Detective conan is not belong to me
Happy reading~
.
.
.
Chapter 4. Gomennasai
"Shiho, Jaga dirimu baik-baik ya sayang." Ujar Fusae yang berjalan disamping Shiho. Gadis yang diajak bicara itu hanya mengangguk dan tersenyum manis pada Okaa-sannya.
Merasa diabaikan, Shinichi yang menarik sebuah koper coklat dibelakang dua wanita tadi menggerutu dalam hati sambil ber'oi-oi' ria. Kesal, ia meninju pelan gantungan kunci Higo di tas Shiho yang dibawanya.
Tiba di depan gate keberangkatan internasional, mereka berhenti.
"Aku pergi dulu, Okaa-san.. jaga dirimu dan Hakase juga ya," pamit Shiho sembari memeluk Ibunya itu. Setelah puas memeluk ibunya, ia beralih menghampiri Shinichi. Tangan kurus itu mengambil alih gagang koper saat pemuda itu masih menatapnya intens. "Tampangmu jelek sekali." Ejeknya saat menangkap aura sendu di wajah Shinichi.
"Nani—"
"—Jaga dirimu juga, jangan terlalu memaksakan diri menangani kasus." Sela Shiho sesaat sebelum Shinichi protes. "Dan rindukan aku.." lanjutnya melengkungkan senyum dibibirnya.
Segera pemuda itu memajukan badannya untuk memeluk Shiho. "Tentu saja," ujar Shinichi pelan sembari mengelus rambut pirang gadis itu. "Kau juga rindukan aku. Dan yang terpenting jaga dirimu untukku." Lanjutnya kemudian melepas pelukannya dan menatap lekat Shiho.
Shiho mengangguk diiringi lukisan sendu yang samar diwajahnya. Teringat setelah ini harus menunggu beberapa bulan untuk bertemu Detektif jenius didepannya ini.
Gadis itu segera mengendalikan dirinya setelah mendengar pengumuman jika pesawat yang ditumpanginya akan segera take off. Ia melambaikan tangan singkat pada tiga orang tadi dan bersegera menaiki si burung besi.
Tit tit tit... tit tit tit...
Dengan melipat kedua tangan, Shinichi tertidur di meja kerjanya. Sama sekali tak terpengaruh oleh suara alarm jam digital didepannya. Terlihat sangat pulas karena keletihan.
Seseorang yang kebetulan lewat di koridor samping ruang kerjanya pun menghampirinya. Orang itu menepuk pelan lengan Shinichi agar tidak membuat pemuda itu kaget.
Perlahan Shinichi membuka matanya. Ia mengerang pelan dan meregangkan tangannya yang terasa kebas. "Jam berapa ini?" tanyanya masih setengah sadar.
"Jam setengah delapan." Jawab orang itu sambil menonaktifkan suara alarm yang belum berhenti berbunyi.
"Terumi-san?" sedikit terkejut Shinichi bertanya.
"Gomen ne, Shinichi-san," jawab Terumi tersenyum. "Maaf karena aku membangunkanmu. Tapi ini sudah malam, akan lebih baik jika kau pulang dan beristirahat."
"Ah, Daijobu.. aku malah berterimakasih." Ucap Shinichi beranjak berdiri dan dengan cepat membereskan berkas-berkasnya diatas meja.
"Oh ya, Apa kau sudah makan malam?" tanya gadis itu.
Shinichi yang sedang memakai mantel dan syalnya menoleh. "Um, Belum."
"Aku tadi bilang jika lebih baik kau segera pulang tapi akan lebih baik lagi jika perutmu diisi dulu sebelum itu. Aku yang traktir, sebagai permintaan maafku tadi." Ujar Terumi.
"Ah kau tidak perlu merasa bersalah, aku baik-baik saja, Terumi-san." Jawab Shinichi. "Aku akan makan dirum―" bunyi dari perut Shinichi memotong ucapannya. "Ah.. ," lanjutnya malu.
Terumi tertawa kecil melihat ekspresi malu Shinichi. "Hayaku." ajaknya sambil belajar keluar ruangan.
Mereka berdua selesai dengan acara makan dan berjalan beriringan menuju mobil Terumi. Gadis itu berjalan dengan merapatkan tangan di tubuhnya. Terlihat ia kedinginan. Shinichi yang merasa tidak enak hati segera menawarkan jaketnya. Tapi Terumi segera menolak.
"Tak apa. Pakailah, Terumi-san," ujar Shinichi. "Lagipula kau sudah memberiku tumpangan."
"Lalu bagaimana denganmu?" sebenarnya Terumi merasa tidak enak karena lupa membawa jaket.
"Aku masih punya ini," jawab Shinichi bangga sembari memegang syal hijaunya.
"Hanya dengan itu?" Terumi ingat bahwa Shinichi sering memakai syal itu.
"Kau tahu? Ini bukan syal biasa," jawab Shinichi nyengir. "Ayo, diluar sini semakin dingin."
Terumi berjalan mengikuti Shinichi ke mobil sambil masih berpikir apa maksud detektif muda itu. Bukan syal biasa?
Shinichi mematikan mesin mobil dan menoleh pada dokter muda yang duduk di kursi sebelah. " Arigatou, Terumi-san. Maaf aku merepotkanmu."
"Daijobu, Kudo-san." Jawab dokter itu tersenyum. "Ah ya, kapan mobilmu selesai diperbaiki?"
"Belum tahu, kemarin masih proses perbaikan. Mungkin besok aku akan ke bengkel untuk mengeceknya."
"Jika belum selesai, aku bisa memberimu tumpangan." Usul Terumi. "Jalan rumah kita searah lagipula."
"Iie, tidak perlu repot-repot, Terumi-san."
"Aku agak memaksa, Kudo-san." Tambah dokter muda itu melebarkan senyumnya.
"Sungguh tidak perlu, aku bisa naik taksi―"
"―Sepertinya tanganku agak terkilir karena latihan golf kemarin." Potong Terumi. "Jadi kau mau menolongku untuk menyetir sampai ke kantor, Kudo-san?" lanjutnya.
"Eh?"
Esok harinya..
Sebuah mobil hitam berhenti agak mendadak tepat di depan rumah Sang Detektif. Dokter muda itu kemudian mengambil ponselnya untuk memanggil pemilik rumah seraya keluar dari mobil untuk berpindah kursi. Tak lama Shinichi keluar dari rumahnya dengan agak tergesa yang segera masuk ke dalam mobil Terumi tersebut.
"Inspektur Megure sudah menelponmu?" tanya Terumi.
"Ya, lebih baik kita langsung ke lokasi." Shinichi menginjak gas dengan agak terburu-buru. "Mereka juga sudah memanggil ambulans. Korban kritis sudah dibawa ke rumah sakit. Aku hanya ingin melihat TKP."
"Baiklah," Terumi mengangguk. "Em, Omong-omong, mobilitasmu tinggi ya, Shinichi-san. Memang paling tepat jika aku memberimu tumpangan kan?"
"Ya, mungkin kau benar."
"Apa kau sudah memecahkan kasusnya, Shinichi-san?" tanya Terumi yang menyodorkan cola ke arah Shinichi yang duduk di bangku taman yang tak jauh dari lokasi TKP.
"Arigatou." Jawabnya sembari menerima cola dingin tersebut. "Aku masih belum menemukan bukti yang menguatkan deduksiku."
"Sou?" ujar Terumi mengambil duduk di sebelah Shinichi.
Shinichi meneguk colanya sampai tinggal setengah. "Ah.. ini segar sekali,"
"Ya, semoga ini membantu merefresh pikiranmu, Kudo-san."
"Hn, kuharap begitu."
"Ne.. Shinichi-san," panggil Terumi yang membuat Shinichi menoleh padanya. "Jika kasusmu sudah selesai bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
Agak bingung dengan pertanyaan Terumi, detektif ini sedikit memiringkan kepalanya. "...Kenapa tidak sekarang?"
"Nanti saja kalau pikiranmu sedang tidak bercabang seperti ini."
"...Ah, Baiklah."
"Omong-om―"
Trililiit.. ponsel Shinichi berdering. Sepertinya panggilan.
Sebelum menjawab panggilannya ujung bibir pemuda itu tertarik. Dengan nada semangat segera ia membuka mulut. "Moshi-moshi,"
Terumi menyadari perubahan ekspresi Shinichi yang jauh lebih semangat dan cerah. Siapa?, pikirnya.
"Ya, aku sedang menyelesaikan kasus yang sedikit rumit sekarang, Hn.. tapi tidak masalah. Sedikit lagi aku akan menyelesaik― ...Ah, apa maksudmu? Huh, kau memang selalu meragukanku. Percayalah pada kemampuan detektif tampan ini. Hahaha."
Pada saat itu juga Terumi mendapat panggilan yang mengharuskannya kembali ke rumah sakit kepolisian. "Em, Shinichi-san, maaf aku mengganggu pembicaraanmu tapi aku harus segera ke rumah sakit."
"Eh?" Shinichi memberi jeda pada panggilannya dengan Shiho. "Sekarang? Baiklah. Hati-hati, Terumi-san."
"Apa tidak apa-apa kutinggal?" tanya Terumi. "Sepertinya aku bisa sampai malam karena urusan ini. Atau kau mau bareng saja?"
"Ah, Tidak perlu. Masih ada beberapa tempat yang ingin kutuju. Kau duluan saja, Terumi-san." Jawab Shinichi. "Aku bisa pulang naik taksi atau bus nanti, tenang saja."
"Baiklah." Ada sedikit guratan kecewa diwajah dokter muda tersebut. "Matta raishuu."
"Hn, Matta ne."
`Siapa itu?` tanya suara di seberang telepon Shinichi.
Shinichi yang ingat teleponnya masih tersambung dengan gadis berambut pirang tersebut segera mendekatkan ponsel ke telinganya kembali. "Itu tadi Terumi-san."
'Terumi-san?' batin Shiho. Netra gadis itu melebar tiga milimeter yang tidak bisa dilihat Shinichi. `Dokter muda itu selalu bersamamu ya, Kudo.` nada suara Shiho agak susah dijelaskan karena sepertinya beberapa emosi terkandung disana.
"Hn, ya, kebetulan dia menangani kasus yang sama denganku." Jawab Shinichi semangat.
`Kau senang?` kata-kata Shiho lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan.
"Eh? Apa maksudmu―"
`―Jangan lupa dengan janjimu minggu depan, Kudo.` sela Shiho. `Tahu rasa jika kau lupa atau mengingkarinya.`
"Sou.. aku ingat, Shiho." Ucap Shinichi kemudian tertawa. "Hei, apa kau cemburu, nona manis?"
`Tidak.` jawab gadis itu singkat.
"Ah, aku tak percaya―"
`―Sudah ya, detektifku yang tampan,` potong Shiho lagi, kali ini nada sarkasmenya terlalu kentara untuk tidak diindahkan Shinichi.
"A―"
`Jaga kesehatanmu. Sampai jumpa.`
"Eh, Chotto―" Shinichi menggelengkan kepalanya seraya menghela napas. Tak habis pikir dengan kelakuan usil ilmuwan cantik itu. Tapi sedetik kemudian ia malah tersenyum. Kembali mengingat kata-kata Shiho tadi―detektifku yang tampan―. Walau tadi nadanya sarkasme―tapi tetap saja, baru kali ini gadis pirang strawberry tersebut mengucapkan kata itu. Tampan? Duh, Ingin sekali ia mendengar kata-kata itu lagi. Sekali saj―
"―Chotto, Satoru!" teriak seorang bocah laki-laki kepada temannya yang sebaya, yang secara tidak langsung menyela apa yang dipikirkan Shinichi.
'Dasar, bocah-bocah SD ini menggangu saja,' batin Shinichi yang bertampang kesal karena keasyikannya terganggu.
"Lihat, Kenta!. Aku menemukan banyak daun momiji yang gugur disini."
"Wah, kau benar, berarti sudah cukup. Ayo kita main dengan ini." ajak Kenta. Kedua bocah tadi lalu serius menyusun lembaran daun momiji secara berjejer. Kemudian mereka bersuten untuk menentukan siapa yang duluan bermain.
"Aku pilih bagian luarnya menghadap atas." Ujar Satoru.
"Kalau begitu aku menghadap kebawah." saut Kenta. "Oke. Mari kita mulai." Kemudian daun-daun yang bagian luarnya menghadap keatas dibalik dengan cepat oleh Kenta agar menghadap kebawah. Dan sebaliknya daun yang bagian luarnya menghadap kebawah dibalik agar menghadap keatas oleh Satoru. Mereka seperti berebut siapa yang akan selesai duluan dan saling melindungi daun milik-masing-masing.
Shinichi yang tadi agak kesal malah tertarik dengan permainan anak-anak tersebut. Beberapa saat ia mengamati cara bocah kecil tadi membalikkan daun tersebut dengan bantuan daun lainnya. Ya, ia memang tertarik, tapi bukan tertarik untuk ikut bermain dengan dua bocah tadi melainkan sepertinya ia mendapat pencerahan dengan kerumitan kasus yang ditanganinya tadi.
Pemuda itu menyunggingkan senyum. Segera ia beranjak berdiri dari bangkunya, berjalan menuju dua bocah tadi dan menepuk topi salah satu anak yang bermain tadi. "Terimakasih, Kenta, Satoru.. mungkin saat kalian besar nanti, bisa menjadi detektif hebat." Ujarnya sambil berlalu.
Dua bocah tadi hanya bengong dan menghentikan permainannya sementara waktu.
"Kau kenal Oji-san tadi?" tanya Satoru pada Kenta.
Yang ditanyapun hanya menggeleng tak mengerti.
Bibir merah muda yang melengkung itu melengkapi aura manis wajah putihnya. Manik biru abunya bersinar kala memandangi bukit hijau yang dapat ia lihat dari kaca jendela taksi yang ditumpanginya. Tetapi dua detik kemudian wajahnya berubah datar. Ia menghela napas. Fusae dan Hakase tidak bisa menemaninya kesini karena kesibukan masing-masing. Tapi, bukan hanya itu. Ia agak kesal karena Shinichi tidak bisa menemaninya kesini―apalagi kalau bukan kasus―. Padahal pemuda itu telah berjanji padanya. Sejak tiba di jepang kemarin ia belum melihat batang hidung pemuda itu.
"Dasar..." gumamnya pelan.
Ia pun sampai di hamparan rumput hijau yang dilihatnya sebagai bukit pada perjalanan tadi. Langkahnya pelan sebelum berhenti tepat di depan nisan bertuliskan MIYANO AKEMI. Dengan sebuah senyum kecil, Shiho meletakkan sebuket bunga matahari di depan nisan tersebut. Beberapa saat ia hanya diam memandang marmer persegi berwarna hitam tersebut.
"Kabarku baik, Nee-chan." Bisiknya pelan. "Gomennasai, sudah lama ya. Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, terutama tentang seseorang." Lagi-lagi Shiho tersenyum kecil, tapi kali ini penyebabnya karena ia sedang memikirkan seseorang tersebut.
Anginpun berembus lembut. Mengibarkan rambut pirang Shiho perlahan. Ia merasa seakan kakak perempuannya itu sedang mendengarkannya. Senyumnya mengembang, dan diambilnya posisi duduk didepan 'Nee-channya'.
"Wah, sepertinya kau sangat tertarik kalau aku menceritakan ini ya?" tanya Shiho yang tentunya tidak memerlukan jawaban. "Akan kuceritakan bahkan jika panjangnya akan sepanjang novel." Tawanya renyah. Dan iapun mulai bercerita sepanjang beberapa bab novel romansa remaja yang pernah ia baca.
Tiba-tiba manik biru Shiho berkaca-kaca. "Iie, Nee-chan. Tenang saja, aku memang ingin menangis. Bolehkah? Aku bersumpah ini bukan tangis sedih melainkan tangis bahagia. Hanya saja, yang kusesalkan bahwa kau tidak ada untuk mendampingiku disaat bahagiaku nanti. Ah, walau memang aku belum tahu kapan hari bahagia itu."
Setitik air bening jatuh mengalir dipipinya, yang segera diusapnya itu. "Wakatta.." ucapnya pelan. "Setelah ini aku tidak akan menangis, Nee-chan. Maafkan aku." Gadis ilmuwan itu lalu tersenyum dengan menampilkan giginya yang rapi. Sembari beranjak berdiri, tangannya membersihkan debu yang tertempel di roknya saat ia duduk di rerumputan.
Seusai berpamitan pada Nee-channya, Shiho berjalan menyusuri kompleks tersebut. Terkadang ia mendongak untuk melihat keatas, kalau-kalau hujan jatuh. Ia lupa bawa payung. Sedari pagi memang langit tidak mendung tapi juga tidak cerah.
Saat menuju gerbang keluar, ia melewati beberapa orang yang memang sedang mengunjungi pemakaman tersebut. Sepertinya ia pernah melihat salah satu orang yang membawa bunga dan memakai topi hitam tersebut. Tapi siapa?
Terlihat orang itu serius sekali saat menatap batu nisan didepannya. Sepertinya ia sedang berdoa. Saat Shiho berjalan melewati orang tersebut tepat saat yang diamati selesai dengan kegiatannya dan berbalik badan.
Sejurus kemudian Shiho dan orang itu saling bertatapan. Keduanya mengernyit. Tapi Shiho dibonusi dengan kaget. "...K-Kau." Reflek telunjuknya mengarah pada laki-laki itu.
Kedua ujung alis laki-laki tersebut bertautan karena perlakuan Shiho terhadapnya. Iapun berdeham. "Sumimasen,"
"Ah, Gomennasai," ujar Shiho cepat sembari sedikit membungkuk.
"Apa kau mengenalku?" tanya laki-laki itu.
"Tentu saja." Sahut Shiho semangat. "Eh, bukan. Maksud saya tidak. Tapi, saya tahu anda, Ryusuke Higo-san." Lanjutnya dengan wajah berseri.
"Apa kau penggemar?"
"Ya, betul. Saya memang penggemar anda Higo-san. Ah, juga Big Osaka."
"Sou desu ne?" kali ini Higo tersenyum ramah.
"H-Hai.." ucap Shiho terbata saking senangnya. "Maaf kalau boleh tanya disini.. anda.."
"―Maksudmu siapa yang aku kunjungi?"
Shiho mengangguk.
"Dia adalah teman setimku dulu." Jawabnya sambil mengambil langkah.
Reflek Shiho pun mengikutinya dan bertanya. "Apa dia..?"
"Ya,―" ucapan Higo terpotong karena tiba-tiba banyak titik air turun dari langit. Hujan turun dengan derasnya beberapa detik kemudian.
Shiho pun berlari mendahului Higo menuju tempat berteduh. Dibelakangnya Higo ikut berlari menyusul Shiho yang berhenti dibawah pohon.
"Eh?" Shiho sedikit terkejut Higo tiba-tiba memayunginya. Ia baru ingat, tadi memang Higo-san membawa payung.
"Kau naik apa?"
"Taksi,"
"Biar kuantar ke taksimu,"
"Sou?" wajah Shiho berubah senang. "Arigatou gozaimasu,"
"Dou itashimashite." Jawab Higo sambil tersenyum.
Mereka pun berbagi payung ditengah terjangan hujan. Sampai diluar kompleks Higo mencari taksi yang mana yang Shiho maksud.
"Mana taksinya?"
"Ah, tadi aku hanya menyewanya untuk kesini. Aku akan telpon taksi yang lain."
"...?" Higo mengernyit. "Tadi kukira..., ah bagaimana kalau kuberi tumpangan?"
"Tidak perlu, Higo-san. Rumahku di Beika, jadi pasti tidak searah denganmu."
"Beika? Ya benar memang tidak searah."
"Tenang saja. Aku baru saja menghubungi taksi. Akan sampai dalam sepuluh menitan. Silahkan anda duluan saja tidak apa-apa."
"Bisa saja seperti itu." Jawab Higo. "Tapi aku bukan pria seperti itu. Meninggalkan wanita sendirian disini, hujan pula." Ujarnya nyengir. "Akan kutemani sampai taksimu datang."
"Ne? A-Arigatou,"
"Siapa namamu?"
"Miyano Shiho."
"Baiklah, Miyano-san. Apakah kau butuh tanda tanganku?" ucap Higo. "Ah, bukannya aku narsis atau apa, tapi biasanya penggemar kan seperti itu ya kan?"
Shiho nyengir. "Anda benar, tapi sebenarnya saya sudah punya tanda tangan anda dirumah."
"Sou?" terlihat Higo senang.
"Hn," angguk Shiho. "Sepertinya taksi saya sudah datang, Higo-san." Tambahnya mengalihkan pandangan ke jalan raya.
"Syukurlah. Pakailah payung ini agar kau tidak kehujanan ke taksimu." Pinta Higo menyodorkan payung kearah Shiho.
"Demo―"
"―Sampai jumpa, Miyano-san." Higo segera berlari menuju mobilnya yang memang parkir di dekat gerbang masuk.
"Arigatou," seru Shiho.
Dan Higo membalas seruan gadis itu dengan senyum ramahnya.
Esok harinya...
"Apa sudah semua, Hakase?" tanya Shiho memastikan sekali lagi bahwa tak ada yang ketinggalan.
"Ya, Shiho-kun, aku hanya membawa sedikit peralatan. " jawab Hakase mengeluarkan kotak berisi alat ciptaannya dari bagasi belakang mobil VW kuningnya.
Shiho yang memang sedang mengambil cuti beberapa hari di Jepang menyempatkan diri untuk menemani dan membantu Hakase di pertemuan sekaligus pameran penemuan dari Ilmuwan dan Profesor se-Jepang yang diadakan setiap tahunnya.
Selesai membantu menyiapkan keperluan Hakase, Shiho membuka suara. "Apa ada yang perlu kubantu lagi, Hakase?"
"Kurasa sudah cukup, setelah ini biar aku saja yang mengurusnya." Ujar Hakase. "Ah, kalau kau bosan, kau bisa berkeliling sampai beberapa jam kedepan."
Shiho mengangguk. "Baiklah," ia kemudian mulai berkeliling meninggalkan Hakase yang memang tidak mau diganggu dengan alat-alat penemuannya.
Sepertinya ia sudah mengelilingi setengah dari gedung pertemuan yang cukup luas ini. Kepalanya menoleh kekiri dan kekanan. Mencoba menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya, tapi sejauh ini nihil. Tapi saat menemukan stand penemuan kimia, ia berhenti sejenak. Tertarik untuk mendekat dan bertanya-tanya lebih detail yang menyangkut hal tersebut. Matanya tak lepas memandangi informasi tentang obat-obatan kimia yang baru ditemukan.
Tiba-tiba disampingnya, berdiri seorang pria berusia kepala lima ditemani seorang anak buah yang setia berjalan dibelakangnya. Orang itu lalu bertanya pada para profesor di stand tersebut. "Hmm menarik juga. Bisakah saya mendapat informasi lebih dari projek ini?" katanya dengan suara yang berat.
"Ya, Tentu saja." Seorang profesor yang terlihat lebih muda menjawab antusias. "Kami akan sangat senang jika Profesor Arai tertarik dengan projek kami." Jawab ilmuwan tersebut. "Bagaimana kalau anda meninggalkan kartu nama dan kami akan menghubungi anda nanti?"
Shiho reflek menoleh pada pria yang disebut profesor tersebut. "Chotto.." reflek juga Shiho membuka mulut. "Profesor Arai..? yang terkenal itu.." lanjutnya masih dengan muka bertanya.
Professor Araipun menoleh pada Shiho disampingnya. "Ya?"
Ajudan Profesor Arai ikut bertanya. "Apa nona mengenal atasan saya?"
"Sumimasen, saya Miyano Shiho. Saya sudah tahu banyak hasil penemuan anda. Itu semua mengagumkan, Profesor." Ujar Shiho tersenyum.
"Ah, berarti anda bukan kenalan atasan say―"
"―Chotto." Prof Arai tiba-tiba menyela. "Kau tadi bilang nama keluargamu Miyano? Benar?"
"Eh? Hai'." Jawab Shiho. "Memang kenapa, Profesor?"
"Maksudmu Atsushi Miyano dan Elena Miyano?" masih dengan raut serius Profesor itu bertanya.
"Sou desu,"
"Benarkah?" tanya Professor Arai lagi dengan raut senang. "Jadi ini putri Atsushi," lanjutnya tertawa kecil.
"Nande, Profesor?" raut bingung Shiho tergambar jelas di wajahnya.
"Kau boleh percaya boleh tidak, Nona. Tapi aku adalah teman waktu muda dulu dengan ayahmu, bahkan juga ibumu. Lebih tepatnya satu angkatan kuliah di inggris."
"Sou desu ka?" Shiho yang agak tak percaya terlihat senang.
"Tentu saja." Profesor itu menangguk mantap. "Melihatmu ditempat ini, apa nona sedang ikut pertemuan atau lainnya?"
"Ah, saya menemani ayah saya―ayah angkat―yang juga profesor, ia sedang ikut pameran. Karena saya lebih tertarik dengan dunia kimia makanya saya berada di stand ini." Shiho tersenyum tipis.
"Oh, begitu. Jadi nona juga tertarik dengan dunia ini persis seperti Atsushi ya. Omong-omong apa saya mengenal ayah angkat nona? Siapa namanya?"
"Agasa Hakase."
Prof Arai seperti sedang mengingat-ingat. "Hmm, sepertinya saya tidak begitu mengenalnya. Tapi mungkin saya pernah bekerja sama dengannya. Karena banyak sekali ilmuwan yang pernah saya ajak kerjasama." Ujarnya tertawa renyah.
"Sokka. Mungkin saja."
"Oh ya, jika nona memang tertarik dengan suatu projek seperti ini akan sangat senang jika saya bisa bekerja sama dengan nona. Putri dari Atsushi Miyano."
"Saya merasa tersanjung anda mengatakan itu, Profesor. Kebetulan saya sedang melakukan penelitian di Amerika untuk Thesis saya. Mungkinkah saya bisa memperoleh informasi tambahan terkait penelitian saya?"
"Ya. Tentu saja." Prof Arai mengiyakan. "Tapi untuk bidang kimia, lokasi penelitian kami bukan di Tokyo tapi berada disini, Osaka, lokasinya tidak begitu jauh dari gedung ini. Jika anda butuh sesuatu mampirlah, nona." Ujarnya ramah dengan suara berat yang khas.
"Baiklah, Profesor."
"Tanaka-san." Prof Arai memanggil ajudannya yang dijawab dengan anggukan dari Tanaka-san.
"Ini, nona." Tanaka-san menyodorkan sebuah kartu nama dari Prof Arai.
"Arigatou gozaimasu." Shiho berterimakasih sembari sedikit membungkuk.
"Tidak masalah, saya juga ingin membicarakan sedikit hal tentang Atsushi." Ujar Prof Arai sambil mengambil langkah. "Kalau begitu saya duluan, nona Miyano. Masih ada yang perlu saya lihat."
"Hai'."
"Ne, Shiho-kun. Kau mau makan apa siang ini?" melihat Shiho yang sedari tadi diam dan berpikir serius, Hakase berinisiatif memecah keheningan di dalam mobil. "Sushi? Atau makanan barat?" acara mereka tadi memang telah selesai dan sekarang waktunya mengisi perut.
"Terserah, Hakase." Shiho mengalihkan pandangan dari jendela samping ke depan mobil. "Sebenarnya aku tidak begitu lapar."
"Ei, yang benar saja, ini sudah jam 2 siang. Kau harus mengisi perut agar tidak sakit nanti."
"..."
"Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan, Shiho-kun?"
"Hakase.. Apa kau tahu Professor Arai?"
Yang ditanya memasang mode berpikir, dan saat ia ingat langsung berdecak. "Nee. Bukankah itu Profesor yang terkenal diantara para ilmuwan di negara kita? Bahkan kupikir luar negeri juga."
"Ya. Kau benar, Hakase."
"Memangnya kenapa?"
"Tadi aku bertemu dengannya. Dan Prof Arai bilang, beliau kenal baik dengan... Miyano Atsushi dan Miyano Elena."
"Benarkah? dengan ayah ibumu?"
Shiho mengangguk. "Hn. Sebenarnya beliau ingin membicarakan sedikit tentang mereka padaku. Tapi aku tidak tahu pasti apa itu. Sejujurnya, aku tak tahu hendak menemuinya atau tidak."
"Kenapa? Bukankah kau dari dulu ingin mencari tahu tentang orangtuamu?"
"Karena..." Gadis bermanik biru abu itu berhenti sejenak dan menatap genggaman tangannya diatas pahanya. "...Sebut saja aku pengecut."
Ya, ia memang pengecut. Karena ia takut. Ia takut tak sanggup menahan kesedihannya. Hanya dengan melihat kaset rekaman suara peninggalan ibunya saja, sekumpulan air bening memenuhi pelupuk matanya, siap untuk ditumpahkan mengaliri pipi beningnya. Apalagi jika mendengar suara rekaman ibunya, ia bisa menangis dalam diam didalam kamarnya sampai tertidur. Yah, itulah sisi Shiho yang tak banyak orang tahu. Karena ia telah memasang benteng tebal di luar, menyatakan diri jika ia gadis kuat yang sangat―sangat mandiri.
Dan sekarang, ia tak tahu harus bagaimana.
Kakinya melangkah antara yakin dan ragu. Tapi tanpa sadar ia telah masuk ruangan itu. Shiho menyapa pemilik ruangan dengan membungkukkan badan 45 derajat.
"Selamat datang, nona Miyano."
"Konnichiwa, Professor."
"Akhirnya anda berkunjung kesini. Saya sudah menunggu."
Shiho hanya tersenyum tipis menanggapinya. Setidaknya ia tidak ingin menyesal untuk datang kesini.
"Anda ingin minum apa?"
"Apa saja, Prof."
Prof Arai tertawa renyah melihat gerak gerik Shiho. Sepertinya gadis itu sudah tak sabar dengan topik Keluarga Miyano. "Baiklah.."
"..."
Langkah gadis ilmuwan tersebut akhirnya terhenti disebuah halte yang masih sepi karena jam sibuk belum saatnya. Sinar mata gadis tersebut terlihat redup. Ekspresi wajah Shiho sulit dijelaskan, tapi yang pasti gadis itu sedang bingung. Banyak hal sedang ada di pikirannya.
Teringat pembicaraan dengan Professor yang juga teman orang tuanya itu.
'Apa anda tahu tentang projek yang pernah dikerjakan orangtua anda, nona Miyano?'
'Apa orangtua anda mewariskan projek tersebut?'
'Anda tahu? Jika projek itu adalah pembuatan obat mematikan sepanjang sejarah umat manusia?'
'Bisa anda katakan secara detail tentang obat itu? Saya bisa menjanjikan imbalan yang setimpal jika anda bisa, nona.'
'Apakah anda berkeinginan mengambil keuntungan sendiri dengan projek tersebut untuk diri anda sendiri?'
Dari banyak pertanyaan tersebut hanya kata pendek, Tidak atau Maaf yang keluar dari mulut Shiho. Sebab ia memang tidak tahu secara detail tentang projek itu. Hanya saja, ia memang pernah mendengarnya. Terlebih lagi, bukannya mendapat setidaknya sedikit saja cerita tentang seperti apa masa muda orang tuanya malah panen pertanyaan membingungkan yang didapatnya.
Disaat seperti ini yang dibutuhkannya adalah tempat bersandar atau tempat ternyamannya untuk beristirahat. Terutama seseorang yang bisa diajaknya berbagi pikiran, bahkan berdiskusi dan memecahkan masalahnya. Tetapi masalah lainnya adalah orang ini tidak mengangkat teleponnya. 'Mungkin ada kasus rumit sekarang,' batinnya. Ini kali keduanya menekan tombol hijau di nomor Kudo Shinichi. 'Sekarang ini aku membutuhkanmu, Kudo,' bisikknya dalam hati. Dan, akhirnya ia menyerah. Memutuskan untuk bicara langsung pada detektif super sibuk itu nanti setelah sampai Tokyo.
"Huh, keuntungan?" Shiho mendengus sembari berjalan menyusuri trotoar kembali ke restaurant dimana Hakase berada. "Yang benar saja―"
"―Hai, nona manis." Sapa seorang laki-laki yang entah darimana sudah berjalan disampingnya. Disusul seorang laki-laki lainnya yang menyeringai kearahnya. Dua orang tersebut kelihatannya adalah komplotan. "Ayo ikut kami." Sahut salah satu dari mereka.
Tentu saja Shiho takut. Tapi ia tidak bisa menunjukkannya karena ia bertekad untuk melindungi dirinya. Ia malah membuka suara tegas. "Minggir, Jangan ganggu saya." Sergahnya sambil mempercepat langkahnya. "Akan kupanggil polisi."
Dua orang pria tersebut bukannya menciut dengan ancaman Shiho malah tertawa. "Sudahlah ayo ikut kami, nona. Kami tahu tempat bagus."
Saat salah satu pria tersebut mencoba menarik sebelah tangan Shiho, sebelah tangan gadis itu masih berusaha menghubungi seseorang dengan ponselnya. Gadis pirang ini mencoba melawan sebisanya, karena ia memang tidak menekuni satupun olahraga bela diri. Semakin lama pria itu semakin memaksa dan menarik Shiho menuju mobil mereka. Shihopun mencoba melepaskan diri dengan berteriak.
Mereka bertiga hampir sampai di mobil penjahat itu, ketika seseorang datang melancarkan tendangan ke arah salah satu penjahat. Orang itu lalu memberikan pukulannya lagi. Sehingga salah satu penjahat tersungkur. Orang itu lalu menoleh pada Shiho yang masih mencoba melepaskan diri dari penjahat yang tersisa, hingga ia berhasil melepaskan diri setelah memberikan tendangan tepat di tulang kering penjahat itu. Tapi sejurus kemudian ia hilang keseimbangan karena dorongan penjahat itu dan terpeleset dari trotoar jalan. Poselnya yang masih mencoba melakukan panggilan mendadak mati karena benturan yang lumayan keras. Kepalanya membentur aspal, dan setelah itu ia tak sadarkan diri sambil bergumam lemah. "...Higo-san..."
"―Nona!"
"Bagaimana keadaannya?" nada khawatir tersirat di suara Hakase.
"Tidak ada luka serius di kepalanya. Hanya saja untuk penyembuhan kakinya agak lama." Jawab seorang dokter berkacamata tersebut.
Hakase menghela napas, sedikit lega.
"Kalian boleh langsung melihatnya." Tambah dokter itu.
"Hai. Arigatou." Hakase dan Higo-san langsung berjalan memasuki kamar dimana gadis ilmuwan itu terlihat masih memjamkan matanya.
Dua laki-laki itu berdiri disamping ranjang Shiho. Sibuk mengamati keadaan Shiho.
"Arigatou, Higo-san.." Hakase menoleh pada pemain sepakbola disampingnya. "Jika tidak ada kau, bagaimana dengan Shiho-kun.." nada Hakase berubah sedih.
"―A, tak masalah, Agasa-san. Kebetulan saya lewat daerah sana karena lapangan latihan kami disekitar situ. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya memang dilakukan." Jawab Higo tersenyum menenangkan.
"Sekali lagi, terimakasih."
"Yang terpenting sekarang Miyano-san dapat segera pulih."
"Ya, tentu saja." Ujar Hakase kembali memandangi dimana putri angkatnya itu sedang terlelap.
Pagi ini Shiho merengut saat mendapati bahwa seseorang yang dicarinya tidak ada di kamar ini. Sejak dua hari yang lalu ia berada di kamar rawat ini. Kenapa detektif tidak peka itu belum menjenguknya?
Padahal ia sudah menghubungi pemuda itu. Yah, benar. Ponselnya kan rusak. Apa mungkin Shinichi menghubungi nomornya tapi tidak bisa? Tapi kan ia bisa menghubungi Hakase atau Okaa-san. Wah, dasar kau ya, detektif prodigy itu. Muka Shiho berubah tertekuk karena kesal.
"Shiho, ayo minum obatmu dulu." Ujar Fusae. Okaa-sannya yang memang khawatiran, begitu mendengar anak gadisnya ini masuk rumah sakit langsung memesan penerbangan tercepat yang bisa didapatnya untuk ke Osaka.
"Hn," Shiho mengangguk dan memasang senyum. "Arigatou."
Tiba-tiba pintu ruangan rawat Shiho diketuk. Dan begitu terbuka muncullah seorang laki-laki. Higo-san kembali mengunjungi kamar Shiho. Dengan sebelah tangan membawa sebuket kecil bunga bluebell. Reflek, Higo membungkuk memberi salam kepada Fusae. Wanita itu membalas dengan raut ramah.
"Sumimasen, Apa saya mengganggu?"
"Tentu saja tidak." Fusae tersenyum. "Ayo silahkan duduk."
Yang dipersilahkan segera mengambil kursi di samping ranjang Shiho. "Ah, saya membawa ini." ujarnya menyodorkan buket itu.
Fusae menerimanya dan menaruhnya di vas dekat jendela. "Arigatou gozaimasu, Higo-san. Atas apa yang telah anda lakukan."
"―Dou itashimashite. Itu bukan masalah, Fusae-san."
"Terimakasih telah menjenguk saya, Higo-san. Dan terimakasih banyak atas pertolongan anda waktu itu. Sejujurnya, saya banyak merepotkan anda." Ujar Shiho.
"―A, tentu tidak, Miyano-san." Jawab Higo tersenyum tulus.
Sehari kemudian...
Shinichi mengambil duduk di sebelah kanan ranjang gadis berambut pirang yang sedang tertidur lelap itu. Wajahnya sangat cemas dan khawatir. Tapi kemudian diselingi lega karena sepertinya gadis itu akan baik-baik saja, lihat saja raut damainya yang sedang terlelap.
Sebelah tangannya mengelus pelan tangan kanan Shiho yang tidak terpasang infus. "Gomen ne.. Shiho."
Beberapa lama Shinichi betah memandangi Shiho yang masih memejamkan matanya tersebut. Sembari sesekali membetulkan selimut gadis itu. Kepalanya menoleh kekiri dan mendapati sebuah vas diatas meja yang terisi bunga bluebell mungil nan cantik. Sepertinya ia merasa sesuatu yang kurang pas disana. Sedetik kemudian ia bangun dari kursi dan mencari sesuatu di laci bawah meja tersebut. Dengan satu tangan, Shinichi memindahkan si mungil bluebell ke wadah plastik yang ditemukannya. Lalu tentu saja mengisi vas tadi dengan bunga matahari yang dibawanya sedari tadi. Nah.. sekarang baru pas, pikirnya senang. Orang seperti apa yang membawa bunga bluebell untuk orang sakit, heh?
Tiba-tiba Shiho terbangun karena suara yang ditimbulkan Shinichi saat menata meja disamping ranjang Shiho.
Disaat Shiho masih sibuk mengerjapkan netranya beberapa kali, Shinichi menghampirinya dan membuka suara. "Ah, Gomen..," ujarnya kembali duduk di kursi tadi. "Apa aku membangunkanmu?"
Agak terkejut melihat si 'detektif tampan' sudah ada dikamar rawatnya, netra Shiho melebar. Tapi secepat kilat ia mengendalikan diri dan menumpahkan rasa kesalnya. "Kau sudah tahu, tapi masih bertanya." Sedikit nada sarkastik itu kembali menyapa pendengaran detektif itu. Tentunya nada sarkastik yang dirindukannya. Jika gadis itu bisa mengeluarkan kata-kata seperti biasanya berarti ia baik-baik saja, kan?
"Gomennasai, nona Shiho." Lanjutnya. "Maafkan aku.. Bagaimana kakimu? Apa terkilirnya parah?"
"Kau bisa lihat sendiri."
"Um, sepertinya kau belum bisa jalan sendiri ya?"
"Begitulah." Jawab gadis itu menghela napas. "Dan juga disini membosankan, Kudo."
"Apa kau ingin keluar sebentar?"
"Hn,"
"Baiklah ayo kutemani."
"Kalau begitu tolong ambilkan kursi roda―"
"―Naiklah," perintah Shinichi.
"Eh?"
"Ayo cepat naiklah."
"Kau serius? Yang kubutuhkan kursi roda, Kudo."
"Aku akan jadi kursi rodamu kali ini,"
Sejenak Shiho menatap Shinichi dalam diam. "Baiklah, kau sendiri yang menawarkan diri, Kudo." Segera Shiho menempatkan diri di punggung Shinichi yang sedari tadi merendah untuk menyiapkan punggungnya agar Shiho naik.
Kali ini mereka berdua berada di dalam lift untuk turun. Shiho mengeratkan tangannya pada sekitar leher Shinichi agar tidak jatuh. Meski awalnya menolak, tapi jujur ia senang digendong Shinichi seperti ini. Merasakan hangatnya punggung Shinichi membuatnya nyaman.
"Apa aku berat?" Shiho memecah keheningan didalam lift yang hanya ada mereka berdua.
"Tentu saja. Aku merasa sedang menggendong beberapa kantung beras." ucap Shinichi tertawa kecil.
Jawaban detektif prodigy itu sontak membentuk empat siku di dahi Shiho. Disusul dengan pukulan sebelah tangan Shiho di kepala Shinichi, dengan pelan tentunya.
"Ei, Nande?"
"Kau ini.." gerutu Shiho. "Setidaknya sangkal pertanyaanku tadi. Dasar tidak peka.."
"Aku jujur, Shiho. Kau tahu, kau itu bahkan lebih sarkas daripada aku."
Meskipun itu benar, tapi Shiho merasa kesal. "Turunkan aku." Perintahnya.
"Tidak akan." Jawab Shinichi mantap.
"Aku serius."
"Apa kau kesal? Baiklah aku minta maaf. Tapi aku tidak akan menurunkanmu. Aku tidak yakin kau bisa berjalan sendiri ke kamarmu dengan kondisi ini."
"..."
"Kencangkan sabuk pengaman. Sebentar lagi penerbangan akan mendarat di taman rumah sakit." Ujar Shinichi bernada ceria seperti seorang pramugara.
Shiho pun hanya bisa tersenyum karenanya. Ia lalu menghela napas. "Gomen,"
"Hn." Shinichi mengangguk mendengar permintaan maaf gadis manis ini. "Kau memang berat, Shiho. Tapi jauh lebih berat perasaanku padamu. Mungkin di dunia ini tidak ada timbangan yang bisa mengukurnya. Hehe." Lanjut pemuda itu yakin dengan menampilkan deretan giginya.
Shiho merespon dengan memutar bola matanya plus sebuah pukulan yang lebih keras dari sebelumnya.
"Oi-oi―"
.
.
.
To be continued... :)
.
.
.
A/N:
Konnichiwa minna~ lama tak jumpa yaa hehe
Apa kabar kalian? Semoga sehat2 ya XD
Wah, akhirnya saya kembali lagi di fic ini :) :) maafkan saya yang lamaaa sekali ga update, hal ini karena kesibukan di dunia nyata yang sangat menyita waktu T.T Gomennasai~ *bow* maafkan juga kalau chapter ini terlalu panjang atau alurnya terlalu cepat dan banyak typo ,
Arigatou gozaimashita~ utk yg sudah fav follow n review, kalianlah yang membuat saya utk terus semangat melanjutkan+menyelesaikan fic ini *deepbow*
Jaa ne~