This can not be if it was not you
I can not without you
No matter if I was hurt for a day and a year like this
Even if my heart hurt
That's because I just love you

Sehun mematikan mp4 yang sedari tadi ia mainkan. Ia memainkan mp4 tersebut, melemparkannya ke udara kemudian menangkapnya, begitu berulang-ulang sembari meletakkan tangan yang satunya lagi di atas dahi. Udara kamar Sehun terasa panas. Ia tidak dapat memejamkan mata sama sekali. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari namun pria itu sama sekali belum tidur. Ia merasa cemas akan seseorang. Sudah sekitar seminggu lebih wanita itu tidak menemui Sehun. Pria itu merasa bodoh sendiri. Kenapa juga ia harus memikirkan hal seperti itu? Semua urusan Luhan. Tak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Ia juga sudah berhenti dengan Luhan sejak lama. Namun kini, kenapa semuanya terasa begitu salah?

Pria tersebut bangkit dan mengambil kemeja yang tersampir di gagang kursi dan mengenakannya dengan tergesa-gesa. Ia mengambil kunci mobil dan berjalan menuju halaman tempat ia memarkirkan mobilnya. Sehun mengendarai mobil tersebut secepat kilat. Entah apa yang ada di dalam fikirannya kini. Ia merindukan wanita itu. Entah ada hal apa yang merasuki dirinya. Ia hanya ingin melihat dan memastikan wanita itu baik-baik saja.

Ia memencet bel apartemen Luhan beberapa kali. Namun, tak ada tanda apapun dari balik pintu. Tak ada siapapun di sana. Sehun mulai mendesah pelan dan menjambak rambutnya. Ia sangat khawatir dengan wanita itu. Sehun merasa menjadi seorang yang pengecut. Sekarang, ia tak tahu harus melakukan apa.

Kemudian ia teringat dengan nomor telepon Luhan. Secepat kilat ia merogoh saku celananya mengambil ponsel dan memencet nomor telepon Luhan. Tersambung!

"Kamu dimana sekarang? Apa yang terjadi?"

Wanita itu terdengar membuang nafas pelan. "Aku ada di depan kamar apartemenmu."

Telepon dimatikan. Pria itu berbalik dan menuju ke arah mobilnya yang terparkir. Ia mengemudi secepat kilat menuju apartemennya. Ia masih tak habis fikir dengan wanita itu.


Sehun berjalan pelan menuju apartemennya. Ia melihat seorang Yeoja sedang berdiri di depan pintu tersebut. Wanita itu merasakan langkah kaki seseorang kemudian berbalik dan melihat pria itu. Mereka saling menatap di manik masing-masing. Luhan mengulas senyum tipis. Sehun mendekati wanita itu dan ketika jarak mereka hanya terpaut beberapa langkah. Sehun membalikkan wajahnya menatap ke arah lain kemudian kembali melihat wanita itu.

"Apa yang ada di fikiranmu? Kau tahu ini pukul berapa?"

Sehun terlihat begitu khawatir namun ia mencoba untuk tidak menunjukkannya kepada Luhan.

"Aku... rindu padamu, Sehun-ie."

Kalimat yang tak pernah Sehun duga keluar dari mulut wanita itu. Sehun tak tahu harus bertingkah seperti apa. Perasaannya bercampur aduk mendengar ucapan Luhan barusan. Ia hanya tak tahu harus meresponnya dengan cara bagaimana.

Sehun mengambil ponsel yang dipegang oleh wanita itu lalu menuliskan sesuatu di sana. "Jika seperti itu, kau hanya butuh ini." Pria itu mengembalikan ponsel Luhan dengan nomor telepon Sehun tersimpan di sana. Luhan melihat pria itu tak percaya. Ia merasa beruntung telah menunggu Oh Sehun. Wanita itu kemudian mengangguk dan berbalik menuju lift. Namun, seketika langkahnya terhenti. Ia berbalik melihat pria itu. Posisinya sekarang mungkin terlihat sungguh aneh.

"Sebenarnya, kau tak perlu memberiku ini. Kau barusan telah menelfonku dan aku pun sudah menyimpannya. Aku akan menelfon pada pukul 10 malam di hari kamis dan sabtu. Mungkin kau bisa menjawab telfonku jika kau tak sibuk, Sehun-ie. Aku pulang."

Wanita itu bergegas memencet tombol lift dan masuk ke dalamnya. Sehun masih mematung. Ia tak percaya dengan kalimat Luhan barusan. Kalimat tersebut hanya melahirkan semu merah di wajah tampan Oh Sehun. Pria hanya menepuk jidat dan menyapu wajahnya dengan telapak tangan. "Sudah cukup membuatku gila, Luhan. Baiklah, kamis dan sabtu. Aku juga sudah menyerah." Pria itu menutup pintu apartemen dan lekas menguncinya.


Sehun berjalan di kawasan Sawang-doo sambil melihat kembang gula yang dijajakan tepat di depan toko ayam yang telah tutup. Kembang gula adalah kesukaan Luhan. Wanita itu bisa menghabiskan lebih dari tiga batang kembang gula. Sehun mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika ia masih bersama dengan Luhan.

"Ini sudah yang keempat, sayang. Apa kau tidak ingin makan yang lain? Ramyeon misalnya?"

Wanita itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku suka kembang gula. Rasanya benar-benar manis." Luhan hanya melirik Sehun kemudian kembali berfokus kepada kembang gula yang ia pegang.

"Kau sudah cukup manis, Luhan-ie. Kau tak takut kena diabetes, huh?" Pria itu mencubit pelan pipi Luhan sambil tertawa. Wanita itu mendelikkan matanya mengisyaratkan "huh" ria. "Kalaupun aku terkena diabetes, kau masih menyukaiku." Luhan membalas rayuan Sehun sambil memeletkan lidahnya dengan wajah mengejek pria itu. Sehun tak tahan dengan sikap menggemaskan Luhan. Ia mengacak-acak rambut wanita itu membuatnya berantakan. Mereka saling merayu satu sama lain dengan cara masing-masing.

Sehun akhirnya merapikan rambut Luhan kembali. Ia memegang kedua pipi Luhan dan menarik pipi tersebut hingga wajah Luhan hanya terpaut beberapa senti dari wajah Sehun. Wanita itu sampai menjinjitkan kakinya karena Sehun agak tinggi darinya. Ia bisa merasakan nafas pria tersebut. Sehun tiba-tiba mengecup bibir Luhan dan beralih ke dahi wanita itu dan mengecupnya juga. Pipi wanita itu bersemu merah. Ia langsung memeluk pria itu agar Sehun tak melihat pipinya yang sedang berwarna seperti kembang gula.

"Kau tak usah malu padaku, sayang. Itu juga bukan ciuman pertama kita."

"Aku menyukaimu, Sehun-ie."

"Aku tahu betul, sayang."


Sehun sedaritadi berjalan mondar mandir di balkon apartemennya sambil sesekali melirik ke arah ponselnya. Sesekali ia melihat ke arah jam tangan yang berada di pergelangan kirinya. "Akan kutunggu 30 menit lagi." Ia berjalan ke arah balkon yang sedikit menjorok ke arah bangunan pencakar langit. Terlihat kelap-kelip lampu dari kejauhan maupun lampu-lampu kendaraan yang masih sibuk berlalu lalang. Sehun berdiri memandang bangunan-bangunan tersebut sembari diterpa angin malam. Wajahnya sangat tampan walaupun terkena cahaya yang temaram. Udara agak sedikit dingin hingga ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Ponsel pria itu berbunyi. Sehun secepat kilat tersadar dari lamunannya dan mengangkat panggilan tersebut.

"Yeoboseo." Sehun memelankan suaranya agar terdengar biasa saja.

"Ini Luhan, Sehun-ie."

"Ya, aku tahu.

Ada jeda sebentar hingga Sehun memulai percakapan.

"Hmm, apa yang kau makan malam ini?"

Pertanyaan itu terdengar sedikit agak bodoh dan berlebihan, namun pria itu tak tahu harus mengatakan apa.

"Uh, ya, aku hanya makan tteobokki. Aku sedang tak berselera. Bagaimana denganmu?" Pertanyaan balasan yang sama bodohnya.

"Hanya sup kentang." Sehun refleks menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Percakapan mereka benar-benar canggung dan Sehun tak tahu harus berbuat apa selanjutnya.

"Hmm, besok aku akan membawakanmu kepiting rebus lagi. Kuharap kali ini kau akan menerimanya." Sehun seolah-seolah melihat wajah tersenyum Luhan di seberang telfon. Ia tak ingin menolak permintaan wanita tersebut.

"Baiklah, tapi kau harus makan bersamaku."

"Dengan senang hati, Sehun-ie."


Luhan melirik makanan yang telah ia masak khusus untuk Sehun. Ia tersenyum-senyum sendiri mengingat bahwa pria itu menerima pemberiannya dan mangajaknya untuk makan bersama. Luhan memoles wajahnya dengan beberapa sentuhan make up agar terlihat cantik di mata Sehun. Ia bahkan menggunakan lipstik berwarna merah agar terlihat lebih menawan. Dipakainya syal pemberian Sehun dulu dan bergegas menuju apartemen pria tersebut.

Sehun tak tahu harus berkata apa. Di depannya berdiri wanita yang sangat berbeda dari yang ia kenal. Ia memajukan wajahnya sedikit membungkuk untuk melihat secara dekat wajah Luhan. "Kau dandan?" pertanyaan yang dilontarkan pria tersebut hanya mengundang rona merah di wajah Luhan. "Ya, aku hanya ingin terlihat lebih baik." Luhan menghindari tatapan Sehun yang sangat mengintimidasi tersebut. Sehun tak merespon sesuai yang diinginkan wanita itu.

"Hapus yang ada di wajahmu itu. Kau cantik seperti kemarin-kemarin."

Kedua orang dewasa tersebut menikmati makanan masing-masing tanpa pembicaraan singkat sekalipun. Sehun sesekali melirik Luhan yang sedaritadi terlihat menunduk. Pria itu bangkit dan duduk di sebelah Luhan. Ia memposisikan tubuhnya menghadap wanita itu sedangkan Luhan sendiri kebingungan harus merespon seperti apa.

Sehun memegang tangan kiri Luhan pelan. Wanita itu sedikit terkejut dengan perlakuan Sehun. Ia lantas mendaratkan pandangannya ke arah tangannya yang sedang dipegang oleh Sehun.

"Kita ini sulit, Luhan. Perasaan ini sulit bagiku."

Sehun terlihat menunduk namun masih memegang tangan Luhan lembut. Wanita itu sedikit kaget dengan pernyataan Sehun yang tiba-tiba dan di waktu yang tidak tepat.

"Aku... aku tak ingin meminta apapun darimu, Sehun-ie. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya sedari dulu kulakukan." Suara wanita itu sangat pelan hingga Sehun hampir tak dapat menangkapnya. Ia hanya tahu bahwa mereka menginginkan satu sama lain.

"Ikut aku."

Sehun bangkit dari duduknya dan menarik tangan Luhan lembut. Ia memakaikan syal milik Luhan dan membawa wanita itu menuju suatu tempat. Mereka berjalan kaki tanpa sepatah kata pun. Banyak pertanyaan yang ingin diajukan oleh Luhan namun ditahannya melihat Sehun yang sedang bergelut dengan fikirannya sendiri.

"Halte?" Luhan menghentikan langkahnya dan melepas genggaman Sehun. "Kita mau kemana, Sehun-ie?"

Sehun berbalik dan menatap wanita tersebut dengan tatapan sendu. "Aku ingin duduk di sini bersamamu."

Luhan menatap pria itu penuh dengan tatapan tanya. Namun, melihat wajah Sehun yang begitu sendu, ia menuruti permintaan pria tersebut. Luhan memegang tangan Sehun dan mengajaknya duduk bersama di halte tersebut. Pukul setengah dua belas malam. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam hanya duduk di halte tersebut dan saling diam.

"Kenapa dulu kau melakukan itu, Luhan?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu sangat menohok hati Luhan. Ia merasakan air membasahi pelupuk matanya namun segera ia tahan karena tak mau ada yang melihat mereka. Sehun hanya menatap lurus ke arah jalan tanpa melihat Luhan.

"Kenapa dulu kau mengkhianatiku?"

"Kenapa harus dirimu?"

Air mata terlihat jatuh di pipi pria itu. Sehun menangis. Hati Luhan benar-benar terluka saat ini. Ia memegang pipi pria itu lembut sambil mengusap bulir air mata Sehun.

"Aku tak pernah melihatmu seperti ini, Sehun-ie."

Sehun memalingkan wajahnya menatap wanita itu. Mereka sama-sama melihat luka di manik masing-masing. Sehun memegang tangan Luhan yang berada di pipinya. Ia mengecup tangan tersebut pelan.

"Ini yang terakhir, Luhan-ie. Jangan coba lari lagi dariku."

TBC.


Hai readers! Setelah sekian lama akhirnya aku bisa nge-posting lanjutan INTO YOU chapter 2nya. Ini semua berkat dukungan para pembaca setia aazora dan reviewer yang baik hati memberikan review baik kritik maupun saran. Aku benar-benar mengapresiasinya. Semoga kalian suka dengan INTO YOU chapter 2nya, ya. Jangan lupa tinggalkan jejak review-nya. Gomawo ^.^