A NamJin Fanfiction

( Kim Namjoon x Kim Seokjin of BTS)

.

Milky Way©peachpeach

.

All cast belongs to God, themselves, family and management. Story line is mine. No profit taken.

.

.

You're already bright

But I'll make you shine even brighter than now tonight

[VIXX – Milky Way]

.

"Apa yang membuatmu tertarik dengan Namjoon?" Seokjin mengalihkan atensinya dari hafalan unsur pada tabel periodik dengan kening berkerut hanya untuk menatap Jaehwan yang menunggu jawabannya. "Jangan kira aku tidak pernah melihatmu di antar Namjoon sampai depan asrama sebelum jam malam." Jaehwan memasukkan sebutir permen cokelat ke dalam mulutnya, mengunyahnya dengan cepat, lalu menekan kalkulator untuk memastikan jawaban hitungannya benar. Hari ini memang akhir minggu, tapi bagi siswa tingkat akhir seperti mereka, hari Sabtu siang bukan saatnya untuk bersantai dengan bermain game atau hang out ke Hongdae. Dua minggu ke depan, mereka akan menghadapi ujian akhir sekolah dan tes CSAT.

"Dia hanya jadi tutorku, Jaehwan-ah. Tidak lebih. Lagipula, Namjoon memang pantas untuk membuat siapa saja tertarik bukan?" Jaehwan meletakkan pensil mekaniknya setelah menulis deretan angka untuk melengkapi jawaban pada lembaran soal latihan yang tersebar di meja kecil miliknya, kemudian ia menatap Seokjin dengan dagu yang tertumpu pada kedua tangannya yang terjalin.

"Bukan tidak mungkin jika Namjoon menyimpan perasaan yang lebih kepadamu. Aku mengenal Namjoon semenjak kelas satu, tapi baru kali ini aku melihatnya tersenyum begitu hangat ketika bersamamu. Dan aku yakin seratus persen jika kau juga punya perasaan yang lebih kepada Namjoon, Seokjin-ah…"

Keadaan kemudian hening sejenak, tidak ada dari keduanya yang membuka suara untuk melanjutkan obrolan. Tapi Jaehwan masih disana, menunggu Seokjin yang kini sedang menggigit bibir bawahnya dengan raut ragu. "Namjoon…ah, aku merasa ia terlalu tinggi untukku, Jaehwan-ah. Perhatiannya selama ini memang menyita hampir sebagian besar kinerja otakku, tapi aku tidak mau berharap lebih. Ia punya segalanya, dan aku takut untuk maju—bahkan hanya selangkah untuk mendekati Namjoon. Keluarganya pasti sudah punya jodoh terbaik untuknya."

"Jadi intinya kau menyukai Namjoon!" pekik Jaehwan yang gemas setengah mati melihat Seokjin yang merona di depannya. "Jangan pesimis—" ucapan Jaehwan terhenti ketika keduanya kompak menoleh ke arah pintu kamar mereka yang diketuk.

"Kau pesan makanan atau belanja online lagi?" Jaehwan menggeleng, kemudian membiarkan Seokjin untuk membuka pintu kamar mereka. Mungkin penghuni kamar sebelah yang ingin meminjam catatan untuk ujian esok hari.

"Hai, Seokjin…" Namun tebakan Seokjin seratus persen salah ketika melihat Namjoon berdiri di depan pintu kamar asramanya dengan segaris senyum yang turut memamerkan lesung pipinya yang menawan.

"Oh, h-hai Namjoon." Seokjin tersenyum kikuk, sedikit salah tingkah ketika Namjoon mengamatinya dari atas sampai bawah, padahal ia belum mandi. Hanya menggosok gigi dan mencuci muka dengan foam tadi pagi. Sedangkan Namjoon? Oh, pemuda itu bahkan seperti toko pakaian mahal yang sedang pindah dan berdiri di depan Seokjin.

"Well, mau jalan-jalan denganku? Belajar sepanjang minggu juga bukan hal yang baik menurutku," Namjoon memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie Supreme berwarna abu-abu yang ia kenakan dengan keren, "—kita butuh sedikit refreshing. Red velvet dengan secangkir latte?" lanjutnya.

"Uhm, tapi aku belum mandi." Rona merah muda menjalari pipi putih Seokjin yang kini sedang menunduk malu, sementara Namjoon tertawa pelan.

"Take your time, then. Ku tunggu sampai kau selesai…"

. . .

Seokjin pikir, Namjoon membawanya pergi dengan Lexus yang biasa ia bawa ke sekolah. Tapi nyatanya, pemuda itu mengajaknya pergi dengan naik bus dan subway. Bukan. Bukan berarti Seokjin ingin merasakan naik mobil mewah milik Namjoon, tapi ia hanya tidak menyangka jika Namjoon mau berdesakan di dalam bus ataupun subway. Mencarikan Seokjin tempat duduk sementara ia sendiri berdiri. Dan itu, membuat Seokjin benar-benar terkesan. Belum lagi ketika Namjoon dengan perhatian menyodorkan sebungkus sandwich isi dan cokelat hangat saat mereka menunggu kedatangan subway.

"Maaf ya, aku yang mengajakmu untuk jalan-jalan tetapi malah kondisinya tidak nyaman. Seharusnya aku bawa mobil tadi." Namjoon memandang Seokjin dengan sorot minta maaf, tapi Seokjin hanya menggeleng pelan.

"Tidak apa-apa, subway memang seperti ini jika hari Sabtu. Ngomong-ngomong, kita akan kemana Namjoon-ah?" Tidak ada jawaban dari Namjoon, melainkan seulas senyum main-main di bibirnya. "Ra-ha-sia. Tapi ku jamin kau akan suka dengan pilihanku." Seokjin mengerjap pelan, tapi ia tidak protes apapun. Ia baru sebentar di Seoul, jadi ia tidak begitu paham soal rute subway yang beroperasi.

"KAIST?!" Binar cemerlang Seokjin otomatis membola ketika di depannya ia bisa melihat kompleks universitas yang luar biasa megah. Dalam hati Seokjin tidak menyadari jika subway yang mereka tumpangi tadi menempuh jarak kurang lebih seratus lima puluh kilometer dari Seoul. Perjalanan menuju KAIST sama sekali tidak terasa membosankan saat Namjoon dan dirinya mengobrol banyak hal. Mereka baru sampai di Daejeon ketika hari sudah mulai petang dan Seokjin mulai lapar lagi.

"Yap! Aku punya kenalan disini yang bersedia untuk mengajakku ikut serta dalam pengamatan meteor nanti malam." Seokjin melihat Namjoon tersenyum. Ada binar antusiasme yang besar dalam sorot matanya. Ia baru hari ini menyadari itu. Namjoon yang bersemangat seperti ini entah mengapa membuat relung hati Seokjin menghangat dan diam-diam ingin sekali melihatnya lagi. Kalau bisa, alasan tersenyum Namjoon adalah dirinya, bukan benda-benda langit yang menarik perhatian pemuda yang lebih tinggi darinya. Ya, beberapa bulan menghabiskan waktu bersama Namjoon entah mengapa membuat Seokjin mulai menyimpan sebuah rasa yang lebih. Rasa yang lebih daripada sekedar teman dekat dan tutor.

"Seokjin?" Teguran Namjoon dan tepukan halus dipundaknya menarik Seokjin kembali ke realita. Ia mengerjap pelan, mengusir seluruh harapan dalam hatinya jika Namjoon punya perasaan tertarik yang sama.

"Kau terlihat lelah, ayo kita isi energi dulu sebelum mengamati meteor. Café disini punya makanan yang enak!" Namjoon dengan cepat menggenggam tangan Seokjin dengan erat, membawanya masuk ke dalam lingkungan universitas setelah melalui prosedur yang diterapkan, tidak peduli jika genggaman tangannya mengirim gelombang yang membuat kinerja jantung Seokjin dua kali lebih cepat.

Milky Way©peachpeach

"Hujan meteor adalah fenomena tahunan yang terjadi setiap kali Bumi melintasi orbit komet atau asteroid. Ketika itu, Bumi akan menerjang kumpulan meteoroid yang berasal dari serpihan komet atau asteroid. Kemudian, kumpulan meteoroid akan bertabrakan sengan Bumi, dan pada atmosfer Bumi meteoroid akan terbakar menjadi meteor. Dengan banyaknya meteoroid yang jatuh dan terbakar di atmosfer maka terjadilah hujan meteor—" Tidak seperti Namjoon yang memperhatikan dan mencatat setiap detail penjelasan mengenai hujan meteor, Seokjin sedikit tidak fokus ketika seseorang mahasiswa jurusan astronomi KAIST menjelaskan bagaimana terbentuknya hujan meteor. Pikirannya kembali melayang pada ingatan-ingatan di masa lalunya yang melibatkan hujan meteor di dalamnya.

Dulu, Seokjin tidak memikirkan bagaimana proses jatuhnya meteoroid hingga membuat hujan meteor yang indah. Seokjin hanya tahu jika Jungkook menyukai benda langit yang berpendar indah dan Seokjin akan melakukan apapun untuk membuat Jungkook senang.

Hampir setiap musim, Seokjin selalu mengajak Jungkook untuk diam-diam menyelinap mengamati hujan meteor dari atap bangunan panti asuhan mereka. Seokjin akan membalut tubuh Jungkook dengan berlapis-lapis baju hangat dan sweater. Kemudian mereka akan duduk dengan tenang, ditemani segelas susu hangat untuk Jungkook, dan dengan sabar menanti langit dipenuhi oleh gemerlap meteor yang membuat Jungkook memekik senang.

Seokjin juga akan mengajak Jungkook untuk melipat kertas origami menjadi bentuk bintang. Mereka akan menulis permohonan di atas kertas mereka sebelum berubah bentuk menjadi bintang-bintang kecil yang akan memenuhi toples milik Jungkook.

"Hyung, apakah Tuhan tidak marah jika Kookie meminta terlalu banyak?" Kala itu Seokjin mengulum sebuah senyum, menepuk lembut puncak kepala Jungkook, dan menggeleng. "Tidak, Tuhan tidak akan marah dengan Kookie. Kookie anak baik kan? Jadi tidak apa-apa jika Kookie minta banyak hal." Jungkook kemudian tersenyum, memamerkan kedua gigi kelincinya yang menggemaskan, dan lengkung sabit yang terbentuk karena pipinya yang terlalu tembam. Pelupuk mata Seokjin tidak bisa untuk tidak tergenang air mata ketika Jungkook menulis banyak harapan di atas kertas origami miliknya.

"Semoga Tuhan dengar permintaan Kookie ya, Hyung? Bukankah setiap bintang jatuh akan mengabulkan permintaan kita? Hari ini banyak sekali bintang yang jatuh, Hyung!" Jika Jungkook punya banyak sekali harapan, maka Seokjin hanya ingin satu permintaan. Ia hanya ingin Jungkook sembuh. Tapi sepertinya, Tuhan lebih memilih Jungkook untuk kembali menjadi malaikat, ketimbang hidup lebih lama di dunia. Sejak saat itu, Seokjin menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan bintang.

Karena sebanyak apapun bintang yang jatuh untuk mengabulkan sebuah permohonan, nyatanya permohonan Seokjin supaya Jungkook sembuh sama sekali tidak terkabul.

"—Jin, Seokjin?" Seokjin tersentak saat ia merasakan bahunya di tepuk pelan dan Namjoon melihatnya dengan pandangan khawatir.

"A-ah, ya?" Namjoon tidak menjawab, melainkan menyodorkan sebuah sapu tangan yang membuat kening Seokjin mengerut penuh tanya. "Kau menangis. Ada setitik air mata di sudut matamu." Seokjin mengerjap pelan, kemudian mengusap sudut matanya dengan gerakan canggung. Ah, mengamati hujan meteor seperti ini membuatnya kembali memutar kenangannya bersama Jungkook. Padahal, sekarang ia sedang menunggu hujan meteor bersama Namjoon tapi ia malah terbawa emosi mengingat Jungkook.

Seokjin kemudian menyesap frappe miliknya, kemudian tersedak ketika sebelah tangannya yang bebas di genggam Namjoon dan dengan kasual memasukkan tautan mereka ke dalam saku jaket pemuda itu. "Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan untuk menghibur orang yang menangis karena menunggu hujan meteor, tapi aku tahu bagaimana cara menghalau angin musim gugur."

Pipi Seokjin merona samar, dan ia tidak bisa menahan detak jantungnya yang menggila saat kehangatan itu menjalari tubuhnya dengan nyaman. Ia kemudian mengalihkan fokusnya kembali pada penjelasan yang masih di paparkan, sedangkan Namjoon sudah berhenti mencatat dan memilih untuk sekedar mendengarkan.

"—Karena ini adalah bulan Oktober, maka kita akan mengamati hujan meteor Orionid. Diperkirakan sebanyak dua puluh meteor per jam akan melesat dari arah rasi Orion di langit zenit. Bulan fase sabit akan tenggelam sebelum tengah malam, sehingga cahaya bulan tidak akan mengganggu pengamatan. Puncak Orionid akan berlangsung mulai tengah malam hingga menjelang matahari terbit. Jadi, kami harap kalian sudah mengantongi izin untuk menginap di planetarium KAIST," beberapa orang terkekeh pelan sebelum mahasiswa di depan mereka kembali melanjutkan, "—kami menyediakan banyak teropong bintang, selimut, dan beberapa camilan untuk membuat mengamatan kalian semakin nyaman. Dan, jangan lupa untuk membuat permohonan saat hujan meteor nanti. Terutama untuk para haksaeng yang akan mengikuti ujian akhir dan CSAT."

Dalam hati, Seokjin mulai meminta. Kali ini saja, ia ingin permohonannya terkabul saat hujan meteor tiba. Ia sudah terlanjur jatuh hati kepada Namjoon, dan ia ingin sekali egois untuk meminta Namjoon terus berada di sisinya. Namjoon dan Jungkook sama-sama menyukai benda langit, dan Seokjin meminta sekali lagi supaya langit tak mengambil Namjoon.

Milky Way©peachpeach

Tidak ada pilihan lain untuk Seokjin selain bergelung di bawah selimut sembari mengigiti kukunya untuk mengurangi segala rasa cemas berlebihannya. Hari ini, surat dari Yonsei tentang hasil tes CSAT-nya tiba dengan diantar seorang kurir dari pos. Seokjin di terima di Yonsei. Seharusnya Seokjin senang bukan main, karena itu adalah tujuannya. Selama ini Seokjin belajar tanpa kenal lelah untuk sebuah tiket bergengsi masuk ke dalam ruang lingkup Yonsei dan melanjutkan perjalanannya untuk mencapai puncak. Lalu kenapa Seokjin malah bergelung dalam selimut dan menggigiti kukunya sendiri?

Jawabannya ada pada peringkat Seokjin. Seokjin tidak berada pada peringkat sepuluh besar peraih hasil ujian akhir tertinggi. Ia berada pada peringkat lima belas dari seluruh siswa dan berada pada peringkat tujuh puluh pada saat CSAT. Itu sudah lebih dari cukup untuk Seokjin sebenarnya, seandainya saja ia tak ingat janji yang ia buat dengan Namjoon di atas rooftop sekolah.

"—Berjanjilah padaku, jika kau akan berusaha sekuat tenaga untuk berada pada posisi sepuluh besar saat ujian akhir. Kau juga harus berjanji jika kau akan berusaha mewujudkan impianmu lewat tes yang diadakan oleh Yonsei atau bahkan perguruan tinggi lainnya."

Seokjin memejamkan matanya. Namjoon tiba-tiba saja menghilang sehari setelah pengumuman hasil peringkat ujian akhir sekolah dan itu berarti sudah terhitung dua minggu Namjoon menghilang tanpa kabar. Ia sudah bertanya kepada Wonshik, tapi jawaban yang ia dapat hanya sebuah gelengan lesu yang menandakan jika Wonshik juga tidak tahu dimana Namjoon.

Panggilan Seokjin juga selalu berakhir pada kotak pesan saat ia mencoba menghubungi Namjoon. Kecemasan itu dengan nyata menggerogoti Seokjin yang kini gemetar di bawah selimutnya. Beragam pertanyaan dibalut dengan spekulasi negatif berputar dalam otak lelah Seokjin. Bagaimana jika Namjoon meninggalkannya karena peringkatnya tidak dapat memenuhi janji yang mereka buat? Bagaimana jika permohonannya pada bintang jatuh malam itu tidak terkabul? Bagaimana jika langit mengambil Namjoon untuk dipertemukan oleh jodoh yang jauh lebih baik dari Seokjin? Bagaimana jika—

"Astaga Seokjin! Badanmu panas sekali!" Seokjin merasakan telapak tangan Jaehwan menyentuh keningnya yang tidak tersembunyi di balik selimut. Ia menarik selimutnya ke bawah untuk menatap manik sahabatnya, kemudian tersenyum lemah. "Aku tidak apa-apa…" tapi nyatanya suara seraknya sama sekali bukan pertanda baik untuk sebuah kalimat 'tidak apa-apa'.

Jaehwan menarik napas dalam-dalam, kemudian duduk di samping Seokjin yang masih berbaring dengan selimut yang membungkus tubuhnya. "Kita harus ke klinik, Seokjin-ah." Lagi-lagi Seokjin menggeleng dan membuat Jaehwan mengerang tanpa sadar menghadapi Seokjin yang begitu keras kepala.

"Tidak perlu, Jaehwan-ah. Aku hanya perlu minum vitamin dan kembali tidur. Kau bersiap saja untuk acara prom nanti malam, Wonshik pasti sudah menunggumu."

"Seokjin, ayolah…jangan keras kepala begitu! Prom-nya masih nanti malam, dan mengantarmu ke klinik sama sekali tidak membutuhkan waktu seperti perjalanan ke Saturnus!" Jaehwan mendengus ketika mendengar Seokjin malah tertawa kecil dengan suaranya yang serak.

"Kau terlalu lelah belajar Seokjin, dan demammu kali ini adalah sinyal untukmu supaya beristirahat dan makan dengan baik." Seokjin diam saja, kemudian ia mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap Jaehwan. "Jaehwan, bolehkah aku minta satu pelukan?" Dan Seokjin tidak perlu balasan lagi saat Jaehwan langsung memeluknya dengan erat dan air matanya langsung jatuh membasahi bahu Jaehwan.

"Gwenchana, menangislah sampai semua bebanmu lepas Seokjin-ah. Gwenchana, aku disini."

Milky Way©peachpeach

To : sseokjin_km

7.30 p.m

Seokjin-ah? Ingat untuk menemuiku di rooftop saat malam prom kan?

7.31 p.m

Aku ingin menagih bayaranku untuk sesi tutor, kkk~

7.33 p.m

Kau sudah berusaha dengan keras!

[km_nmjoon sent a sticker]

7.34 p.m

Hadiahmu menunggu ^^

[km_nmjoon sent a photo]

Namjoon terkekeh sebentar ketika ia mengamati posenya yang konyol sembari memegang kotak hadiah. Ponsel dengan layar retak miliknya kembali masuk ke dalam saku setelah Namjoon selesai mengirimi Seokjin sebuah pesan. Dalam hati ia menerka-nerka bagaimana reaksi Seokjin ketika melihatnya kembali membawa sebuah kabar baik meskipun wajah tampannya masih lebam akibat Ayahnya. Mungkin Seokjin akan memukuli dadanya sembari menangis sampai puas. Mungkin juga Seokjin akan mengatainya dengan segala umpatan. Ia menghela napas pelan, ditatapnya sekali lagi amplop cokelat dengan lambang resmi KAIST yang ia genggam bersama dengan hadiah untuk Seokjin.

Namjoon tidak bisa menahan bibirnya untuk membuat sebuah kurva saat melihat persiapannya untuk malam ini benar-benar sempurna. Sebuah meja bundar di tengah-tengar rooftop, dua kursi, dekorasi dari lampu-lampu kecil di atas atap fiber, satu buah bouquet mawar, dan tolong lihat juga pada sebuah kue cantik di atas meja. Malam ini, ia akan membawa Seokjin menuju impiannya. Tanpa campur tangan Ayahnya, semuanya murni dari usahanya sendiri. Namjoon tidak punya apapun sekarang, kecuali sebuah impian masa depan untuk berjuang besama Seokjin.

Ia menghitung detik demi detik yang berlalu sembari menatap ribuan bintang yang seakan ikut senang dengan rencananya. Dalam diam ia menunggu balasan pesan dari Seokjin, atau paling tidak pelukan dari belakang yang ia dapatkan. Tapi nyatanya, teleponnya berdering. Menampilkan nama Wonshik di atas layarnya dan membuat kening Namjoon berkerut dalam.

"Hal—"

"Namjoon! Kau dimana?! Seokjin hilang dari kamar kami!" Pekikan heboh dari Jaehwan di seberang line telepon membuat Namjoon mengumpat dan langsung memutus sambungan telepon. Di lemparnya kotak kado dan amplop resmi dari KAIST, lalu memacu langkahnya untuk lebih cepat mencari Seokjin. Ia baru memutar kenop pintu rooftop ketika mendapati Seokjin duduk pada anak tangga yang paling dekat dengan pintu. Seokjin mengenakan hoodie merah muda favoritnya, dengan kepala menumpu pada lutut dan bahu bergetar hebat.

Namjoon langsung menghambur untuk memeluk Seokjin dari belakang. Masa bodoh dengan Seokjin yang terkejut lalu menangis semakin kencang. Ia hanya butuh memeluk Seokjin, menenangkan figur dalam dekapannya, dan kembali percaya padanya.

. . .

"Ku pikir kau hilang di antariksa saat tak bisa dihubungi selama dua minggu!" Seokjin masih terisak dalam dekapan Namjoon seperti beberapa saat yang lalu. Bedanya adalah sekarang mereka berdua duduk di lantai rooftop dan mengabaikan sepenuhnya kejutan makan malam romantis yang Namjoon siapkan.

"Maaf…" Namjoon hanya mengguman pelan, mengecup puncak kepala Seokjin berulang kali, berharap itu bisa sedikit mengurangi perasaan insecure Seokjin. Figur dalam dekapannya kemudian menarik diri, membuat jarak yang cukup untuk mengamati seluruh wajah lebam Namjoon yang tadi luput dari pandangannya, "—dan, apa-apaan dengan semua luka di wajahmu, huh? Kau mau membuatku khawatir sampai mati ya?!"

"Ini? Ah, tentu saja dari Ayah," ada jeda sejenak, kemudian Namjoon berdecak pelan. "Ayah menghajarku habis-habisan saat tahu aku lulus dari Departemen Teknik Nuklir dan Kuantum di KAIST. Semua fasilitasku ditarik, dan aku tak punya apapun sekarang."

"A-apa?"

"Dengarkan aku Seokjin. Pemuda di depanmu sekarang sudah tidak punya apapun untuk dibanggakan. Tidak punya apapun untuk melamar calon dokter sepertimu. Ia hanya punya segenggam impian yang ingin ia perjuangkan bersamamu. Jadi, Kim Seokjin maukah kau berjuang denganku meraih semesta dalam genggaman kita di masa depan?" Seokjin tergugu, ia kembali terisak. Lamaran Namjoon bahkan tanpa sebuah cincin yang disodorkan. Hanya sebuah janji sederhana yang diucapkan oleh pemuda yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Sebuah janji di bawah atap fiber yang menaungi mereka dari pendar cahaya penghuni Bima Sakti yang terlihat begitu anggun.

"Bodoh! Kim Namjoon bodoh! Kau seharusnya tidak menghabiskan banyak uang untuk sebuah dekorasi romantis seperti ini! Kau seharusnya tidak menghilang tanpa kabar selama dua minggu! Kau—" Seokjin nyaris kehabisan napas karena bicara terlalu cepat, maka ia memilih untuk kembali memeluk Namjoon dan bicara dengan pelan, "Namjoon, saat kita mengamati hujan meteor di KAIST, permintaanku bukan untuk sebuah peringkat tertinggi saat ujian akhir maupun CSAT di Yonsei. Aku hanya meminta pada bintang jatuh supaya langit tak memisahkanmu denganku. Karena aku sudah jatuh padamu saat sesi pertama tutor kita."

Ia menarik diri dari pelukan Namjoon, mengulum sebuah senyum dan mengusap luka robek di sudut bibir Namjoon dengan ibu jarinya. "Ayo berjuang bersama. Setelah kita bisa menggenggam semesta dengan membantu banyak orang, bawa aku ke depan Ayahmu. Katakan juga pada dunia, jika aku yang akan menjadi pendampingmu. Kita memang tak punya apapun sekarang, tapi kita akan membangun semesta dan isinya dengan cara kita sendiri."

Namjoon tersenyum, merasakan sudut bibirnya berdenyut nyeri. Tapi ia tak peduli. Ia sudah memiliki Seokjin dengan janji mereka yang disaksikan oleh seluruh penghuni Bima Sakti. Ia baru saja akan mendekatkan tubuhnya untuk memberi Seokjin satu kecupan di bibir, tapi pemuda di depannya sudah menahan dadanya dengan cepat. "Jangan! Aku sedang flu, kau bisa tertular!"

"Memangnya aku peduli?" Lalu dengan gerakan cepat, Namjoon mengklaim dengan manis bibir Seokjin. Ia baru menarik diri setelah Seokjin menepuk bahunya untuk mengais oksigen.

"Seokjin, kau sudah bersinar di mataku saat aku melihatmu untuk yang pertama kalinya. Kau seperti pusat semesta, tapi malam ini…kau terlihat jauh lebih bersinar," satu kecupan lagi di terima Seokjin di atas plumnya yang terbuka, "—terima kasih telah menerimaku. Aku mencintaimu."

Malam ini, rencana makan malam romantis di bawah Bima Sakti memang gagal. Amplop resmi dengan lambang KAIST pun terlupakan saat keduanya masih enggan untuk di ganggu. Yang terpenting, Namjoon sudh memiliki Seokjin di sisinya. Kim Seokjin, semestanya.

*FIN*

Bunch of love for:

bxjkv│kyungsoo1314│overtee│1st Maknae│rossadilla17│94shidae│zhiewon189│Guest [laxylacy] │JinYesung│gneiss02│Rere . rest07│Park Rinhyun-Uchiha│hoshilouette│Kookiee92│Kim Hyomi│Nury630│carrotforsvt│Guest [1] │claudia19agus│btsevenkid│Jeon97Kim│HelloItsAYP│kmkdotfaitytale│moodyscriptwriter