Daddy's Baby
.
Characters belong to Masashi Kishimoto.
.
This Is SasuHina Story!
Alternative Universe! SUPER Out Of Character! Plot Rush! Unbetaed! Grammatical Errors! Typical Errors!
You've been warned!
.
Credit to ShellaNurainiPuspita
Terima kasih udah mau bantuin saya bikin extra chap ini. Kalo diinget ini udah tiga bulan sejak kamu bantu saya, tapi maaf baru bisa rampungin sekarang karena yah... I'm too lazy for my own good, sorry T.T
Kedepannya, I hope you enjoy writing your very own work. Keep writing :*
.
.
Hyuuga Hiashi menatap lelaki bersurai hitam pekat yang duduk dengan gelisah tepat di hadapannya dengan pandangan meneliti. Orang-orang yang melihat mungkin akan berpikir pria tua itu tengah mengintimidasi lelaki di hadapannya. Padahal Hiashi sendiri hanya butuh waktu sebelum ia nantinya membuka topik utama dengan lelaki itu.
Pasalnya kejutan yang ia dapat malam ini terlalu besar. Terlalu tak disangkanya. Putrinya yang kabur sekitar tiga tahun lalu tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya kembali dengan seorang lelaki dewasa juga dua balita.
Keterkejutan Hiashi semakin menumpuk ketika Hyuuga Hinata—sang putri—mengatakan bahwa kedua balita itu adalah cucunya dan lelaki yang datang bersama putrinya itu merupakan ayah biologis kedua balita itu.
Dengan menekan segala rasa rindu, senang, haru, marah juga berbagai pertanyaan di benaknya, Hiashi terlebih dulu mempersilahkan mereka masuk dan mengatakan kepada Hinata untuk menidurkan dua balita yang sudah terlelap itu di kamar dan menyuruh putrinya itu untuk tetap di dalam sana sampai ia selesai bicara dengan lelaki yang dibawa Hinata.
Hiashi menghela napas panjang, manik ametisnya tak meninggalkan sosok muda di hadapannya. "Kau bilang namamu Uchiha Sasuke?" tanyanya tenang.
"Iya," lelaki itu—Uchiha Sasuke—menjawab, berusaha sebisa mungkin mempertahankan topeng raut tenangnya meskipun ujung jemari tangan dan kakinya sudah mendingin karena gugup.
"Kau ayah dari kedua anak Hinata?" suara yang digunakan Hiashi terdengar seperti air yang mengalir, sangat tenang, namun malah berefek kuat hingga Sasuke merasa rambut di tengkuknya berdiri.
"Benar," Sasuke diam-diam menelan liurnya yang mendadak terasa seperti batu yang mengganjal kerongkongannya.
Hiashi menghela napas lagi, rasanya sesak mengetahui putri kecilnya memiliki keluarga kecil tanpa memberitahukan dirinya. Seperti ia dikhianati darah dagingnya sendiri. Tapi Hiashi tahu putrinya bukan orang yang akan memutuskan sesuatu tanpa alasan mendasar.
Mata Hiashi memicing ke arah Sasuke, ia merasakan ada kejanggalan di sini. Jika putrinya itu telah memiliki keluarga bahagia, untuk alasan apa ia bersembunyi darinya? Dan Hiashi yakin lelaki di hadapannya itu tahu jawaban dari pertanyaan itu.
"Kau suami Hinata?" tanya Hiashi singkat.
Sasuke tercekat, mendadak kehilangan suaranya. Apa yang harus ia katakan? Bahwa ia baru akan menikahi putri pria tua itu? Tapi jika ia mengatakannya apa ada jaminan bahwa katana yang menjadi pajangan dinding ruang tengah rumah ini tidak akan menjadi pemutus nyawanya?
Hiashi masih belum menarik satu otot wajah pun untuk berekspresi, namun ia sudah mendapati fakta yang tak ia sukai sebagai jawaban atas kediaman Sasuke.
"Kalian tidak menikah?" tebak Hiashi, sekarang nada menuduh lebih kental dari kata-kata sebelumnya.
Sasuke kembali meneguk liur yang terasa tak habis-habis di rongga mulutnya sebelum membuka mulut untuk sekedar membela diri. "Kami akan menikah dalam waktu dekat," jawabnya.
"Kau menghamili putriku dua kali dan baru akan menikahinya?!" murka yang dirasa Hiashi masih cukup terkendali hingga tak sampai terpancar di wajah tuanya.
"Aku... ka-kami... maksudku..." Sasuke tak bisa menemukan apapun untuk menjawab pertanyaan itu. Skak-mat baginya dari Hiashi.
Sasuke tidak mungkin mengatakan bahwa ia bahkan sempat tak mengetahui keberadaan Hinata dan anak pertama mereka. Bisa-bisa Hiashi mencapnya sebagai lelaki tak bertanggung jawab dan tak memberikan restu kepadanya untuk menikahi Hinata. Yah, walaupun label itu separuh benar sih untuknya.
Sasuke menghela napas. "Beberapa hal terjadi, jadi... beginilah," ujar Sasuke rendah dengan kepala setengah tertunduk, otak jeniusnya tak dapat mencari alasan lain.
Hiashi menggeleng pelan. Pastinya memang ada yang terjadi sehingga mereka baru memutuskan untuk datang pada Hiashi sekarang. Tapi rasanya tak pantas bagi Hiashi menanyakan hal itu pada Sasuke seorang. Baginya Hinata juga harus terlibat saat ia menanyakan hal yang sama itu kembali kepada mereka.
"Jadi benar namamu Uchiha Sasuke?" Hiashi menanyakan ulang pertanyaan pembuka mereka.
Kening Sasuke berkerut ringan, mengapa pria itu menanyakan namanya lagi? Memangnya apa yang salah? Namun Sasuke tak menyuarakan komentar apapun selain mengiyakan. "Benar."
Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam malam ini Hiashi menghela napas. Kali ini tatapannya lebih santai. "Beristirahatlah," ujarnya kepada Sasuke, ia kemudian meraih cangkir teh hijaunya untuk ia sesap isinya tanpa melirik Sasuke lagi.
Sasuke berkedip dua kali. Itu saja? Sungguh hanya itu? Dalam hatinya Sasuke berdecak enteng, kembali merasa hebat. Melupakan fakta bahwa beberapa menit yang lalu ia baru saja didera gugup setengah mati.
Sasuke berdiri dari sofa, membungkuk di hadapan Hiashi sebelum beranjak ke arah tangga menuju pintu kamar yang dimasuki Hinata, mengabaikan pelayan yang sebenarnya sudah siap mengantarnya. Namun belum anak tangga ketiga ia jejaki, suara Hiashi menghentikannya.
"Kamar tamunya ada di lantai bawah," ujar Hiashi tanpa menengok ke arah Sasuke.
Sasuke membalik tubuh. "Huh?" tatapan bertanya terarah pada Hiashi.
Barulah Hiashi mengangkat kepala setelah kembali meletakkan cangkirnya di atas meja, ia menoleh ke arah Sasuke dengan tatapan yang kembali membuat Sasuke bergidik. "Kau tidak berniat untuk tidur di kamar putriku, bukan?"
"Kenapa ti—eh..." jawaban spontan Sasuke mendadak terpotong oleh pemikirannya sendiri saat Sasuke menyadari ke arah mana ujaran Hiashi barusan. "Tentu saja tidak," koreksi Sasuke cepat dan berusaha terdengar sangat meyakinkan.
Hiashi masih menatapnya dalam diam.
"Aku hanya... ingin melihat anak-anak," kilah Sasuke saat mendapati tatapan tak percaya dari Hiashi.
"Kau bisa bertemu dengan mereka besok. Pelayan akan mengantarmu ke kamar," ujar Hiashi final tanpa berusaha memperpanjang masalah.
Sasuke menghela napas. "Baik. Terima kasih," balasnya rendah kemudian bergerak mengikuti satu pelayan yang juga sudah menyeret kopernya.
Hiashi melirik sosok lelaki itu sampai menghilang di balik dinding ruang tengah. Hanya ada dirinya di ruangan itu. Ia kemudian berdiri, melangkah menuju telepon rumah yang diletakkan di atas meja di salah satu sisi ruangan.
Tangannya meraih catatan kecil berisi coretan nomor-nomor penting. Dikebatnya beberapa lebar hingga ia menemukan nomor yang ia cari. Hiashi menekan nomor-nomor itu kemudian menunggu teleponnya tersambung.
..
...
..
Hinata segera berdiri dari ranjang ketika ayahnya muncul dari balik pintu kamar yang memang sejak awal tak ditutupnya dengan sempurna. Pancaran matanya menyiratkan banyak emosi yang bercampur saat ia melihat sang ayah lagi, namun dari sekian banyak emosi itu, perasaan bersalah lah yang paling mendominasi.
"Ayah," Hinata mencicit saat ayahnya mengambil posisi duduk di kursi riasnya dengan menghadap ke ranjang.
"Ke mana saja selama ini?" tanya sang ayah.
Hinata diam, ia gigit bibir bawahnya pelan berusaha menekan kegugupan yang ia rasakan. "Maaf, Ayah," hanya itu yang keluar dari bibir tipis Hinata.
Hiashi memandang putrinya itu, tak ada kemarahan pada pantulan manik kelabunya. "Seharusnya kau bicara pada ayah. Bukan langsung memutuskan untuk melarikan diri."
Hinata masih diam, ia memiliki argumen tersendiri. Tapi mana mungkin ia mengatakannya. Mana mungkin ia mengatakan bahwa pada dulu awalnya ia masih akan berdiskusi tentang masalah mereka namun urung karena ia keburu hamil tanpa tahu di mana ayah dari bayinya.
"Jika saja kau mengatakan sejak awal bahwa alasanmu menolak perjodohan yang ayah buat karena sudah memiliki lelaki lain, mungkin semuanya akan lebih mudah."
Hinata membiarkan sang ayah berspekulasi demikian. Bahwa dirinya kabur dari perjodohan itu karena ingin bersama Sasuke. Padahal faktanya saat itu ia malah sama sekali belum kenal betul manusia bernama Uchiha Sasuke.
"Banyak hal yang ingin ayah tanyakan, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat," ujar Hiashi, ia berdiri bergerak mendekati Hinata dan memeluk ringan putrinya itu. Tak ada kata yang keluar namun suasana yang mereka rasakan begitu jelasnya mengatakan bahwa orang tua tunggal itu merindukan putrinya.
Hinata membalas pelukan sang ayah meski awalnya cukup terkejut. Pasalnya, ia mengenal Hyuuga Hiashi bukanlah seorang yang bisa menyampaikan perasaannya dengan gamblang.
"Maafkan aku, Ayah," ujar Hinata lagi, tanpa sadar air mata menetes di pipi kanannya.
Hiashi melepaskan pelukannya kemudian berdeham kikuk. "Sebaiknya kau istirahat," ujarnya sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Hinata yang tersenyum haru kepadanya.
..
...
..
Uchiha Itachi bersandar malas di sofa ruang tamu rumah keluarga Uchiha. Penat masih kental dirasakannya karena pekerjaan. Siang tadi ia agak memaksakan diri menyelesaikan urusan kantornya agar bisa leluasa menggunakan akhir pekan esok hari.
Manik hitamnya memandang televisi layar datar dengan tatapan malas. Hatinya dongkol tapi ia terlalu malas untuk menggerutu. Ia menyalahkan adik kesayangannya, Uchiha Sasuke, atas segala kesengsaraannya sore ini. Pasalnya, sang adik malah mengambil izin tanpa alasan yang jelas di saat kantor sedang sibuk-sibuknya.
Jika diingat-ingat lagi, adiknya itu memang jadi terlihat sok sibuk dengan keperluannya di luar kantor belakangan ini. Itachi jadi curiga. Jangan-jangan adik bodohnya itu terlibat sindikat kelompok yakuza di luar sana.
Tapi ah... Itachi tahu Sasuke itu dari sekolah dasar pun paling malas dengan kegiatan organisasi dan semacamnya. Karena yakuza juga merupakan bentuk organisasi, jadi kemungkinan adiknya terlibat seperti itu mungkin kurang dari dua persen.
Itachi menghela napas, menggeleng pelan. Kenapa ia jadi memikirkan hal yang tidak penting sih? Tentang adiknya lagi. Padahal belum tentu Sasuke bodoh itu memikirkannya juga. Iya, kan? Itachi jadi manyun tanpa sebab pasti.
Manik hitam Itachi yang tak sepenuhnya terlihat karena kelopaknya yang layu semakin tenggelam. Perlahan lelaki itu menutup matanya, dalam angan berjalan menuju awan impian. Suasana ruang tamu pun begitu mendukung, cocok untuk menjadi nina bobonya. Begitu sejuk, begitu tenang, begitu...
Krriiing... krriiing...
Seperti raganya baru dijatuhkan dari lantai lima belas, Itachi tersentak seketika telepon rumah yang tersedia di ruangan itu berdering nyaring melalap habis hening nina bobonya. Itachi mendengus, ia melirik jam besar yang berdiri kokoh di salah satu sisi ruangan.
Hampir pukul sembilan. Seharusnya sudah jadi waktu yang buruk untuk menghubungi seseorang kecuali secara personal. Gerutunya dalam hati. Namun ia tetap mengangkat panggilan itu meski dengan separuh hati. Ia berdeham kecil sebelum melakukan sapaan.
"Halo. Di sini kediaman Uchiha," bukanya, menjaga suaranya agar tetap terdengar berwibawa di tengah rasa kantuknya.
"Ini aku, Hiashi," balas orang di ujung sana.
"Oh, paman. Ini, Itachi, ada yang bisa kubantu?" tanya Itachi tanpa basa-basi. Bukan Itachi tak sopan, hanya saja Itachi cukup mengenal kolega ayahnya ini merupakan pria yang memiliki karakter sebelas-dua belas dengan ayahnya. Sama-sama tidak suka basa-basi.
Itachi tahu Hyuuga Hiashi merupakan kolega dekat sang ayah, hanya itu, ia tak tahu banyak soal relasi keduanya lebih dalam. Ia lebih mengenal Hyuuga Hiashi sebagai paman dari teman sekampusnya dulu.
"Bisa kau sambungkan aku dengan ayahmu, nak?" tanya Hiashi.
"Tentu," tunggu sebentar.
Itachi baru akan menekan salah satu tombol di telepon. Mengingat sudah hampir pukul sembilan, Itachi merasa sang ayah mungkin sudah tidak lagi dinas di ruang kerja pribadinya. Jadi ia memutuskan akan menekan tombol yang langsung menghubungkan ke kamar orang tuanya.
Aksinya terhenti ketika sang ayah muncul dengan sendirinya dari tangga.
"Oh sebentar, paman. Ini ayah," ujar Itachi melanjutkan.
"Siapa?" Uchiha Fugaku mempertanyakan ketika Itachi menengok ke arahnya.
"Paman Hiashi. Katanya ingin bicara dengan ayah," kata Itachi sambil menyodorkan teleponnya ke sang ayah.
Kening Fugaku berkerut ringan, agak heran dengan rekannya itu. Tak biasanya Hiashi menghubunginya lewat telepon rumah, apalagi pada jam-jam segini. Ia mengambil alih telepon yang disodorkan Itachi dan mendekatkannya ke telinga.
"Halo, Hiashi. Ada apa?" singkatnya.
"Seorang lelaki datang ke rumahku, dia mengaku namanya Uchiha Sasuke," jawab Hiashi, lagi-lagi tanpa basa-basi. "Hanya ingin memastikan apa mungkin dia Sasuke putramu yang waktu itu ingin kau perkenalkan."
Fugaku agak terkejut, namun ia mempertahankan ekspresinya agar tak terlihat berlebihan. Bisa-bisanya ada yang mengaku-ngaku sebagai anaknya di depan Hiashi. "Seperti apa orangnya?"
"Cukup mirip Itachi, hanya saja rambutnya lebih pendek," Hiashi merangkum pendek gambaran sosok Sasuke.
"Ada ciri-ciri lain?" tuntut Fugaku, ia tak rela jika keluarganya dipermainkan. Tak tahu saja kepala keluarga kita yang satu ini bahwa putra bungsunya memang kembali berulah.
"Mata dan rambutnya hitam, tapi lagi, banyak yang memiliki figur seperti itu," ujar Hiashi tenang. "Ada ciri-ciri yang bisa lebih memberi kepastian bahwa itu putramu?"
"Uhh..."
Itachi yang samar-samar mendengar percakapan itu sedikit menyela. "Tanyakan apa model rambutnya seperti bokong itik," usul Itachi kepada Fugaku.
Kening Fugaku berkerut, menanyakan hal itu agaknya kurang etis. Tapi mau bagaimana lagi? Pada akhirnya ia menggunakan usulan Itachi. "Bagaimana model rambutnya? Apa terlihat seperti... bokong itik?"
Jeda beberapa saat dalam sambungan itu hingga Hiashi kembali merespons. "Ya, sejenis itu."
Jawaban Hiashi semakin membuat Fugaku kembali terkejut dan Itachi nyaris berteriak.
"Kalau begitu itu delapan puluh persen Sasuke!" seru Itachi.
Fugaku mendelik ke arah Itachi, menatap tak suka dengan keributan dadakan yang tercipta, walaupun ia mengiyakan seruan putra sulungnya itu. Pasalnya gaya rambut Sasuke memang sangat jarang ditemukan di dunia ini. Bagaimanapun, Fugaku mencoba mengatasi keterkejutannya.
"Mungkin itu memang Sasuke. Tapi apa yang dia lakukan di rumahmu?"
"Dia datang bersama Hinata."
"Apa? Hinata sudah kembali? Lalu Sasuke... apa maksudnya?"
"Ya. Mereka datang ke sini, bersama dua balita. Mereka mengaku itu anak-anak mereka," Hiashi terdengar menghela napas di seberang sana.
"Apa?" Fugaku merasa ia kehilangan kecakapan berbicaranya. "Tunggu, Hiashi, jangan tutup sambungannya dulu," pintanya.
Fugaku menarik telepon dari telinganya, meletakkannya di depan dada kemudian berbalik menatap Itachi.
"Itachi, di mana Sasuke sekarang?" tanyanya.
"Entahlah, mungkin di apartemennya... atau mungkin tidak," tebak Itachi. "Dia juga tidak masuk kantor hari ini," tambahnya menginformasikan.
"Coba hubungi adikmu itu," titah Fugaku.
Itachi segera merogoh saku celananya dan mengambil ponsel miliknya dari sana. Jemarinya bergerak di layar datar benda itu, mencoba menelepon Sasuke. Tak lama sejak sambungan terhubung, Sasuke mengangkat panggilannya. Itachi mengaktifkan mode pengeras suara pada sambungannya.
"Kau di mana, adik bodoh?" tanya Itachi langsung tanpa sapaan sama sekali.
"Kau mengganggu," jawaban yang sangat tidak nyambung diberikan Sasuke dari ujung telepon.
"Aku bertanya kau di mana? Di apartemenmu?"
"Kau ini apa-apaan sih, ingin tahu sekali," cibir Sasuke lagi.
Fugaku mulai tak sabar dengan percakapan kedua putranya yang tak ada serius-seriusnya itu. Ia kemudian membuka mulut. "Ini ayah, Sasuke. Kau di mana sekarang?"
Jeda tercipta setelah Fugaku bersuara. Di ujung sana, Sasuke mengernyit heran. Ada rasa ingin tertawa meledek Itachi yang dikiranya tengah berpura-pura menirukan suara sang ayah. Namun Sasuke seperti yakin itu benar-benar suara ayahnya.
"Di mana kau sekarang, Uchiha Sasuke?"
Oke, Sasuke jelas sudah yakin kalau itu benar suara sang ayah. Mana mungkin kakak bodohnya itu bisa mengeluarkan suara yang sebegitu mengintimidasinya. Tak lama, ia menjawab.
"Aku sedang di luar kota. Ada apa?"
"Di mana?"
"Hokkaido."
Baiklah, delapan puluh persen yang tadi Itachi sebutkan sekarang bertambah menjadi sembilan puluh persen berkat jawaban singkat Sasuke. Baik Fugaku maupun Itachi tahu jelas kediaman Hyuuga berada di Hokkaido.
"Ada perlu apa kau di sana?" tanya Fugaku lagi.
"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan. Akan aku ceritakan saat aku kembali nanti," jawab Sasuke ringan.
"Sekarang kau bermalam di mana? Di hotel?" Itachi menyela, entah terpikirkan dari mana pertanyaan itu.
"Tidak. Aku menginap di rumah seseorang," jawabnya dengan nada mencibir, mengetahui kali ini kakaknya lah yang bertanya.
Fugaku dan Itachi kompak berkedip.
Baiklah.
Sembilan puluh tujuh persen.
"Memangnya ada apa, huh?" Sasuke akhirnya mempertanyakan motif keluarganya itu menghubunginya malam-malam begini.
"Tidak apa-apa," jawab Fugaku datar.
"Sudah dulu, adik bodoh," sambung Itachi kemudian memutus panggilan teleponnya.
Fugaku kembali mendekatkan telepon rumahnya ke telinga kemudian berkata. "Hiashi?" panggilnya, memastikan orang di ujung sana masih tersambung dengannya.
"Ya?"
"Kau tidak keberatan jika kami mampir besok?" tanya Fugaku.
"Tentu, tidak."
"Baik. Kami akan ke sana besok. Sampai jumpa."
"Ya, sampai jumpa," ujar Hiashi sebagai penutup sebelum sambungan terputus.
Fugaku kembali menghadap Itachi." Itachi, siapkan empat tiket pesawat penerbangan pertama ke Hokkaido untuk besok."
"Empat?"
"Kau dan kakekmu juga harus ikut," ujarnya dengan nada tak terbantahkan.
"Baiklah," gumam Itachi, dalam hati mendengus. Hangus sudah impiannya untuk menghabiskan akhir pekan yang membahagiakan. Dan lagi-lagi ini karena Sasuke.
Dasar adiknya itu memang.
..
...
..
Hokkaido pagi ini dingin sekali. Membuat Sasuke yang dasarnya memang malas bangun pagi semakin enggan menyibak satu incipun selimut yang menutupi tubuhnya. Lelaki itu membolak-balikkan tubuhnya, mencari posisi yang dikiranya paling bisa menghangatkannya. Dan saat itu, meski masih dengan mata terpejam, pikiran Sasuke sudah bisa memproses beberapa angan.
Salah satunya adalah angan jika saja Hinata tidur dengannya sekarang. Pasti ia tidak perlu repot cari posisi untuk menghangatkan tubuhnya. Kalau ada Hinata di sampingnya kan Sasuke tinggal merapat terus memeluk tubuh sintal wanita itu.
Baru saja Sasuke menemukan posisi yang tepat dan hendak melanjutkan lelapnya. Ia merasa tubuhnya diguncang pelan oleh seseorang. Masih dengan kelopaknya yang tertutup rapat menyembunyikan manik hitamnya, Sasuke manyun karena merasa terganggu.
"Sebentar lagi," gumam Sasuke setelah mendapati guncangan itu tak berhenti, malah semakin bertenaga. "Sebentar lagi, Sayang," gumam Sasuke lagi, masih dengan mata tertutup.
Sayang? Yah, Sasuke yakin ini ulah Hinata. Sejak tinggal bersama, wanita itu memang sudah terbiasa membangunkannya di pagi hari seperti sekarang. Tapi itu sih baru keyakinan Sasuke saja. Siapa tahu dia salah.
"Sayang?" gumam orang yang mencoba membangunkan Sasuke. Kembali ia goncang tubuh Sasuke, kali ini sembari memanggil namanya. "Sasuke. Bangun Sasuke!"
Mata Sasuke mulai mengerjap mendengar panggilan itu. Ada yang aneh menurutnya. Kok panggilannya seperti bukan Hinata sekali? Sasuke terdiam, kini lelaki itu sudah dapat melihat apa yang ada di hadapannya meski masih cukup samar. Tidak ada siapa-siapa, kok.
"Sasuke!"
Sasuke kembali mengerjap. Panggilan itu lagi. Jelas bukan Hinata, tapi... rasanya suara itu begitu familier di telinganya. Sasuke mulai bergerak, orang itu tak ada di depannya, jadi mungkin ia kini memunggunginya.
Sasuke memutar posisi tubuhnya tanpa terburu-buru. Oke, mungkin kita bisa menambahkan efek slow motion mulai dari sini agar lebih terasa dramatis. Sasuke membalikkan tubuhnya perlahan, fungsi netranya pun semakin menajam. Hingga belum ia sempurna berbalik, kelopaknya yang tadinya masih menggantung sayu terbuka semakin melebar, hingga sangat lebar mengetahui siapa yang berdiri di sisi ranjangnya. Mulutnya menganga melengkapi efek keterkejutannya.
"Ka-kakek..."
..
...
..
Hinata menuruni tangga dengan Kiarra yang tenang di gendongannya. Masih pagi, Kazuki masih terlelap dan Hinata memilih untuk membiarkan putranya itu menikmati waktu istirahatnya lebih lama. Dan bicara soal lelap, ia yakin Sasuke juga masih lengket dengan ranjangnya. Tapi ia juga tak berniat membangunkan Sasuke, dipikirnya mungkin lelaki itu lelah karena perjalanan kemarin.
Hinata hendak membawa dirinya ke dapur, mencari asupan paginya dan mungkin menyiapkan sarapan untuk yang lain jika Kiarra masih bisa diajak berkompromi. Namun belum langkahnya menapaki anak tangga paling dasar, keningnya dibuat berkerut samar ketika mendapati ruang tamunya diisi oleh lima kepala. Selain sosok sang ayah, Hinata hanya mengenali Neji yang entah kapan datang mengingat semalam ia tak melihat wujud sepupunya itu di rumah ini.
Tamu? Sepagi ini?
"Ah, Hinata."
Panggilan sang ayah membuatnya mengurungkan niat awal untuk mengabaikan kumpulan manusia dewasa itu. Hinata membelokkan arah jalannya menjadi ke tengah ruang tamu. Tanpa perintah, Hinata membungkuk dan mengucapkan sapaan selamat pagi kepada orang-orang di depannya.
Di kursi paling panjang, tiga orang dengan surai kelam yang serupa duduk. Yang paling dekat dengan Hinata merupakan seorang lelaki dengan rambut panjang bermodel ikat rendah, hampir seperti gaya rambut Neji. Ia terlihat masih muda kalau bukan karena garis kerut di wajahnya.
Di samping lelaki itu, satu-satunya wanita duduk di kursi ruang tamu. Jika Hinata tebak-tebak, usia wanita dengan keanggunan yang begitu menguar itu tak jauh dari usia ibunya jika masih hidup. Dan selanjutnya, duduk di posisi paling dekat dengan kursi tunggal yang disusuki sang ayah, seorang pria paruh baya yang sepertinya seumuran dengan ayahnya itu. Neji sendiri duduk di seberang pria paruh baya itu.
Hinata berkedip, dua orang asing itu—yang Hinata yakin merupakan suami istri—agak memanggil memori Hinata. Entah apa mereka pernah bertemu sebelumnya, tapi wajah keduanya tampak tak begitu asing.
"Hinata?" Wanita paruh baya itu berdiri dan mendekat, manik hitamnya berbinar menatap Hinata.
Hinata berkedip cepat beberapa kali. Semakin wanita itu mendekat, semakin Hinata dapat mengingat wajah itu.
"Bi-bibi?" gumam Hinata ragu, sangat ragu. Pertama karena ia mengingat wanita itu, dan kedua karena ia tak mengenal wanita itu. Membingungkan, bukan?
"Kau masih ingat aku?" tanya wanita itu.
Baiklah, singkatnya Hinata mengingat wajah itu. Well, ia tidak mungkin begitu saja melupakan wajah yang ia campakkan secara kurang etis di hadapan sang ayah tiga tahun silam. Ya, Hinata ingat wanita itu adalah teman ayahnya yang saat itu datang ke rumah mereka dengan agenda perjodohan untuknya. Tapi Hinata tidak mengenal wanita itu atapun pria yang ia pastikan suami wanita itu—yang pastinya merupakan lelaki yang juga menerima penolakan sepihak Hinata tiga tahun silam.
Hinata ingat saat ayahnya memintanya turun dan menyapa kedua tamunya itu, bukan ikut duduk bergabung, ia malah berdiri di hadapan pasangan suami istri itu dan tanpa instruksi membungkukkan tubuhnya. Meminta maaf keduanya dan juga ayahnya bahwa ia menolak apapun yang mereka tawarkan kemudian pamit keluar tanpa penjelasan lebih detail. Hinata berlalu meninggalkan sang ayah dan mantan calon mertua—yang bahkan belum ia tahu namanya.
"Apa Si Cantik ini cucuku?" tanya wanita itu setelah beberapa saat Hinata tak menjawab. Jemari lentiknya mengusap lembut pipi Kiarra yang masih anteng di dekapan Hinata.
Hinata yang masih belum memahami keadaan di sekitarnya belum dapat menemukan kata untuk diucapkannya. Ia masih mencoba menelaah kata 'cucuku' yang disebutkan oleh wanita yang menurutnya begitu mirip dengan Sasuke itu.
Eh... tunggu...
Apa yang ia pikirkan tadi? Wanita itu mirip Sasuke?
Hinata mencuri tatap untuk memastikan kesimpulan singkatnya itu dan ya Tuhan... Sasuke bisa saja jadi kembaran wanita itu hanya dengan menggunakan wig panjang. Hinata melirik dua orang asing lainnya kemudian mulai menyadari kesamaan dari mereka.
Hinata mulai berpikir apa mungkin Sasuke langsung meminta keluarganya juga untuk datang ke kediamannya? Tapi Hinata yakin kalau pasangan suami istri itu merupakan kolega sang ayah yang ia tolak tiga tahun lalu. Jadi apa artinya?
"Cantiknya..." Hinata kembali mendengar suara riang wanita itu. "Siapa namanya? Boleh aku menggendongnya?"
"Uh..." Hinata agak bingung untuk merespons, jadi pada akhirnya ia hanya mengangguk, menyerahkan Kiarra ke tangan wanita itu. "Kiarra. Namanya Kiarra," jawabnya.
"Uhh... namanya secantik wajahnya," puji wanita itu gemas. "Lalu mana cucuku yang satu lagi?"
Meski masih belum sepenuhnya paham, namun Hinata agaknya mengerti yang wanita itu maksudkan. "Kazu masih ti—"
"AMPUNI AKU KAKEK!"
Teriakan dari salah satu kamar—yang Hinata yakin adalah teriakan Sasuke—merambat mengisi ruang tamu, membuat Hinata menghentikan ucapan tak rampungnya. Tak hanya Hinata, seluruh kepala di sana juga dibuat terkejut dengan teriakan membahana itu.
"KUMOHON MAAFKAN AKU."
Teriakan itu kembali terdengar dengan dramatisnya.
"Kemari kau cucu kurang ajar!"
Suara yang berbeda terdengar, yang satu ini tak berteriak, namun terdengar cukup jelas dan tegas.
Setelahnya pintu kamar tamu yang ditempati Sasuke terbuka, menampakkan Sasuke yang sudah berdiri dengan telinga kiri di tarik oleh seorang lelaki dengan rambut hitam panjang yang jelas terlihat lebih tua dari ayah Hinata.
Sasuke yang awalnya meringis karena jeweran di telinganya mengubah raut wajah menjadi melotot tak percaya melihat sosok keluarganya di ruang tamu kediaman Hyuuga.
"Hinata..." Hanya nama itu yang terucap oleh bibir Sasuke, seakan meminta Hinata menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tak tahu saja kalau calon istrinya itu juga sama bingungnya.
Sasuke kemudian beralih menatap sang kakek, meminta pencerahan namun hanya dibalas dengan sorot pasif sebelum dirinya kembali di seret untuk bergabung dengan keluarganya yang lain di tengah ruang tamu.
"Ibu... apa yang terjadi? Kenapa kalian di sini?" tanya Sasuke panik, darah di wajahnya seperti terkuras habis ke luar. Hinata sendiri kembali dilanda kebingungan mendengar Sasuke memanggil tamu ayahnya ini dengan sebutan ibu. Memanggil mantan calon mertuanya dengan sebutan ibu.
Jadi... mungkinkah? Hinata menggeleng. Lucu sekali rasanya memikirkan kalau kolega sang ayah yang tiga tahun silam ditolaknya itu adalah orang tua Sasuke, terlebih jika orang yang akan dijodohkan dengannya adalah lelaki yang sama yang kini menjadi ayah dari dua anaknya.
"Apa yang terjadi?" Wanita itu—ibu Sasuke—menyahut sengit, namun suaranya ditekan rendah agar tak mengganggu Kiarra yang digendongnya. "Kau menghamili calon menantuku dua kali tanpa menikahinya dan sekarang kau berani bertanya apa yang terjadi?!"
"Huh?"
Dan gumaman bingung yang satu itu datangnya dari Sasuke dan Hinata.
..
...
..
Sasuke dan Hinata kini duduk bersisian. Pandangan tiap pasang mata di sana tepat menuju ke arah mereka, seolah tengah mengadili. Kiarra yang masih Mikoto—ibu Sasuke—gendong menggeliat kecil, tak menampakkan bahwa bayi itu tak nyaman di tangan sang nenek. Sedang Kazuki yang sudah bangun beberapa saat yang lalu kini berada di pangkuan Hinata—well, sebenarnya Sasuke ingin memangkunya, namun lelaki itu tidak sanggup dengan putranya yang terus jelalatan ingin dekat dengan Kiarra, dan hanya Hinata yang bisa menahan kebandelan sulung mereka itu.
"Jadi..." Sasuke untuk yang Kesenian kalinya melirik wajah Madara—kakekknya—seolah wajah renta yang masih dibilang tampan itu adalah harapan terakhirnya untuk keluar dari kebingungan ini. Namun sang kakek masih sama pasifnya.
"Jadi sebenarnya Hinata itu calon istriku," celetuk Itachi yang seketika dihadiahi tatapan sengit Sasuke.
"Itachi." Panggilan bernada teguran itu datangnya dari Fugaku.
"Oke, maaf... maaf," responsnya kepada sang ayah sebelum memilih menutup mulut lebih lanjut.
Fugaku berdeham kecil sebelum kembali bersuara. "Sasuke... kau ingat ayah memintamu ikut ke Hokkaido tiga tahun silam?"
Sasuke tak lantas menjawab, keningnya berkerut mencoba mengingat. Dan seingatnya, ia memang pernah mengikuti ayah dan ibunya ke Hokkaido dengan dalih urusan bisnis. Sasuke tak begitu mengingat detailnya, hanya saja, ia ingat saat itu ia menjadi dirinya yang pembangkang. Bukan langsung menemui orang tuanya di tempat yang telah mereka janjikan, ia malah pergi ke klub malam kemudian bertemu dengan Hinata—
Oh...
Netra Sasuke membulat. Apa itu tadi? Bertemu Hinata?
Tunggu... jangan bilang kelanjutannya akan menjadi seperti drama yang saat ini menjadi dugaan terdepan di benak Sasuke.
Sasuke mengedarkan pandangannya, memandang bergiliran tiap pasang mata yang menunggu jawabannya. Oniksnya terakhir ia tumbukkan dengan iris lavender Hinata sebelum kembali menatap sang ayah.
"Uhh... ya," jawabnya pendek, menyatakan bahwa ia mengingat apa yang ayahnya maksudkan. "Memangnya... kenapa?" tanyanya hati-hati.
Helaan napas gusar terdengar dari mulut Mikoto. "Saat itu kami ingin mempertemukanmu dengan Hinata!"
"Apa?" Kali ini, pertanyaan hasil dari keterkejutan itu bersamaan meluncur dari pasangan calon pengantin kita.
"Tunggu... maksudnya... kalian?" Sasuke terbata mencari kata, ia merasa bodoh karena situasi yang tercipta.
"Jadi saat itu Ayah berniat menjodohkanku dengan Sasuke?" tanya Hinata, langsung kepada sang ayah.
"Huh? Aku?!" Sasuke merespons kilat atas apa yang ditanyakan Hinata kepada Hiashi, ia semakin merasa bodoh. "Kalian berusaha menjodohkanku? Kapan? Kalian bahkan tidak pernah mengatakan apapun tentang itu?" Sasuke memberondong orang tuanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Baiklah, hal ini memang sesuai dengan dugaan Sasuke sebelumnya. Tapi Sasuke tak bisa menahan diri untuk tak terkejut. Semua kebetulan ini terlalu lucu. Lucu yang mengerikan.
"Kalau kami beri tahu terlebih dahulu, kau pasti akan seketika menolaknya," jawab Mikoto, kepalanya menggeleng kecil mengingat sifat putra bungsunya itu.
"Ak—"
"Sangat disayangkan." Hiashi memotong apapun yang hendak Sasuke suarakan. "Kalian terlalu gegabah. Jika saja kalian mau mengatakan dan menjelaskannya dari awal, mungkin semuanya tidak akan serumit ini."
"Huh?" gumam Sasuke sadar tak sadar, Hinata yang perhatiannya terbagi oleh Kazuki di pangkuannya pun bertanya-tanya meski tak menyuarakannya seperti Sasuke.
"Jika saat itu kau mengatakan alasan menolak perjodohan ini adalah karena kau sudah memiliki kekasih, ayah akan mengerti. Ayah tidak akan memaksamu." Hiashi kembali angkat bicara, tiap kalimatnya tertuju pada putri tercinta.
Hinata menunduk, tak berani menatap ayahnya. Sasuke yang merasakan aura wanitanya menyendu, refleks merayapkan tangannya untuk meraih tangan Hinata untuk digenggamnya, berusaha memberi sedikit semangat.
"Benar, kami tidak akan memaksa, kau tidak perlu pergi dari rumah," tambah Mikoto. "Terlebih ternyata kekasihmu itu Sasuke," ujarnya lagi.
Baik Hinata dan Sasuke mengangkat kepala mendengar persepsi Mikoto. Wanita paruh baya itu—oh tidak, yang benar semua jiwa di ruangan itu—menganggap mereka adalah pasangan kekasih sejak awal.
"Maksud Ibu... kalian menganggap Hinata kabur karena ingin bersamaku?" tanya Sasuke dengan sangat hati-hati.
Mata tua Hiashi memicing seketika, merasakan kejanggalan dari pertanyaan itu. "Ada yang salah?" tanyanya langsung.
"Uh tidak... tidak," jawab Sasuke cepat. "Maksudku, ya... memang seperti itu."
"Bisa kau jelaskan, Sasuke?" tekan Fugaku yang juga menangkap gelagat aneh putranya.
"Hi-Hinata kabur karena aku yang memintanya," jawab Sasuke dalam satu tarikan napas, berharap setelah kalimat cepatnya itu menyapa gendang telinga calon ayah mertua, jiwanya akan tetap melekat dalam raganya.
Hiashi diam dengan tatapan menuntut, menunggu apapun yang akan Sasuke ucapkan selanjutnya. Sama halnya dengan kepala lain yang hadir di ruangan itu.
"Aku..." Sasuke dengan cepat memutar otaknya, menyusun alibi terbaik untuk mengelabui genius-genius di sekelilingnya. "Aku yang meminta Hinata kabur bersamaku saat itu," jawabnya lancar setelah satu tarikan napas ia selesaikan.
Hinata melirik ke arah Sasuke, jelas memahami bahwa lelaki itu kini tengah menyusun skenario untuk menyelamatkan dirinya sendiri, atau mungkin menyelamatkannya juga. Ia tak tahu apa yang akan Sasuke katakan, jadi ia memilih diam karena salah-salah, ia dapat menghancurkan sandiwaranya.
"Saat ayah dan ibu memintaku ke Hokkaido, sebenarnya aku benar-benar menuruti perintah kalian untuk pergi ke sini," buka Sasuke.
"Tapi kau tidak datang ke tempat yang dijanjikan," tekan Fugaku.
"Aku... menemui Hinata," jawabnya, mengundang tatapan tanya dari yang lainnya. "Kami sudah berkencan cukup lama tapi kami sangat jarang bertatap muka. Jadi mengertilah... aku di kota tempat tinggal kekasihku, mana mungkin aku akan melewatkan hari untuk menemuinya."
Good job, Sas. Rasanya Sasuke ingin menepuk bangga bahunya sendiri.
"Jadi aku menemuinya hari itu dan mengabaikan janjiku dengan kalian," ungkap Sasuke, berusaha sebisa mungkin memoles topengnya. "Tapi saat kami berjumpa, Hinata malah mengatakan kabar kalau ia dijodohkan. Tentu aku tidak menerimanya. Sejak saat itu aku terus mendesaknya untuk menolak perjodohan itu, tapi dia mengatakan bahwa sulit untuk menolaknya. Hingga akhirnya aku memintanya untuk pergi bersamaku." Sasuke meneguk salivanya sendiri setelah mengatakan kebohongan-kebohongan itu.
Sial, apanya yang mengajak kabur. Kenal saja tidak. Tentu, mereka kan hanya sekedar teman ranjang semalam saat itu.
"Aww... kau pasti sangat mencintai Hinata, Sayang." Mikoto berujar dengan mata berbinar.
"Tentu saja," jawab Sasuke dengan dagu terangkat.
"Kalau begitu kenapa kau belum juga menikahi putriku sampai sekarang?" tanya Hiashi rendah.
"Itu..." Sasuke melirik Hinata, agak tak menduga pertanyaan itu. "Itu karena Hinata..."
Hinata mendelik namanya diucapkan. Ia memiliki firasat buruk kalau Sasuke berniat untuk menjual namanya untuk memuluskan drama yang dibuatnya.
"Hinata bilang ia tidak ingin menikah denganku sebelum mendapat restu Anda," jelas Sasuke mantap kepada Hiashi. "Itulah mengapa kami... belum juga menikah."
Hinata menahan diri untuk tak mendengus. Benar kan dugaannya. Sasuke menjual namanya.
Hiashi menghela napas, ia memandang putrinya beberapa saat sebelum menyuarakan keputusannya. "Aku tetap tidak menyukai situasi ini. Apapun alasannya," ungkapnya, membuat baik Hinata maupun Sasuke menegang, mengekspektasikan sebuah penolakan restu. "Tapi kalian sudah sejauh ini hingga memberikanku dua cucu sekaligus. Kurasa aku tidak memiliki pilihan lain."
Hinata menatap sang ayah dengan kelopak mata melebar, antara tak percaya dan lega. Sedang Sasuke, senyum menawannya merekah mendengar ucapan calon ayah mertuanya yang mengandung jawaban tersirat berupa lampu hijau untuk Sasuke meminang putrinya.
-END-
.
.
.
..
...
..
.
.
.
"Ka-kakek?"
Sepersekian detik setelah dilanda keterkejutan, Sasuke dengan cepat beringsut ke sisi lain ranjang tidurnya, menjauh sebisa mungkin dari tempat Madara—kakeknya—berdiri.
Matanya yang semula masih begitu berat digelantungi rasa kantuk menatap liar sekelilingnya, memastikan ia benar-benar berada di rumah orang tua Hinata, sesuai dengan apa yang diingatnya.
"Ka-kakek... kenapa bisa... kakek di sini?" ucapnya kacau.
"Kenapa? Kau tanya kenapa, Sasuke?" Madara bersedekap, rautnya terlihat begitu serius. "Tentu karena aku dengar salah satu cucuku menghamili putri seorang kolega dekat Uchiha," jawabnya.
Sasuke menelan ludah, merasa seperti maling yang tertangkap basah. Ia masih menjaga jarak dengan sang kakek. Memberinya jarak aman kalau-kalau nantinya ia harus menerima murka pria tua itu.
"Jadi... ada yang ingin kau katakan, Sasuke?" tanyanya lagi, dengan nada rendah yang meniupkan hawa dingin. Tak juga mendapat respons dari cucunya, Madara menghela napas. "Kemari, Sasuke," titahnya.
Sasuke masih bergeming, seperti kucing yang terpojokkan oleh anjing.
"Kemari dan berdirilah di hadapanku, Uchiha Sasuke," tekannya.
Sasuke bergidik. Ia tentu tahu kebiasaan kakek dan ayahnya. Mereka akan memanggil dengan nama lengkap saat mereka benar-benar dalam mode serius.
Yang Sasuke tahu, ia tak lagi memiliki pilihan. Akhirnya ia bergerak menuruni ranjang dan mendekati sang kakek. Ia menahan ketakutannya, bersiap akan apapun yang nantinya seorang Uchiha Madara hadiahkan kepadanya atas apa yang telah diperbuatnya.
Mata Sasuke yang terpejam menunggu kemungkinan terburuk akan menimpa dirinya seketika terbuka saat tubuhnya direngkuh erat oleh Madara.
"Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," ujar Madara dengan nada berbangga sambil menepuk punggung Sasuke.
Sasuke berusaha melonggarkan pelukan itu. "Huh?" tanyanya tak mengerti.
Madara menarik dirinya namun masih melekatkan kedua tangannya di bahu Sasuke. "Aku hampir putus asa, berpikir bahwa aku akan mati tanpa dapat melihat cucuku berguna untuk pelestarian generasi Uchiha," ujar Madara, matanya berkaca, suaranya kental dengan haru yang mendalam. "Tapi kau..." Madara lagi-lagi menepuk bahu Sasuke.
"Uhh... kakek?"
"Kau membuatku tenang jika aku mati nanti." Madara menyela dengan dramatisnya.
"Kakek, kau... kau tidak marah?" selidik Sasuke.
"Marah? Kenapa aku harus marah?" Madara tersenyum lebar. "Kau memberikanku dua cicit yang begitu aku idamkan, bagaimana bisa aku marah padamu?" Ia menahan tawa bahagianya agar tak terdengar siapapun di luar kamar.
Sasuke mengangguk pelan, masih tak dapat mengerti apa yang ada di pikiran kakeknya. Oh ayolah, ia sudah mencoreng nama baik Uchiha dengan menghamili wanita di luar pernikahan, dua kali, dan kakeknya melepasnya begitu saja? Ini jelas membingungkan.
"Bagaimanapun..." Suara Madara selanjutnya membuyarkan kebingungan Sasuke. "Ayah dan Ibumu tidak begitu senang dengan kelakuanmu ini," ujarnya menginformasikan. "Dan aku juga berpura-pura marah terhadapmu saat mereka memberitahuku hal ini. Jadi..." Madara mengambil jeda sesaat. "Kau juga harus berpura-pura seolah aku datang kemari untuk memberimu pelajaran, mengerti?" lanjutnya separuh berbisik.
Bibir Sasuke membentuk huruf O. Ada konspirasi rupanya. Ia memang masih belum sepenuhnya paham dengan situasi saat ini, namun mengetahui bahwa sang kakek ada di pihaknya dirasa sudah cukup.
"Beraktinglah seolah aku memukulmu, mengerti?" sela Madara lagi.
Butuh beberapa detik untuk Sasuke memproses perintah itu sampai...
"OWWWW..."
Sasuke menyuarakannya dengan kencang, menatap Madara ragu. Menanyakan secara tersirat apakah ia sudah melakukan hal yang benar. Melihat Madara yang mengangguk semangat membuat Sasuke semakin melanjutkan aktingnya.
"AWWW KAKEK!" teriak Sasuke lagi dengan Madara yang masih menyemangatinya. "AWWW... AMPUNI AKU KAKEK!"
.
..
.
.
a/n
Ini... udah lama banget ngebangke di laptop dan baru rampung sekarang. Pengennya tadi saya publish waktu bday Hinata, tapi itu masih lama bangeeetttt. Dan akhirnya... ini dia...
Maklumi kalo aneh, maksa, banyak ranjau typo dan banyak anu ini lainnya