I added lil-bit scene and re-upload this special for my big-sist who was going to Japan in two days, right on my birthday. :(

Thanks for being a good sist for two years, and also be my HHS partner-in-crime with Chi and Ezu. And bougth me a 'glorious' sea cucumber. How else should I thank you? :"(

Hopefully you are succesfull and do not forget to check my stories that you never write review for.

I will not activate Line or whatever until we meet at the airport.

*cryinglikefoolishbaby *nappeunyeojaaaa

.

.

.

Aku akan mencintaimu sebagai wanita terpenting dalam hidupku.

Aku akan menghormatimu, menyayangimu, dan menjagamu sebagai istri dan ibu dari anak-anakku kelak.

Aku akan menerima segala kekurangan dan kelebihan, dalam sehat maupun sakit, dalam kebahagiaan maupun kesedihan.

Aku akan menjadi orang pertama yang kau lihat saat membuka mata dan orang terakhir sebelum kau menutup mata.

Ini janjiku, Oh Se Hun, lelaki yang akan mengambilmu, Lu Han, sebagai teman hidupku mulai saat ini…

Sekarang, dan seterusnya, aku mengikatmu dalam janji sehidup semati…

.

.

.

Sehun masih ingat, bagaimana Luhan diambil dari dekapannya dan dibawa pergi mobil ambulan, meninggalkannya yang masih tergugu kaku. Ia masih ingat bagaimana ia menunggu seperti orang gila di lorong unit gawat darurat, kalut memikirkan istrinya yang tengah meregang nyawa. Ia masih ingat tangisan memilukan dari kedua ibunya, pun raungan Baekhyun yang memukul-mukul Chanyeol dengan tenaga lemah, pun lelehan air mata sang Adik Ipar yang membungkam mulut.

Semuanya masih terasa sangat segar di ingatannya; mungkin akan terpaku permanen menjadi hukuman atas dirinya yang tak mampu melaksanakan janjinya untuk menjaga Luhan.

Dan menemukan istrinya terbaring koma dengan perban membalut tubuh dan keratan luka membuatnya ingin melukai dirinya sendiri, jika ia tak ingat ia masih mempunyai Haowen dan Yujie yang masih membutuhkan seseorang untuk memeluk menenangkan, dan bukankah ia pernah berjanji akan membiarkan Luhan memukulinya?

Jadi bangunlah, dan lampiaskan semua rasa sakitmu padaku, Sayang…

Mata Sehun tak pernah kering ketika memandangi istrinya. Ini menyentuh minggu kedua dan Luhan masih enggan membuka mata, dokter mengatakan bahwa tubuhnya memerlukan banyak waktu untuk memulihkan semua luka dan trauma, namun Sehun mendengarnya sebagai keinginan Luhan untuk membuatnya mati perlahan.

Semua yang ia lakukan hanya berotasi pada menjaga Luhan, memastikan kedua buah hatinya tak kekurangan kasih sayang dan perhatian, dan perusahaan di nomor ketiga. Semua urusan tentang Kim Dong Ho dan Anjou Tsuruko ia serahkan kepada Hyunsik dan pengacara keluarganya. Ia memang masih memiliki nafsu membunuh pada dua orang itu—dan dirinya sedikit benci pada kenyataan bahwa Hyunsik yang sangat patuh terhadap instruksi agar tidak melenyapkan Kim Dong Ho; pelurunya menyasar tempat berjarak beberapa senti dari jantungnya, hanya melumpuhkan semata, tapi ia akan mengurusnya nanti, ia akan memberikan Luhan kuasa untuk melakukan apapun terhadap dua orang pesakitan itu. Mungkin, atau dirinya hanya terlalu enggan dan muak berurusan dengan dua orang itu.

Saat Sehun menemui dua orang pesakitan itu setelah memastikan Luhan akan baik-baik saja di atas ranjang kamar rawatnya yang terisolasi, tak ada ekspresi berarti yang ia tunjukkan saat melihat Kim Dong Ho yang terbaring dengan tangan terborgol dan dada berbalut perban. Mata pria baya itu kosong, matanya menatap tanpa arti pada pakaian Sehun yang koyak di bagian bahu dan bernoda darah.

Wanita berdarah Jepang yang kala itu duduk bersandar di atas ranjang kamar rawatnya langsung menangis dan meminta ampun saat Sehun mendatanginya. Sehun tak goyah, pun mulutnya terkunci rapat; membiarkan Hyunsik memberitahukan segala tuntutan dan konsekuensi atas perbuatannya selagi dirinya memberikan tatapan dingin. Ia mengabaikan Tsuruko yang memohon pada dirinya untuk bisa menemui Luhan.

Tuan Lee menyelesaikan semua tugasnya dan menghilang, berkata bahwa dirinya akan selalu ada jika Sehun membutuhkannya, dan Sehun berharap ia tak akan kembali membutuhkan bantuan pria paruh baya itu. Tuan Lee pergi setelah mengatakan bahwa ia harus melenyapkan pikiran bahwa kakeknya adalah penyebab dari kemalangan ini.

"Apa yang dilakukan Pak Tua itu di masa lalu semata hanya untuk melindungimu, Sehun. Dia tak lepas tangan dari keadaan istri Kim Dong Ho, hanya saja bajingan itu gelap mata dan tak memperhatikan sedikit kebaikan Oh Seungyoon."

Ia memastikan kebenaran ucapan itu lewat berkas yang tersimpan di brankas berdebu di bawah gudang anggur yang ia temukan setelah membaca surat wasiat yang penuh dengan kalimat tersirat; ada sedikit sesal mengapa ia tak membukanya lebih awal. Sebuah amplop berkas berisi catatan tentang Kim Dong Ho dan segala tetek bengeknya, tertumpuk di atas berkas rahasia perusahaan yang belum ia ketahui. Sehun meneteskan air mata; kakeknya tidak bersalah. Pria tua itu mengirimkan bantuan besar secara diam-diam namun ternyata semua itu terlambat, akibat kebodohan Kim Dong Ho sendiri yang malah mencari siasat dan relasi kotor.

Luhan, beliau sangat menyayangiku… Beliau bukan pria yang jahat, Sayang…

"Sehun, urus dirimu sendiri… Aku yakin Luhan tak akan mau terbangun untuk melihat dirimu yang mengenaskan ini." Baekhyun datang membawa sebuket bunga segar sebagai ganti bunga kemarin di vas air.

Sehun memegangi tangan Luhan yang ringkih makin erat. "Apa perasaanku pernah benar sejak melihatnya sekarat?"

Baekhyun menghela nafas pelan. Ia ingin menangis, sungguh, tapi sayangnya ia tak mau membuat kelenjar air matanya bekerja lebih keras dan membuatnya bengkak; Luhan tak akan suka ia menangis. "Persetan dengan perasaanmu, aku hanya peduli perasaan Luhan nanti. Kau harus membawa Yujie melihat pentas seni Haowen nanti sore, aku tak mau tahu, jangan menampakkan wajah jelekmu di hadapan mereka atau aku akan menggantikan Luhan untuk membunuhmu."

Sehun akhirnya bangkit setelah mencium kening Luhan dengan hati-hati. "Tolong jaga dia."

"Aku menjaganya lebih baik darimu, Brengsek." Ya, Baekhyun akan menyimpan dendam pada Sehun sampai Luhan terbangun nanti.

Ibu dari si Kembar Park itu duduk menggantikan Sehun dan memegang tangan sahabatnya dengan pelan. Matanya sedikit membasah. "Hei, cepat bangun… Aku rindu melihat wajah gelimu saat aku cium."

Ia melanggar janjinya untuk tidak kembali menangis.

.

.

.

Selepas jam makan siang sepulang sekolah, kamar rawat Luhan yang dijaga orang-orang berpakaian hitam dalam radius 10 meter dan di setiap simpangan koridor menjadi sangat ramai dengan kedatangan tiga lelaki kecil beserta adik perempuan manis yang mereka gandeng bersama. Haowen datang dengan senyum tipis dan kecupan pada pipi ibunya, sementara si Manis Yujie akan berceloteh menceritakan gambar-gambarnya yang mendapat nilai excellent. Dan jangan lupakan candaan ramai yang akan mengudara begitu Jackson dan Jasper membuka mulut mereka.

Mengabaikan apakah Luhan bisa mendengar mereka.

Yang mereka tahu, mereka akan memberikan suasana hangat yang diharapkan mampu membuat wanita cantik itu segera terbangun dan memberikan pelukan pada mereka.

Tangisan dan raungan pilu hanya terjadi saat pertama kali buah hati Sehun dan Luhan melihat sang Ibu terbaring dengan banyak alat-alat aneh menempel sebagai penyambung kehidupan. Yujie histeris dan bergerak liar hendak memeluk Luhan, sementara untuk pertama kalinya Haowen mau menangis keras di pelukan sang Ayah. Kala itu Sehun tak berbicara apapun, hanya memberikan usapan dan pelukan erat pada kedua buah hatinya.

Yeonjoo lah yang berjasa menguatkan dua anak kecil itu, mengatakan bahwa jika mereka menangis sama sekali tak akan membuat Luhan cepat terbangun. Menangis hanya akan meninggalkan kesedihan sementara Luhan saat ini membutuhkan kebahagiaan.

"Baby Yujie tidak boleh menangis, ketika orang yang Yujie sayangi sedang sakit, Yujie harus tersenyum dan menghiburnya agar cepat sembuh, bukannya menangis terus, oke?" Kecupan kecil diberikan pada Yujie yang masih terisak, Yeonjoo beralih pada Haowen yang matanya membengkak merah. "Dan Baby Hao hanya boleh menangis di pelukan Mommy-mu; oke? Noona yakin Mama akan sedih jika Hao menangis dan membuat tenggorokan Hao sakit. Nae dongsaeng harus kuat seperti Mommy kalian."

Ketiganya berpelukan saling memberi kekuatan.

"Mommy, Mommy harus cepat bangun ya? Yujie mau hari pertama Yujie berangkat bersama Haowen Oppa sekolah ditemani Mommy, bukan daddy yang hanya akan mengatakan 'jadilah anak yang baik dan pintar', seperti pada Haowen Oppa dulu. Yujie mau Mommy yang mengantar, jadi Yujie bisa dapat ciuman dan pelukan sebelum masuk ke sekolah. Jadi cepat bangun, ya?"

Nyonya Lu mengelus rambut cucu perempuannya dengan sayang sementara Baekhyun hanya tersenyum kecil mendengar celoteh polos itu. Sedikit banyak memberikan ketenangan, melihat banyak orang yang percaya Luhan akan segera sembuh dan terbangun.

"Aunty, nanti Aunty bisa memberitahu apa saja yang harus Jasper lakukan untuk menjaga Yujie. Jasper yakin Haowen saja tidak akan cukup, karena Yujie sangat cantik seperti Aunty."

Kekehan terdengar sementara Haowen mendelik kesal. Merasa terhina.

"Aku bisa melindungi Yujie sendirian." Sulung Oh itu mendesis kesal pada Jasper dan cengirannya.

"Jackson Oppa mau menjaga Yujie, kan?"

Jasper dan Haowen mendelik mendengar ucapan polos itu, dua wanita lain terkikik melihat interaksi menggemaskan itu.

"Kenapa Yujie tidak sadar aku ini lebih tampan dari saudaraku, dasar menyebalkan." Bibir Jasper bergerak-gerak kesal sementara Haowen sudah memberikan tatapan sadis pada Jackson yang tampak salah tingkah digelayuti oleh Yujie.

"Aku bahkan lebih tampan dari kalian berdua."

"Kenapa kalian sangat menggemaskan, heum? Kalian bertiga bisa menjaga Yujie bersama-sama; bukankah tiga lebih baik dari satu?" Nyonya Lu mencoba melerai perseteruan anak kecil yang lucu itu. "Bukan begitu, Yujie?"

Yujie tersenyum lebar seraya melemparkan dirinya untuk memeluk dua kakaknya yang lain. "Yujie akan sangat suka jika Haowen Oppa dan Jasper Oppa menyayangi Yujie."

Haowen tersenyum lembut. "Kami tentu menyayangimu, Yujie."

"Aunty…"

Suara lirih Jackson mengalihkan perhatian mereka, mengikuti arah pandangan Jackson dan seketika semua pasang mata terbelalak melihat jemari ringkih bergerak-gerak dan kelopak mata mulai terbuka menampakkan iris indah yang sayu.

"Mommy…"

Terakhir kali Sehun berlari kesetanan dan nyaris kehilangan kendali saat mengemudikan mobilnya adalah ketika ia menuju gedung tua tempat Luhan di sekap. Dan sekarang ia kembali melakukannya, mengemudi cepat dengan jantung berdebar kencang dan perasaan teraduk-aduk. Ia baru akan menggelar rapat ketiganya di akhir hari itu, sampai ia mendengar Hyunsik berbisik-bisik pada seseorang di telefon.

Ada potongan kalimat "Saya belum memberitahu Tuan Sehun, Nyonya Baekhyun…" dan "Saya janji akan tutup mulut sampai semuanya selesai."

Sehun mencengkeram kerah kemeja tangan kanan kepercayaannya itu dan setelah mendengar pengakuan dari Hyunsik yang tergagap kaku ia langsung melemparkan berkasnya demi mencapai basement.

Sehun menghentikan mobilnya secara asal dan langsung berlari menuju kamar rawat Luhan yang ada di lantai VIP. Batin mengumpat ketika lift yang terasa sangat lama membuatnya menyesal mengapa ia menempatkan Luhan di kamar rawat yang sedikit sulit dijangkau; ia lupa alasan keamanan yang ia gaungkan sendiri sebelumnya.

Bungkukan orang-orang berpakaian hitam tak ia lihat dan ia menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar rawat.

Suara tawa kecil, celoteh riang dan senda gurau terdengar begitu indah, dan di antara harmoni itu, ia mendengar suara lembut yang sudah sangat ia rindukan. Matanya basah tiba-tiba. Luhannya sudah mampu berbicara, Luhannya sudah membuka mata.

Sayangku…

Pintu itu terbuka pelan, semua pasang mata memandangnya, dan ia hanya menumpukan tatapannya pada Luhan yang duduk di atas ranjang berbalut selimut. Wanita itu sudah melepas alat-alat anehnya, hanya menyisakan selang infus dan perban kecil di dahinya. Senyuman yang sudah sangat lama tak ia lihat itu membuat air matanya mengalir. Meski wajahnya masih pucat, ada senyum kecil menghangatkan di sana.

"Kita pergi, anak-anak… Seseorang harus menangis dan kalian tidak boleh mendengarnya, oke?"

"Daddy, nanti jangan menangis terlalu keras, ya?" Ia menatap linglung pada Yujie dan Haowen yang tersenyum padanya. Jasper dan Jackson menampakkan cengiran ceria mereka seperti biasa.

Sebuah pelukan dari ibu mertuanya dan tepukan bahu dari Baekhyun ia terima sebelum pintu tertutup. Luhan masih diam dengan senyumannya, mata indah itu menatapnya dengan sayang.

"Apa kau mau menangis?" Sedikit serak, tapi itu tak ubah lantunan harpa surga baginya.

"Luhan…" Sehun nyaris berlari untuk memeluk Luhan.

"Luhan… Luhan… Luhan…"

"Ya, Sehunna, aku Luhanmu." Lirih, serak.

Sehun memeluk Luhan dengan hati-hati, berusaha menekan keinginan untuk memeluk erat karena ia tahu kondisi belum memungkinkan. Luhan membalas pelukannya dengan ringan; sepenuhnya menyandarkan diri pada dada sang belahan jiwa yang sudah basah air mata. Dirinya merasakan kelegaan yang begitu besar, kembali mendapatkan istrinya dalam dekapan adalah sebuah anugrah besar baginya. Bibirnya tak henti menciumi pucuk kepala Luhan.

Ia tahu Luhan terisak sama seperti dirinya, namun ia diam, cukup mendengarkan dalam senyap dan berbagi semua perasaan yang campur aduk.

"Hyunsik bersekongkol dengan Baekhyun menyembunyikan kabar bahwa dirimu sudah sadar; aku kalang kabut." Sehun bersuara serak, berusaha mencairkan suasana setelah semua ketegangan yang terjadi, memberikan terapi pada istrinya yang bisa ia pastikan masih menyimpan trauma besar.

Tawa ringan terdengar.

"Jika kau langsung datang tadi, mungkin aku hanya bisa berucap lemah dan tidak bisa memelukmu seperti saat ini. Aku ingin mengulur waktu agar bisa memelukmu erat dan menangis keras-keras, tapi sampai saat ini tubuhku masih sangat lemah sekalipun banyak sekali cinta yang aku dapatkan tadi. Aku bahkan belum sanggup memangku Yujie, maaf…"

"Kau benar-benar Luhanku, dan tak perlu meminta maaf," Sehun terkekeh sumbang. "jangan melakukan apapun dulu. Kau harus pulih dengan baik dan setelah itu kau bisa melakukan apapun padaku." Lanjutnya perih.

Luhan menggeleng dalam pelukannya, wanita itu melepaskan pelukan mereka dan tangan ringkihnya mengusap pelan wajah Sehun yang basah. Senyum geli kecil tercipta saat wanita itu menyadari mata Sehun bengkak dan memerah.

"Aku tidak akan melakukan hal lain kecuali memberikan peluk dan ciuman setelah aku benar-benar pulih nanti. Baekhyun berkata aku koma nyaris tiga minggu, dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuatmu menyesal dan bersedih hati; jadi bagaimana bisa aku menyiksamu lagi setelah ini? A-aku tak bisa membayangkan bagaimana keadaan hatimu selama aku tidak melihatmu, k-kau pasti sangat sedih dan… dan…"

Luhan terisak kecil dan Sehun merasakan hatinya terenyuh leleh. Betapa Luhan sangat memikirkan dirinya bahkan saat dirinya sendiri berjuang melawan rasa sakit. Sehun mendekat dan memberikan ciuman dalam pada kening Luhan yang masih pucat, penuh rasa sayang dan rindu.

"Jangan banyak bicara, kau baru sadar dan aku tak mau melihatmu kesakitan." Luhan menggeleng pelan dan tetap melanjutkan ucapannya dengan susah payah.

"Aku bersyukur aku masih bisa membuka mata, bisa melihat Hao dan Yujie dengan senyum mereka, bisa merasakan Mama dan Baekhyun memelukku, dan masih bisa menemukanmu berada di dekatku… Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku tak bisa melihatmu lagi… Aku sangat egois, aku hanya ingin dirimu seorang." Luhan terengah, berbicara panjang membuatnya lelah, tapi ia hanya ingin mengatakan semua keluh kesah yang sudah sangat lama ia pendam dalam hati.

Sehun kembali memeluk Luhan dan membiarkannya melegakan isi hati. Semua keluh kesah dan ratapan ia dengarkan dengan baik, mengingatkan diri sendiri agar tidak membiarkan Luhan merasakan hal yang sama di masa depan.

"Aku mencintaimu, Sehun… Terimakasih."

"Itu kalimatku Sayang, jangan mengucapkannya dulu."

Luhan terkekeh di antara isakan kecilnya. "Lantas katakan."

"Aku mencintaimu, Luhan… Terimakasih telah berjuang keras dan mengijinkanku untuk kembali memelukmu."

Luhan tersenyum dalam diam dan mengangguk.

"Sehunna…"

"Hmm?" Sehun masih terpejam, menikmati detak jantung sang Istri yang seirama dengan miliknya.

"Bagaimana dengan pria itu dan Tsuruko?" Sehun langsung membuka mata begitu Luhan menyinggung masalah itu. Ia menarik nafas dalam, mencoba menekan emosinya yang tiba-tiba muncul begitu saja. Tak dipungkiri ia tak suka jika Luhan menyebut wanita dan pria gila itu.

"Ada banyak waktu kedepan untuk membahasnya, dan yang harus kau lakukan sekarang hanyalah cepat pulih dan banyak istirahat. Apakah Ayah Ibu dan Baba sudah kesini? Yeonjoo dan Chenle?"

Luhan mengangguk pelan, dan tak berniat kembali membahas hal yang sama, meski dirinya ingin segera mengetahui kebenaran atas cerita masa lalu mengejutkan yang ia dengar dari pria itu. Dirinya mengerti Sehun masih sangat benci diingatkan dengan hal itu, terdengar sangat jelas dari nada bicaranya.

"Ya, kecuali Yeonjoo. Semuanya akan datang lagi besok pagi, mereka bilang akan membiarkanmu memilikiku semalaman ini sebelum memonopoli aku. Yeonjoo tadi menangis di sambungan telefon, mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemuiku hari ini karena acara yang dia sebut sangat menyebalkan."

Sehun tersenyum mendengarnya. "Putrimu yang satu itu pasti sedang menggerutu kesal karena tidak bisa memeluk Mamanya." Luhan mengangguk.

"Aku ingin makan, perutku sangat lapar setelah tiga minggu tak menyentuh makanan. Aku menunggumu menyuapiku sampai sekarang."

Sehun tidak bisa tidak tersenyum geli melihat Luhan tengah menatapnya dengan mata berbinar polos dan menggemaskan. Jarinya mencubit kecil pipi tirus wanita kesayangannya ini.

"Kau berusaha keras membuatku merasa lebih baik, heum?" Sehun mengecup bibir itu dengan pelan dan hangat, Luhan tersenyum dan menikmati.

"Ya, berjanjilah ini terakhir kalinya kau bersedih, karena aku sudah ada di sini sekarang, dan seterusnya…" Sehun merasakan semua beban dan rasa sakitnya terangkat mendengar klaim itu. "Sekarang cepat ambilkan makanan untukku, Sehun."

Sehun tertawa mendengar nada tuntutan lucu di akhir kalimat. Dirinya gemas mengusak pipi Luhan dengan tulang hidungnya.

"Akh, kau membuatku geli… Sehunna… Sshh." Luhan mencoba menghindari usakan gemas itu, ia sedikit meringis saat kaki dan bahunya yang berbalut gips diserang ngilu. Sehun segera berhenti menyadari itu.

"Maaf, aku tak bisa menahan diri." Katanya, Luhan tersenyum ringan dan mengangguk.

"Luhan, Sayangku…" Sehun mendekatkan wajahnya ke wajah Luhan, membuat hidung dan dahi mereka bersentuhan hangat, tangannya bergerak menggenggam jemari kecil Luhan, menyalurkan segala perasaan yang ada dalam hatinya sekarang.

Luhan menyematkan senyum, menikmati hembusan nafas hangat Sehun yang menerpa wajahnya.

"Aku mencintaimu, sangat… Sekarang—"

Luhan menyela. "dan seterusnya. Aku berjanji akan terus bersamamu. Aku mencintaimu."

.

.

.

Luhan berhasil memenuhi permintaan putri bungsunya; yakni mengantar pada hari pertamanya masuk sekolah dasar yang sama dengan ketiga kakak lelakinya. Meskipun dirinya hanya bisa duduk di atas kursi roda, ternyata Yujie sudah bisa terlonjak senang dan dengan baik hati mengatakan :

"Yujie hanya butuh Mommy, dan Mommy menepati janji. Yujie tidak mau minta yang lain lagi."

Luhan terenyuh. Setelah memberikan pelukan dan ciuman pada Yujie, ia berganti menarik Haowen ke pelukannya dan mengecup pipinya pelan. Haowen merona tipis setelahnya dan Luhan terkekeh bersama Sehun.

"Nikmati saja kecupan Ibumu selagi kau masih kecil, Haowen." Sang Ayah berkata dengan seringai kecil, Haowen mendatarkan pandangannya. Sejak Luhan sadar dari koma mereka berdua sering terlibat perang lucu memperebutkan perhatian wanita bermata rusa itu, walaupun pada akhirnya keduanya tetap kalah ketika Yujie merengek.

"Sampai aku besar nanti Mommy akan tetap menciumku, enak saja." Katanya. Meskipun kalimatnya ketus, ia tetap memeluk ayahnya sebelum menarik Yujie masuk sambil melambaikan tangan.

Sehun dan Luhan melihat kepergian kedua buah hatinya dengan senyum teduh saat itu.

Pemulihan berjalan dengan baik, Luhan sangat bersemangat berlatih berjalan setelah kakinya yang retak sembuh. Kebanyakan yang panik saat dirinya oleng adalah Baekhyun dan Sehun yang menemani fisioterapi yang dijalaninya. Luhan yang merasakan ngilu pada kaki dan bahunya, tapi yang berteriak ngeri malah Baekhyun.

Berisik sekali sahabatnya yang satu itu, tapi itulah hal yang membuatnya melupakan rasa sakit dan menjalani semuanya dengan senang hati. Tak bisa dibayangkan jika sahabatnya itu pergi meninggalkannya, Luhan menggeleng, Baekhyun tak akan meninggalkannya, sama seperti Sehun yang berjanji akan terus berjalan di sampingnya.

"Sehunna, aku benci padamu." Luhan tiba-tiba berkata dengan raut wajah dingin saat mereka berdua makan siang di halaman belakang. Luhan meletakkan garpunya dan berhenti menyuapkan potongan makanan pencuci mulut dan melipat tangannya.

Sehun nyaris tersedak melihatnya.

"A-apa?" Ia panik, sungguh.

"Ini sudah sebulan berlalu dan aku tak percaya kau masih menyembunyikan masalah itu dariku. Kau mengganti channel televisi dan hanya mengisinya dengan tayangan home shopping menyebalkan dan tayangan tidak berguna lain. Kau memblokir portal berita di smarthphoneku dan melarangku mencari tahu. Aku menahan diri dan menunggumu bercerita, tapi kau selalu mengelak. Aku tetap merasa gelisah dan khawatir meski kau bilang berita sudah mereda dan semuanya sudah baik-baik saja. Kau seakan menyembunyikan semuanya. Bagaimana bisa kau melakukan semua ini?" Luhan mengeluh dengan mata sedikit berkaca.

Sehun tertegun mendengar semua yang diucapkan Luhan. Memang benar jika ia terkesan menyembunyikan, bukan lagi terkesan, ia memang menginginkan Luhan melupakan semua ini. Setelah ia memberitahu Luhan tentang kebenaran cerita masa lalu antara mendiang sang Kakek dan Kim Dong Ho, Sehun bungkam. Dan seharusnya ia tahu ini kesalahan besar.

"Aku berpikir sebaiknya kau tidak mengetahui keadaan mereka berdua, Luhan." Mereka berdua, Anjou Tsuruko dan Kim Dong Ho, dua orang yang masih Sehun kutuk sampai sekarang.

Luhan menatap tak percaya. "Sehunna? Setelah semua yang aku alami malam itu, kau berpikir aku lebih baik tidak mengatahui sesuatu di sini? Aku bahkan menurutimu yang melarangku bertemu Tsuruko." Sehun tertohok keras.

"Baiklah, aku menyerah. Aku akan memberitahukan semuanya kepadamu." Sehun bangkit, mendekat pada Luhan dan menggendong istrinya di depan tubuhnya.

"Hilangkan kerutan dahi dan tatapan itu, aku akan menjawab semua pertanyaanmu." Sehun mengecup bibir merah Luhan dan Luhan merona tipis, sudah sangat lama mereka tidak melakukan hal-hal romantis macam ini. Gendongan bridal? Bunuh Luhan sekarang, masalah yang akan mereka bahas sangat berat namun ia malah menemukan kedua pipinya terbakar rona.

Sehun terkekeh dan kembali mendaratkan kecupan, kali ini sedikit lebih dalam. Mereka berjalan pelan memasuki rumah.

"Kita ke kamar sekarang."

"Aku sudah bisa berjalan sendiri walaupun pelan-pelan, kau tidak perlu menggendongku seperti ini. Kau akan kelelahan menggendongku sampai kamar."

Sehun mengedikkan bahunya. "Setelah kita menikah, aku mampu menggendongmu dari depan gerbang rumah ayah, melewati halaman yang sangat luas sampai ke kamarku di lantai atas," Luhan merona. "saat kau hamil Baby Hao, aku menggendongmu kemana-mana karena kakimu bengkak. Kau baru saja kehilangan banyak berat badan, dan sekarang kau bilang tubuhmu berat? Kau bercanda, Sayang?"

"Bilang saja aku harus makan lebih banyak, jangan memamerkan kekuatanmu begitu." Luhan mencebik kecil. Sungguh menggemaskan, mereka memang membutuhkan banyak waktu bersama sabagai terapi untuk hati mereka yang pernah jatuh terbanting ke jurang.

Sehun membuka pintu kamar menggunakan punggungnya dan menutupnya dengan kaki panjangnya. "Aku memang sangat kuat, terlebih saat di ranjang dan kau berada di bawahku dan—"

"Sehun aku akan memukulmu sekarang!" Delikan itu lucu sekali.

"Baiklah-baiklah." Sehun menurunkan Luhan ke ranjang dan mendorong wanita itu untuk berbaring di sana. Dirinya mengikuti, berbaring miring dengan salah satu tangan menyangga kepala sementara yang lain merapikan rambut Luhan yang panjang.

"Berhenti membuatku merona seperti remaja dan jelaskan semuanya." Kata Luhan galak. Sehun tersenyum lembut dan menatap Luhan dengan tatapan teduh.

"Berikan pertanyaanmu."

"Apa Tsuruko dan bayinya selamat?" Sehun terkekeh mendengar pertanyaan itu, Luhan bahkan sudah ia beritahu tentang hal itu tapi tetap saja pertanyaan pertama adalah tentang wanita itu. Sedikit menyebalkan sebenarnya, Sehun sepertinya benar-benar alergi. Ia bersumpah, setelah ini berakhir akan ia buat Luhan tak lagi membahas wanita itu.

"Ya, meskipun mereka sekarat karena perlakuan bajingan gila itu." Luhan tanpa sadar membuat raut wajah menyesal dan bersalah.

"Tidak boleh menyesal dan merasa bersalah." Sehun berkata dingin dan Luhan langsung mengangguk, mencoba menuruti kalimat suaminya.

"Baiklah. Sekarang, di mana mereka? Hyunsik berkata dia tetap mendapat hukuman atas perbuatannya." Sehun memicing mendengar Hyunsik disebut dan Luhan segera mendelik galak.

"Jangan memarahinya karena aku yang memaksa, lagipula dia hanya mengatakan secuil informasi itu kepadaku." Baiklah, Nyonya Lu Han, Sehun bisa apa jika dirimu meminta?

"Dia menerima tuntutan pencemaran nama baik dan kau tahu apa saja kelanjutannya, tidak ada kurungan karena aku tahu kau tidak menginginkannya. Dia dideportasi dan sekarang dia hidup bersama keluarganya yang tersisa di Jepang. Soal ayah dari bayi itu, dia mengatakan tidak mau mencarinya. Sudah? Soal perusahaannya yang bangkrut sudah diakusisi oleh orang lain." —atas campur tanganku juga.

Luhan mengangguk, ia tahu Sehun sangat enggan. Lagipula nanti saat ia benar-benar pulih dan sudah kembali ke bilik kacanya, ia akan mencari tahu sendiri lebih jauh.

"Lalu pria itu?"

"Bagaimana aku mengatakannya? Dia menderita depresi berat, katakan saja dia gila. Dia dikurung di panti rehabilitasi. Ada keringanan hukuman untuk penderita sakit jiwa sepertinya, tapi semua yang ia lakukan kepadamu membuatku menuntutnya—"

"Sshh…" Luhan meletakkan telunjuknya di bibir Sehun. Menyuruhnya berhenti, ia tidak nyaman melihat kilatan benci di mata tajam yang ia sukai itu.

Mata Sehun melunak dan ia mengecup jari itu pelan. "Aku selalu hilang kendali saat mengingatnya, maaf membuatmu ketakutan." Kata Sehun tulus. Luhan menggeleng dan bergerak masuk kedalam pelukan Sehun, meminta Sehun memberikan lengannya untuk dijadikan bantal.

"Terimakasih telah melakukan segalanya untukku, rela mengotori tanganmu demi diriku." Bisik Luhan. Sehun mengecup dahi istrinya.

"Aku sudah pernah berkata padamu; aku akan melakukan apapun agar kau tetap berjalan bersamaku."

"Ya, aku selalu mengingatnya."

Keduanya terdiam cukup lama. Sehun menikmati hembusan nafas Luhan di dekat lehernya dan Luhan mendengarkan nadi yang berdenyut menyenangkan. Sehun tak berhenti mengelus kepala istrinya dengan sayang.

"Kurasa kau harus memotong rambutmu, Sayang, mereka sudah terlalu panjang dan menutupi matamu—"

"Sehunna cium aku."

Begitu cepat terucap dan Sehun mengerjap. Ia menunduk dan menemukan Luhan menatapnya dengan tatapan yang membuatnya berdebar. Sehun terkekeh tanpa bisa ditahan. Ya ampun, kenapa Luhan selalu berhasil membuatnya tidak karuan?

"Baiklah, kau mau di atas atau di bawah?" Tanya Sehun dengan kerlingan kecil. Luhan mengulum senyumnya.

"Aku berkata 'Sehun cium aku' bukannya 'Sehun aku ingin menciummu'."

Tanpa banyak bicara Sehun langsung mengurung tubuh Luhan dan mencium bibirnya penuh-penuh. Bibir tipisnya bergerak gemas dan tak sabar mencicipi belah bibir merah yang empuk itu. Menekannya penuh hasrat dan dambaan; berapa lama ia tidak mencium Luhan dengan perasaan seringan ini? Selama ini pikirannya tertuju pada kesembuhan Luhan dan nyaris lupa bahwa Luhan mungkin membutuhkan sentuhannya. Setelah semua yang terjadi, ia melupakan hal itu, betapa lucu.

Luhan melenguh merasakan bibirnya tak henti ditarik dan digigit pelan. Ia yakin bibirnya akan bengkak dan memerah setelah ini. Tangannya yang sebelumnya mengalung manja pada leher kokoh itu bergerak meremas rambut hitam lebat milik suaminya dengan gemas. Berkata tanpa suara bahwa dirinya sangat menikmati cumbuan ini.

Tautan itu terlepas, jika saja tak membutuhkan oksigen mungkin selamanya Sehun tak akan melepaskan bibir itu.

Sehun menjauhkan wajahnya dan sebuah senyum terbit melihat wajah memerah Luhan di antara kungkungan lengannya. Ia kembali mendekat, memberikan kecupan-kecupan kecil yang basah. Membuat Luhan kembali melenguh pelan.

"Astaga," Sehun melepaskan cumbuannya. Dahinya menumpu pada dahi berkeringat Luhan. "aku benar-benar ingin mengambilmu jika saja tidak teringat kalau ini masih siang dan keadaanmu masih rawan."

"Aku akan baik-baik saja jika kau menggunakan misionaris, dan bukankah kita pernah melakukannya di siang hari?" Sehun tertawa pelan mendengar kalimat itu.

"Jangan menggodaku, akan aku simpan kupon ini untuk nanti saat kau sudah benar-benar pulih dan bekas lukamu pudar."

Luhan tiba-tiba meredup. "Kau jijik melihat tubuhku penuh luka dan—"

"Aku tidak jijik!" Sehun nyaris berteriak, membuat Luhan sedikit tersentak. Sehun menyadari kesalahannya dan langsung mencium bibir Luhan pelan. "lukamu akan mengingatkanku akan kelalaianku. Itu sangat menyakitkan, dan aku tidak bisa membiarkan malam kita hancur hanya karena aku menangis saat melihatnya. Kumohon, jangan salah paham, Sayang. Aku hanya tidak bisa—"

"Eum." Sehun tertegun saat Luhan menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan terimakasih. "lukaku akan segera menghilang, dan kau tidak perlu merasa bersalah dan menyesal. Bukankah kau sendiri yang bilang jika kita tidak boleh merasa sedih?"

Sehun menunduk dan mencium kening Luhan pelan. "Ya." Jawabnya serak.

"Mommy Yujie pulaaaanngggg…"

Keduanya segera melepaskan cumbuan dan saling melempar tatapan bingung.

"Kau lupa menjemput mereka?!" Pekik Luhan. Sehun mengerjap.

"Kau tahu aku selalu lupa waktu jika bersamamu."

Luhan mendelik dengan wajah bersemu.

"Yujie sangat rindu Mommy!" Tiba-tiba Yujie datang menjeblak pintu, dan Haowen berjalan mengikuti dengan ekspresi khasnya. Haowen mencoba mengabaikan tampilan kacau sang Ibu.

"Siapa yang menjemput kalian?" Tanya Luhan saat Yujie merentangkan tangan meminta dipangku. Yujie mencium ibunya dengan sayang.

"Chenle Gege." Jawab Haowen dengan nada datar. Ia bergantian memeluk ayah dan ibunya.

"Eum, katanya Mommy dan Daddy sedang sibuk di dalam kamar."

Berarti Chenle melihat adegan memalukan itu! Luhan mendelik kecil pada Sehun yang memasang wajah menahan senyuman.

"Bukankah kalian harus berganti baju?" Kata Sehun. Haowen langsung menarik adiknya keluar begitu Sehun mengatakan itu, tahu kode ayahnya yang ingin kembali bermesraan atau apalah itu. Lelaki kecil itu menggerutu sebal, padahal dirinya masih ingin memandangi wajah ibunya yang cantik dan sangat ia rindukan itu. Huh!

"Astaga…" Luhan menangkup wajahnya yang panas sementara Sehun dengan puas mencium pucuk kepala Luhan.

"Kau tunggulah di sini dan aku akan menyiapkan camilan untuk anak-anak, kau juga mau?"

"Eum." Luhan masih tak mau menampakkan wajahnya.

"Hei, Sayang, aku teringat sesuatu…"

Luhan dengan terpaksa mengangkat wajahnya, dirinya langsung bersemu melihat seringai melelehkan Sehun yang dari waktu ke waktu semakin terlihat panas.

"Mau aku siapkan camilan apa untukmu, Mommy?"

"Sehunna!"

Sebuah bantal melayang dan tawa renyah terdengar.

.

.

.

Malam itu setelah menidurkan kedua buah hatinya, Sehun masuk ke dalam kamarnya dan ia menemukan Luhan tengah kesulitan meraih kancingan baju di garis punggungnya. Ada beberapa tube penghilang bekas luka di meja rias dan Sehun mengambil alih pekerjaan yang menyusahkan istrinya itu.

"Sehun…" Luhan nampaknya sedikit terkejut, ia tak melihat kedatangan Sehun tadi, terlalu fokus pada usahanya meraih kancing-kancing menyusahkan. Lain kali ia tak akan memakai pakaian macam ini lagi.

"Kau harusnya minta bantuanku, Sayang, seperti biasa."

Luhan terkekeh ringan.

Kancing-kancing itu sudah bercerai dengan lubangnya dan Sehun menurunkan fabrik berwarna biru muda itu. Membuat bahu dan punggung polos itu nyaris telanjang, Luhan mendekap fabrik di bagian dadanya agar tidak melorot.

Luhan merinding merasakan jemari Sehun menyusuri punggungnya, tepat di bekas beberapa lukanya berada. Mengelusnya pelan dengan tatapan tak dapat diartikan yang Luhan lihat dari pantulan cermin. Luhan tanpa sadar tersenyum lembut.

"Apa sudah pudar?"

Luhan bisa melihat Sehun mengerjap kecil sebelum meraih sebuah tube di atas meja rias dan menuangkan isinya, lantas mengusapkannya ke sepanjang punggung Luhan yang terekspos. Luhan bergetar kecil, hidungnya membau aroma lain dan sensasi yang setahunya bukan dari krim penghilang bekas luka. Matanya menangkap bahwa bukan tube itu yang diraih Sehun sebelumnya.

"Kenapa kau malah menggunakan itu?" Katanya setengah geli.

"Sudah pudar," Luhan tertegun mendengar suara yang tiba-tiba memberat itu, "nyaris menghilang, dan aku sangat rindu mencium punggungmu dengan aroma ini."

Aroma ini, aroma dari produk berbahan dasar air mawar dan madu. Produk yang selalu Luhan pakai jika Sehun memberitahu jika ia ingin mengambil istrinya.

Luhan memegangi sisi meja dengan kuat saat tiba-tiba Sehun mencium punggungnya dengan perlahan. Dirinya bergetar merasakan hembusan nafas panas yang menerpa punggungnya, ia tak bisa apa-apa ketika seluruh kancing dilepaskan dan tali yang menyangga dadanya dilepaskan dengan sekali jentikan.

"S-sehun…"

Ciuman itu merambat ke atas dan berhenti di perpotongan leher Luhan yang menguarkan aroma memabukkan. Luhan menggerakkan sebelah tangannya untuk meremas pelan rambut lebat suaminya. Matanya yang tadi terpejam terbuka perlahan, dan ia merasakan sebuah gelenyar menyenangkan saat melihat betapa Sehun sangat bernafsu mencumbu lehernya dari pantulan cermin.

"Apa … kau ingat saat pertama kalinya kita menghabiskan malam bersama?" Luhan berkata susah payah. Sementara Sehun sepertinya lebih suka fokus pada ciuman dan remasan lembut pada dada istrinya.

"Hmm?"

"Kita memulainya di depan cermin kamar apartemenku."

Sehun membuka matanya, membuat Luhan terhipnotis melihat kilatan khas yang sudah lama tak ia lihat. "Bagaimana bisa aku melupakannya?"

"Sehun!" Luhan memekik ketika Sehun menggendongnya dan langsung membantingnya ke atas ranjang. Sehun melucuti pakaiannya dengan cepat dan membiarkan Luhan mengerang.

"Tapi, saat itu aku cukup berhati-hati." Kata Sehun, memberikan sebuah ciuman dalam yang dibalas erang kecil Luhan yang meremas rambutnya gemas.

Luhan terengah, memandang Sehun dengan sedikit tatapan nakal. "Hanya di awal, kau membantaiku habis setelahnya."

Luhan tak pernah tahu, atau sedikit melupakan, bagaimana seksinya Sehun saat terkekeh renyah di sela-sela jadwal malam panas mereka. Sehun mengulum seringai dan salah satu jarinya menyapa lipatan basah Luhan. Luhan tercekat.

"Ya, dan sekarang, aku akan langsung membantaimu." Luhan membulatkan mata ditengah erangannya. Jari Sehun nakal sekali, astaga.

"Bagai—hhh—mana dengan acara besok?! K-kau tak akan merasa cukuph dengan—astaga tarik jarimu dulu! Kau tak akan cukup dengan satu sesi. Sehunnaaa…"

Seringai Sehun melebar. "Besok pagi serahkan urusan acara itu padaku, kau cukup lebarkan pahamu dan siapkan pita suaramu untuk mendesah semalaman penuh. Aku akan menghabiskan semua kupon panasku malam ini."

Dan Sehun benar-benar memulai, gerakan jarinya mulai bertambah tempo. Ia mencium seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkau oleh bibirnya dengan perlahan dan sensual. Setelah semua hal yang terjadi, seks selalu bisa menjadi alternatif—atau mungkin keharusan—untuk memperbaiki hubungan mereka. Ah, bukan seks, ia tengah bercinta dengan istrinya sekarang.

Sehun membuka kemeja dan celananya dengan terburu dan menatap Luhan dengan bibir tergigit; menggumam tidak jelas tentang betapa menggairahkan sang Istri yang baru saja mencapai orgasme pertamanya. Tatapan mata yang sayu itu seolah mengundang Sehun untuk segera melesakkan miliknya ke lipatan yang hangat dan sempit itu.

"Aku mulai, tarik nafasmu."

Luhan melakukannya dan Sehun mendorong masuk. Luhan tercekat ketika perlahan milik Sehun memenuhi dirinya dengan begitu benar. Luhan nyaris lupa; apakah seperti ini rasanya ketika Sehun mendorong masuk?

"Kkhh… Mengapa kau sempit sekali, Sayang?"

Luhan bisa mendengar geraman buas dari sosok lelaki yang mengurungnya ini. Tangannya mengalungi leher kokoh itu dan ia berbisik serak.

"Lakukan, dengan cepat."

Sehun yang sebenarnya masih merasakan ngilu pada kejantanannya langsung tersulut. Ia menghentak kuat dan memulai ritmenya. Sehun keluar masuk dengan cepat dan bar-bar, menikmati bagaimana licinnya milik Luhan yang seakan menariknya untuk masuk lebih dalam.

Luhan merasakan ujung jemari kakinya mengeriting, tangannya sudah beralih mencakar sprei satin merahnya saat gerakan Sehun makin menggila. Luhan membuka matanya, dan ia mendapati Sehun tengah terpejam nikmat di antara dorongannya. Luhan merasakan ia membangun orgasme dengan cepat.

"Aku mencintaimu…" Luhan membisik di tengah desahannya, geraman nikmat Sehun berganti dan lelaki itu membuka matanya dengan takjub. Sehun masih membeku saat Luhan menggerakkan telapak tangannya untuk mengusap lembut wajah berpeluh Sehun.

Sehun memberikan ciuman penuh pada bibir merah membengkak itu, kembali mendorong dengan ritme menggila. Sepenuhnya membuat Luhan kehilangan kewarasan. Erang dan jerit kecil terdengar saat bibir Sehun sedikit menjauh untuk memberikan nafas.

Luhan meneteskan setitik air mata, dirinya terisak merasakan kenikmatan yang menghantam tubuhnya dengan begitu benar. Mulutnya terbuka dan tubuhnya melengkung tajam, menarik Sehun ke dalam pelukan erat menyesakkan nafas saat ia mencapai puncak.

Luhan terengah dengan wajah basah dan mata berpendar sayu. Ia mengerang pelan saat Sehun bergerak menciumi wajahnya, menghentikan sejenak gerakannya di bawah sana demi memberikannya waktu untuk menikmati.

"Kau cantik sekali," gumam Sehun, "aku jatuh cinta lagi."

Luhan terkekeh kecil, masih terengah ia mencium bibir Sehun. "Kau tak ada tanda-tanda akan selesai." Katanya mengambang.

Sehun mengangkat wajahnya dan memberikan seringai kecil yang melelehkan. "Kurasa ini akan sama seperti saat aku kembali menyentuhmu setelah Yujie lahir," Luhan melayang pada masa lalu, teringat bagaimana buasnya Sehun yang telah berpuasa nyaris 4 bulan karena kehamilan dan pemulihannya, tanpa sadar, Luhan menggigit bibir, sedikit takut. Dan Sehun makin melebarkan seringai, tahu bahwa Luhan paham apa maksudnya; Luhan harus membayar 3 orgasme untuk bisa membuat Sehun menyerah satu kali.

"Jadi, Sayang, kaitkan kakimu pada pinggangku, dan biarkan aku memimpin saat ini."

Luhan tak mampu menjawab ketika Sehun sudah membungkamnya dengan ciuman.

.

.

.

Setelah semalaman badai bergemuruh mengaduk samudra dan petir menyambar langit gelap tertutup mendung, selalu akan ada gelayutan air tenang di pagi yang biru terang. (Cinta, Ratap, dan Sesal by Anonim)

Luhan terkekeh kecil mengingat petikan kalimat penuh majas di dalam novel romansa yang pernah ia baca beberapa waktu lalu untuk mengisi waktunya yang senggang—ketika kedua buah hatinya sibuk belajar dan Sehun tak bisa meninggalkan ruang kebesarannya. Luhan bahkan masih punya beberapa stok novel bersegel plastik; Sehun sangat boros mengeluarkan uangnya ketika Luhan bilang ia ingin membaca novel.

Yah, ia merasakannya. Ia bersyukur isi petikan kalimat itu benar terjadi padanya. Setelah semua rasa sakit dan penderitaan yang nyaris menghentikan detak jantungnya berlalu, keadaan membaik dan Luhan tak pernah merasa sangat mencintai suaminya lebih dari sekarang.

Ia bisa melihat semakin jelas, betapa Sehun sangat mencintainya.

Apa lagi yang harus Luhan minta saat ini? Rasanya setiap minggu Misa akan ia isi dengan kalimat syukur tanpa henti di hadapan Tuhan.

Oh tidak, Luhan salah, Luhan akan selalu meminta kebahagiaan untuk semua orang yang ia cintai dan mencintainya.

"Mama, lihat Chenle Oppa menggodaku lagi!"

Luhan tersentak dari lamunannya, ia memfokuskan pandangan pada Yeonjoo yang tengah cemberut melihat Chenle mengangkat capitan yang digunakan untuk membalik daging di atas panggangan yang mendesiskan minyak. Luhan tertawa pelan. Kaki ramping itu berjinjit-jinjit berusaha menggapai capitan yang jauh di atas.

"Yeonjoo-ya, ternyata kau masih pendek seperti dulu, ya?" Katanya jahil. Yeonjoo mendelik.

"Kenapa Mama sama saja dengan Chenle Oppa? Lihat besok! Aku akan menggunakan sepatu bertumit 13 senti! Mama bantu aku!" Yeonjoo merengek lagi dan Luhan langsung memberikan tatapan peringatan lembut kepada adiknya itu. Chenle mendengus pelan sebelum memberikan capitan itu kepada kekasihnya.

"Ketika perempuan berkonspirasi tak akan ada lelaki yang bisa memenangkan pertarungan."

Luhan terkekeh geli. Ia memandang sayang pada interaksi dua sejoli muda yang tampak sangat bahagia. Tangan Chenle tak henti mengusak rambut panjang Yeonjoo yang terikat lemah dan Yeonjoo tertawa dengan indah. Luhan menyematkan senyum teduh tanpa sadar.

Seo Yeon Joo. Gadis manis yang mewarnai masa mudanya sebelum menikah dengan tingkah menggemaskan dan mengejutkannya. Luhan masih ingat, saat Yeonjoo dengan polosnya memanggil dirinya dan Sehun dengan sebutan Mama-Papa; hal yang membuatnya menyadari dirinya mempunyai perasaan romantis pada sang Atasan kala itu. Gadis manis itu pula yang membuatnya merasakan bagaimana menjadi seorang Ibu untuk pertama kalinya. Senyum semanis gula dan cebikan bibir menggemaskan dan mata berkaca saat bersedih terpaku permanen pada ingatannya; ia simpan rapat dalam bagian khusus yang ia beri nama "Yeonjoo, putri kecil pertamaku."

Yeonjoo-ya, katakan padaku kalau Chenle menyakitimu ya? Aku akan mengirimnya kembali ke Beijing jika itu terjadi.

"Kau masih bisa menang jika hanya mereka berdua yang berkonspirasi, lihat jika Baekhyun bergabung, baru kau akan melihat kekalahan yang sebenarnya. Ouch! Jangan memukul kepalaku, Baekkie! Aku tak akan keren lagi dimata si Kembar."

"Biar saja. Caplang menyebalkan."

Luhan mengalihkan pandangan pada pasangan Chanyeol dan Baekhyun. Chanyeol yang sibuk mengelus kepalanya yang baru saja mendapat geplakan gratis dari sang Istri dan Baekhyun yang menggerutu betapa suaminya itu memalukan. Dua buah hati mereka sibuk menahan tawa, selalu tahu bahwa sang Ayah akan selalu takluk di tangan ibu mereka.

Pasangan menyenangkan yang menjadi sahabatnya menjalani kehidupan muda yang keras. Terutama si Cerewet Baekhyun, wanita berisik yang selalu punya cara untuk menghiburnya saat bersedih dan menguatkannya ketika ia nyaris tumbang. Wanita kesayangannya yang suka menciumnya sembarangan dan menjadi partner in crimenya semasa muda dan sedikit nakal, wanita yang menjadi sahabat sehidup semati yang berjanji akan membunuh suaminya jika ia kembali disakiti.

Rasanya tak akan cukup jika ia mengucapkan ribuan terimakasih untuk membalas semua kebaikan wanita bermata sipit itu. Oh, mungkin akan setengah cukup jika ia rutin membelikan sepaket eyeliner berkelas.

"Mommy, Yujie sudah membuatkan daging panggang paling ennaaaakkkk sejagat raya! Lebih enak dari buatan kakek!"

Ah, si Kecil Yujie yang dengan antusias menyodorkan daging panggang dan beberapa potong paprika dan bawang bombay menggunakan piring yang ia pegang dengan dua tangannya. Luhan menerima suapan daging itu, menahan sedakan ketika lidahnya mencecap rasa pahit dari bagian yang gosong. Duh, mana tega dirinya menghilangkan senyum antusias yang sangat menggemaskan itu?

"Eum, enak sekali. Yujie sangat pandai memasak, heum?"

Yujie mencium pipinya dengan mata berbinar sebelum kembali ke dekat panggangan dan menggumamkan tentang "Yujie akan membuat banyak daging panggang untuk Mommy!" dan si Kembar yang panik melihat tangan-tangan kecil itu nyaris terciprat desisan minyak.

Luhan kembali tersenyum melihat putri bungsunya itu, gadis kecil yang selalu mengacau ketika dirinya menghilang dari pandangan bangun tidurnya dan gadis kecil yang selalu menang di atas pertengkaran kecil dua lelaki kesayangan yang memperebutkannya. Gadis yang lahir karena kenekatan sang Ayah menyabotase pil anti kehamilannya.

Sebuah potongan daging menggiurkan tiba-tiba muncul di dekat mulutnya. Luhan menoleh dan mendapati Haowen tengah tersenyum tipis saat menyuapkan daging itu dengan sumpit. Luhan tertawa renyah dan memakan daging panggang itu dengan senang hati.

"Aku tahu panggangan Yujie sangat kacau dan aku membuatkan ini untuk Mommy." Katanya. Luhan mengulum senyum dan mengusak rambut lebat Haowen dengan gemas.

"Kau masih kecil tapi sudah sangat perhatian heum? Mommy membayangkan betapa beruntung gadis yang akan Haowen sukai saat besar nanti. Ah, tidak! Mommy rasa Mommy akan sangat beruntung jika bisa menikah dengan Haowen nanti." Katanya jahil. Haowen bersemu tipis dan menggerakkan bibirnya menggemaskan.

"Tidak mau, Haowen akan mencari gadis yang mirip Mommy saja. Tidak mau Mommy. Nanti Daddy akan menatap menyeramkan pada Haowen." Katanya kesal. Luhan nyaris tersengal mendengar pernyataan lugu itu.

"Baiklah-baiklah, tapi Haowen harus tahu kalau Daddy sangat menyayangi Hao oke?"

Haowen mengangguk tegas. Dirinya bangkit setelah memberikan kecupan ringan pada pipi sang Ibu. "Hao harus ke sana sebelum Jackson mengambil perhatian Yujie lebih banyak. Hao sayang Mommy, Mommy harus tetap sayang Hao sampai besar nanti, ya?"

Haowen tumbuh menjadi lelaki kecil yang penyayang di balik raut wajah datar hasil kopian sempurna sang Ayah. Berapa banyak kebanggaan yang akan ia rasakan di masa depan nanti atas keberhasilan Haowen; akan selalu ia nantikan. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan terdekat bahwa Haowen sangat mengagumi sang Ayah, selalu menggaungkan bahwa ia sangat ingin menjadi lelaki dewasa sekeren dan setampan Ayahnya. Luhan tertawa kecil, masih sangat jelas di ingatannya ketika Haowen kecil menangis keras di gendongan sang Ayah yang kalang kabut menenangkan.

Dan sekarang mereka membangun sebuah hubungan kuat antara ayah-anak yang selalu membuat Luhan bersyukur.

"Jangan banyak tersenyum, nanti aku yang susah kalau banyak yang jatuh cinta."

Seorang lelaki dewasa berparas tegas duduk di sampingnya sambil menyodorkan segelas jus dan meletakkan sepiring potongan apel kupas ke pangkuannya. Luhan tersenyum geli.

"Iya, Yang Mulia Oh Se Hun. Hamba mengerti." Katanya jahil, membuat Sehun mengulum senyum susah payah.

"Minum ini." Sehun mendekatkan sedotan ke bibir Luhan dan Luhan meminum cairan segar berasa manis itu dengan senang hati.

"Eum."

"Makan ini juga."

"Eum." Luhan dengan senang hati pula menikmati potongan apel yang diangsurkan ke mulutnya. Matanya menatap penuh cinta pada Sehun yang kini tengah menahan senyum, sesekali mengalihkan perhatian dengan juga memasukkan potongan apel kedalam mulutnya. Perhatian suaminya makin bertambah dan Luhan seperti kembali menjadi gadis remaja karena tak bisa menghalau pipinya yang panas karena semu merah.

"Kau baik sekali." Kata Luhan sambil menatap Sehun jahil, Sehun mencuri sebuah kecupan nakal.

"Aku menghabisimu semalaman, anggap saja sebagai bayaran." Luhan terkekeh renyah.

Ketika selesai, semuanya tersingkir dan Luhan dengan nyaman menyandarkan diri ke bahu lebar Sehun. Menikmati cahaya matahari yang bersinar hangat menerpa halaman belakang yang biasanya sepi.

"Aku suka idemu mengadakan acara kecil-kecilan ini." Kata Luhan tulus. Sehun menggenggam jemari Luhan yang mengait lengannya dengan erat.

"Apapun akan aku lakukan untukmu, Sayang. Anggap saja sebagai perayaan kecil atas dirimu yang benar-benar pulih," Luhan tersenyum kecil. "dan sudah bisa mengaitkan kaki di belakang pinggangku semalam." Nada jahil yang membuatnya bersemu.

Luhan mencubit kecil pinggang liat Sehun dan Sehun melepaskan tawa renyah; membuat Luhan merasakan dirinya begitu damai.

"Semuanya berkumpul di sini dan aku merasa aku baru saja kilas balik. Rasanya baru saja aku dipecat dengan sangat menyebalkan, bertandang ke gedung perusahaan melamar pekerjaan, bekerja keras dan menikmati waktuku bersamamu dan juga Yeonjoo, konfrontasi kita sebelum kita menikah," Sehun terkekeh pelan. "moodswing menyebalkanmu dan rengekanmu tentang Baby Hao kita yang menangis saat kau gendong, kehadiran putri kecil kita yang sangat manis dan cantik, dan juga…"

Sehun tahu apa yang akan Luhan ucapkan.

"—masalah yang membuat kita terjatuh dan nyaris menyerah."

Sehun mencoba untuk tidak berbicara apapun, ia masih sangat benci mengingat hal itu. Luhan melepaskan pelukannya dan membawa Sehun untuk menatapnya. Dan Sehun tertegun ketika sebuah senyuman menawan tersemat pada bibir merah itu.

"Semua waktu yang aku habiskan bersamamu berlalu sangat cepat, dan tak ada satu pun yang aku sesali." Sehun merasakan matanya sedikit basah mendengar susunan kalimat itu. "Terimakasih, Sehunna… Aku sangat mencintaimu."

Sehun tak lagi bisa menahan diri, ia menarik tengkuk Luhan dan membawa istrinya kedalam ciuman panjang yang hangat. Kecupan-kecupan bergantian tanpa lidah dan liur, hanya untuk menyalurkan betapa dirinya sangat bersyukur memiliki Luhan untuk berjalan bersamanya.

"Itu kalimatku, jangan mengatakannya lebih dulu." Luhan terkekeh begitu manis.

"Bisakah tidak mengumbar kemesraan di depanku, Mama? Mataku sudah tidak polos lagi!" Yeonjoo menggerutu dengan wajah memerah sementara pasangan dewasa lain di sana sibuk melemparkan seringai jahil.

"Daddy! Cium Mommy lagi! Ayo! Ayo!"

Jika Haowen memutar bola matanya malas melihat adegan live itu dan si Kembar Park sibuk memalingkan wajah karena malu dan Chenle tertawa pelan, Yujie malah melompat-lompat antusias menyuruh ayah ibunya untuk kembali menautkan bibir.

"Kau mau?" Kata Sehun jahil. Luhan mendelik.

"Sudah cukup kau mengotori pikiran polos mereka." Sehun tertawa mendengar Luhan yang galak dan tak tahan untuk tidak mendaratkan kecupan, kali ini pada kening Luhan.

"Papa jangan lagi!"

Luhan menatap Sehun dengan bibir terkulum. "Aku harus bergabung dengan mereka sekarang. Simpan untuk nanti, mungkin kau bisa menghabisiku lagi nanti malam."

Luhan mengedipkan matanya sebelum bangkit menyusul Yeonjoo yang tampak merengek dan Yujie yang bergerak ingin memeluknya.

Meninggalkan Sehun dengan senyuman indah dan kekehan geli.

Luhan menatap belahan jiwanya dengan bibir terkurva indah. Batinnya memdesah bahagia; apa lagi yang aku inginkan?

.

.

.

Aku akan mencintaimu sebagai lelaki terpenting dalam hidupku.

Menghormati dan menyayangimu dengan jiwa dan raga, menyerahkan segala yang aku miliki untukmu.

Aku akan menjadi wanita yang menyokongmu saat terjatuh, mengingatkanmu saat berhasil, dan mengecap semua pahit dan manis kehidupan bersamamu.

Aku akan menyambutmu selelah apapun diriku, aku akan mempertahankanmu sesakit apapun itu, aku akan menjadi wanita yang selalu mendengar tangis dan tawamu.

Aku, Lu Han, berjanji akan menjadi teman hidup paling setia bagi dirimu, Oh Se Hun…

Sekarang, dan seterusnya, aku bersedia terikat dalam sumpah sehidup semati bersamamu.

.

END

.

.

.

Semoga ini layak dibaca.

Alasan update selamaaaaa ini adalah review kalian yang seakan membombardir saya dengan kalimat "harus happy-end". Ini imanjinasi saya yang kurang ajar karena saya berniat banting stir ke angst atau apa?! *eh

Harusnya ini Sad-Ending, beneran. Perkiraan negatif kalian sebelumnya saya benarkan, deh. Tapi apa daya, saya terlalu sayang untuk mengecewakan kalian, dan menyingkirkan kepuasan pribadi saya dulu. *hiks Rasanya kejam kalau awalnya fluff akhirnya angst. Tehe.

Ah, saya janjikan akan banyak angst dan sad-end setelah ini. :" Saya tidak merencanakan NC untuk sequel ini sejak awal, tapi ini sebagai hadiah untuk seseorang yang akan pergi jauh dan melepaskan kehidupannya menjadi HHS, kehidupanmu akan keras, setahun-dua tahun lagi mau nyusul! Ah, nangis lagi ini. Kakak, review dong. :"( Aku kurang baik apa?! Tahu dari orang lain dan aku masih bikinin ini, kan? *pojokcurhat Ada satu lagi tuh.

Maaf untuk yang sempat membaca chapter 6 sebelumnya dan malah saya hapus begini. :" Terimakasih juga yang sudah baca sampai selesai sebelumnya.

Ah, ya, besok ini authorapriltaste mau update, dan seseorang lagi, *secret. ^^ (P.s. Kalau jadi ya hehe)

.

.

.

Thanks for Everything. ^^

.

Anne, 2017-08-19