"Seokjin, Jungkook positif didiagnosis terkena osteosarcoma. Memang masih stadium awal, dan mungkin bisa sembuh dengan terapi rutin seperti kemoterapi. Tapi, Jungkook bahkan masih berusia lima tahun—"
Seokjin memejamkan matanya sejenak, ingatannya berputar pada beberapa baris kalimat yang masih saja terasa segar, dari pengasuh mereka di panti asuhan saat kelopak sakura baru saja gugur dari tangkainya. Jeon Jungkook, si kecil dengan senyum semenggemaskan kelinci gemuk berwarna seputih salju, salah satu dari sekian banyak adik yang ia sayangi. Jungkook mulai tinggal bersama mereka saat tubuh mungilnya masih kemerahan—mungkin usianya belum genap seminggu—ditinggal di depan pintu panti dengan selimut seadanya dan menangis karena kelaparan. Dan di usianya yang mulai menginjak lima tahun, Jungkook harus hidup dengan diagnosa osteocarcoma selama bertahun-tahun, kemudian menyerah dengan kondisi tubuh yang semakin lemah dan biaya yang terlalu mahal. Tepat pada saat salju pertama turun beberapa tahun setelahnya.
Jeon Jungkook, alasan Kim Seokjin belajar siang dan malam demi sebuah beasiswa di sekolah menengah atas terbaik di Seoul. Beasiswa yang akan mengantarkannya dengan sedikit lebih mudah menuju gelar dokter yang ia impikan dan menolong figur Jungkook yang lain, yang mungkin bisa ia selamatkan dengan tangannya sendiri nanti. Meskipun ia harus puas untuk mulai mengenyam pendidikan terbaik di Korea Selatan pada tingkat tiga, semuanya bukan menjadi halangan baginya.
Dalam enam belas tahun hidupnya, Seokjin baru kali ini menginjakkan kakinya di atas tanah Seoul yang serba besar dan megah untuk seseorang yang menghabiskan banyak waktunya di pedesaan. Seokjin suka Seoul, tapi ia masih tetap lebih suka tempat asalnya.
Seokjin baru saja akan menyeret kopernya menuju asrama yang disediakan pihak sekolah ketika teriakan 'Awas !' yang cukup kencang, kemudian di susul oleh bola basket yang menghantam telak kepalanya, dan membuatnya jatuh pingsan saat itu juga.
A NamJin Fanfiction
( Kim Namjoon x Kim Seokjin of BTS)
.
Milky Way by peachpeach
.
All cast belongs to God, themselves, family and management. Story line is mine. No profit taken.
.
You're already bright
But I'll make you shine even brighter than now tonight
[VIXX – Milky Way]
noted : some scene are inspired by Never Gone movie.
Namanya Kim Namjoon, Seokjin tahu dari Jaehwan—satu-satunya murid dengan nasib sama sepertinya, pengejar beasiswa dan teman sekamarnya—ketika ia bertanya tentang siapa yang melemparkan bola basket dan membuatnya pingsan semalaman. Dan menurut Seokjin, Kim Namjoon adalah definisi paling tepat dari kata superior. Tinggi, cerdas luar biasa, berbakat dalam hal musik maupun olahraga. Tampan ? Ah, jangan ditanya. Meskipun ketampanan Lee Minho belum bisa Namjoon saingi, tapi lesung pipi yang terlihat saat ia tersenyum mampu membuat siapa saja tidak peduli dengan idola laki-laki yang sulit mereka jangkau. Yah, walau dalam kenyataannya, Kim Namjoon juga tidak semudah itu untuk di jangkau—tapi setidaknya, Namjoon masih dalam jarak dekat untuk bisa dinikmati secara langsung ketimbang lewat layar televisi. Kaya ? Apalagi. Kim Namjoon sering mengisi cover majalah remaja yang membahas masa depannya sebagai penerus perusahaan multilevel milik Ayahnya. Jangan lupakan jika Namjoon tidak tinggal di asrama dan selalu berangkat sekolah dengan mobil yang tak kalah keren dari siswa lainnya.
"Hei, maaf soal kemarin…" Seokjin mendengar seseorang berbisik dari arah belakang kursinya setelah perkenalan singkatnya di depan kelas tadi, dan Seokjin tahu benar jika Namjoon yang baru saja minta maaf. Entah Seokjin harus bersyukur atau mengumpat ketika ia mendapatkan tempat duduk di depan si superior yang paling diminati di sekolah. Beberapa siswi melirik sinis ke arah Seokjin, iri karena baru hari pertama, Seokjin sudah mampu membuat Kim Namjoon bicara dengannya.
"Hei, kau dengar aku Jinseok ?" Namjoon kembali berbisik ribut, kali ini dengan imbuhan tarikan pada blazer seragam sekolahnya dan nama panggilan yang terasa aneh terdengar oleh Seokjin. Ia kemudian menghela napas sejenak, kemudian memutar tubuhnya sedikit untuk menghadap ke arah Namjoon, dan Seokjin sempat menahan napas sejenak karena senyuman secerah matahari milik Namjoon.
"Aku sudah memaafkanmu, diamlah dan perhatikan seongsaenim di depan. Dan namaku Seokjin, bukan Jinseok." Senyum Namjoon belum luntur, malah semakin lebar ketika ia melihat kening Seokjin berkerut dalam karena kesal.
"Aku akan terus memanggilmu Jinseok, karena menurutku itu lebih manis ketimbang nama aslimu." Helaan napas keluar dari celah bibir Seokjin, kemudian menyerah menghadapi Namjoon dan kembali mencoba fokus dengan deretan turunan rumus di depan kelas.
"Mau makan siang bersama, Jinseok ?" Oh, ingatkan Seokjin untuk bertukar tempat duduk dengan Jaehwan dan yang paling parah, menyumpal mulut Namjoon yang terlalu akrab dengan gumpalan kertas hasil hitungan gagalnya.
Mungkin, selain superior, Seokjin harus menambahkan satu julukan lagi untuk Namjoon. Si Pantang Menyerah. Hanya karena insiden kecil dengan bola basket yang melibatkan Kim Namjoon, Seokjin sama sekali tidak menyangka jika hidupnya akan serumit ini. Seokjin hanya ingin tahun terakhirnya berlalu dengan damai dan ia bisa mendapatkan tiket menuju fakultas kedokteran impiannya. Bukan dengan Namjoon dan kroni-kroninya yang mengikuti kemanapun ia pergi dengan alasan penebusan dosa insiden yang membuat Seokjin pingsan. Dari perpustakaan, lapangan, kantin, dan yang paling membuat Seokjin jengkel adalah Namjoon bahkan mengikutinya sampai toilet hanya untuk sebuah ajakan makan siang yang masih Seokjin tolak.
"Kau ada hubungan apa dengan Namjoon sebenarnya, Seokjin-ah ?" Seokjin berhenti menyuapkan sesendok puding karamel ke mulutnya ketika Jaehwan bertanya sembari menyenggol pelan sikunya.
"Tidak ada hubungan apa-apa Jaehwan-ah," Ia menghela napas sejenak, kemudian melanjutkan untuk meneruskan suapan pudingnya dan mengunyahnya dengan pelan, "Namjoon dan teman-temannya mungkin ingin menjadikanku objek bully selanjutnya."
"Objek bully ?" Seokjin mengangguk lucu, dan Jaehwan mengibaskan tangannya dengan diva-style andalannya.
"Ayolah, Kim Seokjin…berapa sebenarnya umurmu sekarang ? Mana ada orang yang menatapmu penuh minat dengan aura merah muda di sekitarnya jika tujuannya hanya ingin menjadikanmu sebagai objek bully ?" Jaehwan menunjuk dengan dagunya, dimana Namjoon terang-terangan sedang memperhatikan Seokjin dari mejanya. "Lagipula, mereka bukan sekumpulan siswa yang senang akan hal-hal bulliying seperti di drama televisi. Mereka semua baik, hanya saja ruang lingkup mereka yang seperti dibatasi dari yang lain." Seokjin menghela napas pelan, seleranya untuk menghabiskan puding karamelnya lenyap. Ia kemudian memilih ikut mengamati Namjoon dan teman-temannya dari balik buku kumpulan soal Kimia tingkat tiga.
"Wonshik juga sedang memperhatikanmu, Jaehwan-ah…"
"Masa bodoh dengan Wonshik, yang kita bicarakan disini adalah kau dengan Namjoon. Bukan yang lain," Jaehwan meletakkan sendok plastik dengan noda kari kental di samping piringnya sebelum kembali menatap Seokjin, "—lupakan mereka, sebaiknya kita fokus dengan mid-test minggu ini. Bagaimana hasil ulangan terakhirmu ?"
"Bab radioaktif ?" Jaehwan mengangguk cepat, sedangkan Seokjin hanya meringis kecil.
"Yah, tidak seburuk ulangan bab elektrokimia…tapi tetap saja, aku harus ikut kelas perbaikan nanti malam." Perhatian Seokjin kembali teralihkan pada sisa puding karamel miliknya. Ia hanya tidak ingin melihat Jaehwan menatapnya dengan pandangan prihatin.
"Apa caraku memberi tips menghafal sulit untuk dimengerti ? Maafkan aku kalau begitu…"
"Tidak, tidak, Jaehwan-ah…tips darimu sangat membantu, aku saja yang kurang bisa memahami konsep dan cara yang sudah kau buat untuk mempermudah. Jadi kau jangan khawatir begitu, aku akan berusaha lebih keras lagi nanti." Seokjin menepuk pelan pundak Jaehwan, meyakinkan roommate-nya bahwa kegagalannya dalam ulangan minggu lalu bukan salah Jaehwan, melainkan salahnya sendiri.
"Jangan terlalu memforsir tenagamu untuk belajar Seokjin-ah. Aku selalu khawatir ketika kau bahkan belum tidur pukul dua dini hari." Jaehwan menangkap sebuah senyum tipis dari bibir Seokjin. Ia tahu jika teman sekamarnya itu sedang berusaha membuatnya tidak khawatir.
"Tidak apa-apa…setiap usaha tidak akan mengkhianati. Ayo, sebentar lagi masuk…ku dengar hasil ulangan Fisika di bagikan hari ini."
Namjoon mengikuti arah langkah Seokjin bersama Jaehwan yang keluar dari kantin lewat pandangan matanya, kemudian meletakkan kaleng cola miliknya yang tinggal separuh dan menyusul Seokjin dengan langkah lebar. Ia berhasil menahan lengan Seokjin saat berada di depan loker untuk mengambil kumpulan soal mata pelajaran lainnya. Jaehwan bahkan sampai harus menyingkir dari sana dengan sedikit isyarat memaksa dari Namjoon lewat iris gelapnya. Beberapa siswa sebenarnya penasaran dan ingin melihat drama apalagi yang akan ditampilkan Namjoon serta Seokjin, tapi mereka memilih mengikuti Jaehwan untuk pergi ketika menyadari betapa berbahayanya aura seorang Kim Namjoon hari ini.
"Kalau ini soal ajakan makan siang lagi, aku—"
"—Bukan. Temui aku di atap sekolah seusai jam pelajaran terakhir selesai. Ingat, kau harus datang. Kali ini aku tidak main-main." Seokjin menahan napasnya dengan susah payah. Jarak Namjoon terlalu dekat, saraf-saraf olfaktori Seokjin bahkan diam-diam menikmati aroma parfum mahal yang dikenakan oleh Namjoon.
"Namjoon…" Seokjin mencicit gugup saat tubuhnya semakin terhimpit di antara loker dan tubuh Namjoon. Beruntung ruang loker benar-benar sepi dari para siswa. Bel masuk sudah berbunyi sekitar lima menit yang lalu.
"Berhenti lari dariku, Jinseok…" Namjoon menyingkirkan beberapa helai bruenette Seokjin yang menutupi dahi, kemudian tersenyum begitu tampan hingga Seokjin semakin kesulitan bernapas dengan benar.
"Ku tunggu, nanti…" Setelahnya, Namjoon melenggang santai menjauhi Seokjin yang mendadak kehilangan keseimbangan tubuhnya. Selama sepersekian detik ia masih dalam masa trans-nya, sampai menyadari jika Namjoon menyelipkan satu buah cokelat Hershey's ukuran kecil di telapak tangannya dan sebuah catatan kecil yang ditulis di atas post-it berwarna merah muda.
'Akhir-akhir ini ku perhatikan, kau pucat sekali. Makanlah sesuatu yang manis, yah—meskipun cokelatnya tidak semanis senyummu, tapi ku harap indeks glikemikmu bisa naik sedikit. Ingat, jangan di buang.'
-Kim Namjoon-
. . .
Seokjin melangkahkan kakinya dengan perlahan, menaiki satu per satu anak tangga yang akan mengantarnya menuju ke atap sekolah. Ritme detak jantungnya mendadak menjadi lebih cepat seiring langkah kakinya yang semakin dekat membawanya ke rooftop. Dalam pikirannya, ia menduga apa yang akan terjadi nanti. Namjoon sudah menghilang dengan cepat dari kelas saat bel pulang sekolah berbunyi, sedangkan Seokjin masih harus menyelesaikan tugasnya untuk membersihkan kelas sesuai jadwal piket. Tangan Seokjin bahkan gemetaran saat memutar kenop pintu menuju rooftop. Namjoon bisa saja menindasnya hanya karena ia menolak permintaan untuk makan siang bersama.
Saat pintu terbuka, Seokjin melihat Namjoon telah berdiri membelakanginya. Helaian dark brown Namjoon terlihat dramatis ketika angin sore hari berhembus pelan dan memainkan surai Namjoon yang terlihat halus sekali.
"Namjoon ?" Yang dipanggil menoleh, mengulum sebuah senyum kemudian mengambil langkah untuk mendekat ke arah Seokjin. Namjoon menarik sesuatu dari dalam saku blazer sekolahnya, kemudian mengulurkannya kepada Seokjin. "Hasil ulangan Matematika milikmu minggu lalu, kebetulan aku yang mengoreksi." Seokjin meraih selembar kertas yang masih terlipat rapi menjadi empat bagian. Perlahan ia membuka lipatannya dan hanya menghembuskan napas pelan ketika melihat angka yang tercetak besar-besar dengan spidol berwarna biru pada kolom nilai. Tujuh puluh enam, dan itu masih belum memenuhi kriteria standar nilai sekolah mereka. Seokjin harus mengikuti kelas perbaikan lagi untuk materi minggu lalu.
"Bukankah ini baru akan dibagikan besok ? Kenapa hasil ulanganku bisa ada padamu ?"
"Aku hanya ingin memberikannya padamu terlebih dahulu. Berhubung aku yang mengoreksi, tidak ada masalah bukan ?" Seokjin menggigit bibir bawahnya, merasa terintimidasi ketika Namjoon masih saja memandang dirinya.
"Kalau kau hanya ingin memberikan ini, aku akan pergi. Kelas perbaikan akan dimulai sebentar lagi. Dan…uhm, terima kasing omong-omong." Seokjin mengulum sebuah senyum canggung, hendak beranjak dari posisinya sebelum Namjoon menarik lengannya dan membuat posisi keduanya menjadi terlalu dekat.
"Kau tidak akan mengikuti kelas perbaikan apapun malam ini."
"T-tapi aku harus mengikutinya supaya—" Namjoon meletakkan telunjuknya di atas bibir Seokjin sembari mengulum sebuah senyum. Ia memegang bahu Seokjin dengan lembut, dan berbisik pelan. "Perhatikan sekelilingmu, dan kau akan mengerti kenapa kau tidak perlu mengikuti kelas perbaikan."
Seokjin mengerjap pelan, kemudian mulai memperhatikan sekelilingnya. Langit senja masih cerah, tidak ada tanda-tanda turun hujan. Kemudian iris gelapnya memperhatikan tempatnya berdiri sekarang. Di sudut rooftop, terdapat beberapa bangku yang sudah tidak terpakai ditumpuk dengan rapi. Seokjin bahkan baru menyadari jika rooftop sekolah mereka ditutupi oleh atap serat fiber yang bening. Ada lampu ala kadarnya juga menggantung di atas kepalanya dan cukup untuk memberikan cahaya saat gelap menjemput. Ia belum menemukan sesuatu yang aneh, sampai Namjoon mulai bicara lagi.
"Coba lihat apa yang kau pijaki, Jinseok." Seokjin menurut, maniknya otomatis melebar ketika lantai rooftop penuh dengan catatan rumus Fisika bab elektrokimia. Semua rumus itu ditulis dengan kapur dan berada dalam sebuah kotak-kotak besar yang membentuk sebuah pola yang mirip dengan pola pada permainan ular tangga.
"Aku akan menjadi tutormu, dalam pelajaran apapun." Hazel Seokjin mencoba menyelami ke dalam iris gelap Namjoon, mencoba mencari makna dari perkataan pemuda yang lebih tinggi darinya.
"Apa sebenarnya tujuanmu, Namjoon-ah ? Kenapa kau selalu saja ikut campur dengan kehidupanku ? Apakah ada suatu hal dalam diriku yang membuatmu tidak senang ?" Namjoon berdecak, kemudian melepas pegangannya pada bahu Seokjin dan kembali berdiri membelakanginya. Ia terlihat memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana seragamnya, sementara itu pandangannya fokus pada langit senja yang semakin beranjak tua.
"Jangan salah paham begitu. Aku tahu semuanya tentangmu, termasuk soal beasiswamu yang akan dicabut ketika kau tidak bisa berada dalam peringkat sepuluh besar pada ujian tengah semester." Namjoon menjeda sebentar ucapannya, kemudian ia kembali mencurahkan semua atensinya kepada Seokjin yang masih terpaku pada tempatnya. "Kau pilih mana ? Menerimaku sebagai tutor atau ikut kelas perbaikan tapi hasil ulanganmu tetap di bawah standar ?"
Seokjin meneguk ludahnya dengan susah payah, "kenapa kau mau repot-repot menawarkan diri sebagai tutorku ? Aku tidak punya apapun untuk membalas semua kerja kerasmu menjadi tutor." Tegas Seokjin.
"Sekali lagi, jangan salah paham Jinseok." Namjoon terkekeh pelan, "aku hanya tidak ingin seseorang dengan nilai di bawah standar duduk di depanku." Seokjin baru saja akan membantah ucapan Namjoon yang terkesan merendahkannya, tapi lagi-lagi Namjoon dengan cepat membungkamnya dengan satu jari telunjuk yang diletakkan di depan bibirnya.
"Jika kau masih bersikeras menolak tawaranku, ku sarankan untuk memikirkan masa depanmu. Pikirkan soal beasiswamu yang kemungkinan akan dicabut, pikirkan juga tentang tiket menuju perguruan tinggi yang akan hangus begitu saja. Aku tidak akan meminta bayaran sedikit pun, Jinseok. Lagipula aku sudah membicarakan ini dengan wali kelas kita dan beliau setuju."
Seokjin mengeratkan rahangnya. Tidak, ia tidak bisa kehilangan beasiswanya dalam sekejap mata. Ia sudah berusaha sejauh ini, pantang baginya untuk kembali jatuh. Ingatannya kembali berputar saat elektrokardiograf Jungkook menunjukkna grafik garis lurus, dan adik manisnya harus berangkat ke surga terlebih dahulu. Tidak, masih banyak Jungkook lain di dunia ini yang berhak hidup lebih lama lagi dan menikmati hidupnya dengan benar tanpa ada gangguan dari sel kanker sialan itu.
"Baiklah, aku terima tawaranmu. Mohon bimbingannya." Seokjin membungkukkan badannya sembilan puluh derajat ke arah Namjoon, dan membuat figur di depannya kembali terkekeh pelan.
"Well, mulai saat ini kau resmi menjadi muridku dan harus mematuhi setiap peraturan yang aku buat. Kita akan belajar disini seusai jam sekolah selesai, dan jika ada hal yang masih tidak kau pahami selepas sesi belajar kita, kau bisa menghubungiku kapan saja melalui ponsel. Deal ?" Namjoon mengulurkn tangannya ke arah Seokjin, menunggu untuk sebuah jabat tangan tanda kesepakatan.
"Deal !"
"Baiklah, sepertinya hari ini kita akan mulai memperbaiki nilai bab elektrokimiamu…"
"Berapa kali aku harus mengingatkanmu untuk menggunakan hukum kekekalan momentum sudut untuk menghitung soal seperti ini ? Mundur satu langkah, perhatikan rumusnya sekali lagi dan hitung dengan benar." Seokjin cemberut begitu Namjoon mengembalikan hitungan soalnya dan menyuruhnya mundur ke kotak sebelumnya. Padahal, kotak selanjutnya adalah kotak terakhir yang berada di dekat pintu rooftop dan tanda berakhirnya sesi tutorial mereka.
Hari ini genap empat bulan Seokjin mengikuti jadwal tutorial materi pelajaran eksakta bersama Namjoon dan sekarang mereka sedang menggali kembali materi Fisika tingkat dua tentang Dinamika Rotasi dan Kesetimbangan Benda Tegar untuk persiapan ujian akhir esok hari. Seokjin akui, Namjoon berbakat dalam mengajar. Buktinya, nilai ulangan harian dan nilai mid test-nya mulai naik—walau tidak terlalu banyak dari ketetapan standar nilai sekolah mereka. Tapi setidaknya, Seokjin sudah sangat bersyukur dengan nilai delapan puluh satu di atas kertas ulangan hariannya. Seokjin bahkan nyaris berteriak bahagia saat nilai sembilan puluh tercetak pada lembaran soal mid test Bahasa Inggrisnya.
Namjoon punya cara yang unik dalam sesi tutornya. Sebelum Seokjin datang ke atas rooftop, Namjoon sudah membuat pola seperti pola pada permainan ular tangga dengan menggambar kotak-kotak persegi pada lantai rooftop, kemudian mengisi setiap kotak dengan kumpulan rumus yang harus Seokjin pahami. Seokjin baru bisa menuju ke kotak selanjutnya jika soal yang di berikan Namjoon benar, jika salah maka Seokjin harus kembali ke dalam kotak dengan kumpulan rumus yang berkaitan dengan soal yang diberikan Namjoon. Namjoon juga mengisi beberapa kotak dengan tulisan 'Istirahat Sejenak' atau 'Chocolate Time' dan itu merupakan bagian favorit Seokjin.
"Ini…" Seokjin mengulurkan kertas hasil hitungan ulangnya kepada Namjoon untuk di teliti, sejenak kemudian pemuda yang lebih tinggi darinya itu mengulum sebuah senyum lembut. "Oke, kali ini benar dan ini soal terakhirmu." Tanpa sadar Seokjin menghembuskan napas lega begitu kakinya berpijak pada kotak terakhir dan mengundang suara tawa kecil yang lolos dari bibir Namjoon.
"Lelah ?" Sebotol air mineral disodorkan Namjoon kepada Seokjin dan langsung dihabiskan dalam sekali teguk.
"Aku tidak pernah menyukai Fisika, aku lebih memilih sesi Kimia ataupun Matematika," Seokjin mengusap bibirnya yang basah usai minum dan beranjak untuk mengambil ranselnya di atas tumpukan bangku pada sudut rooftop. "Aku sudah boleh pulang ?"
Namjoon menggeleng pelan, "nanti dulu, Jinseok." Kemudian telunjuknya menunjuk ke arah langit malam yang penuh bintang di balik atap fiber yang melindungi rooftop dari hujan dan panas matahari. "Tidak mau melihat bintang dan mengamati Milky Way ? Aku membawa teleskop bintang mini, ngomong-ngomong." Seokjin menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu untuk mengiyakan ajakan Namjoon. Sebenarnya Seokjin lapar, tapi ia tergoda juga untuk mengamati penghuni Milky Way.
"Aku juga bawa kimbab loh…" Helaan napas berat terdengar oleh telinga Namjoon, kemudian Seokjin berjalan mendekatinya. Namjoon mengulum sebuah senyum, ia duduk di dekat pagar pembatas rooftop yang atapnya tidak tertutupi fiber, sedangkan Seokjin mengikuti gerakannya. Seokjin menoleh ketika Namjoon dengan ribut mengeluarkan teropong bintang ukuran mini dan bungkusan kimbab yang Seokjin tahu itu dibeli Namjoon dari kantin.
"Kau suka bintang ya ?" Seokjin bertanya dengan mulut penuh, ia sudah lebih dahulu menyuapkan potongan besar kimbab, sedangkan Namjoon masih tambak mengatur pembesaran lensa pada teropongnya.
"Hmm-mhm, aku suka bintang dan benda lainnya." Namjoon mengguman, tapi fokusnya untuk mencari titik pembesaran yang pas sama sekali tidak terganggu. "Sabuk kosmik, meteorit, satelit, dan impianku sejak kecil adalah menjadi astronot. Atau paling tidak, aku bisa diterima bekerja di NASA. Duduk nyaman di atas kursi empukku dan mengamati pergerakan benda asing yang menuju bumi lewat satu layar besar yang canggih. Aku merasa bisa menggenggam semesta, bahkan hanya saat jarak pandangku menjadi lebih dekat dengan benda-benda di angkasa lewat sebuah teleskop."
"Ku pikir, kau pasti dengan mudah mendapatkan satu kursi di KAIST selepas lulus sekolah." Seokjin menoleh begitu mendengar suara kekehan berat Namjoon. Pemuda di sampingnya tampak sudah menurunkan teleskopnya dan meletakkannya di antara jarak sempit yang memisahkan posisi duduk mereka.
"Dan kau pikir Ayahku akan menuruti keinginanku untuk menghabiskan waktu demi mengamati benda-benda angkasa ?" Seokjin menunggu kalimat selanjutnya dari bibir Namjoon, tapi yang ia dapat hanyalah sebuah hembusan napas keras dan pandangan putus asa ke arah langit cerah bertabur bintang.
"Ayahmu lebih senang kau mengamati grafik peningkatan penjualan perusahaan milik keluarga kalian daripada mengamati benda-benda angkasa." Simpul Seokjin pada akhirnya. Namjoon melukis sebuah senyum tipis pada bibirnya, kemudian menekuk lututnya dan menumpukan dagunya disana. Sementara itu, pandangannya masih belum lepas mengamati langit.
"Terkadang, aku iri dengan kalian yang bebas menentukan pilihan kalian selepas lulus sekolah menengah atas. Semua orang berpikir aku terlahir sempurna, tapi bagiku tidak. Dari kecil, aku selalu terikat dalam aturan-aturan yang mengekang dan membentuk pribadiku seperti saat ini. Aku bahkan tidak pernah memilih rasa es krim yang ingin aku coba saat musim panas, semua yang memilih untuk hidupku adalah orang tuaku. Terutama, Ayah…"
Seokjin terdiam. Dalam hatinya, ia diam-diam menghapus semua rasa irinya untuk Namjoon. Si superior Namjoon, bahkan sama sekali tidak bisa merasakan bagaimana menyenangkannya memilih rasa es krim sendiri saat dirinya masih belia. Di lahirkan dalam keluarga serba lebih, nyatanya tak serta merta kebahagiaan itu menyertai.
"Kau sendiri, apa impianmu ?"
"Huh ?" Seokjin mengerjap pelan, sedikit kaget karena Namjoon membuyarkan lamunannya. Namjoon menderaikan tawa ringan dan sebelah tangannya mengusap lembut helaian bruenette Seokjin yang bermain dengan hembusan sang bayu malam ini. "Impianmu, Seokjin. Aku bertanya soal impianmu."
"Aku…ingin sekali menyelamatkan banyak orang, terutama anak-anak yang memiliki masa depan yang lebih panjang dan harapan banyak orang," Seokjin menjeda ucapannya, ingatannya otomatis memutar kenangan senyum Jungkook yang menggemaskan. "Aku ingin menyelamatkan anak-anak dengan diagnosis kanker, memupuk harapan mereka supaya semakin besar jika kanker bukanlah suatu hal yang besar untuk menghentikan impian mereka."
"Kau ingin menjadi dokter ?"
Seokjin tersenyum, "—dokter pilihan yang bagus, tapi aku tidak keberatan menjadi seorang farmasis atau tenaga ahli kesehatan yang lain untuk bisa menolong mereka." Namjoon mengangguk, kemudian tangannya kembali refleks mengusap helaian lembut Seokjin lagi.
"Yonsei punya fakultas kesehatan yang cukup bersaing, ngomong-ngomong. Kau harus mencobanya." Seokjin berdeham kikuk, ritme jantungnya mendadak terdengar lebih cepat ketika tangan Namjoon masih berada di puncak kepalanya.
"Seokjin…"
"Hmm ?"
"Mau berjanji satu hal padaku ?" Kening Seokjin berkerut penuh tanya, sebelum melontarkan sebuah kalimat bernada tanya singkat kepada Namjoon. "Berjanji apa ?"
"Anggap saja ini bayaran untukku selama sesi tutorial berlangsung. Berjanjilah padaku, jika kau akan berusaha sekuat tenaga untuk berada pada posisi sepuluh besar saat ujian akhir. Kau juga harus berjanji jika kau akan berusaha mewujudkan impianmu lewat tes yang diadakan oleh Yonsei atau bahkan perguruan tinggi lainnya." Tangan hangat Namjoon kini telah berpindah pada sisi wajah Seokjin dan mengusap lembut pipi tembamnya, "—ketika kau berhasil nanti, kau harus mau menemuiku di tempat ini pada saat malam prom. Aku punya sesuatu untuk ku tunjukkan padamu. Janji ?"
Seokjin hanya bisa mengangguk kaku, setuju dengan perjanjian Namjoon walau hati kecilnya belum yakin. Namjoon kembali mengulum sebuah senyum hangat, menepuk puncak kepalanya sekali lagi, sebelum membantu Seokjin untuk berdiri dari tempatnya dan bersiap untuk pulang.
"Ayo, ini sudah malam. Sebaiknya kita pulang sebelum kelas tambahan berakhir dan jam malam asramamu berlaku…"
*To be continue*
a/n : NamJin lagi setelah sekian lama ngga bikin :3
Dan—aku tetep ngerasa insecure sama storyline-nya TT
Kenapa WB tak kunjung sembuh ? Kudu berobat kemana coba ? TT /gigitin bantal/
Well, review ?