The Cursed Princess

Romance/Historical/Fantasy

Akashi x Fem!Kuroko

Kuroko no Basuke Tadatoshi Fujimaki

DLDR!

.

.

When the fate is sealed...

.

.

Bisik-bisik nakal serta lirikan malu-malu para wanita mengawali langkah lima pemuda yang entah sejak kapan menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, wajah rupawan disertai aura kuat yang memancar sudah cukup membuat kelopak-kelopak mawar mendadak berterbangan—mengalihkan dunia kaum hawa dalam sekejap.

Akashi melangkah tenang menghiraukannya, diikuti Murasakibara yang sama tak acuhnya dan lebih memilih fokus pada keranjang kue di tangan. Kise seperti biasa sibuk menebar pesona, mengundang perempatan di kening Midorima yang jengah dengan tingkahnya. Di sisi lain, Aomine terlihat santai sambil sesekali bersiul, diam-diam memasang wajah mesum tiap melirik dada wanita yang dilewatinya.

"Kau yakin akan pergi siang ini, Akashi? Aku belum mengisi kembali persediaan obatku nanodayo."

Pertanyaan yang keluar dari mulut Midorima mengalihkan perhatian yang lain.

"Midorimacchi benar-ssu! Tak bisakah kita menginap satu malam lagi, ne, Akashicchi?" rengek Kise memohon.

"Lupakan. Kita bisa mampir ke toko obat sekarang nanodayo," potong Midorima segera.

"Midorimacchi!"

"Aku tahu apa yang di pikiranmu, Kise. Kau pasti akan menyelinap menemui teman-teman wanitamu itu malam ini bukan?" tembak Midorima tepat sasaran, membuat wajah Kise memerah. Kebiasaan Kise yang suka bermain wanita memang tak pernah hilang di mana pun mereka berada.

"Bu-bukan salahku jika mereka terjerat pesonaku-ssu!" seru pemuda bersurai kuning itu membela diri. "Mereka mengajakku, tak mungkin aku menolaknya-ssu."

"Kise-chin benar-benar pria murahan nee~" komentar sang raksasa ungu lugu, membuat tawa Aomine meledak dan Midorima menyeringai puas. Kise yang wajahnya sudah semerah tomat busuk hanya bisa merengek.

"Murasakibaracchi!"

"Cukup."

Satu kata dari Akashi dan semua langsung membeku.

"Daiki, kau pergilah temani Shintaro. Ryouta, Atsushi, kalian bisa mencari makanan untuk menambah persediaan bekal kita. Kita berangkat dua jam lagi."

Semua mengangguk mengerti dan segera berpencar memenuhi tugas masing-masing.

Sudah lebih dari seminggu sejak pertama kali mereka menginjakan kaki di Kaijou. Meski tak sebesar Teiko, namun negeri ini cukup kaya dan makmur. Julukannya sebagai produsen kain pun benar adanya melihat sebagian besar penduduk di tiap kota yang mereka lewati menekuninya sebagai sumber mata pencaharian. Tak heran jika kain menjadi komoditi ekspor terbesar negeri ini.

Memutuskan untuk berkeliling sebentar sebelum kembali ke penginapan, Akashi menyipit ketika sesosok gadis kecil berpakaian lusuh yang berusaha menjajakan dagangan menarik perhatiannya. Ia melangkah mendekat.

"Apa yang kau jual, gadis kecil?"

"Banyak, Tuan. Silahkan dilihat!" jawab gadis itu tersenyum lebar.

Akashi berjongkok mengamati benda warna-warni yang tertata rapi dalam dua buah keranjang berukuran sedang. Ia mengambil sebuah bunga berwarna biru muda yang menarik perhatiannya, lalu menyadari jika benda itu adalah sebuah bros yang terbuat dari kain dan kancing baju. Bukan hanya bros, namun terdapat juga aksesoris lain seperti bandana, ikat rambut dan jepit rambut. Semuanya terbuat dari berbagai kain dengan corak cantik.

"Kau membuatnya sendiri?"

Gadis itu mengangguk bangga. "Aku membantu ibuku membuatnya!"

Akashi tersenyum. Ia mengamati bros biru di tangannya. Ibunda Ratu pasti akan menyukainya. Kemudian perhatiannya jatuh pada jepit rambut merah berbentuk pita yang lucu. Tanpa sadar tangannya terjulur—hanya untuk bersentuhan dengan sebuah kulit pucat semulus porselen.

"Oh!"

Pekikan terkejut terdengar dari sebelahnya dan Akashi menoleh—menemukan dirinya bertatapan dengan sepasang iris biru muda yang tampak familiar. Ah, kalau tak salah ingat dia adalah orang yang sempat ditabraknya di rumah makan kemarin.

"Ma-maafkan aku!"

Akashi berdiri lalu mengulurkan jepit merah di tangannya. "Tak apa. Ini, kau menginginkannya bukan?" tawarnya, dalam diam memperhatikan sosok itu seksama.

Tingginya kurang lebih 160 cm, 13 cm lebih pendek darinya. Tubuh dan kepalanya tertutup jubah, namun ia bisa melihat sepasang mata indah sewarna langit musim panas dan wajah yang cantik layaknya wanita. Jika bukan karena pakaian pria yang terlihat di balik jubahnya, ia benar-benar akan menganggap orang itu wanita.

"Ah, tidak. Kau yang mengambilnya terlebih dulu, jadi itu milikmu."

"Tak masalah, aku bisa memilih yang lain."

"Tidak, terimakasih. Aku juga akan memilih yang lain."

Keras kepala. Akashi meraih tangan pemuda itu dan meletakkan jepitan itu di atas telapak tangannya. "Ambillah, sebelum aku berubah pikiran."

Pemuda itu menatapnya, sebelum kemudian menunduk dan berucap lirih, "Terima kasih."

Tepat saat itu, sebuah seruan terdengar dan sesosok bertubuh tinggi berlari menghampiri mereka.

"Ku—Tetsuya!"

Pemuda yang dipanggil Tetsuya itu tampak terkejut. "Kagami-kun!"

"Kita kembali ke penginapan sekarang."

"Eh? Tapi kita belum membeli—"

"Aku akan mengurusnya nanti."

Akashi hanya mengamati dalam diam saat sosok pendatang baru itu berkata cepat dan menarik lengan pemuda bernama Tetsuya agar mengikutinya. Pemuda itu meliriknya sesaat sebelum mereka berdua menghilang ditelan keramaian. Ia menyipit. Terlahir sebagai pangeran telah membuatnya terlatih untuk dapat mengenali aura yang mereka berdua keluarkan.

Mereka bukan orang biasa.

"Tuan?"

Panggilan si gadis penjual menyadarkannya.

"Ah, maaf... Berapa semuanya?" Ia hendak mengeluarkan koin dari kantongnya saat teringat akan jepitan merah yang telah berpindah tangan tanpa sempat dibayar oleh pemiliknya. Ia terkekeh kecil. "Kau berhutang padaku... Tetsuya."

.

.

Sesuai perintahnya, semua kembali berkumpul di penginapan dua jam kemudian. Dengan perkiraan sampai ke kota berikutnya esok hari, mereka segera bersiap dan bergegas pergi, mengucapkan selama tinggal pada kota yang telah mereka singgahi dua malam penuh.

Malam semakin larut ketika mereka berlima tiba di daerah tepian sungai jauh di dalam pegunungan. Usai membersihkan diri, Aomine dan Kise segera mencari kayu bakar sementara Midorima membantu Murasakibara mempersiapkan bahan masakannya—seekor ayam hutan yang berhasil Aomine tangkap serta sayuran sisa bekal mereka. Akashi sendiri memutuskan untuk berkeliling, memastikan tempat mereka bermalam telah aman. Tak ada yang tahu apa yang menunggu mereka di dalam gelapnya hutan.

Saat ia kembali, api sudah menyala dengan sepanci besar rebusan daging dan sayur yang tampak harum di atasnya. Murasakibara menyodorkannya semangkuk penuh begitu ia bergabung dengan mereka. Ia menggumamkan terima kasih, merasakan hangat menyelimuti tubuh saat sesendok sup itu masuk ke dalam mulutnya.

"Ngomong-ngomong, aku sempat melihat beberapa orang mencurigakan di kota tadi siang," ucap Aomine memulai pembicaraan.

Akashi mengangkat alis, tertarik. "Mencurigakan?"

"Mungkin hanya sekumpulan bandit nanodayo," timpal Midorima.

"Bukan," elak Aomine mengernyit. "Ada satu wajah yang terasa familiar, tapi aku lupa melihatnya di mana."

"Mungkin seseorang yang kita kenal," sahut Kise. "Kau tahu, kita sudah banyak bertemu orang baru-ssu."

Aomine tampak ragu. "Mungkin..."

Makan malam berakhir tanpa mereka membahas hal itu lebih jauh, meski Aomine masih terlihat sedikit terganggu. Mereka sudah bersiap untuk tidur dengan Murasakibara yang mendapat jatah berjaga pertama ketika samar-samar suara dari kejauhan tertangkap telinga tajam Akashi. Ia tersentak. Kedua matanya terbuka.

"Satu... dua ekor kuda melaju kemari."

Semua langsung sigap dan segera naik ke atas pohon besar di belakang mereka. Murasakibara memadamkan api lalu membuang sisa kayu bakar ke sungai sebelum bergabung dengan yang lain. Melirik kuda-kuda mereka yang tertambat aman di balik pepohonan dan semak lebat tepat di belakang mereka, Akashi kembali memusatkan perhatiannya ke depan.

"Mereka datang," bisik Midorima.

Tepat seperti ucapan Akashi, dua ekor kuda muncul dari kejauhan dengan kecepatan sedang. Namun di luar dugaan mereka, bukannya melintas, kedua kuda itu justru melambat hingga kemudian berhenti sepenuhnya. Akashi mempertajam penglihatannya, sementara yang lain saling berpandangan.

"Apa mereka melihat kita?"

"Tidak," sahut Akashi menyipit. "Lihatlah."

Mereka mengawasi dalam diam ketika dua sosok berjubah turun dari kuda-kuda itu dan menambatkannya di sebuah pohon tak jauh dari pohon tempat mereka bersembunyi sekarang. Salah satunya adalah seorang pemuda bertubuh tinggi besar, sedangkan satunya lagi bertubuh kecil dan pendek. Dengan hoodie yang menutupi wajahnya, sosok pendek itu masuk ke dalam sungai, sementara yang lain pergi menjauh ke arah mereka berdua datang.

"Kurasa mereka bermaksud bermalam di sini," ujar Aomine menyimpulkan. Pemuda yang tengah berjongkok di atas dahan itu kemudian bersandar pada batang pohon seraya melurukan kakinya di sepanjang dahan, menguap. "Lebih baik kita juga tidur."

"Aominecchi!" bisik Kise yang berada di dahan sebelahnya, memperingatkan. Namun pemuda tan itu sudah terlelap.

"Akashi?" panggil Midorima.

Akashi terdiam, mengawasi sosok kecil yang entah kenapa terlihat familiar tengah mencoba menangkap beberapa ikan. "Kalau kalian ingin tidur, tidurlah. Biar aku dan Atsushi berjaga sementara."

Midorima mendesah. "Tidak, aku akan menemanimu. Aku belum yakin mereka berbahaya atau tidak."

"Terserah kau."

Sosok kecil itu berhasil menangkap sejumlah ikan, sementara temannya yang tinggi kembali membawa setumpuk ranting-ranting tebal. Sejauh ini tak ada yang mencurigakan—hingga saat mereka menyalakan api dan cahaya merangsak menembus kegelapan, Akashi melebarkan mata. Ingatannya mau tak mau kembali ke kejadian siang tadi.

Warna merah... wajah tegas dan sepasang alis bercabang...

Pandangannya dengan cepat berpindah pada punggung kecil yang duduk membelakanginya. Tawa kecil hampir lolos begitu kesadaran menghantamnya. Apakah dunia memang sesempit ini?

Kise berpamitan untuk menyusul Aomine begitu melihat sosok yang mereka awasi mulai mengeluarkan selimut—menyisakan dirinya, Midorima dan Murasakibara yang masih terjaga. Beberapa menit berlalu dan Midorima menyarankannya untuk tidur ketika suara langkah kaki terdengar memecah keheningan malam. Aomine dan Kise segera membuka mata, namun tak bergerak. Dua sosok di bawah mereka rupanya ikut menyadarinya karena mereka segera terbangun dan bersiaga.

Seorang pria muncul dari balik kegelapan.

"Kau..."

"Heh, bukankah kau orang yang ada di Kirisaki waktu itu? Tak kusangka kita akan bertemu secepat ini."

"Ada apa, Kentaro? Kau menemukan sesuatu yang bagus?"

Akashi menyipitkan mata menyaksikan percakapan yang terjalin di antara mereka, belum lagi saat pendatang baru lain muncul dan membuat situasi terlihat semakin menegang.

"Astaga, lihat siapa yang kutemui di hutan gelap ini kalau bukan Kagami Taiga!"

"Hanamiya Makoto. Apa yang kau lakukan di sini?"

Aomine menghela nafas tajam, membuat semua terkejut. Pemuda bersurai navy yang sedari tadi hanya diam mendengarkan kini segera menegakkan badan dan mengamati adegan di bawahnya. Wajahnya tampak serius.

"Hanamiya Makoto, pangeran kedua Kirisaki Dai Ichi. Orang mencurigakan yang kulihat di kota tadi siang," jelasnya tanpa mengalihkan pandangan. "Aku pernah melihatnya mengunjungi Teiko. Saat itu kau tak ada karena sedang mengunjungi perbatasan barat, Akashi."

Ah ya, Akashi ingat. Dan tentu saja ia tahu nama itu beserta kerajaannya yang mempunyai reputasi buruk, apalagi dengan posisi mereka yang bertetangga. Bagaimanapun daerah perbatasan selatan Teiko dipenuhi oleh para imigran gelap Kirisaki Dai Ichi.

"Pertanyaan yang sama bisa kuajukan untukmu. Meski tak kusangka aku akan bertemu denganmu di sini. Kukira aku hanya berimajinasi saat melihatmu di kota tadi siang."

"Kau mengenalnya, Yang Mulia?"

Manik dwiwarnanya kembali mengawasi interaksi di bawahnya. Dugaannya siang ini tentang dua sosok itu terbukti benar kalau begitu, karena tidak mungkin orang biasa akan terlibat dengan pangeran dari negeri macam Kirisaki Dai Ichi.

"Bisa dibilang kami adalah kawan lama. Bukan begitu, Kagami-kun? Mengingatkanku pada hutang yang belum kubayar. Bukankah menurutmu ini saat yang tepat untuk melunasinya?"

Pemuda tinggi berambut merah bernama Kagami itu mendecih.

"Hm, siapa si kecil ini?"

Hanamiya melangkah maju mendekati sosok ber-hoodie di sebelah Kagami yang mundur perlahan. Tetsuya, Akashi membatin mengingatnya.

"Mata biru secerah langit... Mungkinkah...?"

"Jauhkan tanganmu darinya, brengsek!"

Tawa memuakkan yang selanjutnya membahana membuat mereka mengernyit.

"Luar biasa! Luar biasa! Semakin banyak alasan untukku menyingkirkanmu, Kagami!"

Empat orang lain muncul dari balik kegelapan dan dalam sekejap mereka berdua telah terkepung. Akashi memperingatkan dalam diam Aomine yang terlihat tak sabar untuk turun.

"Kalian bisa membunuh si rambut merah, tapi serahkan si kecil padaku hidup-hidup."

Denting pedang yang saling beradu pun tak terelakkan. Akashi mengamati dengan intens pertarungan tak seimbang di bawahnya, dalam hati terkesan dengan permainan pedang mereka berdua.

"Heh, mereka lumayan juga," ucap Aomine menyeringai.

"Tapi orang-orang Kirisaki itu juga tak bisa diremehkan-ssu," sahut Kise.

"Dan mereka kalah jumlah nanodayo."

Tepat setelah Midorima mengatakan hal itu, salah seorang Kirisaki menyambar kesempatan melihat pertahanan Kagami yang terbuka lebar. Suara pekikan terdengar dan tanpa sadar mereka melebarkan mata.

"Kagami-kun, di belakangmu!"

Detik-detik pedang yang menebas menembus kulit dan darah yang terciprat berlangsung lambat bagai adegan slow motion. Akashi menatap tubuh yang tumbang di depannya tanpa ekspresi sebelum matanya bertemu dengan sepasang iris biru yang balik menatapnya membulat. Untuk sesaat mereka saling berpandangan, dan Akashi merasa seolah dirinya tertarik ke dunia lain hingga sudut matanya menangkap pedang yang teracung tinggi di belakang sosok itu. Ia membelalak. Namun belum sempat ia bergerak, tebasan lain terdengar disusul tubuh kedua yang tumbang.

Ia menyeringai, sementara Aomine meludah sembari mengibaskan pedangnya yang berlumuran darah.

Detik selanjutnya, Kise, Midorima dan Murasakibara sudah mendarat di kanan kirinya.

"Si-siapa kalian?!"

Semua gerakan terhenti seiring dengan raut terkejut yang menghias setiap wajah. Melihat dua temannya tergeletak tak berdaya—kemungkinan tewas, tiga orang yang tersisa segera melangkah mundur.

"Hoi, hoi, apa-apaan ini? Setelah mencoba bermain keroyokan, sekarang kalian mundur karena takut?" ejek Aomine seraya menguap bosan, membuat mereka menggertakan gigi. Namun, pandangan Akashi jatuh pada Hanamiya Makoto yang kini mengawasi dengan mata menyipit dan wajah yang tampak kesal.

Dengan langkah tenang namun dipenuhi aura yang membuat siapa saja kesulitan bernafas, ia berjalan menghampiri sang pangeran Kirisaki Dai Ichi.

"Pesta yang menyenangkan, sayang sekali kami datang terlambat. Masih mau melanjutkannya?"

Hanamiya mendecih. "Kita pergi!" serunya sebelum melayangkan tatapan terakhir pada dua sosok yang masih terpaku. "Sampai berjumpa lagi... Manis," seringainya.

Akashi menyipit.

Segera setelah pasukan Kirisaki menghilang, suasana yang tegang terpecahkan oleh rengekan Kise.

"Huweee tidak adil-ssu! Aku tidak sempat beraksi sedikitpun! Aku bahkan sudah berpose keren-ssu!"

Aomine menempelengnya. "Ck, aho!"

"Hidoi-ssu!"

"Humph, mereka membuat keputusan yang tepat, nanodayo."

Akashi berbalik dan semua terdiam merasakan ketegangan yang kembali menyelimuti saat sebuah suara keluar dari mulut pemuda bersurai merah gelap yang diam-diam mereka awasi sedari tadi.

"Aku tidak tahu siapa kalian, tapi terima kasih," ucapnya seraya menunduk singkat.

Akashi menyarungkan pedangnya. "Tak masalah. Kami hanya kebetulan sedang bermalam di sekitar sini saat mendengar keributan," ucapnya, lalu menatap lurus sosok mungil yang tengah menatapnya. "Kita bertemu lagi."

Sosok itu berkedip sebelum membungkuk. "Terima kasih dan maaf atas ketidaksopananku tadi siang."

"Tak usah dipikirkan."

Ia bisa merasakan tatapan-tatapan terkejut dan terkhianati yang tertuju padanya. 'Jadi kau mengenalnya?!'

Ia mengabaikannya dan memilih mengamati raut wajah Kagami yang tampak mengeras.

"Tetsuya, apa maksudnya ini?"

"Kami hanya tak sengaja bertemu tadi siang, Kagami-kun. Tidak ada apa-apa."

"Benarkah?"

Kali ini Kagami menyipit menatapnya, dan ia memperhatikan bagaimana tangan pemuda itu menarik Tetsuya mendekat dengan gerakan protektif. Menarik. Ia berusaha menahan seringai gelinya melihat interaksi yang terlihat tak biasa itu.

"Kami sama sekali tak berbahaya, jika itu yang kau khawatirkan," jawabnya tenang, namun mampu membuat wajah Kagami melunak.

"Maaf."

"Lalu, apa yang telah kalian lakukan hingga orang-orang itu menyerang kalian?" tanya Aomine dengan nada bosannya yang biasa. "Kalian buronan?" pancingnya.

"Te-tentu saja bukan!" jawab Kagami cepat, lalu berpaling seraya menambahkan, "Kami bahkan tidak tahu siapa mereka."

Yang lain saling berpandangan, tahu bahwa pemuda itu berbohong. Namun di saat bersamaan mereka bisa memakluminya.

Kagami berdehem. "Bagaimanapun, terima kasih telah menolong kami. Tapi sepertinya kami harus segera pergi. Ayo, Tetsuya."

"Hei, hei, tidak perlu terburu-buru begitu-ssu."

"Benar. Lagipula sepertinya teman kecilmu terluka nanodayo. Biarkan kami mengobatinya."

Mendengar perkataan Midorima, Kagami menoleh begitu cepat hingga Akashi yakin kepalanya akan putus saat itu juga. Ia mengikuti arah pandang pemuda itu dan melihat darah merembes membasahi jubah Tetsuya—yang tak lain berasal dari luka sayat yang melintang cukup dalam di bahu kirinya. Sepertinya serangan tadi sempat mengenainya meski tidak fatal.

"Ah, kau benar."

Suara sedatar papan itu mengundang raut frustasi di wajah Kagami. Untuk sesaat pemuda itu terlihat ingin mengumpat, namun berhasil menahannya.

"Shintarou," Ia memberi kode pada Midorima. Pemuda hijau itu mengangguk lalu menghampiri Tetsuya.

"Jika kau mengijinkan, aku bisa mengobatinya untukmu."

"Tidak, terima kasih. Aku bisa mengobatinya sendiri. Tapi kurasa aku membutuhkan beberapa tanaman obat—"

"Aku memilikinya."

Selanjutnya, pemuda mungil itu sudah menghilang di balik semak untuk membersihkan lukanya di pinggir sungai usai mendapatkan segenggam tanaman obat dari Midorima. Kagami bersandar di batang pohon seraya bersidekap dan Akashi mengamati bagaimana sudut matanya tak bisa lepas dari punggung Tetsuya. Lagi-lagi ia berusaha menahan seringai.

Astaga, mereka berdua sungguh menarik. Dan keterlibatan mereka dengan Hanamiya Makoto hanya membuatnya semakin dipenuhi rasa penasaran. Untuk waktu lama tak ada yang bersuara hingga ia mengangguk pelan saat Aomine meliriknya.

"Jadi, kalian bukan penduduk asli sini?" Pemuda berkulit tan itu membuka suara.

Kagami menatapnya sesaat sebelum kembali melayangkan pandangannya ke arah sungai. "Kami datang dari Seirin."

"Seirin?"

"Ya."

Akashi mengangkat alis.

Seirin. Negeri kecil di sudut tenggara. Tak seperti kerajaan-kerajaan lain yang memiliki sejarah panjang mencapai ribuan tahun, Seirin terbentuk sekitar lima abad yang lalu dan terus berkembang pesat hingga menjadi negeri yang diakui seperti sekarang. Tapi setelah dipikir-pikir, ia tak tahu banyak tentang kerajaan itu selain militernya yang cukup tangguh.

Baiklah, sekarang rasa hausnya bertambah. Dan sepertinya yang lain bisa membaca pikirannya.

"Kalian hendak berwisata ke suatu tempat?"

Sekali lagi Kagami menoleh, namun kali ini pemuda itu tidak langsung mengalihkan pandangannya.

"Dan kenapa aku harus memberitahumu?"

Aomine mengangkat bahu. "Hanya penasaran."

"Ngomong-ngomong, kami hendak menuju Yosen-ssu!" timpal Kise.

"Yosen?"

Untuk sesaat Kagami tampak tertarik, dan Akashi segera menyambarnya.

"Kutebak Kaijou bukanlah tujuan akhir kalian?"

Kagami terdiam, namun belum sempat dia membuka mulut, suara lain yang lebih lembut telah menyelanya.

"Kami memiliki urusan di perbatasan Yosen."

Semua menoleh. Masih dengan hoodie yang setia menutup kepalanya, Tetsuya berjalan mendekat. Tampak perban putih yang telah melilit rapi pundaknya menengok dari kain jubahnya yang robek tersayat.

"Tetsuya!"

"Heh, kalau begitu kita bisa kesana bersama-sama-ssu!" Kise berseru penuh semangat.

"Apa?! Kenapa juga kami harus pergi dengan kalian?!" protes Kagami.

"Menurutku itu ide bagus nanodayo."

"Aka-chin?"

Akashi mengawasi Tetsuya yang kini melangkah lurus menghampirinya. Ruby dan gold bertemu aquamarine. Lagi, ia merasa seolah dirinya tersedot oleh kedua bola mata yang kini tengah menatapnya tanpa ekspresi. Untuk sesaat ia kehilangan suaranya.

"Bagaimana menurutmu?"

"Ijinkan kami pergi bersama kalian."

"Apa?! Tetsuya!"

Akashi menyeringai, sebelum kemudian menjulurkan tangannya.

"Seijuurou."

Dan ia bisa merasakan setitik sengatan listrik saat tangan selembut kapas itu menyentuhnya.

"Tetsuya."

Siapa sangka, jika benang merah takdir yang saling bertemu dan terikat malam itu akan membawa perubahan besar pada hidupnya...

.

.

.

Tbc

Special for u guys~

Sorry for the long wait *

Tapi udah aku kasih hadiah manis berupa pertemuan AkaKuro kok XD. Cuma maaf kalo kurang greget wkwkwkwk

Terimakasih sudah membaca dan memberi review! Ga nyangka ada yang bisa menebak jalan ceritanya #lirikmbafuyuri. Sepertinya kita benar2 sehati ya sis hehehe XD

Last, review?