Disclaimer: All characters belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: headcanon, miss-typos, and other stuffs. birthday fic for uchiha (haruno) sakura dan uchiha sarada.

Note: terima kasih untuk kalian yang sudah review kemarin; NamiKura10, dewistyawati411, ElzaMarquez, Guest, coalacolacola, kakikuda. buat al, :) thanks karena sudah berusaha menjadi romantis, tapi imej romantisnya langsung hancur ketika aku baca pizza-nya valent :) terima kasih juga untuk yang sudah fav dan follow. kalau di chap kemarin kalian bertemu pov-nya sarada, di sini kalian akan bertemu sasuke dan sakura. dan, tolong. tolong banget bayangin sosok sarada di sini berpatok pada yang ada di movie boruto dan gaiden aja ya :) jangan sosok sarada yang pake heels dan baju syuper loli itu ehe :") enjoy reading!


.

untuk uchiha sarada

.

vorfreude

.


ii. the place we call home

Selalu ada masa di mana Sasuke bangun dengan sergapan spektrum terlampau terang, untuk kemudian inderanya menghidu bau petrikor yang masuk begitu saja, dalam penciuman, juga gemersik daun dan aliran air yang terasa begitu dekat. Ia tidak berselimut apa pun kecuali jubahnya sendiri. Alas tidurnya hanya seadanya, dan, meski ia bukan pengeluh akut akan hal-hal keras, Sasuke tetap ingin mengeluh tentang rasa sakit di punggungnya saat ia mulai meluruskan tubuh, membawanya duduk di antara rindang pohon yang menggugur.

Tapi masa-masa di mana ia bangun dengan sergapan harum teh dan sayup-sayup konversasi kecil tetaplah menjadi yang paling luar biasa. Ia tak akan merasakan sakitnya punggung karena tidur dalam keadaan terduduk, melainkan, harum bunga sakura. Yang bercampur dengan aroma tubuhnya sendiri di antara selimut dan bantal yang belum benar-benar tersusun rapi. Ia akan membuka mata dan menilik langit-langit kamar, tak ada cahaya menyilaukan, melainkan lampu redup. Yang membuatnya ingin terpejam kembali, kalau saja aroma teh dan suara sayup itu tak terdengar semakin keras.

"Aku saja yang membuatnya, Mama!"

"Eits, Sarada-chan harus mandi dulu. Sana, sana, serahkan semua ini pada mamamu, gadis kecil."

"Mama!"

Suara tawa berderai kemudian, menghilangkan kantuknya secara maksimal begitu saja. Sasuke memilih bangun dengan gegas-gegas, menapakkan kaki di atas lantai yang dingin—namun nyaman, melangkahkan kaki membuka pintu kamar.

Yang pertama dilihatnya adalah dua punggung.

Lambang khas miliknya terpatri di sana, di kedua punggung kecil yang punya gestur tipikal masing-masing. Yang sedikit lebih tinggi adalah favoritnya. Meski kurus dan terhitung kecil, Sasuke tahu ada banyak sekali kehangatan yang mampu diuar punggung itu. Dalam malam dingin atau bahkan kelam-kelam tak terjaganya. Sedang yang satunya, ia melihat punggung miliknya di sana. Yang kuat dan ambisius. Yang siap melindungi wanita di sebelahnya. Yang siap menjadikan punggung itu benteng akan segala perlawanan-perlawanan demi satu sosok yang dipanggilnya Mama.

Sasuke mengerti, ia tak banyak memerhatikan punggung tiap entitas yang dikenalnya. Ia lebih sering berjalan di depan dan meninggalkan yang lain, ia egois dan penuh akan harga diri, sehingga bertahun-tahun lamanya, tak membiarkan siapa pun berjalan di depannya. Ia yang akan memasang punggung, ia yang akan berjalan di depan, ia yang akan meninggalkan.

"Satu cangkir saja, ya, onegai Mama."

"Sarada-chan, kau tidak tahu takaran gula yang biasa Papa mau. Kalau kemanisan? Yang ada Papa tidak mau meminum tehnya, Sayang."

"Aku bisa melakukannya sesuai arahan Mama."

Satu tawa. "Sebegitu inginnya membuat teh untuk Papa?"

"M-Mama! Bukan begitu! Hanya saja—ini, kan, hari … ulang tahunku. Aku ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Dan aku tidak hanya akan membuat teh untuk Papa saja. Tapi juga untuk Mama."

Sasuke tak begitu banyak mengingat hal-hal yang mampu membuatnya menautkan senyum, hingga hatinya yang sudah lama beku mencair dalam batas-batas hangat. Hidupnya cukup perih untuk segala kelam yang (pernah) terjadi. Dan dendam. Dan penyesalan. Tapi, satu pagi sederhana ternyata mampu membawa senyum dan kehangatan itu. Meski ia baru bangun dan bermimpi akan dunia luar, akan kerasnya batang pohon tempatnya bersandar, dinginnya angin di saat ia tidur tanpa lapisan selimut, gelapnya hidup ketika ia tak punya tempat dituju untuk kemudian ia sebut sebagai rumah; punggung-punggung itu telah membuktikannya.

Ia punya rumah.

Sasuke selalu punya rumah yang membawakannya setangkup okaeri saat ia pulang.

.


Teh memang bukan minuman favoritnya, sebagaimana Sasuke atau Sarada yang menyukai minuman berkhasiat itu. Tapi, teh hari ini adalah istimewa. Seistimewa pagi yang ia taut bersama orang-orang tersayangnya. Tidak, memang tak ada gelak tawa atau konversasi penuh gebu seperti kasualnya sebuah keluarga. Keluarganya bukan tipe keluarga berisik, terlebih jika tengah sarapan seperti ini. Tapi denting-denting kecil dan suara napas yang berkonversi sudah cukup membuat Sakura merasakan keberadaan mereka di sini. Bersamanya. Dan itu sudah cukup.

"Boleh aku yang mencuci piring?"

Sarada yang pertama menguarkan ucapan. Ia memandang mamanya dengan tatap permohonan seperti beberapa waktu lalu, ketika ia meminta membuatkan teh untuk Sasuke. Tapi kali ini mata Sakura menatap tegas, menggeleng cepat dan segera bersiap untuk merapikan piring-piring yang sudah kosong. Sarada ingin merebutnya, namun Sakura lebih gesit.

Diam-diam, Sasuke memperhatikan mereka.

"Mama, ayolah. Ini, kan—"

"Ha. Jangan buat ulang tahunmu sebagai alasan, Sarada-chan. Kau hanya perlu duduk dan menikmati hari is-ti-me-wa-mu."

Sarada mengerutkan bibir. "Tapi, Mama …,"

"Hm hm." Sakura menggeleng dan bangkit berdiri. Ia melirik Sasuke sekilas yang tengah menatapnya dan Sarada. Pipinya sedikit merona, dengan cepat ia mengalihkan pandangan dan bergegas menuju wastafel.

"Mama—"

"—Sakura." Suara Sasuke beserta deritan kursi yang terdengar membuat Sakura menoleh. Di sana, Sasuke berdiri dan menatapnya ragu. Oniks itu kemudian melirik pada Sarada, kemudian kembali pada Sakura. Tiba-tiba saja, sebersit rona merah menyambang di pipi pucat Sasuke. "Bagaimana kalau … kita bersama-sama mencuci piring?"

Sakura mengingatnya, ketika itu, piring-piring di tangannya hampir tergelincir jatuh—kalau saja refleksnya tak terlampau bagus. Ia juga tak pernah lupa ekspresi Sarada yang begitu lucu, bibirnya membulat, netra berlapis kacamatanya berbinar. Tapi, kemudian, tawanya menyusul begitu saja. Gadis itu tertawa hingga wajahnya memerah dan matanya dipenuhi likuid netra. Sarada meraih lengan papanya dan menyusul Sakura menuju wastafel. Sasuke menaut senyum lebar. Dan ketika menatap Sakura, ia melesapkan terima kasih yang membuat wanita itu ingin menangis.

Sakura sudah sering mengingat banyak hal yang mampu menautkan senyumnya lebar-lebar akan hal-hal yang luar biasa. Hingga hatinya yang hangat semakin membuncah dan ingin meledak bahagia. Tapi, satu pagi sederhana ternyata mampu membawa senyum dan kehangatan yang melampaui batas hal-hal luar biasa itu. Wastafel, piring berserakan, dan rona-rona bahagia akan sentuh-sentuh kecil di setiap jemari. Lesap-lesap tawa, dan kasih sayang implisit yang menguar begitu kental.

Bahagia bisa sesederhana ini.

"Selamat ulang tahun, Sayang." Sakura merapat dan mengecup pipi Sarada. Membuat wajahnya semakin bahagia akan rona-rona.

Sasuke ikut merapat, sebelah lengannya terangkat dan mengetuk pelan kening gadis itu. "Terima kasih sudah melengkapi rumah kami."

Sarada tertegun, tangannya mengusap keningnya pelan. "… Papa."

Terima kasih sudah menjadi gadis kecil Mama dan Papa.

.

.

part ii – end.