Aku menghitung maju waktu
Satu…
Dua…
Tiga…
Tapi waktu balas menghitung mundur
Tiga…
Dua…
Satu…
Adakah keputusasaanku sampai ke tangan Tuhan?
Adakah Ia meminta waktu berhenti bermain dengan luka?
Adakah kenangan panjang mencapai halaman terakhir?
Adakah?
Sejenak kurebahkan raga di pangkuan dusta
Tak apa
Aku bahagia
Kebahagiaan milik dusta
Satu…
Dua…
Satu…
Aku melangkah maju
Lantas waktu menyeret mundur langkahku
Tuk.. Tuk.. Tuk..
Derap langkah luka terdengar begitu nyaring
Dengan tawanya yang berisik
Memenuhi hati
-Nakamoto Yuta, Oktober 2015-
LITTLE PAPER
(A Letter from Heaven)
Ryuuza Nakazawa
Present
Warning: Shonen-ai, OOC dan typo bergentayangan
Chapter 4: Black Umbrella
Tokyo, musim semi 2004
Kuncup bunga sakura bermekaran dengan begitu indah di halaman. Yuta tersenyum lebar. Ia menyukai musim semi, sangat menyukainya. Banyak hal-hal menakjubkan yang terjadi di musim semi. Bunga-bunga bermekaran, burung-burung hinggap di ranting dan berkicau merdu, juga_
"Kali ini, akan ada orang tua angkat yang datang dari Korea Selatan." Seorang wanita paruh baya dengan pakaian biarawati berseru dari dalam rumah dengan raut wajah berseri-seri. Kedua tangannya yang mulai berkerut mengepal di depan dada, sedang bibirnya terus mengulang kalimat syukur.
"Mereka ingin mengadopsi dua dari kalian."
Yuta mendengus kasar, namun tak urung bibirnya menyunggingkan senyum.
"Yuta-nii, kau senang?" Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun mencolek tangan Yuta lengkap dengan senyuman menggodanya.
"Apa maksudmu, Yuki-kun? Apa aku terlihat senang?" Anak yang dipanggil Yuki mengangguk, membuahkan rona merah di pipi Yuta. Anak laki-laki berusia 12 tahun itu menepuk pipinya beberapa kali, lantas menyentuh telinga kanannya, membetulkan letak alat bantu dengar yang kurang nyaman.
"Aku harap, kita berdua bisa diadopsi bersama, Yuta-nii." Yuta mengernyit bingung, membuat Yuki mengusap tengkuknya dengan kikuk.
"Habisnya, aku 'kan cuma dekat sama Yuta-nii." Yuki tersenyum lebar, terlalu lebar membuat Yuta terkikik geli.
"Ya ya ya. Terserah kau saja." Tangan Yuta terangkat guna mengacak rambut hitam milik Yuki, adik yang paling dekat dengannya di panti asuhan ini.
"Adopsi, ya?" Yuta menerawang jauh, jauh sekali. Ada sosok ayah dan ibu yang tersenyum di sekitarnya, ada sosok saudara yang mengajaknya bermain bersama, liburan yang menyenangkan dan juga menghangatkan diri sambil bercanda di depan perapian. Anak laki-laki itu mengalihkan pandangannya keluar jendela panti, menatap hujan yang turun dengan deras. Di luar ada satu mobil mewah berwarna silver terpakir, milik orang yang akan mengadopsi anak-anak panti. Yuta membasahi bibirnya yang tib-tiba terasa kering usai mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, menatap anak-anak panti yang lain. Ia minder, tentu saja. Ia yang tertua disini. Yang Yuta tahu, biasanya orang-orang lebih memilih mengadopsi anak kecil di bawah usia 10 tahun dan juga sempurna. Yuta menyesal merasa senang tadi.
Yuta bukan orang bodoh dan munafik. Ia tahu dirinya tuli, dan orang-orang pun enggan untuk mendekatinya. Merepotkan, kata mereka. Bahkan para pengurus panti pun sedikit menjaga jarak padanya. Hanya sekedar menyuruhnya makan dan membantu di dapur. Mereka tidak pernah bertanya tentang kesehariannya, tidak seperti kepada anak-anak lain. Mereka tidak pernah bertanya tentang kenapa ia pulang dari sekolah dengan pakaian kotor dan luka-luka, atau kenapa ia selalu pulang tanpa memakai alat bantunya.
Yuta iri, tentu saja. Jadi untuk kali ini, biarkan ia berharap lebih kepada pasangan yang ingin mengadopsi itu. Sekali lagi, Yuta tidak munafik akan kenyataan bahwa ia haus akan perhatian dan kasih sayang.
"Aku ingin bersama Yuta-nii." Tapi takdir memang tidak pernah semudah itu mengabulkan harapan.
"Dia tampan sekaligus lucu." Yuta mendengar nyonya Jung – yang akan mengadopsi dua dari mereka semua- berbicara sambil menelisik wajahnya. Jemari tangannya menyentuh pipi Yuta lalu menelusuri hidung dan mengusap dagunya. Yuta melirik Yuki yang berada didekat pemilik panti, anak itu menatapnya dengan mata berkaca. Yuta lantas mengernyit ketika tangan nyonya Jung menyentuh telinganya, telinga kanannya yang dipasangi alat bantu dengar.
"Aku ingin mengambilnya_" Yuta menahan napas sesaat, begitu bahagia. Tangan nyonya Jung terasa hangat, membuat Yuta merasa nyaman. Seperti inikah sentuhan seorang ibu?
"Kalau saja dia tidak cacat." Tangan itu pun menjauh, meninggalkan kekosongan dan sensasi perih tercubit.
Cacat, huh?
"Kami berasal dari keluarga terpandang, nyonya." Yuta mendengar sayup-sayup nyonya Jung berbicara kepada pemilik panti. Ada kalimat yang sangat dibenci Yuta terlontar dari bibir nyonya Jung.
"Jika kami memiliki putera yang cacat, kemungkinan besar reputasi kami akan jatuh."
"Tidak mau." Yuta melirik Yuki yang berteriak dan meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkraman pemilik panti. Ah, Yuki. Beruntung sekali anak itu. Masuk panti satu tahu yang lalu sebagai yatim piatu korban kecelakaan yang selamat, kini langsung mendapatkan orang tua baru.
"Aku mau Yuta-nii." Dan anak tak tahu diuntung-bagi Yuta- itu melarikan diri, keluar dari panti dan menerobos hujan yang masih turun dengan deras.
"Saya akan mengejarnya." Pemilik panti berujar dengan cemas, membuat Yuta terkikik geli dalam hati.
Pencitraan yang kentara sekali.
Atau memang hanya dirinya yang tidak pernah mendapatkan perhatian sebesar itu?
Rasanya menjengkelkan.
"Biar aku saja." Yuta bersuara. Ia melihat tatapan orang-orang dewasa disana mengarah padanya.
"Yuki hanya akan mendengarkanku untuk saat ini." Dan senyum munafiknya muncul. Dilepasnya alat bantu dengar dan ia simpan di saku jaket biru yang dikenakannya.
Anak itu meraih payung hitam yang teronggok di dekat pintu keluar lantas memakainya untuk menelusuri jalanan di bawah derasnya hujan. Bukan hanya untuk mencari Yuki, tetapi untuk sekalian mengendalikan hatinya. Ia sakit hati, tentu saja. Kata-kata hinaan yang diucapkan dengan jelas di depan matanya sendiri melukai hatinya, hatinya yang naif dan menyimpan banyak puing-puing harapan yang dikumpulkannya susah payah.
Gerak bibir itu sama, jadi kalimat itu pun bermakna sama. Seperti 5 tahun lalu ketika ia ditinggalkan luntang-lantung di jalanan Tokyo yang ramai dengan lalu lalang manusia dan berakhir di panti asuhan terkutuk ini.
Menjadi cacat itu memang memalukan, juga menjadi kesialan yang tidak berujung. Ia tidak punya teman, hanya beberapa anak yang kerap menyapanya. Ya, menyapa dengan sangat ramah- dengan guyuran air bekas pel, beberapa pukulan dan perusakan alat bantu dengarnya.
Yuta menghela napas lega begitu dilihatnya Yuki tengah meringkuk di depan toko, memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil. Anak bodoh. Yuta menggumam dalam hati. Ia seret langkahnya menghampiri adik pantinya itu.
"Kau bodoh Yuki-kun." Yuta berbicara. Ia berjongkok di depan Yuki setelah memasang kembali alat bantu dengarnya. Ketika Yuki mengangkat wajahnya, Yuta mengukir senyum di bibirnya.
"Ayo pulang! Orang-orang di panti sangat khawatir."
"Tidak mau." Yuki menggeleng keras. "Mereka jahat. Mereka menghina Yuta-nii. Aku tidak suka."
Yuta tersenyum lagi sembari tangannya mengacak rambut Yuki yang lepek karena hujan. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."
"Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau orang tua baru. Aku mau Yuta-nii."
"Kalau begitu_" Yuta menyela. "Aku akan marah pada Yuki-kun."
"Kenapa?"
"Karena Yuki-kun menyia-nyiakan kesempatan yang bagus. Ayo berjanji!"
"Janji?"
"Ya." Yuta mengangguk semangat. Diulurkannya jari kelingking dan berucap dengan nada ceria. "Ayo berjanji untuk bertemu lagi suatu hari nanti. Entah itu Korea atau Jepang, kita harus bertemu lagi. Oke?"
Sebuah senyum terukir di bibir Yuki. Diraihnya jari kelingking Yuta dengan kelingkingnya. "Janji!" lalu ia melompat untuk memeluk Yuta, menyebabkan payung hitam yang dibawa kakak pantinya itu jatuh dan diterbangkan angin.
0~0~0~0
Seoul, musim gugur 2015
Masih di musim gugur dan tahun yang sama, dengan aroma kopi yang memenuhi seisi ruangan kafe, Nakamoto Yuta menjatuhkan tatap pada pemuda berambut hitam yang tengah meracik kopi di balik mini bar di ruangan pribadinya- Lee Taeyong.
Yuta menghembuskan napas keras berulang kali, entah kali keberapa yang ia lakukan saat ini. Rasanya aneh, benar-benar aneh.
"Taeyong-ssi.." Yuta membuka suara. Ia tatap punggung Taeyong di hadapannya lamat-lamat hingga si pemilik punggung berbalik.
"Ya?"
Yuta mendengus pasrah. Semua orang sama saja. Sama-sama menyebalkan dan bermuka dua.
"Kalau kau tidak nyaman dengan kehadiranku disini, aku akan pergi." Yuta berbicara. Ia alihkan pandangannya pada jendela setinggi tubuhnya di samping mini bar, menatap hujan yang turun di luar sana. Ah, hujan. Ia jadi sedikit bernostalgia dengan masa kecilnya. Ia sering bermain hujan, bersama anak kecil nakal yang datang ke panti pada saat hujan salju dalam keadaan amnesia karena trauma. Anak kecil yang selalu menempelinya kemana pun, bahkan sampai ke tempat tidur. Yuki. Nama yang asal ia berikan, karena anak itu bahkan tidak ingat namanya sendiri dan tidak mau mengakui nama yang disebut polisi sebagai namanya. Salju. Salju yang hangat.
Sudah sebesar apa dia sekarang, setelah sebelas tahun berlalu? Masih manjakah dia?
Yuta tiba-tiba saja merasa rindu.
Ah, rasanya sangat familiar. Kerinduan akan masa kecil yang datang ketika ia akan kehilangan sesuatu hal yang penting.
Ia akan kehilangan Lee Taeyong hari ini, sama seperti ketika ia kehilangan Yuki, kehilangan para perawat panti, adik-adik panti, Youichi, dan juga keluarganya-kalau masih bisa disebut seperti itu.
Ia akan melepasnya. Kalau memang Lee Taeyong tidak tahan dengan kecacatannya, sama seperti orang-orang sebelumnya, ia bisa apa? Toh sedari dulu hidupnya memang seperti itu -diterbangkan ke puncak pohon, lantas dijatuhkan ke dasar bumi yang tidak berpenghuni. Dingin dan sepi, itulah dunianya.
"Maaf." Yuta melihat bibir Lee Taeyong bergerak, membuatnya mendengus kesal.
"Tidak perlu merasa bersalah." Yuta bangkit berdiri. Bibirnya mengulas sebuah senyuman. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Ia hanya perlu tersenyum dan orang-orang yang menghilang kemudian akan merasa baik-baik saja setelah meninggalkannya dengan harapan yang tinggal omong kosong. Sendirian dalam penebusan dosa.
Pemikirannya membuat Yuta mendengus geli- untuk kesekian kalinya ia teringat kalimat penebusan dosa. Memang apa dosanya? Ia hanya berbohong. Yah, kebohongan besar dan dilakukannya kepada banyak orang.
Yuta menatap lama pintu kafe. Ah, padahal ia merasa betah nongkrong disini dan mendengarkan-memperhatikan- cerita-cerita menarik dari Lee Taeyong. Pemuda berambut hitam itu terdiam, ragu untuk melangkah menembus derasnya hujan.
Tetapi pada akhirnya Yuta tetap melangkah, membiarkan tubuhnya basah tersiram hujan. Yuta tidak mengerti, mengapa langkahnya begitu berat untuk sekedar pergi? Padahal hal seperti ini sudah biasa, sangat biasa terjadi.
Mungkin, ini semua karena yang diberikan Lee Taeyong adalah tawa. Pemuda itu tidak pernah menuntut akan masa lalunya hingga semua berjalan mudah, bahkan terlalu mudah. Hanya saja Yuta tidak menyangka ini juga akan berakhir begitu mudah, membuatnya muak juga jijik terhadap dirinya sendiri yang mudah terlena.
Langkah berat terhenti. Yuta terdiam beberapa meter dekat halte. Ada tawa kecil yang lolos dari bibirnya.
"Benar juga." Ia berucap, mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapnya dari arah halte.
"Semuanya memang salahku."
"Salahku terlahir tuli."
"Salahku yang mudah memepercayai orang lain."
"Salahku yang mudah memaafkan orang lain."
"Salahku masuk ke dalam kehidupan orang lain."
"Salahku terlalu naif."
"Salahku karena ingin hidup seperti orang normal dan menyebabkan kesalahpahaman."
"Bahkan salahku juga karena memaksakan keberuntungan dengan bertahan hidup."
Yuta mengerjap beberapa kali ketika tidak lagi dirasanya tetesan hujan mengenai tubuh. Ia angkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Ada payung yang melindunginya dari hujan. Payung berwarna hitam. Segera saja Yuta berbalik dan ia menemukan pemuda lain tengah mengumbar senyum. Senyum yang samar-samar terasa familiar.
"Siapa?" Yuta melontarkan tanya. Ditatapnya lamat-lamat gerak bibir lawan bicaranya, berusaha menangkap kalimat dengan matanya yang memburam terkena air hujan tadi.
"Jaehyun. Jung Jaehyun. Aku pemain piano di kafe Taeyong hyung. Yuta hyung pernah bertemu denganku beberapa waktu lalu. Di depan kafe kalau hyung lupa."
".. siapa? Maaf suaramu tidak terdengar. Hujannya terlalu deras."
Pemuda di hadapannya tersenyum, lagi, lantas mengambil satu langkah lebih dekat ke arah Yuta. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah Yuta, menyeka tetesan hujan yang ada disana.
"O hisashiburi desu ne*, Yuta-nii. Aku Jung Jaehyun, atau kau mungkin lebih mengingatku dengan nama Yuki."
Mata Yuta terbelalak lebar usai menangkap kata-kata yang diucapkan pemuda di hadapannya. Belum selesai keterkejutannya yang pertama, Yuta tak bisa berkata-kata ketika Jung Jaehyun- Yuki- memiringkan payung hitamnya, menutupi pandangan orang-orang di halte lantas mencuri satu ciuman di bibirnya.
Yuta tidak mengerti, sungguh. Tubuhnya hanya bisa membeku dan jantungnya berdegup kencang, sangat kencang hingga rasanya hampir meledak. Begitu menyesakkan.
Dan air matanya terjatuh begitu saja.
Bolehkah ia berharap sekali lagi saja?
Bolehkah ia serakah untuk sekali lagi saja?
Dan Yuta menutup matanya, membiarkan Jung Jaehyun memperdalam ciumannya, juga mengabaikan Lee Taeyong yang berdiri kaku dengan payung biru yang terlipat di tangan kanannya.
0~0~0 TBC 0~0~0
*lama tidak bertemu
A/N:
Hallo, aku update cepet . aku lagi dadas kokoro, and tuiiiiiiiiiing, langsung dapet inspirasi.
Aku harap kalian mengerti sama cerita ini dan gak kebingungan sama alurnya.
Oke, aku ngucapin (walaupun telat) minal aidzin walfaidzin minna...
Thanks for review di chap. Sebelumnya.
Akhir kata, terima saran, cacian dan makian.
With love
Ryuuza Nakazawa