Jaesuk tersenyum simpul. Sesuai dugaannya, Jimin kembali padanya. Menanyakan barang yang dijualnya. Semuanya sesuai dengan rencananya.

Ia hanya perlu menunggu sedikit lagi hingga ia bisa mendapatkan bukti yang kuat dan menjualnya pada agensi, atau mungkin agensi lain dan wartawan.

Bayang-bayang uang melayang di kepalanya. Semuanya sangat menyenangkan.

"Kau tahu Jimin-ah, tidak semua hal bisa didapatkan secara gratis meskipun kita teman." Ucap Jaesuk, tangannya menggoyangkan gelas berisi wine. Menghirup aromanya kuat-kuat sebelum menyesap air keunguan pekat itu dengan lebih halus.

Jimin mendecih, "Aku tidak minta, Hyung. Astaga." Jimin turut menyesap minumannya halus. Ia duduk sendirian, tidak ada satupun wanita yang duduk di sisinya. Jaesuk telah menyerah dengan cara itu. Mungkin Jimin memang bukan tipe pria yang mudah tergoda oleh wanita.

Tetapi bukankah semua wanita cantik bertubuh molek, berwajah cantik dan berkelakuan menggairahkan adalah kelemahan semua pria? Ah tidak, pemikiran lain menyusup ke kepala Jaesuk.

Tidak semua pria tergoda oleh wanita. Jika pria itu adalah tipe pria yang tidak menyukai wanita. Anomali. Jaesuk pikir, munafik jika pria menolak wanita sesetia apapun ia pada wanitanya. Bukankah bisa berarti Jimin termasuk anomali? Ataukan agensinya telah mengajarkan Jimin untuk tidak mudah jatuh cinta pada wanita selama mereka masih terikat kontrak? Ah, ia tidak suka menerka. Biarlah ia berpikir bahwa hal ini karena; Jimin tidak suka perempuan.

Kemudian ia menyeringai. Mungkin jika ia bisa mendapatkan bukti soal keanomalian Jimin ia akan membawa lebih banyak lagi pemasukan. Ia akan menghubungi Daehoon dan mendiskusikan mengenai hal ini pagi nanti.

"Lalu kau mau beli?" Jaesuk bertanya.

Jimin terlihat ragu. Bibirnya dan jemarinya bergetar samar.

"Aku bisa membantumu," lidah Jaesuk menjilat bibir bawahnya, "aku akan menghubungimu nanti setelah aku mendapatkan barangnya dan kau tinggal mentransferkan uangnya padaku nanti." Semakin lihat pula mulutnya membujuk.

Tanpa diduga Jimin mengeluarkan sejumlah uang dari saku jaketnya, "Sekarang saja transaksinya. Aku akan menghubungi Hyung jika aku punya waktu untuk bertemu dan membawa barangnya."

Jaesuk tersenyum miring, ternyata Jimin tidak sebodoh yang terlihat. Apakah ia harus beracting lebih natural lagi dan membuat Jimin memercayainya? Akan merepotkan nantinya jika Jimin hanya menghubunginya untuk mengajak bertemu bukan untuk membicarakan transaksi mereka.

Oh, mungkin ia bisa minta bantuan Daehoon untuk memotret transaksi mereka nanti? Hm, tetapi sepertinya ia tidak boleh terlalu bernafsu. Ia harus bermain tenang jika ingin mendapatkan keuntungan yang setimpal. Bukankah begitu?

"Baiklah. Hyung setuju," ia meraih uang yang Jimin sodorkan, "kau mau sejumlah uang ini tanpa tahu berapa harganya?"

Jimin menggeleng, "Itu tidak penting."

"Kau memang benar-benar mirip aku dulu, Jimin-ah."

Ia akan memancing Jimin sedikit lagi untuk bisa mendapatkan bukti yang lebih kuat.

x

x

HEADSHOT

Chapter 9

(BTS Fict, BxB, canon but not really, OOC, JiKook/KookMin, VMin friendship, rated M untuk konten dewasa seperti konsumsi alkohol, rokok, clubbing, drugs dll. Mungkin ada typo terselip, mohon diingatkan. Pembaca di bawah usia 17 tahun diharapkan tidak membca ceria ini.)

(Tokoh bukan milikku, aku memakai Bangtan sebagai tokoh sebagai wujud kekagumanku pada mereka. Cerita ini hanya fiktif belaka, dimohon untuk tidak mengaitkan Bangtan yang sesungguhnya dengan Bangtan yang ada di cerita ini karena penulisan cerita ini tidak bermaksud untuk merusak citra baik yang selama ini Bangtan bangun. Tidak mengambil keuntungan apapun dari penilisan cerita ini sehingga sebagai harapannya cerita inipun tidak merugikan pihak manapun.)

Happy Reading!

x

x

Sebenarnya akhir-akhir ini Namjoon sedikit heran melihat persediaan makanan mereka di lemari pendingin cepat sekali berkurang. Meski ia tidak pernah memasak seperti Seokjin, tetapi ia sekilas mengingat ada banyak snack yang hilang begitu cepat.

Terlebih, ia bisa menduga siapa yang melakukannya. Ia dan Yoongi terlalu sibuk di studio mereka masing-masing hingga ia menduga mereka tidak punya cukup banyak waktu untuk bisa duduk manis sembari menggasak snack. Hoseok pun sama sibuknya. Baiklah, Jimin juga cukup sibuk dengan kegiatan lainnya di agensi. Tetapi akhir-akhir ini ia lebih sering tertawa, ia makan lebih banyak dari biasanya. Salahkah apabila ia menduga?

Namjoon senang dengan perubahan adiknya itu tentu saja. Namun ia pikir, Jimin bukan orang seperti itu. Bahkan ia sudah tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk menemaninya pergi tidur dan menurut Sejin ia terlalu baik-baik saja untuk dibawa ke psikiater.

Ia baik-baik saja.

Tetapi benarkah?

Bukankah ia sedemikian hancur beberapa minggu yang lalu?

"Buruk sekali wajahmu kalau mengerut begitu," Seokjin berkomentar, "kau tidak senang bisa menghemat uangmu dengan berhenti membeli makanan di luar memangnya?"

Namjoon meringis kecil. Sesungguhnya ia tidak enak hati pada Hyung tertuanya. Seokjin baru saja kembali pagi hari tadi dan disambut dengan isi meja makan yang kosong, "Maaf Hyung. Aku hanya sedang berpikir tentang melodi terbaru sedikit."

Seokjin mengangkat bahu, "Sebaiknya simpan pemikiranmu itu dulu. Aku yakin itu bukan tentang melodi."

Seokjin terkadang terlalu perasa. Namjoon sampai tidak punya hal lain yang bisa dilakukan selain tersenyum hambar.

"Omong-omong apa kalian tidak makan apapun selain snack dan ramyun?" Seokjin yang terngah berjongkok di hadapan lemari pendingin bertanya. Sedikit banyak ia terheran melihat isi lemari pendingin mereka yang hanya terisi bahan mentah, air dan beberapa kotak es krim.

"Aku membeli makanan di pesan-antar selama Hyung tidak ada," Namjoon menjawab cepat, "sepertinya nafsu makan Jimin sudah kembali."

"Jimin?"

"Ya," Namjoon bergerak gusar, "aku, Hobi dan Yoongi Hyung hanya pulang ke dorm untuk tidur, mandi dan makan bersama. Kurasa itu Jimin."

Seokjin mengecilkan nyala kompornya, "Apa maksudmu itu Jimin? Kau tahu Jimin tidak baik-baik saja. Dan jika ia baik-baik saja pun, ia tidak akan semudah itu makan seperti babi dan melupakan diet kesayangannya."

"Justru itu Hyung aku―"

"Hyung!"

Ucapan Namjoon terhenti dengan pekikan riang Jimin yang segera meraih bahu Seokjin dalam rangkulan meski kesulitan, "Kapan Hyung pulang? Hyung masak apa?" Kepalanya melongok ke arah wajan, "Ah tumisan daging kesukaanku!" Pekiknya semakin riang. Ia memakai celana katun selutut dengan kaus sebagai atasannya, rambutnya sedikit berantakan khas orang yang baru saja bangun dari tidur. Dan senyumannya begitu cerah seperti mentari pagi ini.

Namjoon dan Seokjin bertukar pandang. Benar, Jimin terlalu bersikap baik-baik saja. Entah ini sekedar sandiwaranya di hadapan mereka atau munkgin memang begitulah kenyataannya.

Seokjin dan Namjoon telah mengenal Jimin sedemikian lama. Dan Jimin adalah tipe pemikir yang senang menyembunyikan masalahnya. Tetapi tidak sebaik ini hingga Namjoon dan Seokjin merasa seperti Jimin tidak memiliki masalah apapun di hidupnya.

x

x

x

Semuanya diam. Mereka saling menukar pandangan melihat Jimin yang sudah menambah nasi untuk yang ketiga kalinya.

"Masakan Hyung memang paling enak." Puji Jimin di sela makannya.

Seokjin mengulaskan senyum kecil. Senang rasanya melihat Jimin seperti sedang baik-baik saja. Tetapi ada bagian kecil dari hatinya yang justru merasa semua ini terlalu aneh. Ada bagian kecil dari hatinya yang justru berharap melihat Jimin dengan mata sembab, nafsu makan yang terjun payung dan wajah yang kelewat kuyu.

"Makan pelan-pelan, Jimin-ah." Hoseok menaruh bagian terbesar daging di piringnya ke piring Jimin kemudian menyentil ujung bibir Jimin yang mengerucut penuh dengan ujung sumpit yang dibalas Jimin dengan senyuman yang membuat matanya menyipit.

Yoongi menyesap kopinya, melempar pendangan tajam ke arah Namjoon yang segera dimegertinya, "Kalian berdua nanti bertugas mencuci piring." Namjoon berujar cepat.

"Loh?" Hoseok berbalik cepat, "hari ini 'kan gilirannya Yoongi Hyung."

Yoongi meletakkan cangkirnya dan menggeram, "Apa? Kau tidak mau?"

"Iya-iya." Hoseok menjawab dengan bahu mengkerut dan mendapatkan tawa lebar Jimin sebagai balasan. Jimin tertawa seperti ia baru saja melihat sesuatu yang lucu setelah sekian lama menangis. Suara tawanya keras dan tingkahnya heboh hingga air matanya menggenang.

"Hobi Hyung takut hahaha."

Seokjin segera menengahi, "Sudah. Tidak baik bicara selama makan."

Dan mereka melanjutkan makannya.

Kali ini bukan hanya Namjoon yang terkaget, Seokjin juga. Jimin makan lebih banyak dari biasanya. Banyak, terlalu banyak. Ia tertawa lebar sekali, bahkan terlalu lebar.

Bukan ia tidak senang hanya saja semua ini terasa semakin ganjil di matanya.

"Hyung lihat 'kan?" Namjoon memulai.

Ketiganya duduk di depan televisi. Hoseok dan Jimin tengah sibuk di dapur, merapikan bekas makan mereka sekaligus bekas Seokjin memasak tadi.

"Kau benar." Seokjin bergumam lirih, seolah ia tengah berbicara pada dirinya sendiri.

"Ia bahkan tidak membutuhkan siapapun untuk tidur memeluknya seperti saat Taehyung masih ada di sini." Yoongi bergumam.

Mei belum sampai di pertengahan, tetapi semua perubahan Jimin terlalu banyak di bandingkan saat Taehyung masih ada di dorm. Saat Taehyung ada, bahkan Jimin masih sering tiba-tiba menangis dan memerlukan banyak pelukan dari anggota yang lain. Bahkan ia bisa muntah saat Yoongi memaksanya makan. Bahkan Namjoon hampir lupa bagaimana bentuk senyum Jimin yang sesungguhnya karena anak itu terlalu banyak menyunggingkan senyum palsu.

"Aku bukan tidak senang dengan perubahan Jimin," Namjoon berbisik lirih seolah takut Jimin akan mendengarnya, "tetapi bukankah ini aneh? Maksudku bukan aku sedang mencurigai adikku hanya saja―"

"Aku juga merasakannya." Seokjin memotong cepat.

Yoongi meremat sisi kepalanya dan mendesau tertahan sembari melempar kepalanya ke bahu Seokjin, "Astaga, apa yang membuat anak itu cepat sekali berubah."

Mereka bahkan tidak merasa melakukan apapun yang berguna beberapa hari terakhir ini dan Jimin telah bersikap seolah kemarin tidak pernah ada hal buruk di hidupnya.

"Biar aku yang mencari tahu. Kalian harus fokus pada musik sedangkan aku tidak punya hal lain yang bisa dilakukan. Biar aku yang mencoba mencari tahu." Seokjin memutuskan pada akhirnya. Namjoon dan Yoongi tidak bisa melakukan apapun selain mengangguk karena suara Jimin dan Hoseok riuh mendekat.

x

x

x

"Tidak kusangka ini akan lebih lama dari terakhir kali pertemuan kita, Jimin-ah." Jaesuk berujar di sela-sela nyanyian Minji dan Daehoon.

"Yeah," Jimin melirik ke arah seorang pria lain yang duduk di sisinya, "aku sedikit sibuk ahkir-akhir ini."

Jimin merasa tidak nyaman dengan pandangan pria di sisinya yang mengenalkan diri sebagai Kyungsoo. Kyungsoo bertubuh tegap dan wajahnya tampan. Matanya tajam dan senyumannya seolah mampu membuat wanita manapun bertekuk lutut. Sekilas Jimin melihat Kyungsoo sebagai perpaduan antara Bi Rain dan Taehyung, wajah daj bentuk tubuhnya sangat menarik. Hanya saja Jimin merasa tidak nyaman karena Kyungsoo menatapnya begitu lekat seolah tidak ada hal lain yang bisa ditatap di ruangan ini selain Jimin.

"Seperti permintaanmu, aku membelikan separuh dari uangmu dan menyimpan separuh lainnya untukku." Jaesuk membuang asap rokoknya ke leher Laura, wanita yang kini duduk di pangkuannya.

Entah sengaja atau tidak namun Jimin merasa berkali-kali Kyungsoo menyentuh tangannya secara tidak sengaja dan itu sangat mengganggunya.

"Bisa kita bicarakan hal itu berdua, Hyung?" Secara terang-terangan Jimin menunjukkan ketidak nyamanannya.

"Oh astaga," Kyungsoo mendecak, "maaf kalau aku membuatmu merasa tidak nyaman hanya saja kalau kau mau tahu, aku juga membeli barang yang sama denganmu." Kyungsoo seolah sengaja menekankan kata barang yang diakhiri dengan sebuah jilatan di bibir bawah.

Hal itu membuat fokus Jimin teralihkan. Ah, Jimin pikir ini bisa saja efek alkoholnya.

"Sayang," Jaesuk menggumam, menunjuk Laura dengan rokoknya, "bisa kau temani Minji sebentar?"

Laura mengangguk, "Of course, Master." Jawabnya patuh dan memberikan satu remasan nakal di bagian bawah tubuh Jaesuk.

Laura melenggang pergi dan mendekati Minji sebelum menepuk pantatnya sendiri penuh goda dan hal itu tentu saja membuat Jaesuk bersiul sembari melambaikan tangan. Setelahnya ia kembali menatap Jimin dan Kyungsoo.

"Kalian belum banyak mengobrol sepertinya." Komentar Jaesuk.

"Jimin-ah sangat pemalu, Hyung. Dan mungkin ia tidak nyaman denganku." Kyungsoo menerima sebatang rokok yang diulurkan Jaesuk dan mengisapnya tanpa ragu.

"Kau mau?" Jaesuk bertanya. Tentu saja Jimin menggeleng. Entah mengapa Jimin masih saja tidak berani menunjukkan apapun di hadapan Jaesuk. Itu menganggunya karena sungguh ia sudah tidak sabar.

Tetapi Daehoon bilang, mereka harus lebih bersabar lagi. Kyungsoo sebenarnya adalah ide dari Daehoon, ia yang mengusulkan untuk membawa umpan lain. Hanya saja, Jimin bukanlah ikan yang mudah terpancing. Ini sedikit mengesalkan karena bahkan Jaesuk pun yakin ia sendiri bisa jatuh menyerahkan diri pada Kyungsoo yang terlalu sempurna.

"Hyung jangan terus menawari Jimin," Kyungsoo menyergah, sebelah tangannya naik ke pundak kepala Jimin dan mengusapnya pelan, "dia harus menjaga baik-baik suaranya," lanjutnya dengan sebelah tangannya mulai memijat pundak Jimin ringan dan mau tidak mau Jimin mengakui bahwa sentuhan Kyungsoo terasa begitu nyaman, "seperti aku yang harus baik-baik menjaga wajahku."

"Meh, apa bedanya," Jaesuk mencibir kecil melihat Jimin yang memejamkan mata, "jangan sok melindungi begitu."

dan Kyungsoo melayangkan aksinya, "Tentu saja aku harus melindunginya!" Serunya cepat.

"Eoh? Kenapa? Karena kalian sesama artis?"

Jimin masih memejamkan mata, rasanya begitu nyaman. Terasa seperti pijatan yang sering Jungkook lakukan di sela-sela latihan atau tepukan penuh dukungan dari Taehyung ketika masa trainee.

"Karena dia berharga untukku." Kyungsoo menjawab mantap.

Mata Jimin terbuka sepenuhnya.

x

x

x

"Kau bertingkah sangat baik tadi." Puji Jaesuk.

Kyungsoo tertawa. Seorang wanita di pangkuannya sibuk menyesapi lehernya, "Aku sudah ahli."

Dan Daehoon tersenyum senang. Seolah menunjukkan bahwa orang pilihannya benar-benar oramg yang tepat. Yang mampu menaklukan baik pria ataupun wanita dalam sekali tatap. Ah, diam-diam Jaesuk semakin menyukai permainan ini. Sejauh mana Kyungsoo bisa menarik Jimin dan sekuat apa Jimin terus berlagak tidak peduli di setiap pertemuan.

Jimin sudah pulang sejak satu jam yang lalu, berkata bahwa Hyungnya sudah menanyakan kabarnya dan ia harus segera pulang. Dengan terburu dan sedikit salah tingkah anak itu memasukkan bungkusan hitam yang Jaesuk bawa ke dalam tasnya sebelum meraih jaketnya dan memakainya terburu.

Entah karena ia memang sungguh sedang diburu waktu atau karena Kyungsoo yang menatapnya terlalu lekat. Membuat Jimin merasa wajahnya panas dan ada perasaan malu yang begitu asing menampari pipinya.

"Terus lakukan peranmu." Daehoon memerintah.

Kyungsoo mengembuskan asap rokoknya keras, "Itu keahlianku. Asal kalian sungguh membayarku seperti yang kalian janjikan."

"Oh kawan," Jaesuk mendesah, "untuk urusan itu tenang saja."

Jaesuk sungguh tidak keberatan untuk membayar Kyungsoo dengan bayaran yang tinggi karena, oh astaga, Jimin sungguh memberinya uang teralu banyak. Jaesuk bahkan bisa menjual barangnya pada Jimin dengan harga jauh di atas pasaran.

Karena Jimin begitu polos dengan memberikan uangnya tanpa bertanya berapa. Karena anak itu cukup takut dengan memberi Jaesuk setengah dari uangnya.

Benar, Jaesuk sangat suka bermain lebih lama lain dengan ikan besar yang kelewat hati-hati seperti Park Jimin.

x

x

x

Jimin tidak tahu sejak kapan benda ini menjadi obat untuknya. Semuanya terasa menyenangkan setiap Jimin mengisap benda itu dalam-dalam. Hingga ia lupa, hingga ia bisa tertawa, hingga ia merasa bahagia.

Jaesuk bilang reaksi Jimin yang menjadi terlampau rakus hanyalah salah satu dari efek benda itu. Selain perasaan tenang dan bahagia itu tentu saja. Mungkin di awal Jimin menjadi sering berhalusinasi, hanya mungkin kini ia bisa sesumbar dengan mengatakan bahwa hal itu sudah tidak banyak mengganggunya lagi.

Ia sudah tidak melihat manusia tanpa kepala ataupun kunang-kunang di bawah kakinya.

Tetapi rasa itu tetap ada. Senang yang membuatnya bisa tertawa tanpa beban. Hingga ia bisa makan dengan lahap dan tidur dengan nyenyak tanpa mimpi buruk. Terkadang, bayangan wajah Jungkook melintas. Membuat Jimin merasa kesadarannya kembali tetapi itu tidak pernah berlangsung lama.

"Kenapa aku jadi begini?" Jimin mendesau. Di sela jemarinya terapit sebagang rokok yang belum habis ketika ia mendengar Seokjin memanggil dari ruang tengah.

Tanpa pikir panjang Jimin membuang rokoknya begitu saja. Menyambut Seokjin yang datang dengan kepala pipih dan langkah seperti meloncat-loncat.

"Kau sedang apa?"

Dengan ujung kaki Jimin menendang korek apinya ke belakang, jatuh bebas ke bawah, "Aku sedang mencari udara segar."

"Apa kau tidak bisa tidur?" Kepala Seokjin semakin pipih dan Jimin tidak tahan untuk tidak tertawa.

Seokjin tidak mengerti mengapa Jimin tertawa. Ia mendekat dan meraih tubuh Jimin dalam rangkulan. Jimin menggusakkan pipinya di sisi perut Seokjin dengan manja.

"Kau tidak bisa tidur?"

Dari bawah sini kepala Seokjin terlihat lebih panjang dan pipih, nyaris berbentuk seperti lelehan cokelat batang, "Iya." Jimin menjawab singkat sembari tertawa kecil.

"Kau mabuk?" Seokjin menegakkan badan Jimin dan menangkup kedua pipinya, "Apa kau mabuk Jimin-ah?"

Jimin tersenyum, menangkup kedua telapak tangan Seokjin dengan miliknya, "Tidak, Hyung. Aku hanya ingin bahagia."

Dan Seokjin mengerti. Ia meraih bahu Jimin dalam rangkulan, "Kau harus tidur."

Seokjin tidak mengerti mengapa ketika ia terjaga dari tidurnya ia tidak menemukan Jimin di sisinya kemudian malah menemukan Jimin berada di balkon dengan pakaian tipis dan senyum selebar sekarang.

Tetapi ia tidak mencium aroma alkohol di tubuh Jimin. Seokjin berasumsi bahwa Jimin memang sedang ingin melupakan segalanya.

Atau barang kali, Seokjin tidak tahu seperti apa sebenarnya bau ganja yang terbakar.

x

x

to be continue

x

x

Aloha, semuanya. Maaf karena baru bisa update dan singkat pula. Aku ngetik di warnet ini. Komputerku rusak terus kujual aja karena musti ganti PC segala macam. Bukan maksudku ingin menggantungkan reader terlalu lama tetapi tolong maklumi keadaanku dan yeah―aku sama sekali tidak merasa keberatan ditanya update kok. Aku malah senang, berarti ada yang menungguku. Ada yang peduli padaku, *eaa

Jadi update singkat ini memang sekalian announcement buat yang mungkin penasaran authornya kemana kok gak update-update? Masih idup atau enggak? Niat lanjut atau engga dan semancamnya. Beneran deh, aku berusaha untuk selalu menyelesaikan apa yang aku mulai (termasuk I'm Not Him dan Sticky Notes). Jadi ayo terus bersamaku dan cerita-cerita on-goingku yang masih jauh dari klimaks ini.

Buat yang kemarin sempat menebak ganja, kalian benar yeeey. Toh itu emang mudah banget ditebak -_-"

Many thanked to;

Yohanasoherti98, Audrie, ichikawa haru, ViScarlett, uzi, n. raaa, adwyasdi, bxjkv, Deer Antlers, ayana, Guest (Guest banyak banget reviewnya, makasih sweet)

Bubye!

December D.

Ps. Kalau semuanya sesuai harapan, aku bisa update normal (paling lama sebulan sekali, paling cepat 2 minggu sekali) di tahun 2018 nanti. Aku juga sudah kangen nyampah di FFn, asli :')