The Cursed Princess

Romance/Historical/Fantasy

Akashi x Fem!Kuroko

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

DLDR!

.

.

When it begins...

.

.

Malam yang hangat di kerajaan Seirin. Rembulan bersinar terang menyinari istana, menembus jendela-jendela kaca, memberi penerangan ke dalam kastil yang gelap.

Di sanalah ia, berjalan pelan di sepanjang koridor beralaskan karpet merah, berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Sudah seminggu ini ia menyelinap keluar kastil hingga tengah malam, dan selama itu pula tak satupun orang dalam istana menyadarinya. Dalam hati ia sangat berterimakasih pada hawa keberadaannya yang tipis.

Secercah sinar mengintip dari balik pintu besar yang sedikit terbuka, membuat ia menghentikan langkah. Kedua iris birunya meredup, sebelum ia memutuskan untuk mendekat, mendorong perlahan gagang besar berlapis emas di depannya.

Pemandangan yang kemudian tersaji begitu menyayat hatinya. Dimana sang Ratu terbaring lemah dan pucat, sementara sang Raja duduk setia di sampingnya, menggenggam erat tangan wanita itu seolah tak ingin melepasnya barang sedetikpun. Ia dapat mendengar isak lirih penguasa Seirin yang terkenal akan ketegasannya itu, membuat air mata tanpa sadar tergenang di kedua matanya. Ia menunduk dan meremas jubah yang membungkus gaunnya.

Hari ini genap sebulan Ratu Seirin terlelap dalam tidur panjangnya. Raja terus mengurung diri di kamar menemani sang Ratu, melimpahkan tanggung jawab atas pemerintahan kepada Putra Mahkota. Rakyat berduka, istana pun menjadi lebih suram dari biasanya.

Semua berawal dari perseteruan Seirin dengan seorang penyihir yang telah berlangsung beratus-ratus tahun lamanya, atau lebih tepatnya sejak kerajaan Seirin berdiri. Rumor mengatakan bahwa Seirin dibangun oleh raja pendahulu atas bantuan penyihir, namun kemudian raja menghianatinya. Penyihir yang murka pun mengutuk istana dengan mengambil keturunan raja sebagai tumbal.

Tumbal yang dimaksud adalah seorang putri yang akan lahir seratus tahun sekali dalam silsilah kerajaan Seirin. Pada awalnya ia tak percaya, bagaimanapun tak pernah ada orang yang memberitahunya, termasuk Raja dan Ratu. Namun malam yang bagaikan mimpi buruk itu merubah segalanya.

Penyihir itu datang, menuntunnya dengan bisikkan yang bagaikan bisa ular. Ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena begitu ia tersadar Ratu telah terjatuh tak sadarkan diri di depan matanya. Wanita itu datang dan menerima kutukan yang ditujukan untuknya.

Ia hanya bisa terduduk shock menyaksikan sang penyihir yang menghilang bertepatan dengan derap langkah kaki yang memasuki kamarnya. Ia masih ingat jelas wajah pucat bagai mayat wanita yang telah melahirkannya, disusul jeritan ayahnya yang terus bergaung di kepalanya hingga sekarang.

Ia terus mengalami mimpi buruk sejak saat itu.

Mengerjap, ia terkesiap ketika air mata turun dan mengaliri pipinya. Ia segera memalingkan wajah dari pemandangan menyesakkan di depannya, menutup pintu, dan bergegas pergi.

Tangannya mengepal.

Keputusannya sudah bulat.

.

.

.

"Tetsuna, bangun sayang..."

Sentuhan lembut di kepala dan bisikkan halus di telinga membangunkannya. Tetsuna membuka kedua matanya perlahan, dan warna abu-abu segera memenuhi pandangannya.

"Oniisan..." panggilnya parau.

Kuroko Chihiro, Putra Mahkota Seirin, memamerkan senyum langkanya.

"Hari sudah beranjak siang. Bangunlah, kita sarapan bersama."

Meja panjang itu dipenuhi oleh makanan yang berjejer dan terlihat menggiurkan. Kuroko Takeda, Raja Seirin, duduk di kursi kebesarannya di ujung meja, dengan Chihiro dan Tetsuna berada di kedua sisinya. Para pelayan berderet di tak jauh dari meja, mengawasi dalam diam sarapan anggota keluarga kerajaan yang berlangsung hening.

"Bagaimana kondisi pesisir pantai timur kita, Chihiro?" Raja membuka percakapan usai menyelesaikan sarapannya.

"Terselesaikan dengan baik, Yang Mulia. Jenderal Hyuga Junpei beserta pasukannya berhasil menumpas para bajak laut yang bersiap kabur dengan membawa tawanan wanita dan anak-anak. Mereka sudah dimasukkan ke dalam sel tahanan kemarin," jelas Chihiro panjang lebar.

Raja mengangguk puas. "Bagus. Kau benar-benar pemimpin yang baik Chihiro. Dengan begini aku bisa meninggalkan tahtaku dengan lega."

"Anda tidak boleh berkata seperti itu, Yang Mulia. Kerajaan ini masih membutuhkan rajanya."

Raja hanya tertawa kecil. Tawa yang tidak sampai ke matanya.

"Baiklah, kurasa aku harus melihat perkembanganmu lebih jauh lagi. Aku percaya padamu, Putra Mahkota."

Dengan itu, Raja meninggalkan ruangan, menyisakan kakak beradik Kuroko di meja makan. Tetsuna menyelesaikan sarapannya dengan tenang, berusaha menepis rasa sakit di dada saat Raja mengabaikannya, seolah ia hanyalah barang kasat mata yang tak patut diperhatikan. Ia memang sudah terbiasa, namun tetap saja rasanya sungguh menyesakkan.

"Apa yang akan kau lakukan hari ini, Tetsuna?"

Pertanyaan Chihiro sedikit mengagetkannya. Ia dengan refleks menjawab, "Mungkin sedikit berjalan-jalan. Sudah lama aku tidak membawa Shiro keluar, Oniisan."

Shiro adalah nama untuk kuda putihnya.

Mata Chihiro berubah tajam. "Kau tahu bahwa aku tidak akan membiarkanmu keluar dari istana selangkah pun, Tetsuna."

Tetsuna sadar dirinya telah memberi jawaban yang salah. Ia menunduk. "Maafkan aku."

Tatapan Chihiro melembut. "Aku yang seharusnya meminta maaf karena telah mengurungmu. Tapi kau tahu sendiri bagaimana keadaan kita sekarang. Aku harap kau mengerti."

"Tentu aku mengerti, Oniisan," ucapnya sembari memberi senyum menenangkan, meski dalam hati ia tersenyum sendu.

'Maafkan aku...'

.

.

.

Ia memperhatikan bayangannya di cermin. Pakaian pria yang dikenakannya saat ini lebih cocok dari dugaannya. Dadanya yang cukup berisi sekarang tampak datar—terimakasih pada kain yang berhasil membalutnya. Hanya perlu memangkas rambut panjang berwarna baby blue-nya, dan ia akan sepenuhnya terlihat seperti pria.

Ia meraih gunting dan kembali menatap pantulannya. Memejamkan mata, ia bersiap memotong rambutnya, namun sekelebat bayangan yang kemudian terlintas menghentikan tangannya.

'Rambut panjangmu sangat indah Tetchan. Ibu suka sekali setiap menyisirnya.'

Tanpa sadar ia menjatuhkan guntingnya. Tidak. Ia tidak bisa.

Akhirnya, ia mengikat rambutnya membentuk cepol dan menutupinya dengan kerudung jubah yang ia pakai. Setelah sekali lagi memeriksa perlengkapan dalam tasnya, ia pun beranjak keluar kamar, mengendap pelan melewati tangga serta koridor yang remang oleh cahaya bulan menuju pintu belakang istana yang minim penjagaan.

Ia berlari melintasi halaman belakang yang sepi hingga tiba di istal kuda. Mengeluarkan Shiro, ia menuntun kuda yang hanya menurut padanya itu menuju jalan rahasia keluar istana yang kerap digunakannya untuk menyelinap. Namun di luar dugaan, seseorang telah berada di sana dan menghadangnya.

"Kembalilah ke dalam istana, Tuan Putri."

"Tidak."

"Kuroko—"

"Tolong menyingkir dari jalanku, Kagami-kun."

"Dan membiarkanmu pergi membahayakan dirimu sendiri?!" Kagami Taiga, teman masa kecil sekaligus salah satu panglima kerajaan, setengah berseru, namun masih dalam suara kecil.

Ia terdiam.

"Jangan kira meski aku sedang ditugaskan keluar aku tidak tahu kegiatan menyelinapmu selama ini. Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, Kuroko. Tapi tidak, tidak akan kubiarkan kau pergi menghadapi penyihir itu. Ratu sedang sekarat, apa yang akan terjadi pada Raja dan Putra Mahkota apabila sekarang kau juga menghilang?"

"Mereka akan baik-baik saja," sahutnya cepat. "Chihiro-nii mengurus kerajaan dengan baik, dia akan menjadi Raja yang hebat meski aku tak ada. Dan Ayah akan terus menjaga Ibu hingga aku menemukan cara untuk membangunkannya."

"Bagaimana dengan Ratu?" kejar Kagami. "Dia telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanmu!"

"Justru itu!" Ia berusaha mengontrol suaranya yang mulai kehilangan kesabaran. "Tidak seharusnya dia menyelamatkanku. Akulah yang ditakdirkan mati, Kagami-kun, akulah yang seharusnya terkena kutukan itu!"

"Kuroko..." Suara Kagami melunak.

Ia menunduk dan mengepalkan tangan. "Kau tidak mengerti, Kagami-kun..."

Selama ini ia selalu memendamnya sendirian. Tentang Raja yang tak pernah menganggap keberadaannya, tentangnya yang bagaikan anak tak diinginkan. Tak pernah sekalipun pria itu memandangnya, apalagi mengajaknya bicara. Di mata pria itu hanya ada Chihiro, putra mahkota yang membanggakan dan dapat diandalkan. Dirinya sama sekali tak ada dalam kehidupan pria itu.

Ia bersyukur masih memiliki ibu dan kakak yang menyayanginya, namun tetap saja terdapat lubang menganga di hatinya.

Ayah membencinya. Hanya itu yang dapat ia pikirkan.

Pria itu bahkan tak meliriknya sedikit pun di malam penyerangan yang mengakibatkan Ratu sekarat. Saat itulah ia merasa benar-benar hancur. Menyaksikan ibu yang tumbang di hadapanmu, dan ayah yang sama sekali tidak memperdulikan keadaanmu.

Ia merasa menjadi yang terburuk. Tak heran jika Raja bertambah membencinya sekarang. Bagaimanapun ia telah membuat wanita yang sangat dicintainya tertidur panjang, tak ada bedanya dengan mati.

Oleh karena itu ia membulatkan tekad untuk menghidupkan kembali Ratu, meski nyawanya sendiri menjadi taruhan. Toh, sejak awal memang ia yang seharusnya mati. Ia hanya ingin mengembalikan semua ke tempat semula.

"Kalau begitu apa rencanamu?"

Ia mendongak, menatap Kagami tak mengerti. Pemuda itu terlihat tak sabar.

"Kau tidak mungkin keluar tanpa rencana, kan?"

Ia tersenyum dalam hati, tahu bahwa Kagami sudah menyerah. "Aku akan menuju barat," jawabnya.

"Barat?" ulang Kagami. "Kirisaki Dai Ichi? Atau Kaijou?"

"Bukan. Lebih tepatnya perbatasan antara Kaijou, Touo dan Yosen."

Kedua mata Kagami membelalak. "Maksudmu...?"

Ia mengangguk membenarkan. "Hutan kegelapan," ucapnya. "Sudah seminggu ini aku mencari keberadaan mantan peramal kerajaan yang hilang. Dia yang memberitahuku."

Kagami tampak ingin memprotes, namun kemudian menghela nafas berat. "Kau tahu itu bukan perjalanan yang mudah."

"Aku tahu."

"Butuh kurang lebih satu bulan berkuda untuk sampai kesana."

"Aku tahu. Aku sudah mempersiapkan semuanya."

"Baiklah. Kalau begitu beri aku waktu untuk bersiap."

Ia terkesiap. "Apa?! Tapi—!"

"Tidak mungkin aku membiarkanmu pergi sendirian, bodoh! Akan kupastikan kita sampai dan pulang dengan selamat!"

Wajah dan suara itu penuh tekad dan ketegangan, membuatnya tersentak. Ia tahu ia tak punya pilihan lain.

"Baiklah, terserahmu saja."

.

.

.

Matahari bersinar terang namun menyejukan di langit Teiko. Penduduk berbondong-bondong melakukan aktivitas mereka di luar, membuat jalanan ibukota tampak ramai dan penuh semangat. Pemandangan yang tak jauh berbeda pun terjadi di dalam istana yang menjulang angkuh di pusat ibukota. Istana yang selalu ramai dengan kehadiran empat pemuda berambut pelangi di sekeliling Putra Mahkota.

"Oi, Kise! Kembalikan lucky item-ku nanodayo!"

Keributan yang sudah tak asing ketika pemuda berkacamata dengan surai hijau mengejar seorang pemuda bersurai kuning keemasan.

"Maaf, Midorimacchi! Tapi aku membutuhkannya!"

Mereka berlarian di sepanjang halaman istana yang luas. Para pelayan yang menyaksikannya berebut memberi semangat.

"Kise-sama berjuanglah!"

"Midorima-sama jangan mau kalah!"

"Kyaaa~ seperti biasa mereka terlihat bersinar ya!"

Melewati koridor yang menghubungkan dua bangunan istana, pemuda berwajah flamboyan yang dipanggil Kise tanpa sengaja menabrak salah seorang pelayan yang tengah melintas sambil membawa kerajang cucian. Pakaian pun berceceran di lantai.

"Astaga, maafkan aku-ssu! Kau tak apa?"

"Sa-saya baik-baik saja, Kise-sama," ucap pelayan itu tergagap. Kise membantunya berdiri.

"Syukurlah... Apa jadinya kalau tangan cantik ini terluka?"

Wajah pelayan itu memerah bak kepiting rebus tatkala Kise mendaratkan kecupan di tangannya. "Ki-Kise-sama..."

"Oi, Kise!"

Kise mendecih mendengar suara derap kaki yang makin mendekat, sebelum kemudian mengedip pada pelayan yang sekarang terlihat akan pingsan. "Kalau begitu sampai nanti~"

Mereka terus berlarian hingga tiba di halaman sayap kanan istana. Terlihat beberapa kursi dan satu meja panjang yang penuh makanan tertata di pinggiran halaman, sementara jauh di depan berdiri 5 papan target—dimana lebih dari 4 anak panah menancap sempurna di titik merah setiap papan.

Duduk di salah satu kursi adalah seorang pemuda bertubuh besar dan tinggi dengan surai ungu yang memanjang hingga ke leher. Mulutnya tak berhenti mengunyah, tangannya pun tak berhenti mencomot beraneka kue yang entah kenapa bertumpuk semua di depannya. Sementara itu di rerumputan bawah, berbaring seorang pemuda bersurai navy dengan kulit tan yang terlihat semakin gelap terkena sinar matahari. Dengusan terdengar di balik buku yang menutupi wajahnya ketika Kise berteriak.

"Akashicchi~!"

Jleb.

Anak panah kelima meluncur dan mendarat tepat sasaran di antara 4 anak panah lain pada papan terakhir. Akashi Seijuro, Putra Mahkota Teiko, menurunkan busurnya perlahan. Rambut merah menyala yang membingkai wajah tampannya bergerak lembut tertiup angin, sementara manik heterokromnya yang berwarna merah dan kuning tampak berkilat melihat papan penuh anak panah di depannya.

Dia menoleh pada Kise yang berlari menghampirinya.

"Ryouta?"

"Akashicchi, aku membawakan pesananmu!" Pemuda blonde itu berseru semangat sebelum berhenti di depan sang Putra Mahkota. Akashi mengernyit, tampak tak puas.

"Satu jam berlalu sejak aku memerintahkanmu, Ryouta."

Kise atau lengkapnya adalah Kise Ryouta, putra sekretaris kerajaan, tersenyum miring minta ditabok. "Aku lupa dimana tempat menyimpannya-ssu!"

"Lalu?"

Pertanyaan Akashi terjawab saat Midorima Shintarou, putra penasehat kerajaan, berjalan terengah dengan wajah tak bersahabat.

"Jelaskan padaku, Kise!" serunya murka.

Kise langsung mengkerut melihatnya dan bersembunyi di belakang tubuh Akashi yang sama sekali tak berhasil menutupinya. "Maafkan aku, Midorimacchi! Akashicchi menyuruhku mengambil peta dan aku lupa dimana meletakannya! Lalu, lalu, aku melihatmu memegangnya-ssu~"

Midorima mengusap wajahnya kasar.

"Biarkan kami meminjamnya sebentar, Shintarou," ucap Akashi final. Midorima tak bisa membantah. Dia pun hanya mendesah pasrah.

"Apa yang akan kau lakukan dengan peta itu nanodayo? Kita akan melakukan perjalanan lagi?"

Sudah lebih dari setahun ini mereka melakukan perjalanan ke kerajaan-kerajaan tetangga, atau lebih tepatnya mengembara. Mereka akan pergi selama kurang lebih 3 bulan, sebelum pulang ke Teiko untuk beristirahat sekitar 2 bulan dan kembali melanjutkan petualangan ke negeri selanjutnya. Akashi telah memasuki usia 19 tahun, tak akan lama bagi dirinya untuk mengambil alih tahta dan memimpin Teiko. Oleh karena itu dia memutuskan untuk menjelajahi setiap negeri di daratan ini sebelum menduduki kursi raja.

Akashi ingin melihat keadaan di luar kerajaannya. Baginya ini akan menjadi pengalaman berharga yang dapat membantunya dalam memerintah Teiko kelak.

"Aku lebih suka menyebutnya bermain, Shintarou. Dan tidak, aku tidak memaksamu untuk ikut jika kau memang tidak mau," ucap Akashi sedikit menyeringai.

Midorima berdehem. "Apa boleh buat nanodayo. Bukannya aku ingin ikut apapun rencanamu itu, tapi akan repot jika tak ada yang merawat kalian seandainya nanti kalian terluka nanodayo."

Midorima dan sikap tsundere-nya. Selain belajar kepemerintahan mengikuti ayahnya, pemuda itu juga mempunyai obsesi lain terhadap ilmu pengobatan. Oleh karena dia kerap bertanggung jawab pada kesehatan teman-temannya.

"Baiklah, sudah diputuskan semua akan pergi-ssu!" seru Kise antusias.

"Kita belum memutuskan untuk pergi kemana, kalau kalian lupa," suara malas dari pemuda berkulit tan, Aomine Daiki, salah satu panglima kerajaan sekaligus putra dari sang Jendral. Pemuda itu sudah bangun dari tidurnya dan kini terduduk di rumput sambil mencomot kue dari meja di atasnya, menghasilkan tatapan tajam dari si pemuda raksasa berambut ungu.

"Poin yang bagus, Daiki."

Akashi berjalan menuju meja diikuti Kise dan Midorima, membuka peta dan meratakannya di sisi meja yang kosong. Mereka bertiga mengamati perkamen besar itu seksama.

"Daerah mana saja yang belum kita datangi?" tanya Akashi.

Midorima mengangkat kacamatanya. "Kita sudah menjelajahi bagian barat; Shutoku, Touo dan Rakuzan. Tersisa Yosen di barat daya, lalu Kaijou, Kirisaki Dai Ichi, Fukuda dan Seirin di selatan."

"Hmmm..." Akashi tampak berpikir.

"Bagaimana dengan Yosen? Kita bisa sekalian melewati Kaijo," cetus Kise.

"Yosen?" sahut Aomine terdengar tertarik. "Boleh juga. Aku belum pernah melihat wanita-wanita Kaijou maupun Yosen. Apakah mereka berdada besar?" Pemuda itu kemudian tersenyum aneh, tenggelam sendiri dalam pikirannya.

Perempatan muncul di kening Midorima. "Itu karena kita memang belum pernah kesana nanodayo. Dan lagipula bukan itu daya tariknya. Sejauh yang kutahu Kaijou adalah negeri penghasil kain terbaik, sementara Yosen terkenal dengan produksi rotinya."

Brak.

Suara benda berbenturan dengan meja terdengar ketika pemuda bersurai ungu berdiri dari kursinya. Mereka semua menoleh ke arah sosok yang kini memasang tampang memelas.

"Aka-chin, aku ingin ke Yosen."

Murasakibara Atsushi, bayi raksasa pemakan segala. Sangat sensitif terhadap makanan. Tak mengherankan karena ayahnya sendiri adalah kepala koki di istana. Bersama Midorima, Kise dan Aomine, mereka berempat adalah teman Akashi sejak kecil. Hingga kini mereka melanjutkan jejak ayah masing-masing dengan ikut membantu pekerjaan di istana, sekaligus sebagai bentuk persiapan agar dapat melayani Akashi kelak ketika pemuda itu naik tahta.

"Semua setuju pergi ke Yosen?" tanya Akashi memastikan.

Semua mengangguk.

"Baiklah, kita akan berangkat lusa. Persiapkan diri kalian."