Jo Liyeol's present

©2017

.

PROHIBITED COPAS, DON'T BE PLAGIAT, DON'T BE SILENT!

SEVENTEEN Fanfiction! DLDR! RnR!

.

.

.

.

.

.

.

[ SoonHoon / Hozi ]

...

Jihoon yang pertama kali mulai. Dengan gamblang dan tanpa dosa berteriak barbar di tengah koridor, mengacungkan telunjuk tepat di hidung Soonyoung yang baru keluar dari ruang dance.

"Brengsek! Kau pikir kau manusia paling oke hanya karena ketua klub tari?!"

Si Kwon tertegun tidak mengerti, respirasinya tercekat tatkala ia membatu. Sedangkan kawan-kawan satu eskul yang mengekor di belakang berubah linglung dengan kedipan polos.

Tak peduli desas-desus siswa lain di koridor, Jihoon maju selangkah mencengkran kerah seragam Soonyoung. Menyentak ganas sampai si Kwon menunduk menyetarakan tinggi dengannya, "Choi Sooyoung! Dengar ini. Kalau dengan potensi gilamu kau merasa luar biasa hebat dan besar kepala, mati saja sana!"

Hening menggelayut, Soonyoung terbengong tak mengerti mengapa siswa manis ini bersungut-sungut padanya. Ia bahkan tidak mengenali siapa siswa itu, mereka pernah bertatap muka saja Soonyoung tidak yakin, dan fakta bahwa ini bukan kali pertama mereka bertemu sepertinya terlampau mustahil baginya.

Tapi kenapa siswa ini memperlakukan ia begini urakan di depan orang banyak?

Soonyoung masih bertanya-tanya, nyaris berontak kalau saja ia tidak lebih dulu tertegun, akal sehatnya luntur saat menyadari tampang siswa itu kelewat imut saat semakin lama di pandang—membuatnya terjerat dan membeku di tempat. Tidak berminat melakukan apa-apa selain menggumi keindahan di depannya.

Maka ketika hening merajai; Soonyoung menarik senyum kecil, mengedip beberapa kali seiring mengangkat tangan kanan sejajar wajah, syarat menghentikan gerak kawan-kawannya yang mulai sadar akan situasi, nyaris mereka mendekat. Sebelah tangan si Kwon turun, menggenggam pergelangan Jihoon penuh afeksi, binar matanya menjernih atas pemujaan pada siswa Lee itu.

Dan hening kembali mendera tak cukup lama.

Sebelum suara hangat Soonyoung mengudara dengan retinanya yang berpendar halus, "Kwon Soonyoung—namaku Kwon Soonyoung, kau bisa panggil aku Hoshi. Aku bukan member SNSD," senyumnya makin merekah saat tangan kirinya turut bergerak menggenggam jemari Jihoon yang mencengkram kuat kerah seragamnya, "Boleh selesaikan baik-baik kalau kau ada masalah padaku?" jeda, "Jadi—mmm … Sugar, namamu?"

.

.

.

...

.

.

Terms d'Amour

as my heart can't be denied

.

.

Warning!

OCC || AU || T+ || Typo || BL

[ Drama—Romance—School life ]

.

.

.

[]

.

.


"A-aduh!" lagi Soonyoung meringis saat Wonwoo kembali bubuhkan kompres es pada lebam di ujung matanya.

Si Kwon duduk di bibir ranjang besi dengan si Jeon di sebelah selaku penjaga UKS hari ini. Sedikit dari anggota klub serta kawan-kawannya yang lain ikut berkumpul di sini, kamuflase berkata pada suster bahwa mereka ingin menunggui Soonyoung, meski nyatanya anak-anak itu cuma mengambil kesempatan buat menghindari KBM terakhir.

"Jihoon, namanya Lee Jihoon. Kelas vokal angkatan dua," Wonwoo memecah hening dengan suara datarnya yang monoton.

Sontak membuat lima siswa di sana menoleh padanya, termasuk Soonyoung yang nyatanya tidak paham. Si Kwon menjadi satu sosok yang mendapat balasan pandang dari fokus tatapannya pada Wonwoo.

Si Jeon mendesah sebentar, "Yang memukulmu tadi. Namanya Lee Jihoon, kau benar-benar bakal kena hajar kalau berani panggil dia sugar sekali lagi."

"Anak bantet tadi?" Junhui yang menyahut, siswa itu duduk di kasur depan mereka.

"Salah satu sendimu bakal putus kalau dia dengar itu. Coba saja," itu balasan dari Wonwoo yang bahkan tidak menoleh padanya.

Junhui mengernyit tidak suka, retinanya berputar jengah menanggapi ucapan kawannya, "Jeon, please. Jangan dramatisir keadaan, dia cuma siswa bantet kurang ajar yang tidak punya sopan santun, coba lihat siapa yang baru dia tampong?" sepasang alisnya naik ketika kelopak matanya membesar marah, "Soonyoung bahkan tidak kenal dia!"

"Hyung, kau salah kalau mau remehkan dia hanya karena tinggi badannya," siswa manis di sebelahnya menyahut. Seo Myungho angkatan satu yang mengayunkan kaki di pinggir kasur.

Lantas membuat Junhui beserta amarah di ubun-ubun menoleh kesal padanya, segala positif thinking yang tertanam dalam-dalam di inti sel otaknya melebur entah ke mana. Sekedar emosi yang melingkupinya kini, "Memang kenapa? Kau mau bela dia? Sayang, ambassador sekolah loh yang dia pukul tanpa alasan!"

"Setuju, Wen. Aku setuju padamu, si bantet itu cari masalah sama orang yang salah," ini ajuan langsung dari Seokmin yang duduk bersila di sisi lain Junhui.

"Apanya yang salah? Dia minister klub taekwondo. Si Woozi yang ikut olimpiade nasional—itu dia," Wonwoo berkata sembari mengompres bagian lain wajah Soonyoung.

Lantas suara Seokmin kembali menggema. Lebih kencang atas histeria ketidak percayaan, "A-apa?!"

Sedangkan tanggapan lain dari orang yang berbeda masih di lingkup emosi jiwa, "Ya! Memangnya kenapa kalau dia minister klub taekwondo? Si Woozi atau siapalah itu—!" tatapan tajamnya sudah terarah pada si Jeon, "Tindakannya tetap tidak bisa dibenarkan! Apa maksudnya maki-maki anak orang sembarangan terus menghajarnya? Sudah begitu tanpa dosa langsung kabur!"

Mendengar pernyataan Junhui, Seokmin tertegun sebentar sebelum mengangguk banyak sekali, "Betul! Ayo laporkan ke ketua OSIS!" membenarkan sembari memalu telapak tangannya sendiri dengan genggaman tangan yang lain.

"Persetan," itu tanggapan singkat Wonwoo.

Membuahkan hening di antara mereka sebelum Seokmin yang menanggapi heran, "Kenapa?"

Katakanlah Wonwoo orang termonoton yang pernah ada. Pasalnya, seakan acuh tak acuh ia menanggapi dengan dialek yang sama, "Dia adiknya Lee Yoongi sunbae," tetap konsisten dengan air muka yang sekarang, sementara tiga dari lima kawannya tercekat takjub, "Sekalipun dapat hukuman pasti bakal jauh lebih ringan dari sewajarnya."

Senyap masih mengudara, dan terpecah saat intonasi kesal Junhui tervolume cepat, "Tidak-tidak! Ketua OSIS bukan orang yang seperti itu, Jeon!"

Tetap dibalas santai dari cara bicara Wonwoo yang kaku, "Wen, tidak ada dalam sejarah seorang kakak tidak melindungi adiknya sendiri," tak menoleh, tapi ia paham betul suara kawan-kawannya.

"Itu sih namanya nepotisme!" Seokmin mendengus tidak terima.

Sambil mengeringkan wajah basah Soonyoung selepas menaruh kompres esnya di baskom yang ia panggku, Wonwoo membalas, "Peduli setan deh, kalau menurutku itu adil-adil saja. Toh Mingyu bisa masuk sekolah ini karena Taehyung sunbae 'kan? Hansol juga bisa ikut kontes rapping pre-nasional dibantu Seungcheol sunbae," pernyataannya memiliki satu atensi dengan Myungho yang mengangguk-angguk setuju, "Jadi itu adil menurutku selama mereka masih terjalin dengan darah."

"Aku mau bilang kalau kenyataan kadang tidak adil—tapi benar, nepotisme sah-sah saja kalau punya kuasa, apa lagi buat anggota keluarga," ini perkataan siswa Seo itu yang lantas mengundang Junhui mendelik tidak sepaham.

Menghapus hening, Mingyu yang sedari tadi diam tengkurap di ranjang belakang Soonyoung-Wonwoo akhirnya minat buat buka suara, "Yah, yah. Karena nyatanya dia sendiri melakukan nepotisme pada Jungkook supaya jadi asisten suster, benar 'kan, Babe?" berujar malas sambil menunjuk punggung si Jeon ogah-ogahan.

Wonwoo menoleh, mencibir kekasihnya yang turun tangan ketika dapat topik buat meledeknya. Tapi pada nyatanya air muka remaja Jeon itu tetap sama datar, "Itu makanya kubilang ini adil."

Mingyu terkekeh singkat mendapati ekspresi Wonwoo yang menurutnya menggemaskan. Sebelum kembali dalam mode malas hanya untuk baring menyamping memeluk bantal di bawah kepala, "Hm … yeah, pada akhirnya kita tidak bisa menuntut apa-apa. Repot juga karena dia adiknya ketua OSIS, sudah begitu penyumbang mendali emas di sekolah buat kancah nasional pu—"

"Eeey, Daki! Bocah ini juga penyumbang mendali emas ke sekolah loh!" Junhui yang kembali bersungut-sungut, menunjuk muka si Kwon tidak main-main.

"Betul, malah bisa dibilang dia lebih unggul dari pada si Woozi itu!" Seokim menimpal satu paham, menjadi uring-uringan karena sebenarnya ia juga bingung musti memihak pada siapa. Yang pasti dia hanya mau keadilan buat kawannya.

"Sialan," sekilas Mingyu bergumam, mengumpati celaan Junhui padanya tadi. Tapi tak berlanjut lama karena buru-buru ia menarik napas berusaha tabah, "Iya aku tau! Ambassador sekolah tidak mungkin bisa dikalahkan dengan siswa berprestasi biasa, tapi bagaimana juga kalau dia benar si Woozi, pasti dia punya masalah pada Soonyoung terlepas panggilan tadi."

"Tapi mereka belum pernah bertemu?" Seokmin yang bertanya bingung.

"Coba ingat baik-baik? Siapa tau ada kekeliruan? Soalnya aku dengar si Woozi tipikal siswa pendiam, tidak suka jadi pusat perhatian berlebih—itu sebab dia ganti nama saat pasang sabuk di arena," Mingyu menanggapi dengan picingan mata menatap satu-persatu kawannya kecuali si Kwon yang masih menghadap Myungho, "Kalau lihat siswa yang seperti itu tiba-tiba berubah barbar di depan Soonyoung, berarti 'kan ada yang tidak beres?"

Analisis tanpa dasarnya lantas mengundang auman Junhui terlepas, "Jadi kau pikir Soonyoung yang salah?!" dahinya berkerut-kerut kesal dan kerongkongannya terasa kering luar biasa, "Kim Mingyu—dengar! Aku tidak peduli padamu. Tapi dengan kejadian ini, sama saja anak itu melecehkan klub dance sekolah! Aku tidak terima—sialan! Soonyoung bahkan tidak kenal dia sama sekali!"

Nyaris bangkit dari duduknya kalau saja Myungho tidak menahan, menggenggam jemari si Wen dengan tangan kirinya, sedangkan tangan yang paling dekat ia gunakan untuk mengelus punggung siswa itu hati-hati, "Sudahlah Hyung …,"ibu jarinya mengelus telaten pungung tangan Junhui usaha menetralisir emosi kekasihnya.

Hampir Mingyu ikut bangkit, meresa kesal juga dengan amarah tidak jelas Junhui yang terus meluat-luap. Namun tidak jadi saat retina Wonwoo mengintimidasinya buat tetap diam, diperkuat dengan suara Soonyoung yang akhirnya terdengar.

"Namanya tadi …," bergumam tanpa arah dengan retina yang berpendar kosong, lamat-lama kepalanya menoleh menghadap Wonwoo yang mulai mengalihkan perhatian pula padanya. Si Kwon mengedip beberapa kali saat obsidian mereka bersibobrok, "—nama aslinya!" buru-buru meralat dengan tatapan yang lebih hidup, "Siapa?"

Wonwoo sendiri tergugu, sempat bingung ke mana arah Soonyoung bertanya. Otaknya melompong heran namun dalam sekejap sadar tatkala menangkap binar ceria dalam retina kawannya, "Jihoon?" maka ia menjawab separuh tidak yakin, "Lee Jihoon."

Dan pada akhirnya Wonwoo paham betul bahwa isi kepalanya tidak salah—tebakannya tepat dan tak keliru sama sekali. Karena atas jawabannya tadi Soonyoung menarik ujung-ujung bibir mengulum senyum, "Lee Jihoon?" wajahnya tampak berseri dan mendamba bersamaan. Hampir si Jeon jerlonjak ketika si Kwon menunduk lalu bergumam pelan sekali, "Namanya imut—persis orangnya," dan hening menyelimuti setelah itu.

Mungkin kawan-kawannya yang lain tidak mendengar bagaimana cara Soonyoung berbisik barusan. Tapi Wonwoo dengan jelas menangkap implikasi harapan yang tertera dan membumbung tinggi dari vokal si Kwon terlontar. Semakin benar-benar yakin kala siswa itu mendongak tiba-tiba membuat empat kawannya yang lain turut dilingkupi keterkejutan, "Ah! Bagaimana ini?!" terlebih saat ia melanjuti sambil menelungkup memeluk betisnya yang menggantung di pinggir kasur, kemudian menjerit frustasi dari posisinya, "Sepertinya aku suka dia!"

.

.


Kalau bukan karena beberapa murid YaGook sudah tau identias asli si peraih emas yang ikut kejuaraan nasional dari eskul taekwondo. Mungkin Jihoon cuma siswa biasa yang dikenal sebagai adik dari ketua OSIS.

Karena julukan minister dan keagungan lain itu hanya milik Woozi yang meingikat sabuk di tengah arena, siap bertarung dengan membabi buta dikontrol aturan yang ada. Sedangkan Jihoon sekedar siswa pendiam yang tidak terlalu mencolok. Tidak nyaman jadi pusat perhatian diluar pertandingan, dan sama sekali tak suka menghadapi topeng-topeng biadab yang bertebaran di sekitarnya—berlagak sok baik karena prestasi yang telah ia capai, ingin dekat dengannya karena suatu alasan yang memuakkan.

Jihoon jarang marah, bahkan nyaris tidak pernah marah selama dua tahun ini di jenjang SMU-nya. Karena memang tidak ada yang bisa membuatnya emosi, kecuali sang hyung yang menjabat ketua OSIS. Ia tidak punya kawan yang benar-benar akrab, hanya kenalan singkat yang bisa ia tinggalkan dan meninggalkannya kapan saja. Hyung tunggalnya sendiri pun sama-sama sepesies siswa pendiam—yang kalau diusik berubah bringas (ya, mungkin ini faktor genetik), susah sekali buat didekati; ditambah parah kerena jabatannya yang membuat putra sulung keluarga Lee itu repot setengah mati.

Maka sebab ini alasan Jihoon jarang marah, karena satu-satunya orang yang bisa membuatnya kesal justru orang tersibuk yang ia kenal setelah ayahnya.

Tapi mulai dua bulan kebelakang semuanya berubah. Ibarat tragedi menghilangnya sang Avatar yang membuat Negara api menyerang, Lee Chan muncul, sepupu jauhnya yang sangat-sangat ia sayang. Menjadi siswa pindahan dari sekolah lamanya di Iksan, masuk kelas dance angkatan satu pada sekolah ber-KBM resmi seni dan keartisan ini.

Atas argumen itu, dari secuil orang yang ia benci Kwon Soonyoung masuk di nominasi paling utama. Kandidat kuat buat ia maki-maki hingga urat di seluruh nadinya menegang marah.

Karena si Kwon penyebab utama sepupu kecilnya tidak masuk sekolah dua hari, mengurung diri di kamar karena penolahan cinta yang (menurut Jihoon) begitu kurang ajar dari Kwon Soonyoung.

Ia paham, sadar betul kalau figur yang disukai sepupunya adalah ambassador sekolah. Siswa popular yang Jihoon yakini memiliki selera kencan tidak main-main.

Tapi apapun alasannya, Jihoon tetap tidak terima.

Tak peduli meski ia tau Soonyoung setengah malaikat; luar biasa baik hati, ramah dan menjunjung tinggi kesopanan pada yang lebih tua. Tidak memanfaatkan kelebihannya buat merendahkan dan menindas anak-anak bawah dengan pongah.

Tapi mau dipikir bagaimana juga, tidak ada alasan untuk Jihoon buat tidak membenci Kwon Soonyoung, karena kejahanaman siswa itu sudah berani membuat Lee Chan begitu merana karena mencintainya.

"—bangsat, kalau ketemu lagi sumpah bakal kutendang anunya sampai meletus!"

Bersungut-sungut Jihoon menghentakan kaki di koridor, kesal luar biasa karena sepanjang perjalanan menuju kelas puluhan pasang mata terus melirik padanya. Ingin mengaum pada murid yang berani menatapnya begini terang-terangan, tapi tidak jadi karena ia paham betul dirinya bakal dianggap sinting karena marah-marah tidak jelas.

Namun otaknya langsung bergerilya mengumpati siswa yang ia temui kemarin siang—si penyebab semua ini terjadi.

"Kwon Soonyoung, kuingat baik-baik nama dan muka jelekmu!" lagi-lagi ia mendesis, masih terlampau waras buat berteriak di tengah desas-desus siswa pagi ini.

Baru sepersekian sekon ia mengatupkan bibir, dengan panjang umur yang dimaksud muncul saat ia berbelok ke koridor kiri. Soonyoung di sana, pada lantai tiga persis di depan kelas Vokal-A tingkat dua. Cukup buat Jihoon mengernyit sesaat, matanya membulat mengobarkan api emosi tapi otaknya sempat bertanya-tanya apa yang sang ambassador sekolah lakukan di deretan lantai kelas vokal, sedangkan kelas dance ada di lantai lima? Terlebih …

hell! Itu kelasnya!

Jihoon memicingkan mata mencoba menelisik. Mengamati siswi kelasnya yang keluar dan mengerubung genit menggoda si Kwon yang melempar senyum ramah, sesekali menanggapi dan ikut tertawa bersama mereka.

"Bedebah genit, sedang tebar pesona toh," pada akhirnya ia mencibir jengah sambil mendengus kuat-kuat. Dalam hati makin merasa emosi, bercampur iba atas Chan yang mengapa bisa jatuh hati pada playboy sekolah semacam Soonyoung.

Yah, ambassador apanya? Hanya jalang murahan yang menebar sperma di sembarang ranjang.

Itu penafsiran bagi Jihoon loh. Isi kepalanya sudah terlalu kacau buat memikirkan kata yang lebih logis dan puitis. Dengan emosi liar siswa Lee ini mengeluarkan ponsel, menyumbat lubang telinga pakai headshet, dan kembali melajukan kaki sambil fokus menatap layar handphonenya. Melangkah biasa menuju kelas seakan tak terjadi apa-apa.

Entah hanya perasaannya saja—atau memang fakta, kala semakin ia mendekat semakin intens pula tatapan sekitar menatapnya tanpa kedip.

Detik di mana ia nyaris memasuki kelas, mengacuhkan Soonyoung untuk melewati pintu kelasnya. Menjadi waktu di mana pergerakan kakinya terhenti, sebab sebuah jemari menggenggam hangat sebelah pergelangannya.

Rasanya familiar.

Dan Jihoon tidak kaget lagi saat menengadah menemukan senyum mengembang Kwon Soonyoung mengisi bingkai matanya. Dengan kurang ajar menarik sebelah headshet yang menyumpal telinganya buat berkata ramah, "Pagi. Jihoon Lee?"

Lantas Jihoon menyernyit. Apa mereka dekat? Apa kemarin Jihoon memukul kepalanya? Apa siswa Kwon ini sudah gila? Otaknya geser hah?

Oh—tunggu! Dari mana Soonyoung tau namanya? Sudah mencari tau tentangnya kah? Sejenis stalker ya? Mau balas dendam? Atau mau menerornya?

"Tangan hinamu … berani sekali," Jihoon mendesis, sepasang retinanya mengarah tajam menembus sepasang obsidian Soonyoung, "Lepas. Atau aku yang lepaskan dengan caraku?" tidak main-main, pernyataan si Lee lantas membuat Soonyoung meremang mendadak, dalam sekejap langsung melepas tautannya mengingat siswa ini bisa saja membelah batu bata jadi potongan kecil.

Si Kwon menengguk liur kepayahan. Benar-benar ingin menahan diri di depan umum tapi gagal luar biasa ketika Jihoon sudah kembali memasang headshet sambil menghadap depan, mengacuhkan segala omongan pedas siswi di sekitar mereka yang tidak suka kelakuan serta perkataan kejam Jihoon. Dan di tengah urgensi ini Soonyoung menjadi sosok yang paling bodoh ketika tubuhnya bergerak sendiri buat kembali meraik pergelangan si Lee, menyentak lumayan kasar hingga Jihoon terkesiap dan hampir melompat bertubruk tubuhnya.

"Aku menyukaimu—Lee Jihoon, aku menyukaimu!"

.

.


"Jihoonie, mau makan apa?"

Jihoon masih tidak paham. Ia yang berubah jadi sangat-sangat baik hati, atau Kwon Soonyoung yang dari awal memang kelewat tolol.

Ini minggu kedua, dan siswa Kwon itu masih membuntutinya ke manapun selepas pengakuan cinta tempo hari—di depan siswi-siswi kelasnya yang langsung syok berjamaah.

"Hei, sudah kubilang 'kan? Pergi jauh-jauh dariku, mau kuhajar hah?!" tidak tahan lagi Jihoon menahan kesal, sama sekali tak peduli keadaan kantin yang sudah ramai. Ia menggebrak meja sambil berdiri muak.

Toh, sejak rumor Soonyoung yang menyatakan cinta pada Jihoon menyebar, ditambah kehadiran si Kwon yang mulai berani membuntuti adik ketua OSIS itu terang-terangan. Pada dasarnya mereka telah menjadi pusat perhatian murid sepenjuru YaGook.

Namun untuk kesekian kali, auman serta amukan di batas akhir kesabarannya hanya dibalas cengiran senang hati dari Soonyoung. Membalas inosen sambil mengamit jemari Jihoon malu-malu, "Tidak bisa, aku sudah terlanjur suka padamu," lalu mengulum senyum dengan binar di matanya yang berkilauan, "Saranghae."

Yah, mungkin setelah lima hari terakhir menerima jawaban yang sama dari Soonyoung, Jihoon mulai terbiasa dan tak lagi merasa kaget. Namun emosionalnya lebih mengarah pada desir kanibalisme yang membara-bara. Maka Soonyoung pun tidak lagi kaget ketika mendapati si pendiam Lee Jihoon berubah anarkis di depan umum, menjambak rambut hitamnya serta menghujaminya dengan pukulan keras.

Sebenarnya itu sakit—selalu, meski Soonyoung mati-matian berusaha terbiasa dengan perih juga nyerinya. Tapi pakai dalih apapun, pukulan atlit taekwondo bukan sesuatu yang bisa dibiasakan orang awam sepertinya. Yah, setidaknya ia menganggap ini lebih menyenangkan ketimbang diacuhkan tanpa makna.

Omong-omong, syukuri saja Jihoon tidak sekalian memakai kaki bantetnya buat menghujami Soonyoung. Kalau sampai itu terjadi, mungkin si Kwon hanya tersisa nama di hari pertama ia kena hajar.

.

.


"Hyung! Hyung!"

Sudah satu bulan, ini kali pertama buat seumur hidup Jihoon merasa begini frustasi. Segala cara telah ia lakukan buat mengusir Soonyoung jauh-jauh dari hidupnya—apapun, dari cibiran pedas sampai cara ekstim memukuli siswa itu habis-habisan.

Tapi dengan jahanam si Kwon terus muncul dan hadir secara goib.

Maka menjadi kali pertama pula, ini adalah pertama kali Jihoon mendobrak pintu begitu barbar. Masuk tanpa dosa menembus ruang OSIS sekedar berjongkok nanar di sebelah kursi kuasa abangnya, mendongak menyedihkan hanya untuk membuat pertemuan intens ini semakin ia buat kacau, "Hyung bantu aku, Hyung! Ancam si lintah itu supaya pergi jauh-jauh dariku! Aku jijik, sumpah!"

Jihoon kira cara ini akan berhasil. Tapi yang ada Lee Yoongi; sang harapannya satu-satunya, dengan wajah datar tanpa ekspresi mendaratkan kepalan tangan ke puncak kepalanya, memicing marah dan akhirnya membalas lewat suara bassnya yang berat, "Siapa yang kau sebut lintah hah?"

Lantas dengan semangat Jihoon membalas tanpa peduli orang-orang di sekitar mereka, "Itu, Kwon Soo—"

"Kwon," namun tersela suara berat Yoongi yang tersuara dalam sekali, berpadu sadis dengan picingan sinis retinanya.

Di situ Jihoon baru sadar bahwa ada yang tidak beres di sini. Benar saja, tepat saat ia mengedar pandang ke sekitar; bukan anggota OSIS yang mengadakan pertemuan dengan kakaknya.

Melainkan, para ketua klub-klub di sekolah.

Dan di sana, ada si lintah yang memampangkan senyum luar biasa manis ketika obsidian mereka bersibobrok.

bangsat.

.

.


Kelakuannya dua minggu lalu di ruangan Yoongi menjadi cikal bakal kelakuan Kwon Soonyoung makin menjadi-jadi, siswa itu tak pernah absen satu hari di sebelahnya. Menunggunya di depan pintu kelas sekedar mengucapkan selamat pagi, mengisi jam makan siang di satu meja dengannya juga Chan, menghabiskan waktu istirahat mengganggu rutinitasnya, tiba-tiba muncul ketika ia sibuk di perpustakaan, tanpa diundang membawakan camilan saat latihan klub taekwondo, dan memampangkan senyum sumeringah di pinggir gerbang tatkala menemukannya sepulang sekolah.

Fiks, Kwon Soonyoung sudah gila!

Dan Jihoon sama sekali tidak tau apa yang siswa itu katakan dari mulut jahanamnya dua minggu lalu, selepas pertemuan dangan Yoongi. Sebab ia yakin betul di sana lah awal mula mengapa hyungnya bisa dengan santai berkata; bahwa ia merestui si Kwon mendekatinya.

sialan!

Bahkan abangnya—harapannya, bisa terjerat esensi memuakkan Kwon Soonyoung.

Kalau sudah begini, siapa yang bisa Jihoon andalkan sekarang? Siapa yang sanggup membantu Jihoon untuk mengenyahkan si Kwon? Siapa yang akan membentengi Jihoon sekedar menghancurkan sosok itu? Siapa yang bakal jadi bala bantuan bagi Jihoon buat meremukkan Kwon Soonyoung yang berani meruntuhkan tangis Lee Chan?

Urgensi memilukan yang menggelung prahara batin Lee Jihoon pada jurang nonsense. Tanpa tau, bahwa dirinya pembual utama penyebab segala ini terjadi. Sebelum kekacauan dimulai—bahkan sebelum semuanya menjadi kacau.

.

.


"Mau langsung pulang? Ke kafe dulu bagaimana?" hari itu Soonyoung berseri-seri seperti biasa, mengikuti langkah malas Jihoon menjauhi area sekolah selepas menunggui si Lee di pinggir gerbang.

Yang merasa diuntit menghirup napas dalam-dalam, mendelik sejenak mendapati tampang si Kwon merekahkan senyum manis. Mungkin bakal menggemaskan bagi para pengagum siswa itu, tapi ini memuakkan bagi Jihoon.

Helaan napas berat terdengar sebelum adik ketua OSIS itu mengerem kaki, turut memacetkan langkah Soonyoung. Ia berbalik, menggulung tangan di depan perut dan matanya terlihat luar biasa jengah, "Hei."

"Hm?" dengungan tipis menanggapi panggilan si Lee, beriring kuluman senyum juga binar di mata Soonyoung menjernih.

"Aku tau, tidak akan mempan kalau kusuruh terang-terangan untuk kau menjauhiku," itu pernyataan Jihoon di tengah huru-hara otak yang mengstrategikan pengenyahan Kwon Soonyoung saat ini juga, "Tapi setidaknya … kumohon," sepasang obsidiannya berpendar sarat tak terpukau, luar biasa ayal sekedar mendapati si Kwon di sekitarnya. Ia mengambil jeda beberapa sekon sebelum belanjuti, "Berhenti."

Soonyoung tau, paham betul bahwa Lee Jihoon sungguh tak mengakui eksistensinya. Dan luar biasa sadar bahwa Lee Jihoon benar-benar tidak menyukainya.

"Aku tidak bisa," begitu sahutan si Kwon yang membuat bola mata Jihoon berputar culas.

Yah, dalam 18 tahun hidup bukan begini cara Soonyoung mencintai seseorang. Ia tidak pernah memaksa, karena dengan mengulurkan jemari bersamaan senyum kecil, figur-figur yang pernah ia sukai selalu menggapainya senang hati.

Tapi kali ini berbeda. Lee Jihoon sungguh berbeda dari mereka semua, dimulai dari benih hati yang tumbuh secara tidak logis di awal pertemuan mereka, sampai di mana Soonyoung sama sekali tidak paham mengapa ia begitu terjerat pada sosok manis ini.

"Kwon," intonasi Jihoon terdengar berat, pancaran retinanya menjadi luar biasa serius perpaduan lelah kentara, "Kau bahagia terus kuperlakukan seperti ini?"

Pertanyaan ini. Hal yang sama sekali tak pernah si Kwon bayangkan akan diperuntukan padanya, lewat bibir Jihoon, dan dari bagaimana siswa itu bertanya seperti pengajuan bukti di kandang intelijen. Mendebarkan hingga sanggup membuat Soonyoung bingung musti menjawab apa.

"Uh—a-aku tidak mau kau anggap masokis …," sekembar irisnya mengedar gelisah, "Tapi—yeah. Iya aku bahagia," hingga di akhir ia menjadikan Jihoon sebagai objek hidup panutan tiap jengkal pengelihatannya. Walau tak terpungkiri, retinanya terlihat kosong tanpa ada kilapan cerah seperti biasa, "Ini mungkin terdengar seperti obsesi aneh yang tidak wajar," napasnya terjekat dari jalur respirasinya yang terasa kering, "Tapi selama bisa didekatmu, aku tidak masalah untuk kau perlakukan seperti apapun," kuat-kuat Soonyoung menggepal jemari di sisi tubuh saat sosok Jihoon terlihat menjadi figur monokrom hitam-putih, "Karena aku sangat menyukaimu, Ji—luar biasa menyukaimu."

Kemudian hening.

Cukup lama karena si Lee tak kunjung menjawab. Hanya membalas tatapan teduh Soonyoung lewat terinanya yang menggempur sadis, ia tidak memicing, namun dengan caranya sendiri ia mengintimidasi si Kwon lewat obsidiannya yang menyalang lelah.

Terlihat luar biasa tak peduli dan sangat-sangat acuh akan perkataan Soonyoung yang ia anggap omong kosong kejahatan, rayu menjijikan yang Jihoon kira begitu mudah Soonyoung lepas ke sembarang orang. Pendaran tulus serta senyum bergetar terpampang, menahan diri dari sesak di paru-parunya saat Jihoon tak kunjung melembutkan cara ia menatap si Kwon.

"Hei, kau ambassador sekolah," vokal Jihoon terlepas setelah ia menghirup napas dalam-dalam, "Reputasimu terkenal sebagai malaikat di sini," ia sama sekali tak membiarkan Soonyoung membalas. Lelah mendiamkan Soonyoung untuk waktu selama ini, membiarkan siswa itu terus menguntitnya, dan Jihoon rasa sekarang tenggat waktu kesabarannya terkikis mati. Terlampau jengah meladeni bualan Kwon Soonyoung yang sungguh tak mempengaruhi dirinya seculpun buat menghancurkan sosok itu, "Jadi aku mau tanya padamu, Tuan malaikat. Apa yang akan kau lakukan kalau hal yang membuatmu bahagia, nyatanya kesengsaraan untuk orang lain?"

Saat Jihoon menitik beratkan pertanyaannya pada esensi kesengsaraan, Soonyoung melepas fokus dari segala debar jantungnya yang berdetak pedih. Menjadikan degupan itu berdentum-dentum lebih sakit dari yang pernah ia rasa, "Keseng—kau?" tak sanggup melanjuti saat kinerja otaknya buntu. Apa sebegitu menyulitkan kehadirannya di sekitar Jihoon selama ini? Kepala Soonyoung sudah bertalu-talu mengumandangkan jejak histori yang selama ini ia lakukan pada Jihoon, "Ka-kau merasa begitu?" matanya membola sama sekali tak menyangka.

Namun ketika si Lee menjawab dengan tanpa minat yang sama, "Ini bukan soal aku," berkata demikian sembari menajamkan retina pada siswa di depannya. Soonyoung merasa rotasi dunianya kembali bertumpu, Tuhan membiarkannya merasakan apa itu gravitasi; telapak sepatunya berpijak pas pada bumi, napasnya berembus lega dan Soonyoung tak bisa menahan bibirnya buat mengulum senyum tipis.

"Hm? Lalu?"

Namun sensasi tenang itu tak berlangsung lama saat Jihoon menunduk lamat-lamat, bergumam tak terlalu pelan, "Sepupuku," lalu kembali menengadah dengan sirat matanya yang tak main-main.

"Chan?" si Kwon menanggapi separuh tidak yakin.

Bukan hal yang patut dipertanyakan untuknya mengapa biasa mengenali hobae kelas satu itu sebagai sepupu Lee Jihoon, "Ya, Lee Chan. Hobae yang selalu bergabung di meja makan siang, anggota klubmu. Dia manis dan sangat-sangat baik hati bukan?" dahi Soonyoung berkerut tidak paham atas nada suara Jihoon yang berkumandang sinis. Dan makin tak mengerti saat si Lee menggemelatukan grahamnya, "—Bajingan. Kalau kau mau tau, dia salah satu korban dari pesonamu, Kwon Hoshi. Alasan mengapa waktu itu aku memakimu tiba-tiba—dia, sepupu tersayangku."

Garis di kening Soonyoung makin terukir banyak, sama sekali tidak tau duduk permasalahan dari emosi Jihoon. Mereka cukup dekat, Chan juga Soonyoung, siswa pindahan yang masuk kelas jurusannya di tingkat satu; Soonyoung mengenalinya sebagai siswa berbakat, sopan juga ceria. Salah satu siswa yang pernah menyatakan perasaan padanya, namun itu hanya kisah usang karena si Kwon sudah menolaknya baik-baik; dan dengan senyum merekah manis, Chan berkata bukan masalah selama mereka tetap bisa dekat.

"Itu sudah lama, dan dia sudah tidak menyukaiku lagi."

tanpa tau bahwa sang hobae menangis sesenggukan saat ia berputar arah meninggalkan si Lee sendirian.

Semenjak Chan masuk eskul yang diketuainya, Soonyoung mempunyai ketertarikan sendiri pada potensi gila siswa pindahan itu. Bersukur luar biasa karena nyatanya si Chan siswa yang mudah didekati dan supel dalam bergaul, sejak awal Soonyoung sudah menganggapnya adik sendiri bahkan sebelum ia mengenal nama Lee Jihoon. Mereka sering berbagi cerita satu sama lain, mengungkap kelu kesah masing-masing tak peduli sepelas pernyataan cinta sekalipun. Benar-benar semakin dekat kala siswa Lee itu sering kali mewarnai kelam perasaannya saat kembali dicaci maki Jihoon, mengungkap kebaikan hati Jihoon di luar perangai keras kepala dan barbarnya, menjadi orang pertama yang menyemangati Soonyoung agar tidak menyerah mengejar kakak sepupunya.

Ya, Lee Chan yang luar biasa baik hati sebagaimana keluarga Lee berpedoman hidup pada kata itu. Hingga kamuflasenya sukses tak memberi Soonyoung kesadaran bahwa ia masih luar biasa menyukai si Kwon lebih dari batas kagum.

"Apa? Kau bilang apa?" tuturan Jihoon menyalak kesal. Tangan kanannya keluar dari geluangan di depan perut, maju selangkah sekedar menunjuk sebelah bahu Soonyoung penuh tuntut, "Hei, dengar sialan. Dia, sangat, menyukaimu. Dan sampai sekarang pun masih luar biasa menyukaimu!" nada di akhir kalimatnya meninggi ketika tanpa sadar Jihoon mengarik kerah seragamnya kencang persis seperti di kali pertama mereka berjumpa. Tak berniat berjinjit karena dengan pongah ia menjadikan Soonyoung yang menunduk untuknya, menatap pias muka si Kwon yang menjadi begitu dekat padanya. Jihoon mendengus murka di depan wajah itu tanpa alih-alih, "Kau bisa rasakan bagaimana rasanya menyukai seseorang sampai nyaris gila?!"

Soonyoung yang terhesiap sama sekali tak mampu mencerna segenap perilaku serta tutur kata Jihoon teruntuknya, "Hah?" isi kepalanya melompong, "Ta-tapi dia tidak pernah cerita?" pertanyaan balik yang bahkan membuat amarah si Lee makin menjadi-jadi. Tapi di sisa kesadaran Soonyoung mengedip beberapa kali sebelum menggapai sabelah pergelangan Jihoon, "Ji, hubungan kami dekat dari awal Chan jadi siswa pindahan. Dia—dia, dia selalu cerita apapun padaku bahkan selepas pernyataan waktu itu—"

"Kau pikir dia benar-benar idiot hah?!" teriakan Jihoon yang menyela perkataannya. Tak peduli menjadi tontonan lalu-lalang siswa yang muncul dari arah gerbang sekolah mereka, penasaran—namun tak cukup berani buat berhenti atau melerai, karena pemandangan Kwon Soonyoung serta Lee Jihoon yang seperti ini terlihat cukup wajar di hari-hari biasa. Tapi mereka tidak tau bahwa emosi adik sang ketua OSIS kali ini utuh kemurnian amarah, "Siapa orang gila yang bakal cerita rasa sukanya pada orangnya langsung?!" menyentak kerah si Kwon bringas makin menghapus jarak, nyaris hidung mereka bersentuah saat Jihoon menggeram rendah, "Terlebih dia pernah ditolak!"

Dan hening mengudara saat Soonyoung kehilangan kata-kata. Bukan salahnya kalau ia tak menyangka bahwa Chan masih menyimpan rasa itu, bukan juga kebodohannya kalau ia tak menyadari bahwa Chan terus menyimpannya begitu rapih, bukan kejahatannya pula kalau ia tak peduli pada apapun dan lebih merasa bersalah saat sadar bahwa retina Jihoon memerah.

Ia bukan penjahat. Tapi sebagian hati Soonyoung merasa jahat karena hanya memikirkan Jihoon tanpa peduli sekitar, dan separuhnya lagi merasa sangat-sangat jahat kala memahami situasi; bahwa ia yang membuat obsidian Jihoon berpendar menahan tangis.

Soonyoaung selalu bagus dalam kontrol diri, tapi analog otaknya lepas begitu saja ketika berhadapan dengan Lee Jihoon. Rasionalitas yang mengendalikan lengannya pergi entah ke mana, jemari itu terangkat tanpa ia suruh; meraih sebelah pipi Jihoon hati-hati, "Aku tidak tau kalau dia masih menyukaiku, Jihoon," suaranya serak luar biasa merasa bersalah.

"Itu bukan alasan!" Jihoon berteriak. Sebelah tangannya melepas cengkraman di kerah si Kwon sekedar menepis kasar jemari siswa itu dari wajahnya. Dan kembali menggapai hal yang sama tidak peduli bahwa bawaan rapih Kwon Soonyoung menjadi berantakan berkatnya, "Kau bahkan mendekatiku! Coba rasakan bagaimana dia menanggung sakit selama ini!"

Lalu bagaimana Soonyoung yang kau buat sakit selama ini?

Pertanyaan itu terlontar entah dari siapa. Namun masing-masing Jihoon maupun Soonyoung mengaplikasikan tanda tanya ini untuk hal yang serupa. Walau kenyataannya hanya Soonyoung yang berharap ada sedikit kemurahan di jantung hati Jihoon buat mendengar pertanyaan itu, atau sekedar mendengarkan baik-baik penjelasannya, "Jihoon …."

Namun Lee Jihoon tetaplah Lee Jihoon yang keras kepala, "Untuk terakhir kali …," nadanya merendah meski pendaran obsidiannya sama sekali tak menjadi lembut, "Kumohon," perkataan selanjutnya adalah permohonan yang sama sekali tak bisa Soonyoung kabulkan, "Jahui aku, Kwon."

Soonyoung menggeleng. Apapun—apapun akan Soonyoung kabulkan. Asal jangan keinginan itu, "Jihoon, aku tidak bisa—"

Pada akhirnya Jihoon kembali menyela, tak tertarik akan tanggapannya. Ia melepas cengkraman di kerah Soonyoung yang menyisakan bekas lecak, "Ini bukan pilihan! Maaf, tapi tolong berhenti menyukaiku," menepuk bagian kiri lengan atas siswa itu, lantas berbalik tanpa memberikan kesempatan bagi si Kwon menjangkau pergelangannya buat berhenti.

.

.

.

.

.

.

.

.

tbc.


.

Jo Liyeol Curhat Timing!

.

Hai semuanyaヽ(=w=)ノ adududuh kukangen kalian masa? Ada yang masih inget dedek? :v (Ga!ヽ(#`Д´)ノ)

Maaf banget kalo fanfik yang lain belom bisa dilanjut. Tapi pasti bakal kulanjut ko =3= aku bikin fanfik ini buat ngilangin penat di masa ujuan TT ulangan di sekolahku telat, jadi ya gitu deh …

Ini OCC banget sumpah, AUnya ancur dan mustinya akang Sunyong yang jadi atlit taekwondo. Tapi malah kulempar ke Uji =_= kulelah pemirsah. Niatnya ini pengen kubuat SoonHoon - HoonSoon malah =w= Isi kepalaku udah eror, kupengen bikin Uji bisa ngedominasi akang Sunyong juga wkwkwk … tapi apalah daya? Jiwa shiperku ga rela akang masku dikungkung biji setan cem Uji =3= mueheee ….

.

PS(1): Mungkin ini bakalan jadi mini chapter; dua atau tiga shot doang.

PS(2): Sori kalo bahasanya amburadul dan feelnya berantakan. Namanya juga ff penghilang penat ya =w= muehehehe

PS(3): Mungkin next bakal ku lanjut kalo ulangannya udah selesai, minggu depan atau kaga tau kapan sesuai mood ku kaya mana :v

PS(4): Last, sayangkuh Kayshone yang udah ga males login =w= aku bikin ini sambil mikirin kamu, Ini buat kamu sayang, maafkan daku yang kayanya belom bisa lanjutin HIGHLIGHT. Jangan ngambek yaw :v