-oO-Juggle Frog-Oo-

Juggling frog tries to do something very difficult.

.

Ceritakan pada dunia apa masalah mereka soal orang-orang lemah? Doyoung berpikir sedikit filosofis kadang-kadang. Sebagai salah satu orang lemah. Doyoung tidak mengerti kenapa dunia senang sekali menindas mereka. Maksudnya, tanpa ditindas pun orang lemah sudah sengaja menghindar. Sudah lebih dulu menyembunyikan diri dari kemungkinan menjadi target untuk diserang.

Kneapa dunia menikmati kelemahan orang lemah?

Doyoung bertanya-tanya.

Sebagai orang lemah yang dipaksa belajar membela dirinya.

Kenapa dunia senang sekali menambah-nambah pekerjaan?

Doyoung sudah punya banyak tugas dari sekolah dan rumah. Kenapa memaksanya untuk melatih fisik pula?

Sudah tujuh hari Doyoung melewati hari bersama Rowoon. Di lapangan Byeonggun. Untuk berlatih. Banyak hal. Cara menyerang, menangkis serangan lawan, bahkan menghindar. Tentu, menghindar. Ini adalah salah satu poin penting. Karena terus-menerus menjadi agresif juga tidak bagus. Lalu tidak hanya jika melawan banyak orang. Pertarungan satu lawan satu juga membutukan strategi. Menyiapkan plan A sampai Z kalau perlu.

Sudah satu bulan lapangan ini tidak difungsikan. Tidak terurus. Semenjak adanya rumor hantu gadis berkeliaran di sini. Seorang siswi SMA yang dibunuh tepat di lapangan ini. Dengan dipukuli benda tumpul, lalu setelah itu dibunuh dengan tikaman di bagian perut. Kasusnya sudah clear, tapi itu adalah hal natural kenapa tidak ada lagi orang yang berani untuk datang ke lapangan ini. Tapi tentu ada juga yang tidak takut atau percaya dengan hal semacam itu. Yaitu Rowoon.

Rowoon menyentuh sepasang pinggang Doyoung dari belakang. Membuat dirinya sendiri merasakan sebuah sengatan. Kemeja seragam sekolah itu begitu tipis. Ia bisa membayangkan kulit mulus–atau tidak–di balik kain putih itu. "Dorong massa badan…" Telapak tangan besarnya melakukan perjalanan hingga ke bahu lelaki itu dengan penuh penghayatan. "…melalui pundak…" Tangan itu terus melaju hingga menelusuri lengan kiri Doyoung yang terulur lurus ke depan, "…dan menuju lengan." Ia lalu melepaskan sentuhan. Dengan perasaan tidak rela. Jika tidak ingat bahwa saat ini ia sedang mengajarkan Doyoung untuk berkelahi, ia pasti sudah menyentuh bagian lain di tubuh Doyoung. Dan tidak akan melepasnya secepat ini.

Ia mengubah posisi, berdiri di hadapan Doyoung. "Tapi karena gravitasi mempengaruhi, maka kita akan menyebutnya sebagai berat. Ini akan menghubungkan pukulan pada jangkauan terjauh untuk menghasilkan daya terbesar untuk pukulanmu."

BUGH!

"Argh!" itu suara Rowoon yang mengerang. Tubuhnya sedikit terhempas setelah menerima pukulan keras di bagian os zygomatic.

"Aku belum memberikan aba-aba padamu untuk menyerangku!" Memprotes ketika memegangi tulang pipinya yang sakit, ia hanya bisa meringis selagi sebisanya melempar tatapan sinis pada si pemukul dirinya.

"Kau bilang pukulan lurus yang langsung adalah yang terbaik? Aku hanya mencoba untuk mengimplementasikannya." Doyoung menampilkan wajah innocent-nya. Karena sesungguhnya ia kira memang Rowoon tidak akan kenapa-kenapa menerima pukulannya.

"Untung saja barusan sudut yang dibuat sikut kananmu hanya sekitar dua puluh derajat. Jika tidak, aku pasti benar-benar sudah ambruk saat ini."

Doyoung tidak pernah paham mengapa Rowoon terobsesi dengan penjelasan membosankan ala Mrs. Kim, guru fisika mereka?

Jika dipikir lagi Mrs. Kim. Nama yang sangat pasaran. Dan setelah dipikir lagi mereka hanya menyebut guru membosankan dengan nama membosankan itu Mrs. Kim. Oke. Sekarang Rowoon penasaran dengan nama panjang gurunya itu.

"Kau harus lebih terfokus soal sudut pukulanmu." Ia masih bicara rupanya. Belum berhenti, berganti-ganti secara paralel, sedetik mengeluhkan sudut pukulan, sedetik mengeluhkan sakit yang menyebar di wajahnya.

"Ya ampun. Aku lupa. Seharusnya tiga puluh sampai empat puluh lima derajat di depan wajah." Doyoung memberi tanggapan sedikit berlebihan. Sengaja membuat kesal.

Roowon mendengus, sepertinya berhasil juga dibuat kesal. "Sudahlah. Latihan untuk hari ini kita cukupkan sampai di sini."

"Baiklah." Doyoung menunduk sedikit wajahnya. Berusaha menyembunyikan senyum lega. Karena sesungguhnya dia sudah lelah.

Mereka berjalan ke arah kursi penonton, dimana mereka menyimpan dasi, rompi, jas, dan tas. Lalu duduk di sana.

Rowoon memberikan sebotol air mineral pada Doyoung seusai berlatih. Doyoung langsung meminumnya setelah mengucapkan terima kasih.

"Aku bisa melihat kemajuan yang pesat pada dirimu. Kau belajar dengan cepat," ujar Rowoon, tumben sekali terdengar genuinly bangga dengan hasil kerja keras mereka.

"Tidak akan bisa seperti ini tanpamu." Doyoung jadi ingin sedikit membalas dengan pujian. Sedikit.

Rowoon mengelap keringat yang menetes di pelipis dan leher Doyoung menggunakan handuk kecil. Selama satu minggu ini Rowoon selalu seperti itu. Dan setelahnya Doyoung yang sudah hapal sikap temannya itu pasti akan merebut kain itu dan berkata, "Aku bisa melakukannya sendiri."

Biasanya setelah itu Rowoon tidak menjawab lagi. Tapi untuk hari ini dia membalas. "Aku tahu. Aku hanya ingin menunjukkan perhatianku padamu."

Jadi seperti ini Doyoung menanggapi. "Tapi sesama teman lelaki tidak akan melakukan itu."

Hahaha. 'Teman', ya? Kenapa kau selalu membuat batasan seperti itu, apapun yang kulakukan padamu?

"Apakah sangat sakit?" tanya Doyoung. Seolah tahu apa yang Rowoon keluhkan dalam hati.

"Er… bagaimana ya? Mungkin bukan sakit. Tapi lebih ke… tidak bisa menerima kata-katamu itu?" Doyoung membuat kerutan lebih jelas di keningnya. Kebingungan dengan arah pembicaraan ini.

"Hah? Kau bicara apa?" Jadi ia menjelaskan kebingungannganya lewat pertanyaan yang juga membingungkan Rowoon.

"Memangnya apa yang kau tanyakan tadi?" Dan dibalas pertanyaan lagi. Great. Arah diskusi ini berbobot sekali.

"Pipimu. Apakah sangat sakit?" Doyoung membahasakan lagi kehawatirannya.

Rowoon baru sadar kemudian. "Ah," Ia tertawa. "Sudah kubilang, untung saja sudut yang kau buat tadi hanya dua puluh derajat. Jadi kurasa aku baik-baik saja."

Kukira kau bertanya soal hatiku. Dan dengan bodohnya aku menjawab seperti itu. Memalukan sekali. Apa aku terjun saja ke jurang ya sehabis ini?

Ia terlalu memikirkan perasaan. Terdengar seperti anak gadis saja. Ya, bukan berarti laki-laki tidak boleh memikirkan perasaan. Hanya saja terdengar seperti sesuatu yang dilakukan anak gadis. Dan ia tidak suka membandingkan dirinya bagai anak gadis. Oke, this sounds more like toxic masculinity talking.

"Ya sudah. Berarti aku tidak perlu mengompresnya sebagai permintaan maafku." Doyoung membuang muka sedikit, kelihatan tidak ingin meneruskan pembicaraan.

"Eh? Kalau kau mau mengompresnya juga tidak apa-apa kok, sungguh." Rowoon terkekeh. Tentu saja. Doyoung tidak pernah menyentuhnya selama ini. Tapi kalau itu adalah satu-satunya cara agar apa yang Rowoon inginkan itu terwujud, babak belur di seluruh bagian wajah pun ia mau.

"Lakukan saja sendiri di rumahmu." Doyoung memeletkan lidah. Ia berdiri dan merapikan seragamnya. Rowoon cuma bisa membuat image gigit jari secara mental.

-oO-Juggle Frog-Oo-

"Hentikan, hyung. Turunkan tanganmu. Kau tidak malu kalau ada yang lihat? Nanti kita dikira pacaran." Doyoung berbisik dengan keras. Merasa risih dengan posisi tangan Rowoon yang siap menyuapinya. Sendok itu sudah berada di depan mulut Doyoung.

"Tapi sup milikku enak sekali. Cobalah. Ayo buka mulutmu." Rowoon bersikeras, tidak gentar sama sekali soal penilaian orang-orang di sekitarnya. Masa bodoh sih. Toh, memang supnya enak.

"Aku bisa menyiduknya sendiri." Doyoung masih protes. Kalau kemarin Rowoon mengira dirinya termakan toxic masculinity, katakan itu pada tuan sok macho di depannya yang tidak mau menerima suapan darinya karena takut dikira pacaran dengannya. Tidak, itu bukan toxic masculinity sih. Itu hanya Doyoung memperjelas keadaan bahwa mereka cuma teman.

"Tanganku pegal. Kau tidak kasihan padaku?" Rowoon tetap tidak menyerah lagipula. Sudah biasa disodori tembok pertemanan ketika jelas-jelas perasaannya lebih dari itu.

Doyoung mendengus. "Baiklah." Ia lalu menerima suapan itu.

"Enak kan?" Rowoon senang akhirnya temannya ini patuh juga.

Doyoung mengangguk-angguk selagi mengunyah. "Mmm… ya, enak. Tapi jangan suapi aku lagi."

"Baiklah. Aku tidak akan melakukannya lagi." Rowoon mendengus, sedikit sebal, setengah sedih, kebanyakan patah hati. Tapi sudah biasa. Biarkan saja.

Doyoung tampak memikirkan sesuatu ketika mengunyah. Lalu mulai bicara. "Kemarin. Dua hari yang lalu. Tiga hari yang lalu. Hingga seminggu yang lalu. Kau selalu mengatakan hal yang sama. Lalu kembali melakukan itu di hari berikutnya."

Beginilah malam malam Rowoon dan Doyoung sejak satu minggu yang lalu. Dilalui dengan makan malam tidak romantis.

"Spontanitas. Aku tidak bisa menahannya." Rowoon tahu itu alasan klasik yang lemah. Lemah sekali untuk digunakan sebagai alibi. Berapa kali kau mendengar ada pelaku pembunuhan yang lolos dari pembelaan. "Ya saya spontan saja menusuknya."? Tidak. Ia tidak pernah dengar sama sekali. Maka karena itu tatapan menghakimi Doyoung wajar sekali.

"Makanlah. Mari makan dengan tenang."

Rowoon memperhatikan Doyoung yang melahap roasted moose meat di hadapannya. Memotong daging itu menggunakan pisau di tangan kanan, lalu menyuapkan lagi ke mulutnya menggunakan garpu di tangan kiri.

Mereka hanya dibatasi sebuah meja kecil dengan kapasitas empat kursi di kafe Caftan. Tempat makan terdekat lapangan Byeonggun. Tidak terlalu besar, tapi cukup ramai. Apalagi ini sudah malam. Semua orang sudah berhenti dari aktivitas sekolah dan kantornya. Lalu sebagian dari mereka memilih kafe ini sebagai tempat untuk makan, atau sekedar minum kopi dan bersantai bersama kerabat.

Rowoon senyam-senyum sendiri memandangi Doyoung. Doyoung tidak menyadari bahwa ia sedang diperhatikan. Ia terlalu serius dengan makanannya.

Rowoon kembali menikmati kidney beans soup-nya.

Tiba-tiba seorang gadis duduk di samping Rowoon.

"Lama tidak berjumpa," sapanya.

Rowoon menoleh. Lalu tersenyum lebar. "Seolhyun. Ternyata kau. Sendirian?"

Doyoung menatap gadis itu.

Cantik sekali. Rowoon hyung punya teman perempuan juga ternyata?

Tentu saja. Pergaulan Rowoon tidak semenyedihkan Doyoung.

"Begitulah. Boleh aku bergabung? Quiche dan jus wortelku sebentar lagi datang," ujar Seolhyun. Yang sebelumnya memang sudah menarik lebih dulu kursi yang kosong sebelum mendapat persetujuan. Bahkan ia telah mendudukkan diri bahkan sebelum Rowoon mengizinkannya.

"Tentu." Tapi toh Rowoon juga tidak bermaksud untuk menolak. Jadi tidak masalah.

"Terima kasih." Seolhyun tersenyum. Kelihatannya gembira sekali punya teman untuk makan malam, pikir Rowoon.

"Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu? Empat bulan? Lima bulan? Seribu tahun?" Rowoon bergurau, tertawa sendiri. Sedikit agak terlalu kencang untuk lelucon garingnya.

Tapi Seolhyun ikut tertawa kecil. "Lima bulan, bodoh."

Rowoon terkekeh. "Wow. It's been too long."

"Not really." Seolhyun tersenyum lagi. Di matanya ada pemakluman. Doyoung sedikit merasa risih berada di antara mereka sekarang. Ada pembicaraan yang tidak dibicarakan saat ini tapi terbicarakan. Lewat bahasa tubuh dan tatapan mata. Tapi Doyoung benar-benar serasa kehilangan konteks situasinya.

"Aku merindukanmu," ujar Rowoon.

"Seberapa rindu?"

"Sangat rindu."

"Hei, aku juga. Thank God, kita dipertemukan di sini."

Oke. Doyoung sedikit merasa sesuatu mulai masuk akal. Hmmm... mereka kelihatan dekat sekali, pikirnya mulai macam-macam.

"Ya. Kita biasanya menghabiskan waktu bersama-sama. Kau sih, kenapa memilih sekolah khusus perempuan itu? Kita kan jadi terpisah-pisah begini?" Rowoon mengeluh dengan pouting yang, yah, lumayan cocok lah karena tak begitu jelas di bawah penerangan buruk kafe ini.

"Aku ingin bisa lebih memfokuskan diri pada mata pelajaran. Aku ini tipe yang mudah kehilangan konsentrasi kalau melihat laki-laki di sekolah. Apalagi sekarang ujian kelulusan dan masuk perguruan tinggi sudah dekat." Seolhyun berkata jujur sekali. Sesuatu yang seperti ia maksudkan untuk Rowoon saja yang dengar. Doyoung ingin memasang headset-nya sekarang tapi ia akan kelihatan tidak sopan. Tapi dijadikan third wheel juga menyebalkan. Huh. Serba salah.

"Ujian kelulusan. Benar sekali. Kau kan sudah kelas tiga SMA sekarang."

"Inseong dan Zuho bilang kau pindah dua tingkat karena suatu alasan. Sementara aku di sini suka menghayal menjadi siswa akselerasi." Seolhyun terdengar tidak habis pikir dengan kalimat yang keluar dari mulutnya barusan.

"Kau tidak ingin tahu alasanku turun kelas kan?" Rowoon tahu Seolhyun gadis yang cukup blak-blakan. Kalau gadis itu bicara kencang-kencang soal kenapa Rowoon memilih turun kelas di depan Doyoung, matilah dia. Tidak mati juga sih. Paling Doyoung akan marah besar dan tidak mau bicara lagi dengannya. Ya, kau tahu? Hampir mirip seperti mati.

"Tidak perlu. Itu urusanmu. Apapun keputusanmu, selama itu tidak buruk, aku akan selalu mendukungnya."

"Manis sekali." Rowoon mencubit pelan pipi gadis itu.

Setelahnya mereka tertawa bersama. Lalu Rowoon melanjutkan kegiatan makan.

Ada Doyoung di sana. Tidakkah dua orang di hadapannya itu lebih baik mencari waktu lain untuk dihabiskan berdua saja? Seharusnya mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan telah membuat suasana menjadi canggung. Khususnya untuk Doyoung.

Tapi ya sudahlah. Lagipula Rowoon dan Doyoung sudah terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Tanpa ada satu orang pun yang mengganggu. Kalau hanya satu kali ada seseorang yang bergabung, bukan masalah besar kan?

Bukan, mungkin.

Seolhyun melirik Doyoung yang sebenarnya telah menarik perhatiannya sejak awal. Ia lalu menyikut Rowoon.

Rowoon yang mengerti maksud gadis itu, kembali menghentikan kegiatan makannya. "Oh iya. Seolhyun, ini Doyoung. Teman sekelasku. Doyoung, ini Seolhyun. Er…"

Mau bilang mantan, sepertinya agak tabu.

"…temanku saat SMP." Demikian ia akhirnya melanjutkan kalimat. Gadis di sampingnya tersenyum tulus. Menurutnya lelaki itu telah mengatakan kalimat yang tepat. Mereka memang teman satu angkatan ketika duduk di bangku SMP dulu. Jadi ia tidak bohong kan?

Doyoung menyemat senyum. "Hai."

Seolhyun membalas dengan senyuman serupa. "Halo. Senang berkenalan denganmu."

Lelaki ini manis sekali.

Doyoung melanjutkan aktivitasnya. Bersamaan dengan seorang pelayan perempuan mengantarkan pesanan Seolhyun.

Gadis itu menyuapkan makanannya ke mulutnya. Dan langsung membulatkan mata. "Sss… pedasnya."

Rowoon segera menyodorkan minuman miliknya ke hadapan Seolhyun. "Susu jahe panas punyaku bisa menghilangkan pedas di lidahmu lebih cepat." Setelah menerima persetujuan Seolhyun, Rowoon meminumkannya pada gadis itu.

Doyoung melihatnya.

Kenapa harus seperti itu sih? Ia kan bisa meminumnya sendiri.

Entah kenapa daging rusa bakar di lidah Doyoung tiba-tiba terasa hambar. Padahal beberapa menit yang lalu ia bahkan sudah menaburkan tambahan garam di atasnya.

Dan ya ampun. Pinggiran gelas bagian itu kan bekas bibirmu hyung. Secara tidak langsung kalian telah berciuman!

Batin Doyoung mungkin tidak akan seheboh ini, jika dia tahu sebenarnya dua orang di hadapannya ini bahkan sudah sering merasakan kenikmatan bibir satu sama lain. Secara langsung. Bahkan mereka sudah melakukan yang lebih dari itu. Hal-hal yang tidak pernah Doyoung bayangkan akan dilakukan pasangan ini. Karena ia memang tidak tahu bahwa mereka adalah pasangan, lagipula.

"Apakah sangat pedas?" tanya Rowoon.

"Iya. Cobalah." Seolhyun menyuapkan makanannya pada Rowoon.

Lagi-lagi Doyoung melihat itu. Ia meyakinkan diri bahwa ia hanya kesal karena tidak suka melihat ada orang bermesraan di hadapannya. Bukan karena cemburu.

Tidak mungkin aku cemburu. Memangnya aku bisa menyukai seorang gadis yang baru dikenal secepat itu? Atau… jangan-jangan… aku menyukai…

"Boleh kucoba punyamu?" tanya Seolhyun.

Rowoon mengangguk. "Boleh. Silahkan."

"Suapi~" manja gadis itu.

Tidak hanya indera pengecap Doyoung yang mendadak rusak. Rasanya telinga Doyoung juga sakit saat ini.

Rowoon terkekeh. "Baiklah. Ini." Ia benar-benar menyuapi Seolhyun. Dan adegan itu pun tidak terlewatkan oleh indera penglihatan Doyoung.

Sejenak Doyoung berharap untuk disuapi lagi oleh lelaki itu. Tapi ia kepalang mengatakan padanya untuk tidak melakukan itu lagi. Ia jadi menyesal.

Ia terbiasa diperhatikan Rowoon. Sepenuhnya. Setiap waktu. Bahkan setiap kali mereka berdua menikmati makan siang bersama Inseong dan Zuho di kantin sekolah. Rowoon akan memprioritaskan Doyoung daripada kedua teman dekatnya sendiri. Dalam hal apapun.

Lalu sekarang? Seorang gadis datang di antara kebersamaan mereka. Dan berhasil mendistraksi perhatian Rowoon dengan mudahnya. Doyoung tidak biasa dengan situasi seperti ini. Rowoon tidak pernah menomorduakannya sebelumnya.

Ia tahu perasaan ini begitu aneh baginya. Dan ia jadi bingung.

Apakah Seolhyun noona adalah teman terdekat Rowoon hyung? Lebih dekat daripada Inseong hyung dan Zuho hyung? Sampai-sampai interaksi mereka seperti ini? Atau Rowoon hyung memang selalu memberikan perhatian seperti ini pada semua teman perempuannya?

Rowoon menyuapi gadis itu sekali lagi.

Doyoung yang merasa tidak tahan, akhirnya memutuskan untuk menyimpan pisau dan garpunya. Meminum jus apelnya sedikit. Lalu bangkit.

"Aku pergi." Doyoung tahu suaranya terdengar sedikit terlalu keras, dan yah, cukup kurang ajar. Seperti menahan marah. Tapi Doyoung tidak marah. Marah kenapa lagipula?

"Mau ke mana? Habiskan dulu makananmu. Bahkan menyelesaikan setengahnya saja belum." Rowoon berkomentar, jelas sekali khawatir kalau Doyoung tidak menghabiskan makannya ia akan masuk angin dan sakit. Oke. Klise.

"Aku baru ingat ada janji dengan kakakku. Aku harus segera pulang." Doyoung mengeluarkan alasan paling cepat yang bisa dia temukan di kepalanya. Lalu mengambil tasnya. Memaksakan senyum kecil ke arah Seolhyun dan bisikan sampai ketemu besok, hyung.

Setelah berpamitan, Doyoung langsung berlalu.

Rowoon menatap curiga.

Ada apa dengannya?

"Roasted moose milik Doyoung kelihatan enak. Daripada mubazir, bagaimana kalau kita bagi dua?" tanya Seolhyun. Kelihatannya memang benar-benar lapar.

"Tentu. Ayo kita makan ini." Rowoon tidak suka juga membiarkan makanan dibuanga sia-sia.

Tanpa Doyoung, semangat Rowoon hilang begitu saja. Padahal salahnya sendiri kenapa sejak awal kedatangan Seolhyun, ia sudah mendiamkan lelaki itu?

"Doyoung memang menarik. Aku tahu itu," ujar Rowoon.

"Eh? Kenapa tiba-tiba kau bilang begitu?" Seolhyun yang sibuk menyuapkan makanan sisa Doyoung jadi mendadak berhenti. Tangannya yang berisi sendokan maknanan diam di udara. Rowoon membuat isyarat supaya gadis itu menyuap saja dulu. Gadis itu patuh dan tersenyum girang begitu makanan masuk mulutnya.

"Kau pikir sejak tadi aku tidak memperhatikan caramu menatapnya?" Rowoon sedikit cemburu tentu saja. Bagaimanapun setengah otaknya sudah mengklaim kalau Doyoung itu miliknya. Untung setengahnya lagi masih tahu diri.

Seolhyun tersenyum tipis. "Kau masih mengenalku ternyata. Masih hapal betul seluruh gesturyang aku tunjukkan, beserta interpretasinya."

"Aku adalah lelaki yang paling mengenalmu. Jangan pernah lupa." Rowoon terdengar kesal, tapi terdengar juga sayang. Mereka berteman sudah sejak lama. Tentu ia hapal Seolhyun dan gerakannya kalau ia tertarik pada seorang pria.

"Baiklah. Aku menyerah. Aku menyukainya. Tapi bukan suka dalam artian aku ingin menjadikannya pacarku. Hanya sebatas kagum, kau tahu?!" Tentu Rowoon tidak tahu karena ia tidak pernah hanya sebatas kagum pada Doyoung. Dia jatuh cinta dari langit ke bumi lalu dilemparkan ke bulan terdampar di matahari dan dibakar oleh perasaannya yang membara. Dramatis memang.

"Aku tahu itu. Hanya aku satu-satunya orang yang bisa mengidentifikasi jenis tatapanmu pada seorang laki-laki. Apakah itu perasaan suka karena kagum, atau perasaan suka yang lainnya?"

"Doyoung memang sangat manis. Aku tidak bisa menyangkal itu."

"Aku juga."

Seolhyun merangkul erat lengan besar Rowoon. Lalu bersandar di bahunya.

Rowoon sama sekali tidak keberatan. Rasa cintanya pada gadis itu memang sudah lama hilang. Tapi ia masih sangat menyayanginya. Saat Seolhyun meminta untuk mengakhiri hubungan mereka, ia bilang, "Kim Seokwoo. Mulai sekarang kita berteman saja ya." Secara baik-baik. Bukan "Aku membencimu Kim Seokwoo. Jangan penah temui aku lagi." Dengan begitu, mereka aman. Tidak ada rasa canggung dan permusuhan. Atau hubungan tidak baik jenis lainnya yang biasanya terjadi pada orang-orang yang sudah menjadi mantan.

"Kalau bukan karena habis bercinta, kau pasti habis bermain baseball?" Seolhyun meringis, hidungnya ia jepit.

"Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu?" Rowoon tidak pernah mendapat pertanyaan begitu sebelumnya selain dari Seolhyun.

"Badanmu bau sekali." Seolhyun mengungkapkan itu tanpa melonggarkan rangkulannya sedikitpun.

Rowoon terkekeh. "Bukan. Aku dan Doyoung habis melakukan kegiatan–laki–laki lainnya."

"Kau sangat dekat dengannya. Syukurlah, kau langsung dapat teman baru di kelas barumu."

"Benar sekali. Hei. Kau tidak merasa terganggu terus menempeli lelaki bau ini? Nanti selera makanmu hilang loh?"

Seolhyun menggeleng pelan di bahu Rowoon.

Rowoon mengacak sedikit rambut gadis itu. "Ayo makan lagi. Setelah ini aku akan mengantarmu pulang."

-oO-Juggle Frog-Oo-

Rasa khawatir Rowoon tidak dapat disembunyikan. Hari ini Doyoung tidak masuk sekolah. Tanpa keterangan. Dan ia tidak dapat menghubungi Doyoung. Ingin bertanya kondisi Doyoung, pada siapa? Doyoung tidak memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya.

Ia pun pergi ke rumah Doyoung untuk mencari tahu. Sebuah rumah yang besar. Kebetulan ibu Doyoung berada di halaman rumah menyiram bunga. Jadi wanita itu segera membukakan gerbang ketika mendengar pagar kayu tebal itu diketuk.

"Ia masih berada di kost-nya sekarang. Sudah lama ia tidak pulang," jelasnya setelah Rowoon menanyakan Doyoung.

"Benarkah? Tapi dia tidak pernah bilang kalau dia tinggal sendirian?" Rowoon tidak habis pikir kenapa dia tidak tahu informasi sedasar itu soal lelaki yang dia suka?

"Katanya ia ingin hidup mandiri. Ya… meskipun sebenarnya kami masih mentransfer uang bulanannya secara rutin." Ibu Doyoung terdengar seperti mengulang penjelasan yang sudah ia utarakan berjuta kali. Tidak ada emosi.

"Apakah eomoni tahu alasan Doyoung hari ini tidak masuk sekolah?" Rowoon bertanya akhirnya.

"Apa? Doyoung tidak masuk sekolah? Aku tidak tahu itu. Nanti akan kuhubungi dia." Nah, baru terdengar emosi. Rowoon jadi tidak enak hati membuat ibu Doyoung khawatir begini.

"Bolehkah aku meminta alamatnya?" Rowoon berujar pelan-pelan. Dia bukan anak dengan kelakuan baik tapi dia tahu bagaimana cara memenangkan hati orang tua dengan sopan santun.

Lagipula ia harus kelihatan baik di depan calon mertua kan?

-oO-Juggle Frog-Oo-

Pintu dibuka. Yang membuka pintu langsung membulatkan mata bulatnya melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Hai." Rowoon tersenyum terlalu sumringah untuk seseorang yang menjenguk orang sakit. Ya, ia pikir Doyoung mungkin sakit atau kelelahan dari residu kegiatan mereka kemarin?

"Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini? Dan ada apa kau datang kemari?" Doyoung kebingungan. Dan kelihatan tidak suka. Lebih ke kebingungan sih, jadi Rowoon berusaha tidak tersinggung kedatangannya seperti tidak diterima.

"Aku khawatir. Hari ini tidak ada kabar tentangmu. Bahkan ibumu sendiri tidak tahu kau tidak masuk sekolah?" Rowoon blak-blakan saja. Doyoung makin terlihat kaget mendengar soal ibunya.

Setelah sedikit celingak-celinguk Doyoung memastikan ibunya tidak ikut datang ia mendesah. "Masuklah," katanya sedikit lebih dingin dari biasanya. Rowoon sudah biasa sih. Tebal muka juga. Jadi dia senang-senang saja diajak masuk.

Mengekor Doyoung, Rowoon menerima ajakan lelaki itu untuk duduk berdampingan di atas sebuah ranjang kecil.

Ya, itu hanyalah sebuah tempat tinggal yang kecil dengan ruangan terbatas. Tidak ada sofa. Doyoung memang putra dari orang berada, namun ia pikir terlalu mencolok dan mudah ditemukan trio AST jika ia tinggal di sebuah apartemen yang mewah. Semuanya akan semakin kacau.

"Jadi… kenapa kau tidak masuk sekolah?" Rowoon memperhatikan Doyoung kelihatannya sehat-sehat saja? Tidak sakit berat. Dulu ia pernah sekali melihat Doyoung tetap masuk sekolah walaupun sedang pilek. Berarti kalau tak masuk sekolah harusnya sakitnya luar biasa parah atau ada sesuatu yang benar-benar mengganggu Doyoung?

"Malas. Lelah."

"Kalau begitu itu bukan malas. Kau sakit. Apakah parah?"

Rowoon menempelkan punggung telapak tangannya pada kening Doyoung. Doyoung langsung melepasnya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya lelah." Doyoung memang terdengar lelah. Tidak seperti biasanya ketika ia dengan semangatnya menolak semua afeksi Rowoon padanya.

"Aku akan merawatmu." Rowoon tiba-tiba berdeklarasi sendiri.

"Tidak perlu. Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri." Doyoung tidak suka privasinya tiba-tiba diganggu. Lalu mau diasuh pula macam anak kecil? Ia sudah besar. Itu sebabnya juga ia memilih tinggal sendiri. sekali lagi, ia sudah besar. Sudah bisa mandiri dan mengurus dirinya sendiri.

"Pertarungan itu tinggal dua minggu lagi." Rowoon terdengar khawatir. Doyoung makin sedikit kesal pada pemuda ini. Kenapa harus diingatkan sekarang sih? Kenapa dia tidak bisa membaca situasi sih?

"Jangan khawatir. Aku akan segera sembuh setelah beristirahat. Kau mau minum apa?" Doyoung bangkit. Hendak berjalan ke dapur yang jaraknya hanya lima langkah dari tempat tidur.

"Air mineral saja." Rowoon maish tidak percaya dengan kalimat Doyoung. Tapi dia bisa apa? Pemuda ini keras kepala.

Ketika Doyoung berbalik hendak membawakan minuman itu untuk Rowoon, Rowoon sudah berdiri di hadapannya.

"Kau membuatku terkejut!"

"Aku harus pergi." Rowoon tersenyum kecil. Kedengaran sekali merasa tidak enak hati harus pergi.

"Kenapa buru-buru?" Doyoung benci dengan nada suaranya. Terdengar tidak rela. Terdengar tidak mau ditinggalkan. Kan menyebalkan? Tadi dia yang kelihatan tidak suka Rowoon datang. Sekarang begitu Rowoon pergi ia terdengar seperti istri yang takut suaminya pergi ke medan perang. Sial.

"Barusan Seolhyun menghubungiku. Ia mengajakku bertemu. Dan sudah menungguku sekarang. Sampai jumpa," Sedang terburu-buru, Rowoon hanya sempat tersenyum sebentar sebelum berjalan keluar tanpa menunggu jawaban lelaki itu.

Doyoung mencengkeram gelas itu kuat-kuat. Hingga pecah. Hancur di tangannya. Darah mengalir dari telapak tangan itu.

Entah kenapa rasanya hatinya terluka seperti telapak tangannya sekarang?

-oO-Juggle Frog-Oo-

Doyoung tidak bisa memejamkan mata untuk tidur pada suatu malam. Sudah satu jam. Dan satu jam yang lalu itulah ia menyelesaikan film Evil Dead yang ia tonton sendirian. Ia merasa takut. Segala kutukan dan hal menyeramkan pada film horror itu terus terbayang.

Bagaimana jika benar-benar ada makhluk yang bangkit dari neraka lalu menghantui bahkan menyakitinya?

Pemikiran yang bodoh.

Seharusnya ia paham bahwa itu hanyalah bagian dari sebuah fiksi. Meskipun sebagian ritual di dalam alur ceritanya diadaptasi dari kisah nyata. Tapi ayolah, tidak akan terjadi hal buruk padanya–yang berhubungan dengan iblis.

Padahal ia sendiri sudah menyaksikan secara langsung representasi iblis itu dalam kehidupan nyata-nya –AST. Dan kesialan yang tiga lelaki itu timpakan padanya mungkin bisa dibilang sebagai kutukan?

Jadi, makhluk jahat dan kutukan bisa berwujud apa saja kan?

Hanya saja di film horror tersebut makhluk neraka itu bisa dimusnahkan dengan cara membakar seluruh tubuhnya atau menguburnya hidup-hidup.

Tapi Doyoung tentu tidak mungkin melakukan itu pada Johnny, Jaehyun, dan Winwin kan? Tidak, terima kasih. Ia masih cukup waras. Ia yakin, masih ada hal baik dalam diri mereka, meskipun tersembunyi di bagian terdalam hati mereka. Dan dengan suatu cara, ketiga lelaki itu bisa berubah. Meskipun tidak tahu kapan. Karena jika berpikir lebih realistis dan melihat pengalaman, mereka tidak akan begitu saja berubah dalam waktu dekat.

Tuh kan? Jadi ingat trio laknat itu lagi?

Padahal tadinya niat Doyoung tidak masuk sekolah adalah untuk menghindari, tidak, tidak hanya sekedar menghindari tentu saja. Tapi juga mencoba untuk menyingkirkan mereka bertiga dari pikirannya. Meskipun hanya sehari. Juga, meskipun ia tahu betul bahwa ketika masuk sekolah nanti, ia akan melihat mereka lagi. Setidaknya di hari-hari sebelum duel itu tiba, mereka tidak mengganggunya. Sesuai kesepakatan.

Tapi tampaknya tidak semudah itu melupakan mereka.

Trio AST telah menjadi bagian dari hidupnya. Bukan, bukan bagian hidup semacam keluarga, sahabat, kekasih, atau apapun yang memiliki hubungan yang baik. Tapi sesuatu yang benar-benar membuatnya tidak bisa berpura-pura bahwa mereka tidak pernah melakukan interaksi yang berarti.

Kembali pada Doyoung yang terpengaruh film horror. Ia gelisah.

Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 11:00.

Ia turun dari tempat tidur setelah melepas balutan hangat selimut tebal. Meraih dan mengenakan seluruh atribut berbahan wol yang ia punya. Mantel, beanie, syal, dan sarung tangan.

Ia akan pulang. Kembali ke pelukan orang tuanya. Untuk malam ini saja. Atau selamanya juga boleh–tentu tidak, ia akan menikah suatu hari dan kembali tinggal terpisah dari ayah ibu dan kakaknya.

Begitu yakin telah mematikan seluruh daya yang perlu dimatikan, ia mengunci pintu dari luar. Berbalik, dan, "Yoochun ahjussi! Kau benar-benar membuatku terkejut!" Spontan ia berseru ketika mendapati wajah super rupawan pemilik kost itu dan dirinya hanya berjarak beberapa senti. Kenapa sih orang-orang kelihatannya senang sekali mengagetkannya?

Pria itu menyeringai.

Doyoung tahu pria itu menyukainya. Padahal ia sudah menikah dan punya tiga anak. Tapi ia genit sekali padanya.

Kehadiran iblis lainnya.

Mana munculnya malam-malam begini?

Untung tampan.

"Kau mau ke mana?" Yoochun dengan suara huskynya bertanya. Duh sial, tampan, suara berat pula. Doyoung jadi kesal kenapa dia lemah sekali?

"Pulang ke rumah," kata Doyoung singkat. Ingin berhenti basa-basi secepatnya.

"Ini rumahmu sekarang."

"Aku akan segera kembali. Sekarang aku benar-benar harus pulang."

"Tidak boleh!"

Doyoung terdiam dengan satu bentakan itu.

"Er… maaf Doyoung. M-maksudku, rumahmu terlalu jauh. Malam sudah sangat larut, dan kau sendirian. Kau tahu kan itu sangat berbahaya? Meskipun kau laki-laki. Tapi di luar sana banyak sekali orang jahat yang mencari mangsa. Untuk dirampok, misalnya." Yoochun beralasan.

"Ini kota besar, ahjussi. Lewat tengah malam sekalipun, kehidupan di luar rumah tidak hanya dijalani para penjahat. Mereka tidak akan beraksi di tempat ramai seperti ini."

-oO-Juggle Frog-Oo-

Sesuai harapan paman genit itu, Doyoung membatalkan kepulangan. Sebelumnya ia sudah berjalan jauh sampai ke avenue. Sayangnya ia tiba-tiba berpikir tidak akan ada setan yang menerkamku di dalam kamar kost! Jadi ia memutuskan untuk kembali ke rumah kedua-nya.

Dingin sekali. Segala atribut berbahan wol yang ia gunakan terasa masih kurang. Ia ingin seseorang memeluknya sekarang juga. Siapapun, asalkan jangan Yoochun. Pria itu sangat tampan, tapi ia tidak menyukai sifat pria itu. Kalau bisa, ia ingin pindah ke tempat lain besok.

Ia merasakan seseorang mendekapnya dengan erat dari belakang ketika hendak membuka kunci pintu masuk.

Ia berbalik untuk mendapati Rowoon tersenyum manis padanya.

"Hyung?"

Rowoon masih memasang senyumnya ketika mengatakan, "Kau tampak kedinginan."

"Mau apa kau kemari?" Doyoung lupa bahwa barusan saja ia berharap siapapun memeluknya.

"Hanya ingin berkunjung." Rowoon tahu. Rowoon tahu. Kemampuannya membuat alibi jelek sekali. Suatu saat nanti Rowoon akan tidak sengaja berada di TKP pembunuhan dan dihukum mati hanya karena ia tidak bisa membuat alibi sama sekali meskipun ia bukan pembunuhnya.

"Kau tahu kalau berkunjung tengah malam begini tidak sopan?" Doyoung terdengar kesal. Tapi setengah terdengar lega.

"Aku tahu." Rowoon kelihatan tidak enak. Tumben, pikir Doyoung.

"Lalu kenapa kau tetap memaksa?"

"Aku tidak peduli. Yang penting aku bisa bertemu denganmu," ujar Rowoon terlihat sekali penuh tekad. Doyoung dibuat gagal paham.

"Siang hari bisa kan?"

"Tidak. Aku memiliki urusan dengan Inseong dan Zuho," ujar Rowoon lagi akhirnya menemukan kemampuan membuat alibinya sedikit membaik.

"Lalu tidak peduli padaku yang akan merasa terganggu akan kedatanganmu yang terlalu larut." Doyoung masih ingin memaksa. Benar-benar mendapatkan alasan yang masuk akal dari kelakuan Rowoon.

"Sudahlah. Lagipula kau sendiri belum tidur kan?"

"Aku akan tidur sekarang." Doyoung masih mendebat. Tapi kedengaran sih cukup lelah.

"Kau habis dari mana?" Rowoon membelokkan pembicaraan.

"Bukan urusanmu." Doyoung benar-benar lelah. Ditambah otaknya masih penuh kegelisahan. Kedatangan Rowoon yang penuh pertanyaan tidak membantu sama sekali.

"Tentu menjadi urusanku."

"Benarkah? Kenapa?" Doyoung tahu oktaf suaranya sedikit naik.

"Karena kau terlibat dalam kehidupanku," ujar Rowoon tegas. Kelewat tegas malah.

"Kau sendiri yang melibatkan dirimu ke dalam hidupku. Dan aku tidak pernah meminta itu."

"Lalu sekarang bagaimana? Kau akan mengusirku pulang?"

Doyoung terdiam. Bohong ketika ia mengatakan ia merasa terganggu. Kenyataannya, ia merasa senang bisa melihat Rowoon berada di sini sekarang bersamanya. Ia hanya kesal. Karena setiap kali melihat wajah lelaki itu, di saat bersamaan ingatannya tentang Rowoon yang terlihat mesra dengan mantan pacarnya, terbesit begitu saja. Juga ketika beberapa hari yang lalu dimana Rowoon menyebut nama gadis itu.

Seharusnya ia tidak merasa kesal dengan itu. Tidak sebanding dengan Rowoon yang selama ini sudah menyelamatkan hidupnya dan melindunginya.

Waktu yang ia lalui bersama Rowoon hanya berkurang sedikit. Namun ia benar-benar merasa kehilangan. Katakan ia berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi? Kenyataannya ia memang merasa kehilangan.

Mengajak Rowoon untuk menginap di kamarnya yang berukuran kecil itu sepertinya bukan masalah. Lagipula ia masih memiliki residu rasa takut dari film horror itu. Sedikit. Tapi sesungguhnya, sedikit atau banyak, ia tetap menginginkan Rowoon bersamanya.

"Biarkan aku menemanimu, Doyoung. Aku tidak bohong bahwa kau terlihat kedinginan." Rowoon kedengaran sekali khawatir. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tapi yah, sambil mendapat kesempatan bisa memeluk Doyoung juga bukan skenario buruk.

"Benarkah? Apa benar-benar kelihatan?" Doyoung jadi khawatir kalau dia kena hipoternia akut lagi tanpa sadar. Kan seram.

Rowoon tersenyum penuh arti. "Ya. Mau kuhangatkan?"

Doyoung tidak tahu harus merespon apa. Jadi ia mengangguk saja.

Dan berharap bahwa ia bisa mengambil absen lebih di esok hari untuk mencuci sepreinya yang mungkin akan sedikit-banyak ternodai.

Juggling frog tries to do something very difficult.

-oO-Juggle Frog-Oo-

.

Bersambung

.

Cuma ngarep masih ada yg inget, nunggu, dan baca kelanjutan cerita ini, ehe. Setelah selama 17 bulan ditelantarkan :']

Makasih buat yg udah ninggalin jejak di chap sebelumnya:

Yuiixsta | masnoide | Guest

Mr. Taxi

Special thanks to:

Angstpoem | HyeJi-Sani | Guest

Cho Minseo | moccatwlv | jaedoisluv

I do Young | CathleyaDRsa