3057

Story by terasky

Rated: T

Genre: Yaoi, BXB

Cast: Oh Sehun, Luhan -HunHan & other

.

1 word make 1 story

.

Saya buat ini tanpa niatan untuk meniru atau menjiplak karya siapapun. Jika kesamaan ditemukan dalam bentuk apapun, itu bukan sesuatu yang disengaja.

.

TWOSHOT


Previous Story

.

.

.

"3057 waktumu habis."

Sehun membawa 3057 kembali ke sel nya. Di sepanjang lorong menuju sel tak ada yang membuka suara memancing obrolan sama sekali.

"3057.." Dan Sehun memulainya ketika mereka sampai di depan pintu sel 16. "Ini kabar baiknya."

Sehun memberikan sebuah surat kepada 3057. Pria itu menerimanya dengan bingung. Sebelum dia bertanya lebih lanjut sipir itu telah mengunci pintunya.

"Terima kasih sipir oh!" 3057 berteriak di sela-sela jeruji.

Sehun mendengarnya. Dia tersenyum semula tapi senyumnya berubah menjadi senyum getir kemudian.

Maafkan aku Luhan.

.

.

.

Chapter 2


Luhan membuka surat tersebut dengan tergesa. Terburu rasa penasaran isi surat dari seseorang yang tak ia ketahui tersebut. Pikirannya menebak-nebak.

Sekian detik kemudian tenggorokannya tercekat ketika membaca sebuah kalimat di sana.

Untuk Luhan, anakku..

Belum sampai membaca isinya saja Luhan merasa dadanya ditekan kuat.

Eomma minta maaf. Dari hati yang paling dalam. Mianhae..

Mata Luhan memanas. Rasanya sulit menelan air liurnya sendiri.

Harusnya ini bagaimana kabarmu? Apa kamu tidur dengan nyenyak? Atau makan dengan baik? Tapi, eomma terlalu takut untuk menanyakan itu.

Mianhae..

21 tahun hidupmu tak pernah eomma membelikanmu suatu apapun. Mianhae..

Maaf tak bisa memenuhi keinginanmu untuk pergi ke pantai. Mianhae...

Air mata Luhan menetes.

Eomma tidak bisa memberimu kebahagiaan tapi biarkan eomma bertanya satu hal padamu.

Kenapa kau pergi? Kenapa meninggalkan eomma sendiri?

Luhan benar-benar menangis. Sekelebat bayangan ibunya yang tertawa melintas. Bayangan ibunya yang ketakutan dan kesakitan. Bayangan ibunya bertahaan sendiri dalam kedinginan. Bayangan kelam yang menyekap perasaannya.

Kau pasti berada di tempat yang lebih baik. Pergilah nak.. temui kebahagianmu. Carilah. Eomma minta maaf karena tak bisa menemukannya untukmu.

Jadilah orang yang berguna. Ingatkan untuk selalu bersyukur dan berdoa pada Tuhan.

Luhan...

Ada banyak yang ingin eomma katakan tapi selembar kertas tidak akan pernah cukup.

Eomma ingin bertemu denganmu, ketika eomma telah sehat nanti.

Eomma tak ingin menyusahkanmu lagi.

Jangan berbohong. Kau mengambil banyak kerja paruh waktu untuk membeli obat. Luhan ... terima kasih.

Ayo kita bertemu lagi, dan pergi –

Luhan mengernyit karena kertasnya sobek. Tidak itu terlihat seperti sengaja dirobek.

lagi.

Jangan khawatirkan aku. Eomma hidup, makan dan tidur dengan baik di sini.

Aku harap kaupun begitu, anakku..

Luhan menangis.

Luhan tak bisa mengontrol emosinya lagi.

Dia merindukan ibunya.

Dia ingin memeluk wanita itu.

Mengatakan betapa Luhan menyayanginya dan tak perduli dengan hal apapun di dunia ini.

Luhan ingin mengatakan tidak apa-apa. Sebuah liburan ke pantai bukanlah masalah. Itu hanya akan tetap menjadi sebuah cita-cita untuk Luhan.

Luhan hanya ingin bertemu dan memeluk ibunya. Tidur bersama dan berbagi selimut bersama. Memasak bersama dan duduk berbagi cerita.

Waktu waktu itu bahkan lebih indah dari liburan ke pantai sekalipun.

Luhan hanya ingin berada di samping ibunya lagi.


Oh Sehun mendengar dengan jelas. Dia berdiri di sisi luar sel 16 tempat 3057 di tahan. Bagaimana sebuah isakan kecil itu kemudian menjadi sebuah tangisan.

Sehun mendengarnya.

Maaf karena menipu satu sama lain.

flashback

Oh Sehun mengetuk pintu di hadapannya. Menunggu beberapa saat hingga sang pemilik keluar menghampiri.

"Cari siapa?"

"Annyeonghaseyo." Sehun membungkukan tubuhnya memberi salam. Wanita itu membalas sapaannya.

"Apa ini rumah tiga tidak maksudku, apa ini rumah Luhan? Pemilik rumahnya nyonya Kim Heesoo."

"Oh heesoo-ssi. Sayangnya dia sudah tidak tinggal di sini."

Tidak tinggal di sini? Sehun mendapat masalah.

"Kenapa?"

"Dia menjual rumah ini padaku untuk biaya pengobatannya."

Pengobatan. Ah benar. Luhan bilang ibunya sakit bukan?

"Nyonya Kim yang malang. Dia sebatang kara sekarang. Anak satu-satunya pergi menghilang entah kemana. Kasihan sekali dia."

"Ahjumma apa anda tau dimana nyonya kim sekarang tinggal?"

Sehun bersyukur karena wanita itu bisa memberikan informasi kepadanya. Alamat yang ia ketahui. Sekitar 15 menit berjalan kaki darisini. Tak butuh waktu lama untuk menemukan alamat tersebut. Rumah sederhana. Letaknya tersudut dihimpit pertokoan. Sehun mengetuk pintunya. Hingga kesepuluh kali dia mengetuk tak juga ada sautan. Pintu rumah terkunci.

Mungkin ibunya Luhan sedang keluar sekarang.

Sehun memutuskan untuk menunggu. Seperti yang dikatakan banyak orang, untuk cinta apapun bisa diberi. Sehun rela membuang waktunya hanya untuk duduk di depan sebuah rumah kecil yang bahkan tak memiliki tempat duduk.

Hingga petang datang, seorang wanita terlihat mendekat. Wanita itu memandang Sehun heran. Sehun mengambil kesimpulan itu adalah ibunya Luhan.

Dia berjalan dari jauh sambil terbatuk-batuk memegang perutnya.

Wanita itu bertubuh ringkih. Terlihat kurus dan lemah. Anakan rambutnya menjuntai berantakan, bajunya terlihat lusuh dengan wajah pasih penuh noda.

Sehun miris meliihatnya.

"Cari siapa?" Suaranya lembut. Persis seperti suara Luhan namun ini versi perempuan. Bibirnyapun adalah hal yang sama yang Luhan juga miliki. Juga mata bening sendu itu.

"Annyeonghaseyo ahjumma. Aku Oh Sehun. Temannya Luhan."

Wanita itu membelalakan matanya terkejut ketika Sehun mengucapkan nama Luhan. Ada rasa rindu yang terbaca namun tertutup dengan kabut kepayahan.

Sehun digiring masuk ke dalam.

"Kau.. apa benar kau adalah temannya Luhan?" Sehun mengangguk yakin. Dia bisa lihat dari sorot mata Nyonya Kim yang tampak begitu kesakitan dan menyimpan rindu yang begitu besar.

Nyonya Kim menangis.

Sehun belum mengatakan apapun, tapi air mata nyonya Kim telah turun. Wanita itu menyeka air mata dan berusaha mengatur nafasnya kembali.

"Bagaimana kabarnya? Apa... apa dia baik-baik saja? Apa Luhanku makan dengan baik? Dimana? D.. dimana dia? Kenapa tidak menemuiku? Hiks.. aigooo Luhann.. anakku yang malang.."

Sehun makin merasa dihimpit sesuatu. Menyesakan. Menyaksikan seorang ibu mengkhawatirkan anaknya. Nyonya kim begitu menyayangi Luhan. Bagaimana jika dia tau Luhan berada di penjara sekarang. Sehun tak bisa membayangkan betapa hancur perasaannya jika berada di posisi nyonya kim.

"Ahjumma.. Jangan khawatir. Luhan berada di suatu tempat sekarang."

"Aigooo.. Luhanku. Maafkan eomma nak. Eomma tak berguna. Eomma hanya orang penyakitan yang menyusahkanmu. Eomma minta maaf nak. Uhuk. Uhuk!"

"Ahjumma anda baik-baik saja?" Sehun terkejut ketika nyonya kim tiba tiba terbatuk. Semakin panik ketika tau ada noda merah darah di sana.

"Ahjumma! Anda sakit. Anda harus diperiksa. Aku akan membawa ahjumma ke rumah sakit." Sehun hendak berdiri tapi tangan nyonya Kim menahannya.

"Tidak perlu. Aku hanya ingin kau bercerita. Bagaimana Luhan? Aku ingin mendengar tentangnya."


Matanya menatap nyonya kim yang kini tengah menulis surat di hadapannya. Wanita ini benar-benar lemah. Tapi dalam kesakitannya diapun harus berjuang untuk membeli obat, agar bisa mempertahankan hidupnya. Bertahan untuk bertemu dan kembali melihat putranya.

Luhan... aku tidak tau apakah aku sanggup menceritakan ini kepadamu.

Sehun reflek berdiri ketika Nyonya Kim terbatuk-batuk. Dia mengambil air minum dan disodorkan kepada Nyonya Kim. Tapi batuk itu semakin terdengar keras. Bahkan membuat Nyonya Kim sulit bernafas. Sehun mengeluarkan saputangannya. Sebelum dia sodorkan, batuk nyonya Kim berhenti.

Darah berantakan di tangan dan sekitar mulutnya. Darah itu juga menyiprat ke atas kertas yang tengah ia tulis surat sekarang.

"Tidak... ini.. Luhan tidak boleh melihat ini." Tangannya gemetar. Nyonya kim mencuci tangannya hingga bersih kemudian mengeringkannya dengan kain yang menggantung. Dia kembali duduk dan mengambil surat tersebut.

Sret..

Merobek bagian dimana darah yang tak diminta berada di sana.

"Tolong jangan katakan hal ini pada Luhan. Aku tidak ingin dia cemas. Dia harus hidup dengan baik tanpa beban. Aku bisa percaya padamu kan?"

Menolakpun seperti tak ada pilihan.

Flashback end


Masa terus berganti. Hitungan haripun berubah menjadi bulan. 2996 telah bergabung lagi bersama 3057 dan beberapa tahanan baru.

Hari itu.. Sehun tersenyum. Kembalinya 2996 ke sel 12 membuat 3057 tidak lagi kesepian dan ketakutan. Sehun jadi tidak perlu mencemaskannya setiap malam. Atau memikirkan 3057 ketika hendak memejamkan matanya.

"Sipir Oh terima kasih."

Saat itu tengah diadakan pembersihan diri. Hari dimana semua tahanan mandi dan bercukur. Sehun sedang memantau semuanya ketika 3057 datang mendekat. Dengan rambut baru yang mensayarkan wangi segar khas pria muda.

"Ada yang kau butuhkan?"

"Terima kasih." 3057 membungkukan punggungnya dalam. Memberi penghormatan kepada Sehun. Juga ungkapan terimakasih atas semua yang telah pria itu lakukan untuknya.

"Tak perlu sungkan. Aku tau kau orang yang baik, hanya mungkin keberuntungan belum memihakmu. Apa kau sudah mandi?"

3057 tersenyum. Sehun senang 3057 menjadi terlihat berwarna dan lebih hidup dari hari ke hari. Dia ingat betul hari-hari pertama kedatangannya pria itu hanya mengasingkan diri dengan dipenuhi penyesalan.

"Sipir Oh, nanti... ketika aku bebas, aku akan membelikanmu makanan. Aku berjanji."

Tak ada hari kerja Sehun alami yang lebih indah daripada hari itu. Melihat 3057 tersenyum dan berbicara padanya. Sehun teramat gembira.


Hari itu dia kembali mendatangi rumah yang ditempati oleh Nyonya Kim. Sehun menarik sejumlah uang dari tabungannya untuk diberikan kepada Ibunya Luhan. Sehun akan mengatakan itu uang yang dikumpulkan Luhan selama dia bekerja. Sehun sengaja datang malam hari dengan membawa uang dan makanan. Dia tau ibunya Luhan pasti sudah pulang bekerja.

Senyum tipis terpetak di wajahnya. Membayangkan raut gembira wajah Nyonya Kim membuat perasaannya gempita.

Sehun hendak mengetuk pintu sebelum seorang wanita hampir lanjut usia menginterupsi.

"Kerabat heesoo-ssi?"

Sehun tersenyum memberi salam sopan.

"Apa ahjumma ada di dalam?"

Wajah wanita itu berubah sendu.

"Heesoo-ssi…. Dia sudah meninggal."

Sehun membeku. Seperti oksigen menghilang dan semua saraf di kakinya mati membuatnya lemas. Ngilu di dadanya terasa sekelebat mencekik.

Wanita itu tak memiliki hubungan apapun dengannya tapi mendengar kabar wanita itu sudah tidak ada membuat Sehun merasa terhimpit. Serasa dikoyak dan terasa perih.

Luhan… bagaimana?

"Tak ada keluarga yang bisa dihubungi. Atas inisiatif warga, kami swadaya mengumpulkan uang untuk mengurus pemakamannya. Ngomong-ngomong, anak muda ini siapa?"

Dia tak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya. Dia tidak mengira nyonya Kim akan pergi begitu cepat. Atau setidaknya, sampai Luhan bebas dari sana dan bertemu dengannya. Bertahan untuk sementara waktu.

Oh Tuhan betapa teramat ingin Sehun melihat luhan memeluk dan merengkuh sang ibu.

"Anak muda?"

"Ah ye ye. Aku kerabatnya. Teman putranya." Sehun berhasil menjawab setelah mengatur nafasnya sebaik mungkin.

"Putranya? Apa nyonya Kim punya putra? Eoh! Betapa kurang ajarnya anak itu meninggalkan ibunya sendirian di tengah waktu sekaratnya."

Dia bisa dengar nada mencela di tiap kata yang terlontar dari mulut wanita itu.

"Putranya... tengah bekerja."

Wanita itu diam. Sehun tak mengerti kenapa dia berkata seperti itu. Akhirnya Sehun memutuskan untuk pamit setelah bertanya dimana nyonya Kim dimakamkan.


Keesokannya, Sehun masih digeluti kebimbangan. Atasannya bahkan menegur Sehun karena pria itu terlihat terlalu pasih dan tampak tak sehat.

Dia memikirkan orang itu. 3057... Luhan…

Apa yang akan terjadi pada Luhan ketika tau ibunya telah meninggal?

Hancur...

Sehun bisa merasakan kesakitan itu hingga ke tulangnya.

Langkahnya pun terkesan ragu. Patroli di tengah hari begini membuatnya melewati sel 16, bertemu Luhan dan otomatis pria itu akan menyapanya.

Belum. Sehun belum siap bertemu Luhan.

Membayangkan wajah Luhan tak membuat Sehun membaik. Dia justru memikirkan bagaimana Luhan akan menangis nanti.

"Anda sakit sipir Oh. Pergilah ke klinik." Ini adalah teguran dari atasannya yang ke lima kali. Menyerah. Sehun memang merasa dia butuh istirahat. Paling tidak beberapa jam tertidur dengan obat penenang.

"Sipir Oh ada yang bisa ku bantu?"

"Dokter Jang bisa berikan aku obat tidur? Aku sulit tidur akhir-akhir ini."

Sehun memposisikan dirinya di atas ranjang. Berbaring dengan menatap langit-langit ruangan. Membuat posisinya senyaman mungkin. Walau matanya coba terpejam yang ada dalam pikirannya adalah bayangan Luhan yang duduk sendirian.

"Pasti banyak kasus yang terjadi ya."

Sehun bergumam menyauti. Dia ingin tidur. Dan sejenak melupakan ini.


2996 dinyatakan bebas. 3057 berada di dalam sel sendirian. Sejujurnya Sehun lebih senang ada napi yang ditempatkan di sel 12 daripada 3057 seorang diri di sana.

Sehun cemas. Entah berapa kecemasan yang telah ia letakan pada bahu pria itu.

Sehun mencintai Luhan..

Kepergian 2996 membuat Luhan merasa murung. Beberapa kali Sehun mendengar 3057 meminta agar mereka tetap bertemu.

Sehun mendengus pasrah.

Luhan benar-benar menyukai Bang Yongguk.


1 tahun kemudian..

Hari ini adalah hari kebebasan Luhan. Terakhir kali Sehun melihat pria itu kemarin, Luhan banyak tersenyum. Dia mendapat 2 napi lagi sebagai temannya. Walaupun senang, Sehun menyimpan kecemasan. Luhan belum tau ibunya telah meninggal. Sehun sengaja tidak datang ke kantor dan mengambil cutinya untuk tahun ini.

Hari itu, Sehun menunggu di depan lembaga pemasyarakatan. Pakaiannya santai, lepas dari seragam formal yang biasanya membuat dia terlihat berwibawa. Sehun yang sekarang terlihat kasual dan lebih muda.

Dia telah duduk hampir 2 jam di cafe, dan 3057 belum juga terlihat keluar.

Sehun masih setia menunggu. Penantiannya selama 4 jam akhirnya berakhir. Gelas frappucino nya yang ke 7 akhirnya terbayar sudah.

Luhan keluar dari gerbang lapas dengan senyum cerah.

Sudah terlampau sering Sehun melihat senyuman itu. Tapi, yang ini terlihat berbeda. Senyum Luhan yang terlampau bebas membuat dada Sehun berdebar tak karuan.

Dentuman-dentuman yang membuatnya gemetar. Terasa aneh karena ini dirasakannya pada seorang lelaki.

"3057.. Tidak .. Kau adalah Luhan sekarang."

Luhan menatap sipir Oh yang sekarang berada di hadapannya. Sedikit heran atas kemunculan sipir muda itu yang tiba-tiba. Bukankah dia sedang cuti? Kenapa di sini?

"Sipir oh.. sipir Jung bilang kau sedang cuti."

Sehun menarik nafasnya. Menahan itu sesaat kemudian tersenyum kepada Luhan.

"Hari ini kau bebas kan? Aku rasa kau pasti ingin melakukan banyak hal setelah hampir 3 tahun tahun hanya diam di dalam sel."

Luhan menatapnya sesaat kemudian mengedarkan pandangnya menatap langit biru. Dia tersenyum. Hembusan angin membuat rambutnya beriak.

Betapa manis Luhan yang Sehun lihat kala itu.

"Satu-satunya hal yang ku pikirkan sekarang adalah ibuku." Sehun melihat dalam ke arah wajah Luhan. Kenapa rasanya wajah itu terlihat lebih menawan ketika terkena sinar matahari seperti ini? "Aku akan pergi menemuinya." Luhan berbalik untuk pergi tapi tangannya ditahan oleh sang sipir tampan.

"Ada apa?"

Sehun menahan nafas. Dia sungguh kurang siap mengatakannya pada Luhan. Atau mungkin melihat raut wajah Luhan setelah mengetahui kabar itu tepatnya.

"Sipir Oh.." Luhan terkejut ketika Sehun menarik tangannya, langkah Luhan mengikuti Sehun yang berjalan di depan. Tangan Sehun terlepas.

"Sehun, Luhan. Kita tidak berada di lapas dan kau bukan lagi seorang tahanan. Aku adalah Oh Sehun dan kau Luhan. Aku akan memberitaukanmu dimana ibumu berada."

Luhan tidak berkata apa apa. Selain kerinduan akan ibunya yang memuncak dan terpendam. Mengikuti langkah Sehun membawanya. Tak dipungkiri, selama keheningan yang terjadi di dalam mobil, Luhan banyak berpikir tentang Sehun.

Tentang semua yang pria itu lakukan untuknya.

Mobil Sehun menepi. Awalnya Luhan kira Sehun hendak membeli sesuatu tapi...

"Luhan.."

Pandangan Sehun yang menatapnya membuat Luhan merasa bingung.

"Maaf karena tidak memberitaumu hal ini lebih awal."

Kata maaf seakan menjadi penyebab kecemasan yang menggeluti Luhan sekarang.

Maaf.. kata itu selalu diikuti sebuah pesan yang menggambarkan kekecewaan.

"Sipir Oh.. apa maksud anda?"

Sekarang Luhan melihat Sehun menunduk dalam. Sungguhkah, kenapa orang ini tidak mengatakannya dengan cepat! Membuat Luhan semakin penasaran.

Sehun menarik nafasnya.

"Ibumu... ibumu sudah meninggal Luhan."


Hal terakhir yang Luhan ingat ketika melihat ibunya saat itu adalah sang ibu tengah terbaring lemas. Obatnya habis dan Luhan tak memiliki sepeserpun uang. Bertekad mencari pekerjaan sampingan justru membuatnya tergiur akan sebongkah kecil berlian.

Niatnya ingin membeli obat untuk ibunya yang sakit tapi malang diterima, Luhan dimasukan ke dalam penjara.

Bicara penyesalan sekarang tak berguna. Semua sudah terjadi dan Luhan baru tau ternyata ibunya sudah meninggal. 3 tahun yang di nanti hanya disambut oleh gundukan tanah berumput yang dingin dan hijau. Bukan sebuah suara apalagi sebuah pelukan.

Luhan malah membawa air mata dan kesedihan pada makam ibunda tercintanya. Semua kesakitan yang 3 tahun dia rasakan dan dipendam seakan mencapai puncaknya.

Selama ini dia mencoba bertahan untuk tidak menitikan air mata tapi bulir bening itu akhirnya tumpah jua. Di hadapan ibunya sekarang.

Tak ada yang Luhan katakan di hadapan gundukan tanah itu selain tangisan yang ia bawa.

Sehun merengkuh bahu Luhan mengusapnya lembut memberi kekuatan. Ketika itu, suara Luhan semakin hilang dan tangisannyapun semakin menjadi.


Luhan tidak ingin. Sesungguhnya dia benar- benar tidak ingin merepotkan Sipir Oh. Sipir itu sudah terlalu baik padanya dan melakukan banyak hal untuknya. Tapi sekarang, sipir itu malah menawarkan untuk tinggal bersamanya.

"Sipir Oh..."

"Sehun, Luhan. Namaku Sehun."

Luhan mendehem canggung. Selepas dari pemakaman, Sehun membawa Luhan ke rumahnya.

Sebagai seorang pria, tentu saja di awali dengan penolakan oleh Luhan. Tapi Sehun mengatakan dan memberikan alasan yang cukup untuk membuat Luhan tak kuasa lagi menolak. Karena bagaimanapun, Luhan tidak bisa mempertahankan gengsinya. Dia butuh tempat tinggal sementara dia mencari pekerjaan.

"Rumahku sepi Luhan. Hanya ada aku dan Yoon Ahjumma."

Luhan memperhatikan sekeliling rumah. Sehun seorang sipir, awalnya Luhan kira rumah orang itu akan terkesan kaku atau elegan. Tapi ini tampak hangat. Rumahnya berada di pinggiran kota, berbatasan dengan daerah perkebunan.

Rumahnya hanya satu lantai namun cukup luas. Semua ornamennya berwarna putih dan hijau.

Melihat banyak tumbuhan di dalam rumah Sehun membuat Luhan merasa tenang.

"Aku tau kau lelah. Tidurlah lebih dulu, aku akan membangunkanmu ketika makan malam nanti."

Mungkin ini sudah jalannya. Luhan akan mulai meniti masa depannya dengan sang ibu walaupun hanya dalam bayang semu.


Hari-hari yang dilaluinya di rumah Sehun berjalan seperti biasa. Tapi bagaimanapun Luhan merasa tidak enak hati. Walaupun Sehun dan Yoon Ahjumma begitu berbaik hati kepadanya dia tetap tidak bisa menjadi benalu.

Dia keluar mencoba mencari pekerjaan. Tapi sampai saat ini belum ada yang memberikannya pekerjaan. Dia berpikir keras, apa keahliannya. Apa yang bisa ia lakukan. Tapi, dia tak menemukan apapun selain bernyanyi.

Ah! Benar! Bernyanyi.

Akhirnya hari itu, sebelum makan malam Luhan keluar. Dia berpamitan pada Yoon Ahjumma sebelumnya. Walaupun ahjumma itu melarangnya dan meminta Luhan untuk menunggu Sehun.

Hanya meminta sebuah pekerjaan pada pemilik cafe, tapi Luhan diacuhkan hampir 3 jam. Belum diminta untuk bernyanyi, ini sudah hampir jam 9 malam dan dia memikirkan Sehun.

Bagaimana jika Sehun mencarinya?

Ah tidak, Sehun pasti berpikir dia laki-laki dan Luhan bisa menjaga dirinya sendiri.

Jika jam 10 dia tak kunjung mendapat respon, maka Luhan akan…

"Chogiyo.."


"Pemilik cafe ini gay. Sepertinya dia menyukaimu, makanya dia menahanmu di sini. Tapi tenang saja. Bos kami orang yang baik."

Penantiannya terbayar sudah, pekerjaan yang ia incar akhirnya ia dapatkan. Meskipun sempat bergidik ketika salah satu pegawai membicarakan hal yang menurutnya tak masuk akal.

Dia memikirkan banyak hal. Tentang rumah, tentang pakaian. Menumpang di rumah orang untuk beberapa hari mungkin wajar tapi jika berlanjut Luhan yang akan merasa terganggu. Meskipun kelihatannya Sehun yang notabene pemilik rumah tidak merasa keberatan.

"Akhirnya kau pulang."

Luhan terkejut karena Sehun bahkan duduk menunggunya di teras rumah.

"Sehun, kau menungguku?" Luhan agak ragu sebenarnya, tapi keadaan merujuk pada dugaan tersebut. Sehun bangkit mendekat ke arahnya. Yang paling membuat Luhan terkejut adalah usapan lembut Sehun di pucuk kepalanya! Pria itu memeluknya erat. Namun hanya sebentar.

Ada apa ini?!

"Aku mengkhawatirkanmu. Kau sudah makan malam? Ayo makan bersama."

"Kau belum makan malam?" sungguhkah? Ini sudah hampir tengah malam. Tidak mungkin kan Sehun mengacuhkan makan malamnya hanya karena menunggu Luhan.

"Aku menunggumu."

Ternyata benar.

"Ayo kita makan bersama."

Banyak yang mengusik batin Luhan tapi yang paling mengusiknya untuk saat ini adalah rasa bersalah.


Terhitung seminggu lebih sejak kebebasan Luhan dari lapas. Sudah selama itu juga dia mendiami rumah Sehun. perasaan tidak enak hati karena menumpang di rumah orang seringkali mengusiknya. Dia mencoba membicarakan rencananya untuk pergi darisana pada Sehun tapi malah mendapat penolakan.

"Tidak. Luhan. Aku bilang tetap di sini. Kau akan tinggal di sini." Sehun saat itu membuat Luhan takut. Dia mencobanya di hari yang lain tapi tetap mendapat hal yang sama. Sehun bahkan membentaknya. Meskipun setelah itu dia meminta maaf pada Luhan.

"Maaf. Aku hanya.. aku hanya tak ingin kau pergi Luhan. Tetaplah di sini. Bersamaku."

Sehun yang sekarang malah membuat Luhan ketakutan. Dia menjadi posesif dan terlihat memaksakan kehendaknya pada Luhan.

Walaupun Luhan tak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari Sehun, sekarang Luhan merasa Sehun menahannya. Di rumah yang tidak seperti penjara tapi Luhan terlihat sebagai seorang tawanan karena Sehun terlalu posesif padanya.

Hanya ada satu cara.


Semalaman Sehun tak bisa tidur. Bahkan dia tetap terjaga hingga dini hari. Sehun takut Luhan pergi. Sehun takut Luhan menjauhinya. Sehun tidak ingin itu. Sehun ingin Luhan hidup di sisinya, bersamanya.

"Aishh.. dia normal Sehun. Jangan buat dirimu sendiri tampak menakutkan di matanya. Biarkan dia pergi."

"Aku tidak bisa! Tidak aku tidak bisa."

Esoknya ketika pagi datang, dia hendak membangunkan Luhan. Berniat meminta maaf dan mengatakan perasaannya tapi dia tak menemukan pria itu. Kamarnya rapih. Dengan sebuah kertas beraada di atas nakas.

Sipir Oh... Aku seperti manusia rendahan yang pergi tanpa pamit padamu.

Maaf untuk itu.

Terima kasih. Untuk semuanya. Tentang ibuku, rumah, dan semuanya. Aku berharap suatu saat bisa membalasnya.

Sekali lagi terimakasih..

3057–Luhan

Sehun mendecak. Memukul nakas disisian tempat tidur sambil mengerang keras.

Perasaan sesak menyusup ke dadanya. Menelan ludahpun terasa menyakitkan. Setelah cukup lama dia memendam ini dan kemudian terhempas. Sehun sudah banyak mengalami ujian tapi ini adalah yang paling pahit dan menyakitkan.

Kenapa? Apa yang salah? Kenapa Luhan malah menjauhinya? Tidak taukah Sehun begitu terluka.

"Luhan..."

Hari itu, Luhan berhasil membuat Sehun menitikan air mata.


Luhan menemui Yoon Ahjumma di rumahnya sebelum ia pergi ketika langit bahkan masih gelap. Dengan jaket tebal yang ia beli dengan gaji pertamanya. Dan sebuah tas punggung sederhana yang berisikan beberapa barang barangnya.
Luhan mengetuk pintu tersebut dengan tenang... memastikan tak ada kegaduhan yang akan ia buat...

"Tuan Luhan..." Yoon Ahjumma jelas terkejut melihat Luhan dengan jaket tebal dan tas di punggungnya tampak seperti seorang yang bersiap untuk pergi.

"Ahjumma..."

"Ya ampun... kenapa pagi-pagi sekali sudah kesini? Ayo masuk..."

"Aku hanya ingin pamitan. Ahjumna terimakasih selama ini sudah membantu dan baik padaku..."

"Aih kamu ini bicara apa sih. Ayo sudah masuk dulu..."

"Tidak perlu ahjumma. Aku hanya ingin mengatakan aku akan pergi..."

"Kau mau pergi kemana nak Luhan? Di pagi pagi buta begini?"

"Aku juga tidak tau hanya saja aku harus pergi ahjumma." Yoon ahjumma menatap Luhan yang masih berdiri kokoh di hadapannya. Tak ada keraguan sedikitpun yang terpancar dari matanya.

Wanita itu hanya terdiam. Mengerti mungkin Luhan punya alasannya sendiri mengapa ia memutuskan melarikan diri dari Sehun. Ia peluk Luhan dengan erat.

"Jangan lupa makan. Jaga selalu kesehatanmu..."

"Pasti Ahjumma. Ahjumma jangan lupa jaga kondisi tubuh. Semoga di masa depan nanti kita akan bertemu lagi."

Yoon ahjumma tidak banyak mengatakan apapun pada Luhan saat itu. Selain memeluknya lebih erat dan membiarkan Luhan pergi dengan beberapa doa yang ia sertai.

Ia tak melarang. Yoon ahjumma jelas tau kenapa Sehun bersikeras melarang Luhan untuk pergi. Sejak awal Luhan dibawa kesini tak pernah ia berpikiran macam-macam. Saat Sehun menjelaskan tentang Luhan dan latar belakangnya Yoon Ahjumma merasa empati pada anak muda itu. Melihat bagaimana Luhan yang tampak polos pernah dipenjara dan lagi saat itu ia baru saja tau kalau orang tuanya telah meningal dan tak meninggalkan apa-apa, membuat Yoon Ahjumma rasanya ingin menangis.

Malang betul nasibnya...

Tapi lambat laun ia menyadari. Bukan hanya alasan simpati yang berada dibaliknya. Ini lebih dari itu...

Ia sudah bekerja untuk Sehun dan keluarganya selama lebih dari 2 dekade. Tentu ia juga tau alasan kenapa Sehun sekarang berada disini dan bukan berada di rumahnya yang mewah...

"Jangan pernah berpikir untuk kembali kalau masih bertahan dengan nafsu dan perasaan menjijikanmu itu Oh Sehun!"

Bagaimanapun… Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, membangun keluarga yang harmonis, dan memberikan cucu-cucu yang lucu kepada mereka untuk ditimang di hari tua.

Satu kejadian hari itu membuat semuanya berubah.

Nyonya Oh murka dan marah. Kakaknya Sehun juga ikut mengadili Sehun atas hal itu. Mereka bertiga berbicara tapi hanya urat di leher mereka yang tampak beradu. Alhasil tak ada jalan keluar dan hanya sebuah ultimatum yang saat itu menjadi awal mengapa Yoon Ahjumma berada di rumah ini menemani tuan mudanya.

Ia datang pagi itu ke rumah Sehun seperti biasa. Bahkan ketika sarapan sudah disiapkan Sehun tak kunjung keluar kamar. Menyadari pintu kamar Luhan yang terbuka Yoon Ahjumma berpikir mungkin Sehun telah mengetahuinya.

Diketuknya pintu kamar berwarna hitam dengan pelan...

"Tuan... sarapan pagi sudah siap..."
Sehun menggumam lemah dari dalam kamar. Kemudian muncul di meja makan denga setelan rapih dan wajahnya yang sembab.

Yoon Ahjumma tau jelas, tapi ia memilih untuk diam dan tak bertanya.

Sehun sudah besar sekarang. Dia sudah dewasa...


9 tahun kemudian…

Suasana musim semi terasa begitu menghangatkan. sebuah pameran elektronik diselenggarakan di indoor salah satu mall di distrik Gwang-ju. Sehun berniat membeli sebuah Home Theater. Dia menyukai film dan ingin menontonnya di rumah. Karena dia jarang punya waktu untuk menonton itu di bioskop.

Lagipula Luhan juga menyukai film. Dia persis seperti Sehun.

Ah benar! Dimana Luhan?

Saking asiknya memperhatikan film yang sedang di putar di layar promosi, Sehun jadi tidak sadar bahwa Luhan tidak lagi di sisinya.

"Luhan..." Dia memanggil. Mencoba tidak terlihat panik.

Tidak. Tidak ada kehilangan Luhan untuk kedua kalinya.

"Luhan..." Sehun mencoba lagi memanggil. Orang-orang mulai menatapnya aneh sekarang. Tak perduli tentang tatapan orang-orang itu, Sehun tetap mencoba memanggil-manggil nama Luhan. Berharap yang dicari menyaut atau mungkin menampakan diri.

"Luhan..." Sehun merasa panik. Dia tak bisa menutupi lagi. Dia pergi ke sisi utara untuk mencari Luhan namun tak ia temukan dia juga pergi ke bagian barat tapi tak menemukan.

Sehun keluar dari area pameran itu dan tetap mencari Luhan.

Bodoh. Harusnya dia menggenggam tangan Luhan, jika sudah begini Sehun sendiri yang dibuat kerepotan.

Sehun berlari kecil sambil sesekali memanggil nama Luhan. Tetap mengedarkan pandangannya menelisik mencoba menjaring pandangan dari puluhan atau mungkin ratusan orang yang ia lihat.

"Luhan.."

Seorang pria yang semula duduk di sebuah kedai ice cream yang memunggunginya, perlu memproses lama karena Sehun bisa dengan jelas mengenali itu siapa.

"Luhan.."


Sehun masih sangat mengingat bagaimana senyuman Luhan. Atau surat yang ia dapati ketika pagi dimana Luhan pergi. Semua kerinduan dan perasaan menyesakkan kini bertemu dengan sumbernya. Tapi, Sehun sedari tadi bungkam dan tak mengatakan apapun. 10 menit yang membeku dengan kebisuan.

Itu adalah Luhan. Pria yang selama ini dia rindukan, pria yang selama ini ia cari. Pria yang pergi hari itu meninggalkan Sehun yang meronta seperti orang gila. Pria yang sama yang membuat Sehun selalu meminum Diazepam beberapa kali pada malam-malam tertentu.

Sehun ingin memeluk Luhan. Teramat.

"Jadi ini anakmu sipir oh?" Luhan yang membawanya pada Luhan yang ia rindukan. Sehun tersenyum. Tidak tau harus berekpresi bagaimana, karena nyatanya hati Sehun sudah terkunci oleh Luhan. Tapi melihat bagaimana Luhan hidup sepertinya pria itu tidak tau apa-apa. Memang seharusnya begitu.

Anaknya tampak baik. Luhan mengusak pucuknya sesekali sambil tertawa memperhatikan betapa lucunya Luhan ketika memakan es krim.

"Dimana istrimu sipir Oh?"

Luhan memuat pandang seakan mencari, mencoba mengabaikan Sehun yang memberikan pandangan anehnya.

Jangan kira Luhan tidak sadar. Sejak Sehun duduk di hadapannya pria itu menatap Luhan dengan pandangan yang tak bisa Luhan maksudkan.

"Sehun.. aku mengatakannya waktu itu. Panggil aku Sehun apa kau lupa?"

Apa aku benar-benar tak berarti untukmu Luhan? Kau bahkan masih memanggilku sipir oh dan itu terdengar kuno sekaligus menyakitkan.

Kau dengan sengaja memperjelas batasannya.

"Oke aku minta maaf. Aku terbiasa memanggilmu seperti itu. Dimana istrimu Sehun?"

Harusnya itu adalah dirimu, sebelum kau pergi hari itu tanpa kabar dan aku seperti orang yang tak waras hidup tanpa gairah.

"Tidak ikut."

"Aku terkejut ketika aku sedang makan anak ini tiba-tiba mendekatiku dan mengatakan ahjussi Luhan ingin es krim. Aku kira aku salah dengar tapi kemudian aku mendengar ada suara yang memanggil Luhan."

Sehun masih memperhatikan. Luhan tidak berubah. Kecuali wajahnya yang terlihat lebih dewasa sekarang dan badannya yang cukup berisi. Lepas dari itu Luhan tetap pria manis yang mengisi hatinya.

"Tapi kenapa kau menamakannya Luhan? Apa ibunya orang China?"

Harusnya, tapi tidak berjalan sesuai rencana.

"Kenapa kau pergi hari itu?" Benar. Sehun merasa dicurangi karena Luhan pergi tanpa pamit padanya. Itu adalah pertanyaan yang telah Sehun simpan selama 9 tahun belakangan.

Dan tiap malamnya, tak ada malam yang ia lalui tanpa memikirkan Luhan sebelum tidur.

Sehun sinting. Memang.

"Maaf.." tidak. Bukan itu yang ingin Sehun dengar. Sehun tak ingin melihat wajah Luhan yang sedih dan terlihat penuh sesal. Bukan kata itu yang Sehun harapkan.

"Aku ingin bicara berdua denganmu."

Terlebih dahulu mengantarkan putranya pulang. Sehun kembali melajukan mobilnya menuju Sungai Han. Tidak ada percakapan selama perjalanan. Suasana terasa canggung dan kaku. seperti waktu perlahan membeku karena kebisuan di antara keduanya. Terlalu gengsi memulai komunikasi.

Mereka tiba sekitar 30 menit kemudian. Sehun keluar dan menyandarkan tubuhnya di atas kap depan sedan miliknya. Luhan mengekor keluar dan mengambil posisi yang sama di sisi lain.

"Kau tak akan mengizinkan aku pergi darisana, itu yang aku pikirkan. Sekali dua kali atau bahkan puluhan kalipun hasilnya akan sama saja. Aku tidak mengerti kenapa kau menahanku di sana."

Aku mencintaimu. Bahkan jika aku mengatakannya, kau malah semakin yakin untuk pergi kan Luhan?

"Sehun.." Luhan memutar tubuhnya menghadap Sehun sekarang. "Jika aku menanyakan apa alasanmu waktu itu sekarang, apa kau akan memberitauku?"

Sehun mengalihkan pandangnya. Melihat langit malam dan mobil yang kelihatan berlalu lalang di atas jembatan cukup membuat Sehun merasa rumit.

"Tak perlu dijawab kalau memang kau keberatan, aku tak akan memaksanya." Luhan tersenyum lagi. Seperti senyum memaklumi. Ya.. Sehun punya area sendiri dimana isi hatinya hanya ia yang tau.

"Terima kasih. Sehun telah banyak membantuku. Aku berhutang banyak hal padamu. Tapi aku tak bisa ditahan, aku perlu hidup untuk hidupku sendiri. Aku tak bisa mennjadikanmu tiang untuk aku bergantung."

Aku akan….. dengan sukarela. Walaupun kau tidak bekerjapun aku siap menafkahimu Luhan, asalkan kita bersama. Kau di sisiku.

"Aku harap kau bisa mengerti."

Sehun masih bungkam. Belum mengucapkan sepatah katapun sejak kedatangan mereka tadi.

"Kau.." Luhan menatap Sehun. Menunggu kata selanjutnya yang akan Sehun ucapkan. ".. tidak berubah. Masih manis seperti dulu."

Sehun bilang dia manis. Sungguhkah? Tapi kalimat itu terlalu aneh untuk diucapkan seorang pria kepadanya.

"Tapi aku masih penasaran dengan istrimu. Apa dia benar orang china?"

Luhan tadi tidak bertemu istrinya Sehun, karena ketika dia hendak turun Sehun bilang itu tidak perlu.

Sehun memandang langit. Matanya menggambarkan harapan kosong.

"Harusnya begitu, tapi takdir berkata lain."

"Maksudmu?"

"Luhan.. kau tau kenapa putraku ku beri nama Luhan?"

Luhan tak menjawab. Ia masih menatap Sehun.

"Karena aku kehilangan sosok Luhan yang lain."

Tubuh Luhan menegang. Pikiran-pikiran tentang yang dibicarakan Sehun adalah dirinya mengusik. Tidak. Tidak mungkin Sehun menyukainya. Ia tidak percaya.

Sehun tertawa pelan.

"Aku punya banyak hal di kepalaku yang ku pikirkan ketika kau pergi tapi ketika kau berdiri di hadapanku sekarang aku tidak tau harus mengatakan apa." Pria itu tertawa remeh. Menertawakan dirinya sendiri yang seperti hilang arah di hadapan Luhan.

"Apa pekerjaanmu sekarang?" Sehun harus tau apakah Luhan hidup dengan baik.

"2996. Kau ingat dia kan? Bang Yongguk. Aku bekerja di tempatnya. Sekarang dia menjadi produser musik."

Kau masih berhubungan dengan dia? Kau bahkan meninggalkanku.

"Apa kau sudah menikah?" Ini adalah pertanyaan tabu yang sebetulnya menjadi titik acuan Sehun. karena bagaimanapun, Sehun selalu penasaran tentang yang satu ini. Lagipula jika sudahpun, tak ada yang bisa dilakukan. Karena dia punya Luhan yang lain sekarang. Luhan yang lebih butuh kasih dan sayang darinya.

Luhan tersenyum lebar sebelum menjawab Sehun. Membuat gemuruh di dada Sehun yang sejak tadi bedebum semakin meronta.

"Belum. Atau mungkin... tidak."

Luhan tidak menikah? Kenapa?

"Kau pasti berpikir alasan kenapa aku tidak ingin menikah. Aku tidak tau.. Hanya saja aku tidak berniat untuk membangun komitmen dengan seorang wanita."

Jika saja... jika saja Sehun masih sendiri mungkin Sehun akan berusaha membuat Luhan menyukainya.

"Luhan… Bisakah aku mengatakan sesuatu."

"Katakan saja. Aku akan mendengarkan."

Katakan Sehun. sekarang atau tidak sama sekali. tidak ada jaminan kau akan bertemu dengannya lagi setelah ini.

Batin Sehun memprovokasi.

Aku mencintaimu.

"Sehun? Apa yang ingin kau katakan?"

Sial! Kenapa hanya di dalam hati. Ayolah Sehun! kau bisa. Tapi ini bahkan melebihi kegugupan Sehun ketika hari pernikahannya tempo hari. Ini lebih dari itu.

"Luhan… Aku menyukai lelaki. … Dan aku menyukaimu."

Luhan tercenung. Ini jawaban dari semua pertanyaannya dulu. Satu alasan dari semua kegundahan yang hatinya rasakan. Sebuah pernyataan yang ia dapatkan sekarang malah membuatnya membeku.

Apa yang spesial pada Luhan? Bisakah luhan artikan semua yang dilakukan Sehun selama ini juga bagian dari pengorbanannya? Lalu apa yang Luhan lakukan? Pergi menghilang begitu saja?!

"Aku tau kau mungkin terkejut. Tapi aku tak yakin kita bisa bertemu lagi setelah ini jadi aku memilih untuk mengatakannya sekarang. Aku menyukaimu.. sejak hari pertama melihatmu di sel. Aku melakukan semua yang aku bisa untuk membuatmu tersenyum." Sehun tersenyum menjeda penuturannya. Kaki Luhan rasanya lemas. Sungguh pernyataan yang tidak ia duga.

"Jujur saja.. Perhatianmu pada 2996 bang yongguk-ssi membuatku cemburu tapi saat itu apa yang bisa aku lakukan? Melihatmu tersenyum sudah cukup. Apalagi Bang Yongguk-ssi juga pria yang baik."

Bang Yongguk? Sehun pasti salah mengira ini semua. Dia salah paham.

"Aku juga minta maaf soal ibumu. Sungguh aku tidak bermaksud menyembunyikannya, aku… aku hanya bingung. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya." Luhan masih diam tak berbicara. Masih membiarkan Sehun mengeluarkan isi hatinya.

"Aku sengaja membawamu ke rumahku tapi aku sungguh tidak tau jika karena itu kau justru merasa terkekang. Aku hanya ingin kau hidup bersamaku Luhan. Maaf mungkin aku egois."

Sudahkah? Apalagi yang pria ini ingin keluarkan? 9 tahun lebih memendam semuanya sendirian pasti dia memiliki banyak isi hati.

"Aku.. aku tidak tau harus mengatakan apalagi. Jika karena ini kau ingin menjauhiku aku rela.. setidaknya aku sudah mengatakannya padamu."

"Tidak Sehun! Ucapanmu tak akan merubah apapun. Dan soal Bang Yongguk. Kau salah paham. Aku tidak menyukainya dan dia juga tidak menyukaiku dalam arti yang kau maksudkan."

"Tentang ibuku aku berterima kasih dan maaf juga karena merepotkanmu. Kau tidak perlu meminta maaf seperti itu."

"Terima kasih… untuk semuanya." Luhan menitikan air mata. Kilas balik perjuangannya serta asam pahit 9 tahun lalu kembali terbaca. Dengan cepat dia hapus lagi air mata itu.

"Aku akan mentraktirmu. Ayo!" Luhan berbalik hendak pergi, tak ingin membuat suasana semakin mengharu biru karena Luhan tipikal orang keras yang tidak ingin terlihat lemah.

Sehun menahannya. Tangan Sehun mencekal pergelangan tangannya.

"Bisakah.. bisa kau membalasnya dengan cara yang lain?" Luhan mengerutkan keningnya.

"Aku tak butuh makanan…" Sehun menelan ludahnya gugup. "… Izinkan aku menciummu dan aku akan menghapus semuanya."

"Sehun…"

"Izinkan aku egois untuk kali ini saja Luhan. Untuk yang terakhir dan kita kembali pada jalan masing-masing. Berpura-puralah untuk tidak mengenalku ketika kita bertemu lagi nantinya. Jangan menyapaku. Berpura-pura saja tidak melihatku. Tapi untuk kali ini.. hanya.. izinkan aku menciummu..."

Luhan gelagapan. Tak enak hati menolak permintaan Sehun, bagaimanapun orang ini terlalu baik dan melakukan banyak hal untuknya. Tapi menuruti permintaannya sama dengan mengorbankan harga diri.

Apa kata orang jika dia dicium seorang lelaki?

Sehun melihat kerasayan di mata Luhan. Jika di masa lalu mungkin Sehun akan mengurungkan keinginannya tapi untuk kali ini Sehun ingin menjadi keras kepala dan egois.

"Sehun… a.. aku.."

"Untuk kali ini saja.. terakhir kalinya.. aku meminta padamu Luhan…" Sengaja Sehun buat suara memelas mungkin. Menatap sendu wajah Luhan yang memerah karena sempat menitikan air mata tadi.

Luhan mendongak, menatap langsung ke arah mata Sehun. Jelas tergambar kerasayan di mata Luhan tapi di mata Sehun hanya ada harapan..

Luhan tidak boleh mengecewakan orang itu. Tidak boleh. Dibanding dengan apa-apa yang telah Sehun berikan dan lakukan untuknya, sebuah ciuman tidaklah berarti hal besar.

Anggukan Luhan terlihat meski ragu. Beberapa detik setelahnya Sehun mendekat. Luhan merasa sesuatu di dalam dadanya bertalu kencang membuatnya tak kuasa menngangkat kepala untuk sekedar menatap mata pria dewasa di hadapannya.

Kemudian Sehun menciumnya. Di kening.

Bahkan dia menyingkirkan dengan lembut helaian-helaian rambut luhan yang terjatuh. Benar-benar membuat bibirnya dan kening Luhan bersinggungan..

Dentuman dentuman yang semula terasa menyiksa menjadi rasa hangat yang membuat Luhan luluh. Ada gejolak aneh di dalam dadanya. Perasaan asing yang tak pernah ia temui.

"Terima kasih.." Sehun mengucapkan kalimat itu setelah pandang mereka bertemu. Dengan senyuman di wajahnya. Senyum getir sarat keputusasaan.

"Ini pertemuan terakhir kita. Aku harap hidupmu akan semakin baik setelah ini Luhan."

"Jangan bilang ini yang terakhir. Kau tidak bisa memutuskannya seperti itu. aku masih berhutang padamu sehun."

"Tidak Luhan. Aku ingin semuanya selesai. Malam ini."

Selesai? Bukankah itu sama saja Sehun menyakiti dirinya sendiri?

"K.. Kenapa?"

Luhan melihat Sehun menunduk sesat, menarik nafasnya dalam sebelum mengangkat dagu kembali mempertemukan kedua pasang mata.

"Aku tak akan bisa melupakanmu jika masih melihatmu Luhan. Aku punya keluarga sekarang. Fokusku dan hatiku harusnya untuk mereka, jika kita tetap bertemu aku takut ini semua akan berantakan dan aku tak ingin istriku terluka."

Luhan terharu dibuat Sehun. Sehun benar-benar orang baik. Dia memprioritaskan keluarganya dibanding perasaannya sendiri. Luhan tidak tau apa yang harus ia lakukan di pertemuan terakhir mereka ini.

"Aku tak perlu pendapatmu karena apapun yang kau berikan tak akan merubah keadaan. Aku memiliki Luhan sekarang. Dan istriku. Meskipun kau adalah sosok yang aku cintai aku punya Luhan yang membutuhkanku."

Tepat setelah Sehun menyelesaikan kalimatnya, Luhan memeluk pria itu. memberikan sebuah ciuman lagi untuk yang terakhir.

Yang tadi hanya sebuah sentuhan di kening sekarang Luhan mengubah destinasi sentuhannya di bibir. Bibir tipis Sehun. Sentuhan yang berubah menjadi pagutan lembut. Seumur hidupnya Luhan tak pernah berciuman dengan seseorang seperti ini. Ini pertama kali dan dia tidak tau ternyata sensasinya semenarik ini.

"Seh.. hhnn.."

Luhan hendak memutuskan kontak tersebut, mencari celah untuk dia bisa bicara tapi Sehun lebih gesit dan kembali menindak bibirnya. Hanya karena sebuah ciuman, Luhan merasa Sehun jadi agresif.

Tapi, yang membuat Luhan tak kuasa untuk kembali menarik bibirnya adalah karena Sehun menangis. Ada air mata yang keluar walaupun mata pria itu terpejam.

Perasaan terhimpit membuat Luhan membeku. Dia tak mengerti apa yang terjadi pada tubuhnya.

Sehun memeluknya erat. Luhan bisa dengan sangat merasakan hembusan nafas sehun di ceruk lehernya.

Tak ada yang bisa luhan lakukan selain membalas pelukan itu dan menepuk punggung Sehun.

"Jadi.. Selamat tinggal Luhan."

Kenapa Luhan merasa kosong? Jelaskan ada apa dengan hatinya!

"Kita bisa bertemu sehun."

"Tidak.. Jangan buat aku meragukan keputusanku. Ini untuk keluargaku Luhan.. Terima kasih.."

Sehun pergi dengan senyuman tipis. Tak lama mobil Sehunpun menghilang dari pandangannya. Luhan masih berada di pinggiran sungai han. Mencoba menyelami apa yang terjadi di pinggir sungai ini beberapa waktu lalu.

Semuanya terlalu mengejutkan dan tak terencana. Baru saja.. dia bertemu dengan Sehun, Sehun menyatakan cinta, mereka berciuman dan kemudian menghilang..

"Aku berharap yang terbaik untukmu Sehun.. Terima kasih.. Sampai kapapun aku tak akan bisa melupakanmu."

Semilir angin malam itu membuat Luhan merasakan kedinginan. Kosong hampa.. ada yang terasa hilang..


Maafkan aku.. Aku menginap di rumah teman malam ini. Segeralah ajak Luhan tidur. Aku akan pulang besok pagi.

Itu adalah pesan yang Sehun kirimkan kepada istrinya. Ketika layar ponselnya yang berada di dashboard menyala, Sehun bahkan tak memiliki sedikitpun niat untuk tau balasannya.

Di parkirkan mobilnya di sebuah halaman rumah. Diketuknya pintu itu beberapa kali, menunggu.. Karena ini jelas sudah hampir tengah malam.

"Ahjumma.." Yoon Ahjumma muncul dengan baju santainya. Tampak wajahnya mengantuk. Tapi matanya yang memerah melebar tatkala tau yang datang adalah Sehun.

"Tuan Sehun.."

Ada apa dengan tuan mudanya ini? Apakah sedang ada masalah dengan istrinya?

"Aku bertemu Luhan.." mata Yoon Ahjumma membesar. Sudah lama sekali sejak nama itu terucap dari bibir sang tuan mudanya.

"... Tapi kali ini, aku melepasnya.."

Masih ia ingat hari-hari setelah Luhan pergi, Sehun tampak seperti manusia yang hidup tanpa gairah. Tak ada lagi acara menonton film setelah pulang kerja yang biasanya dilakukannya.

Sebagai seorang asisten rumah tangga Yoon Ahjumma jelas tau ia memiliki batasan batasan dimana kakinya tak boleh menyentuh beberapa hal. Tapi Sehun terasa seperti seorang putra baginya.

Ia yang melihat bagaimana Sehun kecil yang kala itu baru bisa berkata pa.. pa.. pa... sampai ketika ia diusir dari rumah dan bahkan menawarkan dirinya secara sukarela untuk mengikuti.

Ia tau benar bagaimana Sehun tumbuh. Nalurinya sebagai seorang ibu berusaha mendekati. Tapi Sehun tak membuka dirinya. Hingga 1 tahun kemudian setelah Luhan pergi, Sehun mendatangi rumah utama.

Dengan membawa segenap harga dirinya yang masih tersisa berlutut di hadapan sang ibu dan berkata,

"Aku ingin menikah.."

Sehun adalah nama yang selalu dielu-elukan ditiap pertemuan keluarga oleh kedua orang tuanya. Mengingat bagaimana Nyonya dan Tuan Oh membangga-banggakan anak bungsunya.

Sehun dan sederet prestasi akademik dan non-akademiknya di sekolah.

Namun itu rasanya hanya menjadi abu ketika insiden itu terjadi.

Sehun dicaci dan dianggap sampah di keluarganya sendiri.

Seujujurnya, ia tak pernah berpikir jika cinta itu rumit. Untuknya yang hidup dari desa dan berbekal pendidikan secukupnya, tak mempermasalahkan bahkan ketika orang tuanya memilihkannya pendamping hidup.

Ia tak pernah berpikir tentang apa itu salah dan apa itu benar dalam cinta. Yang ia tau adalah bagaimana seorang pria dan wanita bersama adalah sesuatu yang memanglah seharusnya.

Dan tak ada rumah untuk pria dan pria.

Sayangnya ketika realita ada di depan matanya, ia tak bisa mengatakan apapun. Lantas, kemana ia harus bertanya?

.

.

.

END

Nah, sesuai apa yang kemaren saya bilang, saya bakal update 3 hari kemudian, dan saya nepatin kan? Makasih buat semua yang udah baca dan ngerespon ff ini. Ini pertama dan seriusan saya beneran grogi. Jadi, terimakasih semuanya... :)