LITTLE PAPER

(A Letter From Heaven)

Story by

Ryuuza Nakazawa

WARNING: B X B, Shounen-ai. Yang gak suka silahkan tinggalkan halaman ini.

NCT fanfiction. Lee Taeyong x Nakamoto Yuta.

Rated : T

Genre: Romance, Hurt/comfort, Drama

Chapter 1: The First Page: A Cup of Coffee

Ada setangkai mawar

Yang menari di genggaman tanganku

Senyumku tertarik dan memudar bersama waktu

Ah, mawar

Haruskah kita menari bersama?

Lantai dansa masihlah ada celah untuk kita saling bersentuh tangan

Lantas mendekat dan menjadi sesuatu yang tak pernah terpikirkan

Apa yang kau dengar dari kepakan sayap gagak hitam di atas pohon sakura yang tumbuh di gunung salju?

Jam tua yang berhenti berdentang di toko berdebu milik kematian?

Halaman terakhir dari skenario menjijikan Tuhan?

Tetes tinta terakhir dari pena waktu?

Melangkahlah pada hatiku

Peluklah jiwaku

Biar kuteguk racun dari bibirmu

Biar kusentuh duri-duri tajam di tubuhmu

Biar kunikmati sakit dari tatap matamu

Aku hanya melihatmu

Bahkan hingga pusaran kegelapan menelan seluruh harapan

Aku hanya melihatmu

Yang tersenyum

Melihat kematianku

{Nakamoto Yuta, Desember 2007}

Senja enggan menebar warna jingga di angkasa. Pertengahan musim semi selalu membimbing hujan untuk datang dan menyembunyikan matahari di punggung mendung. Air turun dengan deras di luar sana.

Nakamoto Yuta menarik napas dalam-dalam. Tatapannya jatuh pada pemandangan di balik jendela café yang menampilkan jalanan dan hiruk pikuk orang-orang yang berteduh dari hujan. Pria Jepang itu berdecih pelan, mengungkapkan kebenciannya pada hujan.

"Bisa perhatikan aku sebentar?"

-juga pada situasi menyebalkan yang menjebaknya di sini.

"Pulanglah."

Yuta menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan malas. Deru hujan di luar sana terdengar keras, mengisi hening yang terjadi karena kebisuan pemuda bersurai hitam. Alunan suara piano di sudut cafe tidak membantu, hanya menambah suasana mencekam diantara keduanya.

"Kemana?"

"ya?"

Perempuan berambut kecokelatan sepunggung itu menatap bingung Yuta, ragu akan kebenaran kalimat yang diucapkan pemuda itu.

"Kau menyuruhku untuk pulang. Memangnya aku harus pulang kemana, nee-san?"

"ke Rumah kita, Osaka. Memangnya kemana lagi?"

"Rumah kita?"

Ada tawa kecil yang pecah dari bibir pucat si pemuda. Suara tawa yang sumbang membuat perempuan berambut sebahu melembutkan tatapannya. Tangannya terulur, menggenggam tangan yang lebih muda di atas meja.

"Aku tahu kau ter—"

Tangannya ditepis. Dan mulailah si perempuan sadar bahwa semuanya terlalu terlambat.

"Rumah kita? Maaf, kurasa maksudmu rumah kalian."

"Yuta-kun!"

"Berhenti memaksaku, Shiroi-nee!"

"..."

"Berhenti untuk memaksaku kembali ke neraka itu."

"..."

"Bukankah mereka memang menyuruhku pergi?"

"Baiklah."

Shiroi mengangguk paham. Jemarinya menyelipkan helaian rambutnya yang jatuh menghalangi mata. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya yang gemetar, berusaha menyiapkan kata-kata yang hendak diucapkannya.

"Tidak apa-apa. Tapi, pikirkanlah lagi. Aku—"

"Tidak."

"Aku tidak akan memikirkannya sekali pun. Nee-san pikir aku ini malaikat yang memiliki tingkat kesabaran tinggi?"

"..."

"Maafkan aku, Shiroi-nee. Tapi aku hanya manusia biasa."

0~0~0~0

"Sepertinya kau membutuhkan segelas cappuccino yang baru, Cheonsa-ssi."

Yuta mengalihkan pandangannya dari jendela. Setelah kepergian Shiroi ia hanya terus memandangi jendela. Diliriknya secangkir cappucino yang masih utuh di atas meja. Seingatnya tadi cappuccino itu masih mengepulkan asap, karena itu ia tidak meminumnya. Ah, waktu sudah berlalu cukup banyak rupanya.

Pemuda itu menatap pemuda lain yang menawarkan cappuccino baru untuknya. Pemuda dengan seragam pelayan itu memasang senyuman ramah di wajahnya yang tamp—

Oh shit, apa yang kau pikirkan, huh?

"Ya, kurasa begitu."

"Baiklah." Senyum si pelayan melebar. Ia membungkuk sesaat lalu melirik jam tangan hitam di tangan kirinya.

"Pesanan anda akan siap dalam 3 menit, Cheonsa-ssi."

Cheonsa? Panggilan macam apa itu?

Yuta terkekeh geli. Apalagi ketika mengingat ekspresi pelayan tadi saat menyebutkan cheonsa, seolah-olah memang itu namanya.

Cheonsa, huh?

"Mau mendengar ceritaku?"

Pelayan itu kembali dengan nampan berisi satu cangkir cappuccino dan satu cangkir Espresso yang masih mengepulkan asap. Yuta menatap lamat-lamat wajah yang dihiasi senyuman itu, lantas menggelengkan kepalanya sembari merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Kurasa—" Pemuda berambut hitam itu melempar pandangan ke seluruh penjuru kafe dan menemukan lalu lalang pelayan yang mencatat dan mengantar pesanan.

"—mereka membutuhkan bantuanmu."

Ada derai tawa yang terlihat oleh Yuta. Pelayan berambut kecokelatan dihadapannya tergelak dengan ekspresi jenaka. Maka, Yuta menunggu penjelasannya hingga tawa itu terhenti.

-karena sejujurnya ia menyukai tawa itu.

"Maaf—"

Pemuda di hadapannya berucap sembari mengatur napas, berusaha pula menetralkan wajahnya yang memerah karena tawa.

"Tidak perlu khawatir, kafe ini milikku. So, mereka tidak akan protes kalau aku bersantai disini dengan—"

"Yuta. Nakamoto Yuta." Dan Yuta tidak mengerti kenapa ia langsung menyebutkan namanya kepada orang asing begitu mudah.

"Ah, ya. Dengan Yuta-ssi. Sebenarnya, aku lebih suka memanggilmu cheonsa."

"kenapa?" alis Yuta menekuk bingung, apalagi didapatinya pemuda di hadapannya tersenyum lebar.

"Entahlah. Hanya saja, cocok sekali dengan wajahmu—"

"ya, atau karena kau menguping pembicaraanku tadi."

"Ralat, bukan menguping, tapi tidak sengaja mendengar."

Yuta mendengus saja. Pria Jepang itu mengambil cangkir cappuccinonya yang baru dan meniupnya beberapa saat untuk kemudian menyesapnya.

"Ngomong-ngomong, berminat untuk mendengarkan ceritaku?"

Melempar tatapannya ke arah jendela sesaat, Yuta lantas mengangguk. Toh, hujan sepertinya tidak akan cepat reda. Beruntung ia bisa mendapat teman mengobrol, kan?

"Baiklah, aku akan mulai. Ini tentang dialog antara secangkir kopi dan hujan."

0~0~0~0

"Terima kasih sudah berkunjung."

"Ya." Yuta tersenyum tipis. Ia membuka payung biru yang diberikan pemuda pemilik kafe kepadanya karena hujan belum juga reda.

"Terima kasih juga atas pinjaman payungnya. Aku akan datang lagi kapan-kapan utuk mengembalikan payungnya."

"Ah, tidak. Tidak perlu. Ambil saja."

Yuta menggeleng.

"Aku harus mengembalikannya."

"Baiklah, Cheonsa-ssi."

"oh, ngomong-ngomong, siapa namamu?"

"ah, haha, aku belum memperkenalkan diri, ya? Lee Taeyong, panggil saja Taeyong atau sayang juga boleh?"

"Baiklah, sampai jumpa lagi, Taeyong-ssi."

0~0~0~0

Ada dialog antara secangkir kopi dan hujan

Dengan jendela yang menjadi pemisah di antara keduanya

"Tanpaku, tidak ada yang memerlukanmu."

Hujan selalu berkata pogah. Dagunya terangkat dan memandang kopi dengan tatapannya yang mengejek.

"Tidak."

Kopi menyanggah, dan Tuhan pun turut menoleh ke arahnya.

"Aku ada karena aku ingin ada. Aku berguna karena aku ingin berguna. Bukan karenamu."

Langit mendengarkan dan Tuhan terdiam di singgasananya.

TBC~~

A/N: hello! Aku kembali dengan ff NCT TaeYU. Yang di ff sebelumnya minta sequel, maaf ya, ideku mentok . Tapi, makasih udah review *BOW*

Yang minta ff happy tanpa baper maaf juga *BOW*

"FF happy? Huahahahahaha" itu respon temen yang aku mintain pendapat buat bikin cerita yang happy.

"Lo, bikin cerita yang happy? Lo sehat?"

Oke, karena kebiasaan aku nulis cerita sad, aku jadi lupa cara nulis cerita yang happy. Tapi, akan aku usahain happy, se happy happynya walaupun gak lepas dari nuansa sad.

Akhir kata, akhirnya lepas dari UTS ^.^

Kabar buruknya, modem aku gak bisa connect ke internet, jadi, ngandelin hp jadul yang fiturnya sederhana. (karena aku lebih sayang laptop daripada hp, gak minat buat ganti hp XD).

Gomen kalau updatenya gak bisa tiap hari. Aku hanya manusia biasa.

Terakhir banget, terima kritik, saran, cacian dan makian.