Catatan Author: Jadi, saya sebenarnya bukan orang yang akrab dengan multi chapter seperti ini tapi saya sangat menyukai antariksa jadi, ya begitulah. Meskipun setnya 'masa depan' tapi saya tidak akan membuat robot di sana-sini, jika Anda pernah menonton 2001-A space Odyssey, Anda pasti paham kenapa saya tidak menaruh konsep yang demikian.
Disklaimer: Haikyuu! dimiliki seutuhnya oleh Furudate Haruichi. Saya tidak memiliki apa-apa kecuali ide-ide yang saya tuangkan dalam tulisan ini, dan saya tidak mengambil keuntungan atau profit apapun dari tulisan ini.
.
.
.
Torono, 15 Maret 2069
Hinata Shouyou menghabiskan tiga tahun masa sekolah menengah atas dengan bermain voli untuk tim sekolah. Ia memang bukan ace, seperti apa yang diidamkannya ketika kelas satu tapi Shouyou menikmati setiap detik yang dilewatinya di Gedung olahraga. Ia suka keringat yang keluar dari pori-porinya ketika latihan dimulai, atau tekanan-tekanan yang tumbuh menjelang pertandingan. Sekecil apapun skalanya; pertandingan persahabatan atau olimpiade antarsekolah. Rasa sepi di klub SMP dulu benar-benar dibayar dengan penuh di SMA.
Ia menggadang-gadangkan diri sebagai rival Tobio, pada awalnya. Lantas dalam hitungan bulan, agaknya gelar rival itu berpindah tempat pada sosok Tsukishima Kei. Bagi Shouyou, Kei selalu menjadi pribadi yang penuh ledakan semenjak mereka bertemu pertama kali. Ia mungkin terlihat seperti danau dengan air yang tenang; lebih sering diam tetapi akan mengejutkan banyak orang ketika ia ingin bertindak. Kei akan merespons tiap hal yang dialaminya setelah kontemplasi singkat. Ia akan mendengarkan orang lain bicara lebih dulu, ia tidak suka memotong, tapi menjatuhkan, ya. Jika ia tidak suka akan seseorang, dia akan mengatakannya secara terus terang. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa eufimisme yang berarti.
Kei juga mengatakan dengan jelas bahwa dia tidak menyukai Shouyou. Tetapi kadar ketidaksukaannya tidak lebih besar dari apa yang ia rasakan terhadap Tobio. Jika diandaikan, Tobio ada di urutan pertama sedang Shouyou ke-tiga. Posisi nomor dua diisi oleh Kuroo Tetsurou, kapten dari tim SMA Nekoma. Sedang Shouyou tidak bisa menjabarkan dengan jelas impresinya terhadap Kei. Dibilang benci, tidak, dibilang suka pun tidak. Tetapi jika dikatakan biasa-biasa saja atau hambar pun, tidak.
Di antara seluruh perilaku buruknya, Kei memiliki sisi baik meskipun hanya secuil. Ia masih mau memberikan sesi les privat pada Shouyou dan Tobio atau membantu Hitoka dengan pelajaran sejarah. Meskipun banyak mengeluarkan cemooh dan gerutu ketika melakukan semua itu.
Shouyou biasa memandangi punggung Kei yang lebar ketika sesi istirahat, menaruh cemburu pada fisik Kei yang didambakannya. Tinggi dan berisi. Setiap tubuhnya tanpa lipatan lemak meskipun tidak sekokoh Daichi. Akan tetapi, kegiatan itu tak akan bisa dilakukannya lagi nanti. Upacara kelulusan tinggal sebentar lagi, dan hari ini seluruh anak kelas tiga dari tim voli berkunjung ke gedung olahraga untuk memberikan salam perpisahan. Sebab untuk tahun kelulusannya, rencana mengadakan pesta agaknya diurungkan karena preparasi yang belum matang.
Usai mengucapkan beberapa kata perpisahan, suasana di dalam gedung olahraga menjadi agak ricuh. Gelak tawa berselang-seling dengan isak tertahan dari para junior. Lalu, untuk alasan yang tak diketahuinya, alih-alih berbincang dengan junior-junior, Shouyou malah memandangi punggung Kei dari jarak yang cukup jauh. Pemandangan ini mungkin tak akan dilihatnya lagi selepas upacara kelulusan. Kei akan pindah ke Amerika sedang Shouyou melanjutkan sekolahnya di Fukuoka. Hanya sedikit, hanya sedikit, Shouyou mungkin akan merindukan kata-kata pedas dari mulut Kei.
"Lihat apa, cebol?" Kei menoleh, bibir membentuk senyuman mencemooh. Barangkali ia sadar telah diperhatikan Shouyou dari tadi.
Shouyou mendengus, lantas berteriak. "Maumu apa sih?!" Shouyou menjadi emosional dan ingin meneriakinya, entah kenapa.
"Lah, kau sendiri yang memandangiku tanpa berkedip. Kenapa? jatuh cinta padaku?" dia tertawa kecil. "Tidak akan ada orang waras yang mau mengencanimu, aku jamin."
Kali itu untuk pertama kalinya, Shouyou membuat kegaduhan yang luar biasa di dalam gimnasium dengan statusnya sebagai senpai yang paling baik. Ia menerjang Kei dan memukul hidungnya hingga berdarah juga mematahkan gagang kacamata milik Kei.
"Aku tidak mengerti apa masalahmu denganku sebenarnya!" hardik Shouyou keras di depan wajah Kei. Jika perlu ditambah, ia tidak mengerti juga kenapa harus marah. Ah, tapi siapapun bakal marah jika diledek seperti itu, mungin.
Ketika kepalan tangannya hendak meluncur lagi, Tobio sekonyong-konyong muncul dari belakang, menahan pergelangan tangannya. "Hentikan." Katanya pendek. "Kau membuat anak-anak kelas satu jadi takut."
Bersamaan dengan kalimat itu, kepalan tangan Shouyou mengendur dan dia mendorong dada kiri Kei dengan sebelah tangannya. Ia lantas berdiri, pergi ke luar gedung olahraga dan tidak mengatakan apa-apa. Rasanya malu karena telah mengamuk di depan semua orang dan punggung tangannya ngilu sehabis meninju wajah Kei. Terlepas dari semua itu, rasa sesak di dadanya lebih menyiksa.
Saat Shouyou sudah melalui persimpangan menuju minimarket, Kei sekonyong-konyong menarik tangannya. Membuatnya terperangah, tidak mengerti akan tingkah Kei yang satu ini. Dengan darah yang merembes melalui tisu di hidung, Kei berusaha mengatakan sesuatu.
"Sori," katanya pendek, mata Kei jatuh ke tanah. "Aku kelewatan."
Shouyou merasakan tubuhnya gemetar hebat dan isi kepalanya tidak keruan. Kei terus menuturkan apologi dan tidak akan berhenti sebelum Shouyou memberikan jawaban. Alih-alih memaafkan atau menolak ucapan maaf dari Kei, Shouyou malah berdiri dengan ujung jemari kakinya dan mencium bibir Kei. Sejurus kemudian, ia melarikan jari tangan ke rambut belakang dan berlari menjauh.
Detak jantungnya kencang dan pada saat itu Shouyou sadar bahwa dia jatuh cinta pada Kei.
Tsukuba, 18 Januari 2074
Sekarang lima tahun sudah berlalu sejak saat itu, namun Shouyou masih sering dibayang-bayangi kejadian memalukan yang terjadi di gedung olahraga. Shouyou sadar, megingat-ingat adalah tindakan yang bodoh dan tidak dewasa. Tapi kenangan memang seperti ayam, tidak menahu perihal sopan santun dan akan datang begitu saja. Menyusup dalam mimpi atau topik obrolan. Tidak ada yang menyinggung kejadian itu selepas lulus kecuali Tobio, tapi itu pun hanya berlangsung selama beberapa tahun saja.
Barangkali takdir, setiap kali dia menghadiri acara reuni klub voli ataupun SMA, dia tidak pernah bertemu dengan Kei. Kehadiran Shouyou dan Kei selalu berlawanan satu sama lain. Selama beberapa tahun, Shouyou masih sempat melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai keberadaan Kei. Bagaimana kehidupannya, pekerjaannya, apakah ia sudah menikah, dan sebagainya. Tapi semua itu tak lebih dari sekadar basa-basi baginya, menanyakan kabar teman lama bukankah itu hal yang biasa? Tapi, ia sendiri tidak tahu apakah Kei sempat menganggapnya sebagai teman dulu.
Kei mungkin sudah berada di tempat yang jauh dengan sebuah keluarga yang rukun. Dia mungkin sudah memiliki jabatan yang tinggi di tempat kerjanya, hidup kaya raya, dan bahagia. Dia pintar, Shouyou tahu masa depan selalu cerah untuk orang-orang seperti Kei.
Shouyou sendiri memiliki hidup yang cukup bahagia. Setelah lulus dari universitas pendidikan, ia menjadi guru olahraga di SMA Karasuno, almamaternya dulu. Sebuah pekerjaan yang cocok bagi dirinya yang gemar bergaul dengan banyak orang juga tidak berkeinginan untuk pergi ke mana-mana. Kalau dipikir-pikir, agak lucu juga. Bagaimana cita-cita dan segala ambisi yang dimiliki seseorang perlahan akan luntur seiring berjalannya waktu. Berganti kesukaan, tujuan hidup, atau dibenturkan dengan kenyataan. Shouyou mengalami semua itu tapi beruntungnya, tak ada satupun yang membuatnya merasa terpuruk.
Begitupun saat ia ditunjuk sebagai pendamping anak-anak dalam kegiatan studi tur ke Tsukuba Space Center. Dia bukan guru fisika atau ilmu alam lainnya, tetapi Shouyou adalah wali kelas dan guru yang paling akrab dengan murid-murid satu sekolah. Daripada berleha-leha di rumah saat musim dingin begini, lebih baik dia turut serta sembari berjalan-jalan ke kota lain.
Di hari terakhir acara studi tur, Shouyou terbangun dengan rasa sakit yang menjalari pinggangnya. Juga jantungnya yang hampir-hampiran jatuh. Kamar itu asing, bukan miliknya. Ia tidak pernah memiliki tempat tidur dengan seprai berwarna hijau pucuk atau tirai jendela yang berjeranbai. Juga aroma ruangan yang serupa dengan buah-buahan—passion fruit, stroberi, atau semacamnya?—ia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Butuh waktu setidaknya satu sampai dua menit untuk membuatnya berhenti mengerjapkan mata dan mulai melihat sekeliling. Yang paling asing adalah kehadiran seorang laki-laki di sampingnya. Menggunakan selimut yang sama, rambut berwarna pirang pucat—agak cokelat—dan beriap-riap, tapi Shouyou tidak tahu seperti apa wajahnya sebab pria itu menghadap arah yang berlawanan.
Dia tidak akan berteriak. Tidak peduli apa yang terjadi semalam—yang sesungguhnya tidak bisa dia ingat barang sedikitpun—dia akan pergi meninggalkan tempat ini tanpa ketahuan. Ia harus kembali ke hotel asli tempatnya menginap, mempersiapkan siswanya untuk pameran sains yang akan dimulai siang ini. Tetapi, Shouyou harus menemukan ponselnya dulu.
Ia menyibak selimut lalu menjejakkan kakinya ke lantai berkarpet. Rasanya dingin di bawah sana. Batinnya kembali mencelos. Ia hanya memakai celana training entah milik siapa.
Celaka. Celaka. Celaka. Demi bumi yang mengelilingi matahari, dia jadi penasaran dan ingin menyibak selimut itu lebih jauh lagi. Sekadar memastikan apakah pria asing itu memakai baju lengkap. Lantas, jika mereka sama-sama telanjang dada—atau mungkin dia telanjang bulat, apa yang akan Shouyou lakukan? Melupakannya. Ya, tidak ada pilihan lain, yang manapun hasilnya akan sama saja. Peduli amat pada apa yang terjadi semalam. Maka, dia mengurungkan niatnya dan berjingkat dari ranjang untuk mencari ponsel dan seluruh barangnya.
"Um ... sensei?" suara serak itu memanggilnya—cukup untuk membuatnya bergidik. Sebuah warna suara yang familiar tapi ia tak ingat siapa pemiliknya. "Sudah mau pulang?" terdengar kekehan kecil muncul di akhir kalimat.
Shouyou bisa merasakan tulang lehernya berderak ketika ia menoleh, "Ah, er—Tsu-Tsukishima?!"
"Terkejut, ya?" Kei menopang dagunya dengan sebelah tangan. Bibirnya membentuk senyuman mengejek. "Aku kira kau tidak akan langsung mengenaliku lho,"
Mana mungkin itu terjadi. Tsukishima Kei ada di hadapannya dengan wajah yang lebih dewasa, senyum tengil yang sama, dan sifat yang nampaknya jauh lebih brengsek. Shouyou memandang sekilas ketika pria itu berdiri, dia hanya memakai celana dalam. Shouyou rasanya ingin mati.
Kulit wajah Kei nampak berbeda dengan orang Jepang kebanyakan, terlihat lebih gelap dengan sedikit bercak di bagian bawah mata. Ia tahu, lelaki ini memang memiliki tinggi yang menjulang—bahkan lebih dari Tobio—sehingga membuatnya makin terlihat kecil.
Berbagai hal berkelindan dalam kepalanya; bagaimana mungkin dia bisa bersama Kei, apa yang dilakukannya semalam, racauan apa yang keluar dari mulutnya ketika mabuk, dan bagaimana caranya untuk kabur dari sini.
"Sedang apa kau di sini?" Tanya Shouyou, sedikit malas.
"Pulang kampung?" Kei mengambil sebuah kacamata yang diletakkan di samping tempat tidur lalu mengaitkan gagangnya di telinga.
"Kampungmu bukan di sini."
"Oh, that's cold." pria itu mengangkat kedua tangan setinggi dada lalu terkekeh. "Aku belum ganti kewarganegaraan kok dan ya… tidak akan." Mendengar seseorang berbicara dengan selipan bahasa Inggris bukan hal yang jarang di Jepang, tetapi dengan pelafalan sempurna pasti akan dikira orang-orang sebagai gaijin. Hanya saja Shouyou—sempat—terlalu mengenalnya, jadi dia tidak akan terkejut.
Shouyou mungkin akan mau mengobrol banyak dengan Kei kalau saja mereka tidak dipertemukan dengan situasi seperti ini. Mungkin. Mungkin. Sebut dia kekanakan, tetapi ia masih tersinggung dengan fakta bahwa Kei melepaskan celananya ketika tidur. Tapi hal tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa malu yang menggelayuti batinnya karena mabuk di kota asing dan numpang tidur di hotel bersama rekan satu tim voli di SMA dulu. Jelas saja ia tak ingin kembali bertemu dengan Kei. Sebab, Shouyou yakin, setiap kali ia melihat wajah Kei, ingatannya akan kejadian hari itu akan terus terulang.
"Sebelum kau berpikir yang macam-macam," Kei berdiri, tangan meraih sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas. Lantas ia melemparkannya ke arah Shouyou dan berkata, "Kau mabuk dan pingsan di pinggir jalan, aku merasa aneh saat melihatmu. Seperti tidak percaya saja tiba-tiba kau muncul begitu saja di hadapanku dalam kondisi yang menyedihkan, aku kasihan dan aku membawamu ke hotel. Lalu kau memuntahi dirimu sendiri,"
"Terima kasih," kata Shouyou.
"Kau bisa pakai bajuku kalau mau," tawar Kei, mata menunjuk sebuah tas travel berwarna abu dengan pakaian yang mencuat berantakan. "Bisa kau kembalikan kapan-kapan,"
Sebelah alis Shouyou naik, "Kapan-kapan? Belum tentu kita bertemu lagi,"
"Pasti ketemu kok,"
"Di reuni saja aku tidak pernah melihatmu,"
"Anehnya, aku juga."
"Hah?"
"Aku tidak pernah melihatmu saat reuni," kata Kei.
"Bisa-bisa baju ini ada padaku seumur hidup,"
"Kau sedang main kode?"
Shouyou makin tak mengerti, "Maksudnya?"
"Kau mencoba untuk menggiringku pada konklusi akhir, aku memberikan bajuku padamu. Ya, tidak apa-apa sih."
"Bukan begitu!" sergah Shouyou, "Argh, maksudnya aku tidak mau pakai bajumu,"
"Lantas bagaimana? Mau pakai baju yang penuh muntahan alkohol? Atau mau pakai celana training seperti itu? Kau ini seorang guru lho,"
"Dari mana kau tahu kalau aku adalah seorang guru?"
"Iseng." Kei tertawa. "Sebagai informasi, celana training itu juga punyaku."
"Dasar. Kau tidak pernah berubah ya,"
Kei meruyak tasnya, mengambil satu baju dan celana panjang lalu melemparkannya pada Shouyou. "Aku berubah. Kau saja yang belum tahu. Sana, ganti baju. Bukannya kau masih ada acara jam sepuluh nanti?"
"Kau mengintip jadwalku juga? Ah, yang benar saja!"
Dengan tergesa Shouyou mengenakan pakaian Kei, mengambil tasnya dan keluar dari kamar hotel. Baru sampai berapa langkah, Kei memanggilnya lagi.
"Pak Guru, lebih baik celana dan tangannya digulung. Anda 'kan pendek."
"Terkutuklah kau."
Shouyou membuka kunci ponselnya begitu keluar dari hotel, ada 14 panggilan tak terjawab dan semuanya dari Tobio. Laki-laki itu pasti akan menggocohnya sampai mati begitu bertemu kembali di penginapan. Sahabatnya itu menelepon seperti orang gila semalam, juga mengiriminya rentetan pesan yang tak kunjung berbalas. Shouyou mengabaikannya karena akan lebih baik dituntaskan secara langsung ketimbang menjelaskan via telepon atau pesan singkat. Selalu ada salah paham ketika ia berkirim pesan.
Dia selalu mencintai pekerjaannya dan tidak pernah mengeluhkan apapun soal itu hingga hari ini tiba. Seingatnya, kemarin malam dia diajak untuk minum-minum bersama guru pendamping klub sains sekolah lain. Ia tidak pernah mengira bahwa dirinya bakalan mabuk berat dan dibawa oleh laki-laki ini. Sialan, ke mana Tobio saat dia membutuhkannya. Tetapi Shouyou tidak bisa menerka apakah Kei adalah seorang guru—sama seperti dirinya—sebab gelagatnya tidak sedikitpun menunjukkan gaya khas seorang pendidik. Terlalu memesona dan terlihat berbahaya untuk ukuran guru. Tunggu dulu, apa dia tengah memujinya tanpa sadar? Tetapi siapa lagi yang akan berkeliaran di sekitaran Tsukuba Space Center jika bukan guru pendamping atau staf di sana.
Shouyou memasuki ruang ekshibisi tanpa mengganti baju. Aroma Kei menguar dari tubuhnya tapi tidak akan ada seorangpun yang tahu, barangkali. Dia duduk di belakang murid-muridnya, mengerling kanan-kiri untuk mencari guru-guru lain.
"Sho-chan!" seorang gadis di depannya menoleh, "Aku pikir wali kelas kami menghilang!" serunya.
Shouyou memberikan senyum kaku pada anak muridnya, "Maaf, maaf. Aku datang terlambat, kesiangan."
"Tadi Kageyama-sensei sudah marah-marah,"
"Aah begitukah? Nanti aku harus minta maaf padanya."
"Yap. Dia panik sekali karena takut kau nyasar atau semacamnya,"
"Tsk … dasar. Aku ini 'kan bukan anak-anak lagi."
Muridnya tertawa. "Eh … Sensei, aku rasa … bajumu terlalu besar? Tidak tertukar dengan milik Kageyama-sensei 'kan? Cieee…"
Wajah Shouyou mendadak kaku lagi, dia memegang ujung keliman kemejanya dan mencari alasan yang kiranya enak didengar. Sebab, tak mungkin mengatakan kalau semalam dia mabuk berat hingga muntah dan tak sadarkan diri lalu seorang teman lama memungutnya ke hotel. Agaknya dia membutuhkan alasan yang lebih sopan.
"Iya, bajuku tertukar dengan milik Kageyama-sensei,"
"Eh? Tapi hari ini kan dia belum bertemu denganmu?"
Duh. "Ah, sudahlah. Kenapa kalian harus mempermasalahkan pakaianku?" kata Shouyou. "Lebih baik kalian konsentrasi pada seminarnya. Oh, jam berapa mulainya?"
Gadis itu melirik jam tangannya, "Harusnya sih sebentar lagi, tapi—"
"Ya, kami ucapkan selamat datang pada hadirin yang sudah menyempatkan dirinya untuk datang ke acara seminar internasional …" seorang pembawa acara berdiri di atas panggung. Pakaiannya rapi, dengan kemeja putih dan jas hitam juga rambut yang diatur dengan gaya klimis. Ia menghadap penonton dengan mantap dan percaya diri, juga terlihat antusias dengan jumlah peserta yang ada di dalam ruangan ekshibisi ini.
Shouyou menyuruh murid-muridnya untuk kembali fokus ke arah panggung. Ia sendiri terenyak di kursi sembari menahan kantuk yang menggelayuti matanya. Seminar ini akan berlangsung selama lima jam dengan istirahat sebanyak tiga kali. Dua istirahat ringan untuk sekadar memakan camilan dan satu istirahat panjang untuk makan siang. Seluruh pengunjung merupakan siswa sekolah dan mahasiswa, tidak ada kategori umum yang ikut serta.
Layar di panggung menampilkan animasi alam semesta dengan warna-warninya yang janggal. Pembawa acara memanggil satu persatu pembicara di diskusi panel juga seorang moderator. Ada dua orang yang duduk di kursi pemateri sedang satu moderator berada di tengah-tengah. Pembawa acara mulai membacakan kurikulum vitae mereka dan Shouyou hampir terlonjak dari kursinya ketika nama Tsukishima Kei disebut melalui mikrofon. Ia mengangkat wajahnya lalu memastikan apakah Tsukishima yang dimaksudkan oleh pembawa acara itu benar teman sekelasnya ketika SMA.
Benar saja, cokelat rambut pria itu begitu dikenalnya. Lain dengan tampilan rekan-rekannya di atas panggung, Kei hanya mengenakan kaus polo dengan logo JAXA di dada kirinya. Ia duduk tegap menghadap penonton, matanya menjelajah tiap kursi—memerhatikan audiens satu per satu. Ketika mata Shouyou tertangkap, barulah dia menyunggingkan sebelah bibir. Sedikit pun dia tidak merasa heran akan kenyataan bahwa Kei telah menjadi staf JAXA—dan mungkin satu yang paling diandalkan—tetapi ia hanya kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba.
Jadi ini yang dia maksud akan bertemu lagi. Sialan.
Usai sesi diskusi pertama selesai, Kei menuruni panggung dan bergabung dengan rombongan Shouyou. Kehadiran pria jangkung itu membuatnya rikuh dan dia paling tak suka jika terlihat gugup di hadapan murid-muridnya.
"Bahkan setelah bertahun-tahun lewat pun, ukuran tubuh kita masih tetap jauh ya." Bisiknya di telinga Shouyou, membuat wajah pria itu merah padam.
Suara Kei berubah menjadi beberapa kali lipat lebih berat dari apa yang biasa didengarnya ketika masa sekolah. Ada sedikit serak yang menggantung di tenggorokannya juga kekeh yang lebih maskulin.
"Kau tumbuh, aku juga. Jadi ya wajar saja,"
"Oh, kau tumbuh?" ledeknya.
"Berisiiiik!" Sergah Shouyou. "Aku baru tahu kau bekerja di JAXA,"
"Eh? Memangnya kenapa? Aneh ya?"
"Tidak, tidak." Shouyou menggeleng. "Hanya saja, kupikir kau bakal jadi dokter atau apalah."
"Begitu ya?"
"Pemikiran umumku saja sih, kalau sewaktu SMA pintar nantinya bakal jadi dokter dan bekerja di rumah sakit besar." Jawab Shouyou di sela tawanya. "Lagipula, aku tidak pernah melihat batang hidungmu sejak lulus SMA, jadi mana aku tahu?"
"Aku melanjutkan studiku di Amerika dan tinggal beberapa tahun di sana, jadi wajar saja kalau kita jarang bertemu. Kadang aku pulang, tapi itu pun tidak lama."
"Lihat, hidupmu saja sudah kebule-bulean."
"Dan … bagaimana mungkin orang bodoh sepertimu menjadi guru? Apa kau sedang berencana untuk menghancurkan Jepang dari akarnya?"
Mendengar hal itu Shouyou tertawa. Rasanya lucu saja menerima guyonan sarkas dari bibir Kei setelah sekian lama. "Aku berubah, tahu." Shouyou meninju bahunya pelan. "Meskipun perubahanku tidak terlalu ekstrem sepertimu, menjadi guru bukan sesuatu yang luar biasa, kurasa."
"Bukannya terbalik?"
"Maksudnya?"
"Dibanding aku, kau yang lebih banyak berubah. Kau tidak teriak 'gwaah' 'kaboom' 'kat-sun!' seperti dulu, dan ya itu tadi. Orang bodoh sepertimu bisa jadi guru, luar biasa." Shouyou merasa aneh. Dipuji oleh Kei rasanya aneh. "Ah, tapi…" Kei memberi jeda, "Dari dulu kau selalu luar biasa. Jadi ya, kurasa kau memang tidak berubah."