon, seakan menjadi paling tersiksa padahal kau muka dua!"

Soonyoung tidak mengerti akan apa yang dituntut Jihoon padanya, ia ingin hidup menjadi orang baik. Bergaul dengan benar dan mengenyahkan pikiran negatif orang-orang di tiap tingkah lakunya.

Tapi kenapa ini yang justru membuat Lee Jihoon menganggapnya begitu hina?

Soonyoung tidak mengerti—banar-benar tidak mengerti.

"Kwon Soonyoung," apa yang salah dari degup jantung Soonyoung, ia merasa luar biasa perih cuma karena namanya begitu pas terlafal dari celah bibir Jihoon. Ada sensasi ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutnya, namun saat sensasi itu menjalar lebih tinggi, Soonyoung justru harus menyaksikan bagaimana kupu-kupunya meredup dan perlahan mati. Menyadari Lee Jihoon menyebut namanya penuh benci, "Kau—"

"Lee Jihoon," lagi-lagi Soonyoung menyela. Hanya karena menghindari kenyataan, ia tidak cukup kuat buat mendengar untaian si Lee yang bisa kembali membekukan detak jantungnya.

Lalu hening menggerayap ketika Jihoon enggan menanggapi, namun si Lee dapat menangkap bagaimana kilapan di sekembar obsidian Soonyoung menggelap pelan-pelan, "Apa sebesar itu?" pernyataan si Kwon justru membuat dahi Jihoon berkerut, tidak cukup paham akan apa yang di maksud siswa itu. Namun radarnya menangkap ke arah mana perkataan ini saat Soonyoung melanjuti dengan tatapan kosongnya, "Kau benci aku? Sebesar itu?"

Jihoon tergugu. Mungkin mudah untuk menyatakan diri bahwa ia benci Kwon Soonyoung, tapi tak pernah terlintas bagi Jihoon bahwa pertanyaan demikian justru tertanya dari bibir si Kwon sendiri. Ia mau mengangguk yakin dan menjawab lantang bahwa; Ya, ia benci Soonyoung—luar biasa benci sampai ia sendiri tidak paham sebesar apa kebenciannya.

Namun jangankan berkata tegas sedemikian, lidahnya kelu dan bibirnya justru terkatup rapat di makan waktu.

Hingga di mana saat Soonyoung kembali berkata dengan retinanya yang lebih hidup, "Kau tidak pernah mengatakan apa salahku. Tapi kau terus membenci dan memperlakukanku lebih buruk dari sampah—" Jihoon sadar ada secercah emosi yang akhirnya sosok itu keluarkan di hadapannya. Manik mata si Kwon menyalakan binar amarah meski hanya tipis-tipis Jihoon dapati, "Kalau aku memang bersalah, setidaknya katakan salahku ada di mana dalam matamu," dan kerongkongan si Lee terasa berat, respirasinya tersumbat, ia menahan napas tanpa sadar ketika mendapati retina Soonyoung memerah. Tapi sosok itu terlampau tegar buat menunduk, ia tidak mengalihkan pandang sama sekali walau sesungguhnya ia tidak ingin terlihat lemah di depan Jihoon. Soonyoung hanya ingin menatap Jihoon lebih lama, membingkai potret Jihoon dalam memorinya lekat-lekat. Namun sesak di dadanya sama sekali tak berkompromi, ia ingin bersuara lebih tegar, namun vokalnya justru terdengar sangat menyedihkan, "Apa? Apa salahku? Sampai kau terus membenciku?" bibirnya bergetar diiringi rintik hujan yang makin menderas menyelimuti mereka, "Aku sudah meminta maaf pada Chan. Aku bahkan menuruti keinginanmu buat menjauh," gigi-giginya menggemelatuk ketika Soonyoung menyadari, basah yang menimpa tubuhnya justru membuatnya makin lemah di hadapan Jihoon.

Dan si Lee benar-benar kehilangan kosa-kata saat mendapati air mata Soonyoung menetes berkamuflase dengan derasnya air hujan. Otak Jihoon membeku, merasa bodoh karena ia justru luar biasa bersalah. Isi kepalanya lebur ketika jantung hatinya teremat kencang mendapati sosok jantan Kwon Soonyoung menangis karenanya.

Bahkan ia hanya membatu saat si Kwon mencengkram lengan atasnya, dan Jihoon merasa sakit bukan karena rematan si Kwon di tubuhnya. Melainkan bagaimana cara Soonyoung menaikan volum suaranya, "Kau tau bagaimana rasanya mencintai seseorang sampai nyaris gila?!" gemetar suara Soonyoung bahkan tidak lebih baik dari tubuhnya sendiri yang luar biasa kacau di mata Jihoon. Hidung dan retina si Kwon melukiskan warna merah kesakitan, bibirnya bergetar, dan air mata tak kunjung terhenti bersama hujan yang mengguyur mereka, "Aku bahkan nyaris mati sekedar merindukanmu akhir-akhir ini, aku ingin menemuimu tapi kau bahkan tidak sudi melihat wajahku!" jeda mengudara saat Soonyoung tersengguk patetis. Nadanya melunak selepas ia mengatasi kepedihannya, "Aku menyukaimu Ji, dan kau paham itu—tapi kenapa kau terus membenciku?" namun kepedihan lain membuat air matanya semakin menderas tak bersahabat. Maka Soonyoung menunduk dalam-dalam, sungguh ini memalukan ketika ia sadar dirinya menjadi luar biasa cengeng di depan Jihoon. Bahkan suaranya makin lirih dari waktu ke waktu ketika ia kembali mendongak membalas tatapan kosong si Lee, "Seberapa berat kesalahanku padamu, hm?"

Jihoon tak bergeming. Tidak menyatakan apa-apa dari raut ekspresinya yang datar, seakan kembali berkata; bahwa ocehan Soonyoung hanya terdengar bagai bualan omong kosong di telinganya.

Maka si Kwon terdiam, menggigit bagian dalam bibir bawahnya sampai nyaris terluka, ia membuang pandang sesaat sebelum kembali fokus menatap Jihoonnya, "Oke, maaf," kedua tangannya terangkat melepas cengkraman si lengan atas si Lee, memberi senyum terpaksa sambil melirih merasa bersalah. Ya, lagi-lagi ia menunduk. Terlalu menjadi beban bagi Soonyoung menatap balik obsidian tanpa gentar Lee Jihoon, "Tidak semestinya aku begini—maaf, aku terbawa emosi," bulir jagung bahkan terasa lebih kecil jakalau boleh si Kwon perantaranan teruntuk benang saliva yang menggumpal di tenggorokannya, "Maaf, Ji. Aku membebanimu selama ini," perlahan-lahan Soonyoung menengadah, menguatkan diri menatap balik Jihoon tanpa menjelaskan adrenalin yang melingkupi raganya, "Yah, aku akan jauhi Chan. Lebih dari apapun. Aku bakal menjauhi segalanya tentangmu," yang Soonyoung tidak tau, penawaran dari isi pernyataannya membuat otaknya membeku. Ia ingin menjilat liurnya sendiri, memukul mulutnya yang asal bicara dan menarik perkataannya. Tapi ia laki-laki, dan melihat raut wajah Jihoon yang tak kunjung berubah, si Kwon mengambil kesimpulan, bahwa perkataan tersebut yang siswa itu nanti-nanti selama ini. Tidak mendengar sama sekali bagaimana pacu jantung Jihoon berdetak gelisah dari detik ke detik, dan si Lee merasa debuman ombak memberhentikan kinerja jantungnya saat Soonyoung melanjuti dengan senyum kecil yang menyakitkan, "Dengan itu, kuharap kau bisa berenti membenciku."

Hening saat Soonyoung menunduk sekali cukup lama sebelum ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Jihoon yang terbatu di tempat.

Derasnya hujan mengaburkan pikirannya hingga benar-benar berantakan, retinanya hanya mampu menangkap punggung Soonyoung yang semakin menjauh. Terlingkup hujan, sosok itu mengigil dan tak peduli sekitar, hanya berjalan sambil menunduk dan itu luar biasa menyedihkan bagi Jihoon.

Andai isi hatinya tidak begini, mungkin Jihoon sudah mendecih dan menertawakan bagaimana Kwon Soonyoung yang terlihat begitu memilukan di tengah derasnya hujan. Tapi Jihoon tidak bisa, karena ia justru ingin mencibir dan menertawai dirinya sendiri yang lebih mengenaskan dari apapun.

Ia yang memulai semuanya dengan begitu barbar, dan ia juga yang mengakhiri semuanya dengan tidak benar.

Chan yang musti mengalah; merelakan perasaannya demi melepas Soonyoung. Dan si Kwon yang berakhir tragis dengan cinta bertepuk sebelah tangannya yang naïf.

Benar, orang-orang tidak salah buat memaki atau membenci Jihoon sekalipun. Karena memang benar dia yang jahat di sini.

Menyakiti perasaan orang lain demi keegoisannya. Bahkan menyakiti dan menjahati dirinya sendiri dengan membantah kenyataan.

Iya, Jihoon sadar bahwa ia sudah terjerat.

Ia mencintai Kwon Soonyoung tidak peduli konskuensi bahwa Chan akan meraung-raung atau bersujud di bawah injakan sepatunya. Ia ingin memiliki Kwon Soonyoung yang mencintainya, melebeli si Kwon dengan egois dan tidak membiarkan orang lain menyentuh kepunyaannya.

Tapi Jihoon sadar ia tidak cukup berani untuk melakukan semua itu, sebab ia terlalu dungu pada dirinya sendiri.

Benar, Jihoon yang jahat.

Untuk Lee Chan, Kwon Soonyoung, bahkan perasaannya.

Namun mau sampai kapan ia begini? Membohongi hati hanya demi gengsi?

Kepalanya berkunang-kunang saat bingkai matanya tak lagi mendapati bayangan Soonyoung di manapun. Dan saat rasionalitasnya menyelusup begitu barbar, Jihoon menolehkan kepalanya begitu frustasi. Mencari-cari jejak keberadaan si Kwon namun yang menyambutnya hanya kata nihil.

Jemarinya mengepal kuat-kuat, batinya berperang mesti melakukan apa sekarang.

Dan jawaban semua itu terselesaikan ketika Jihoon melalaikan egoismenya, ia meruntuh, melangkahkan kaki mengejar sisa-sisa jejak si Kwon, menembus lebatnya hujan mengguyur tubuh mungilnya.

Ia terus berlari bahkan tak pedulikan ujung kakinya yang terasa mulai perih, sepatunya terantuk batu dan itu bukan hal bagus.

Jihoon benar-benar kehilangan akal saat ini. Ia ingin berhenti berlari, dia kedinginan namun sesuatu dalam dirinya berkata; bahwa ini kesempaian terakhir, jika ia kehilangan Soonyoung saat ini maka ia akan kehilangan semuanya. Menyisakan serpihan dadu penyesalan yang tak berujung.

Dan betapa frustasi Jihoon di tengah rasa lega dan senyum lebarnya yang menyakitkan, saat di ujung sana ia mendapati Kwon Soonyoung. Berjongkook menyedihkan menelungkupkan kepala di lipatan tangan, tak peduli lagi ada derasnya hujan yang menggempur punggung bergetarnya. Soonyoung terlalu sekarat dalam sesenggukan, mengabaikan dunia dan segalanya.

Sampai Jihoon melangkah lebar ke sana. Terlihat begitu penuh akan amarah nada emosional, jemarinya terulur merik kasar sebelah lengan atas Soonyoung sampai sosok itu berbalik, dan nyaris terjungkal saat Jihoon menabrakan bibir mereka.

Soonyoung terduduk, memangku Jihoon yang mencengkram kuat lengan atasnya.

Napasnya terhenti dan ia masih tidak paham akan situasi, hingga si Lee melepas pangutan mereka dan berhambur memeluknya erat sekali. Menenggelamkan wajah di sebelah bahunya, seraya bergumam tipis nyaris tersamar gemerisik tetesan di sekitar keduanya, "Aku yang bodoh," yang ada di pikiran Soonyoung justru kekalutan, otaknya masi melompong mencerna keadaan namun Jihoon melanjuti, "Aku yang kelewat tolol sudah menyia-nyakanmu. Maaf, aku yang mustinya meminta maaf," dan Soonyoung akhirnya paham. Sama sekali tak bisa menahan senyum sesaknya, ia menunduk di sebelah bahu Jihoon saat tak lagi bisa membendung bagaimana kebahagiaannya mendapati cintanya mengejarnya, merasa kepayahan saat kepalanya berkunang-kunang.

"Aku hanya terlalu menyayangi Chan dan tak cukup berani mengakui perasaanku," Soonyoung merasa hangat saat langit mendung di atas mereka entah sejak kapan mulai berwarna kebiruan. Meski deras hujan sama sekali tak memberi tanda-tanda menurunkan volume air lebih sedikit, tapi Soonyoung merasa puas karena setidaknya langit kembali memahami isi hatinya saat ini, "Aku hanya tidak mau menyakitinya—" ucapan Jihoon tersela serak suaranya yang tertahan di kerongkongan. Ia berusaha tegar namun senggukan yang justru menyambut lanjutan perkataannya, "Namun justru menyakitimu," dan rembasan hangat di sebelah bahu Soonyoung sungguh-sungguh membuat cara berpikir si Kwon amburadul berantakan; ia bahagia, namun perih bersamaan membayangkan Jihoon yang menangis karenanya, "Maafkan aku, Kwon. Aku terlalu naif," dan Soonyoung menggeleng keras sebagai tanggapan, membalas pelukan Jihoon tak kalah erat. Ia tidak sanggup berkata-kata, matanya terlalu sembab dan ia tidak mau menangisi kebahagiaannya.

Setidaknya, Jihoon mengejarnya untuk meminta maaf. Itu sudah cukup—bahkan lebih dari cukup.

Di tengah deras hujan Kwon Soonyoung sungguh akan benar-benar gila sekedar mencintai Lee Jihoon. Hatinya teremas kuat, dan rasa pedih mengguyur habis dirinya bersama tetesan air. Namun sensasi itu tak mengalahkan bagaimana ribuan kupu-kupu di dalam perutnya kembali hidup dan ceria, saat di tengah derasnya hujan Jihoon mengeratkan pelukannya seraya berbisik begitu hangat, "Saranghae."

Soonyoung menyaksikan bagaimana Tuhan membuat konsekuensi dari mencintai dan berkorban. Janji Sang Maha Esa bukan lah bualan omong kosong soal perjuangan dan penantian. Hingga akhirnya waktu membawa kenyataan paling membahagiakan, di mana Lee Jihoon begitu terjangkau, akhirnya menemukannya sebagai rumah untuk berteduh.

Janji Soonyoung, ia tidak akan melepaskan Jihoon sampai kapanpun.

Dan Jihoon tidak masalah untuk itu, karena di tengah guyuran hujan yang menjadi saksi bisu cinta mereka. Ia tenggelam dalam tubuh hangat Soonyoung yang memeluknya erat sekali. Menenggelamkan wajah di ceruk lehernya dan Jihoon tau Soonyoung terisak di sana.

"Ya, nadonado saranghae."

Tuhan, untuk kali ini saja. Tolong biarkan Kwon Soonyoung tak memikirkan perasaan orang lain, biarkan ia jadi figur keras kepala yang terlihat begitu lemah. Tidak masalah jikalau engkau tidak memberi pengampunan, tapi tolong biarkan Soonyoung untuk egois sekali ini—dalam caranya mencintai Lee Jihoon seutuh hatinya. Membiarkan Jihoon menjadi miliknya seorang, dalam ambisi dari rasa cintanya yang kembali membara.

.

.


Selasa siang, penghuni di sepenjuru YaGook terheran-heran berkat kelakuan Kwon Soonyoung sepanjang hari.

Siswa Kwon ini kembali berseri-seri setelah hampir satu minggu seperti tak bernyawa. Senyum cerah tidak ada habisnya ia patenkan di bibir, sekembar matanya terus berpendar manis, dan tidak ada lagi yang lebih bagus ketimbang mendengar tawa renyah Soonyoung yang selalu mengudara; tidak peduli kalau lawakan Jeon Wonwoo teramat garing sekalipun.

Penggemarnya mengganggap ini mukjizat Tuhan yang mengembalikan Hoshi mereka dalam mode semula. Tapi separuh siswa sekolah lainnya justru menganggap Kwon Soonyoung sudah gila.

Dan tanda tanya di otak mereka langsung terjawab berkat jam makan siang.

Waktu di mana Soonyoung berlari heboh menuju kantin, tanpa menggubris Park ssaem yang berteriak padanya buat tidak berlarian di koridor. Lalu melompat di salah satu kursi kosong, bergabung di tengah Lee Chan, Hong Jisoo dan kesayangannya yang tak acuh—sibuk menyuap nasi.

Sekedar membuat ketiga siswa di sana menjadi tujuan utama sorot pandang. Saat tanpa dosa Soonyoung berhisteria menanggapi omongan tanpa suara Chan yang berbisik padanya, berkata bahwa; "Jihoonie hyung demam."

Siswa penghuni YaGook dibuat ternganga, penggemarnya frustasi dan kumpulan sahabat si Kwon jadi separuh gila ketika terang-terangan Soonyoung mengecup kedua pipi Jihoon bergantian, usai hebring meletakan telapak tangannya di sepenjuru kepala si Lee.

Mereka menjalin hubungan.

Deklarasi ini menjadi begitu absolut dengan Lee Jihoon yang kembali menyantap makanannya, tanpa keberatan atas segala kepedulian berlebih Soonyoung padanya.

di depan umum.

.

.

.

.

.

.

.

.

end.


.

Jo Liyeol Curhat Timing!

.

Gimanaaa? =w= danta ga ceritanya? Feelnya dapet?

Alurnya rada syalan gimana gitu yaa? :v iyah, paham ko paham,-

Ini jadinya kubuat twoshot aja, biar cepet kelar =3= muehehehe.

Kang Sunyoung sifatnya rada nganu ya disini :v Dedek si gemes pengen buat dia jadi dominan yang serasa submisif tapi tetep dominan(?) paham kaga? =w= kukasian ama uji yang terlalu tergar buat terus dikungkung :v tapi yah apalah dayaku yang gapunya feel sama sekali jadiin dia dominan =3= sori Ji …

Dan tadinya kumau buat ini jadi kisah yang rumit berbelit-belit biar yang baca pusing :v tapi serangan WBku kepengen ini jadi shot capter pendek aja, supaya cepet kelar wkwkwk …. Yaa begini deh jadinya =w= muehehehe

.

PS(1): Sayangkuh Kayshone, utang dedek udah lunas yaaa berarti :v yang HIGHLIGHTga bisa janji cepet rampung soalnya =w=

PS(2): Kupengen bikin squel (ga janji cepet sih), kepengen aja. Cuma nunggu tanggepan kalian dulu kaya apa =w= mueheeee