6

Selaksa Rasa Tentang Engkau

Author : Cho Minseo

Cast : Kim Doyoung – Jung Jaehyun

Other cast :

Kim Minseok (Doyoung's eomma)

Kim Jongdae (Doyoung's appa)

Jung Yunho (Jaehyun's appa)

Jung (Kim) Jaejong (Jaehyun's eomma)

Kim (Lee) Taeyong

Kim Gongmyung

Lainnya kalian temukan aja sendiri

Summary :

Bertahun-tahun melupakannya, kenapa dia harus muncul kembali? Membawa sebuah kenangan menyakitkan, mimpi buruknya. Doyoung benci kisah hidupnya. Tetapi siapa tahu kisah hidup yang Doyoung benci akan berubah karena kemunculannya kembali

Genre :

Hurt, Comfort, Romance, OOC banget (gak yakin ma genrenya)

Rate : T

Big thanks to :

Baebaekchoo, Park Rinhyun-Uchiha, dhantieee, Jaedo, Guest, mimi, jiraniatriana, onlyforNong, Guest, fa0107

HAPPY READING

Minseok menepati janjinya, sepanjang hari Doyoung tidak menemukan wajah lelaki brengsek dan anaknya –anak Doyoung juga– di sekitar rumah. Hal ini tentu saja membuat Doyoung merasa nyaman berkeliaran dan menjelajahi sudut-sudut rumah yang telah lama dia tinggalkan. Hanya saja, saat tiba waktu makan malam Doyoung sempat mendengar suara si kecil Hyoje menyanyi, itu pun dari balik jendela. Entah kenapa suaranya yang jernih dan lembut itu menggetarkan hati Doyoung.

Jujur saja, di antara ratusan malam yang telah Doyoung lewati sendirian di Jepang sana, terkadang dia memikirkan nasib bayi yang pernah berbagi hidup sembilan bulan dengannya. Bagaimana keadaannya? Sedang apa? Seperti apa rupanya? Bagaimana kehidupannya sekarang? Bahkan terkadang Doyoung tanpa sadar meraba perut datarnya saat melihat ibu-ibu hamil yang pernah dia temui di jalan.

Hanya jenis kelaminnya saja yang Doyoung ketahui. Bahkan parasnya pun tidak dia lihat dulu, setelah melahirkan, bayi itu sudah dibawa keluar dari ruang bersalin dan dia tidak pernah melihatnya lagi hingga sekarang.

Sembilan bulan berada di perut Doyoung, walaupun dia tidak menginginkan itu, bayi itu lah yang selalu bersamanya. Saat dia menangis, berteriak, mengumpat, marah-marah, bahkan menghujat kehendak Tuhan. Doyoung tidak menginginkan dia, Doyoung akui itu. Tetapi, ketika merasakan tendangan lembut di perutnya, sering Doyoung berpikir tentang warna biru atau pink yang akan mendominasi kamar Doyoung nantinya. Tentang boneka atau mobil-mobilan yang akan dimainkannya, ya, Doyoung masih mengingat saat-saat itu.

Apakah Doyoung membencinya? Dia tidak tahu. Hanya saja dia merasa hidup sungguh tidak adil dan semakin tidak adil semenjak kehadiran bayi kecil itu. Seandainya Hyoje tidak ada, mungkin Doyoung sudah menyelesaikan studynya di Victoria University, seandainya Hyoje tidak ada, sekarang ini mungkin dia sedang mengejar beasiswa Fullbright di Amerika, seandainya Hyoje tidak ada, mungkin orangtuanya tidak akan dipermalukan oleh keluarga Seo, dan seandainya Hyoje tidak ada, Doyoung dan Johnny akan menikah. Berjuta pengandaian dan kemungkinan terbayang di depannya.

Ada benarnya juga yang dibilang Taeyong, Hyoje tidak salah sama sekali dalam hal ini. Tetapi Doyoung juga tidak salah kan? Doyoung bahkan tidak mengerti apa-apa. Salahkan saja si brengsek itu. Sering dia bertanya-tanya, apa yang Tuhan rencanakan dengan jalan hidupnya hingga mengirim si brengsek itu padanya.

Namun, apakah Doyoung harus membuka diri pada Hyoje? Apakah dia harus mencoba mengenalnya? Benarkah yang Taeyong bilang padanya tadi kalau Hyoje sangat merindukannya?

Sebenarnya Doyoung lebih senang Hyoje tidak tahu sama sekali tentangnya. Tetapi dari yang dia lihat siang tadi, dia yakin kalau Hyoje mengenalnya. Dari mana coba? Bukankah dia tidak pernah bertemu dengannya? Hahh, kepalaku jadi pusing gara-gara memikirkannya.

Ditatapnya langit-langit kamar berwarna soft pink, seketika bayang-bayang masa lalu bermunculan. Menyisakan perih yang mendalam. Enam tahun lebih Doyoung meninggalkan kamar ini. Banyak kenangan pedih yang ingin dia hapus tentang kamar ini, walaupun begitu kamar ini tempat dia menghabiskan waktunya berbulan-bulan hanya untuk menangisi nasibnya. Kamar ini juga saksi betapa semua ide gilanya untuk mengakhiri hidup yang Doyoung rencanakan. Akan tetapi, di kamar ini juga tersimpan romansa manis masa remaja yang sedang jatuh cinta pada sahabatnya. Bisa gila aku kalau lama-lama di sini.

Akhirnya Doyoung memutuskan pergi ke kamar Taeyong yang ada di ujung lorong lantai dua. Lampunya masih terlihat menyala, masih ada kemungkinan kalau Taeyong belum tidur.

"Hyung, aku tidur denganmu, ya!" tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Doyoung menyelonong masuk ke kamar yang didominasi warna hijau. Segera dia bergelung di atas tempat tidur di samping Taeyong yang sedang membaca entah buku apa di pangkuannya.

"Kau malu-maluin, Young. Sudah tua juga masih mau tidur denganku. Tidak sadar apa, uban sudah pada berebut numbuh gitu." Tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya, Taeyong mencibir Doyoung. Dulu memang sering mereka berdua berbagi tempat tidur, sampai-sampai Minseok bilang kalau mereka itu kembar tidak jadi.

"Biar saja, terserah padaku. Lagian aku masih imut kok, masih lucu juga," dijulurkan lidahnya menanggapi cibiran Taeyong. Doyoung memposisikan dirinya tengkurap. Mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar Taeyong yang masih dia ingat setiap detailnya.

Taeyong adalah satu-satunya makhluk yang dia kenal tidak bisa membedakan baju bersih dan kain lap –berlebihan memang– kamarnya terlalu berantakkan dari kandang babi hingga sering membuat Minseok berteriak protes.

"Hyung memang sudah tidak sesering dulu tidur di kamar ini, Youngie. Dua minggu sekali hyung tidur di kamar ini." Taeyong masih menekuni bukunya.

"Eh, lalu kau tidur dimana, hyung?"

"Sebenarnya kemarin hyung membeli apartemen, walau cicilannya masih bulan depan lunasnya. Tetapi setidaknya hyung sudah belajar mandiri. Hyung tidak ingin membebani eomma dan appa setelah hyung menikah nantinya dengan tinggal di apartemen hyung sendiri." Senyum kecil menghiasi bibirnya.

"Hahaha, bisa mikir sejauh itu juga, hyung. Tetapi kenapa cuma dua minggu sekali, kenapa tidak setiap minggu saja, hyung? Kan kasian eomma dan appa sendirian di rumah, mereka pasti merasa kesepian."

Taeyong menutup buku tebal yang dibacanya, menatap Doyoung ragu, kemudian berbaring miring ke arahnya dan menatap mata Doyoung lekat.

"Hyung sibuk, Youngie. Selain itu karena Hyoje menginap disini cuma dua minggu sekali, weekend yang lain dia menginap di rumah Jung halmonie atau di rumahnya sendiri."

Hm tentang Hyoje lagi. Rasanya Taeyong memang bersikeras membawa Hyoje disetiap obrolan mereka, ya? Sengajakah?

Menyadari perubahan air muka Doyoung, Taeyong telentang dan mengalihkan tatapannya ke langit-langit kamar, "hyung tahu kau pasti merasa kesal. Hanya saja, sekali-kali kita bahas masalah ini dengan kepala dingin dan pikiran terbuka. Mau sampai kapan kau terus berlari menjauhi masalah ini, hm?"

Doyoung terdiam, niatnya tadi ke kamar Taeyong agar tidak teringat masalah itu, malah diajak ngobrol tentang hal itu.

"Hyoje punya segalanya, keluaga Jung dan keluarga Kim yang mencintainya, sepupu yang tampan, Ahjussi tampan, juga sosok ayah yang sangat menyayanginya. Satu yang dia tidak punya, ibunya yang menghilang."

Taeyong memejamkan mata dan tersenyum getir. Dahinya berkerut dalam, "Jaehyun hyung berusaha menyempurnakan apapun untuk Hyoje. Pendidikan yang terbaik, fasilitas nomor satu, keamanan dan kenyamanan, serta keluarga yang lengkap. Dia tidak merasa lelah mengenalkan Hyoje pada kami. Eomma, appa dan aku serta keluarga Gongmyung hyung, sejak Hyoje mengenal dunia ini. Dia rela menempuh perjalanan jauh demi membawa Hyoje ke sini tiap dua minggu. Memberikannya pada eomma-appa dan menunggu di mobilnya sampai sore karena kami tetap tidak suka dia masuk rumah.

"Hingga pada akhirnya secara bertahap kami bisa menerima dia, si brengsek arogan yang narsisnya selangit. Walaupun dia tidak pernah meminta penerimaan itu pada kami.

"Dia ingin Hyoje tumbuh normal, senormal anak yang lain. Dia tidak ingin saat Hyoje besar nanti merasa minder atau menyalahkan dirinya sendiri. Dia mengenalkannya pada silsilah keluarga, dari mana dia berasal. Tentu saja Hyoje sering bertanya kemana mommy-nya dan Jae hyung akan selalu bilang bahwa mommynya sedang sekolah di tempat yang jauh sekali. Dan tidak bisa sering-sering pulang. Dia sebenarnya juga bingung waktu aku bertanya bagaimana kalau Hyoje beranjak dewasa dan ingin bertemu denganmu, dia menjawab itu urusan nanti." Taeyong tersenyum pahit pada Doyoung.

"Sampai akhirnya Hyoje menyadari tentang fotomu di rumah ini dan dia tahu kalau hanya kau satu-satunya orang yang tidak pernah dia lihat dan dikenalkan oleh daddynya padanya. Akhirnya dia bertanya apa itu foto mommynya. Dan Jae hyung yang memang tidak bisa bohong pada jiejie cuma mengiyakan tanpa berniat memberi penjelasan lebih jauh."

Tiba-tiba Taeyong mengembuskan napasnya pelan, bergetar, matanya berkaca-kaca.

"Sejak itu dia selalu menglihat fotomu, Young. Bahkan di ulang tahunnya yang kelima dia minta rambutnya dibuat poni, mirip ponimu waktu kau Junior High School. Eomma dan appa nangis waktu itu karena dengan polosnya dia bilang dia mau seperti mommynya biar mereka terutama daddynya tidak terlalu rindu sama mommynya. Karena dia bilang dia merindukan mommynya."

Doyoung terdiam, tiba-tiba matanya terasa panas. Namun, dia bertekad tidak akan meneteskan setitik air mata pun dari sana. Sudah cukup, ini terlalu banyak.

"Seminggu setelah itu, dia demam, kelelahan kata dokter. Sewaktu aku datang menjenguk di rumahnya, dia sedang tertidur sambil menyembunyikan fotomu dibalik selimutnya. Dia mengigau manggil-manggil mommynya. Jaehyun hyung nangis waktu itu. Dia sedih karena satu-satunya yang tidak bisa dia kasih, itulah yang diinginkan Hyoje."

Taeyong berhenti cerita, Doyoung melihat ada setitik air di sudut matanya. Taeyong nangis?

Jeda panjang tercipta ketika mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Hyoje…

"Kau masih membencinya?" Satu pertanyaan yang Doyoung lontarkan membuat Taeyong menoleh padanya.

"Hyung sudah bilang, Young. Hyung mencoba berdamai dengan keadaan." Taeyong kembali mengembuskan napasnya. Tampak sangat lelah.

"Dulu setelah Hyoje lahir, sebenarnya eomma ingin mengurus dia sendiri. Tetapi kami semua terlalu sibuk mengurus kepindahanmu ke Jepang. Dan melalui semua keadaan sampai akhirnya kau bisa dibilang normal untuk kembali menjalani hidup. Akhirnya Jaehyun hyung yang mengurus Hyoje. Sendirian saja, karena orang tuanya juga terlalu stress dengan keadaan waktu itu menyebabkan Tuan Jung sempat menderita stroke ringan."

Doyoung terhenyak, satu fakta yang tidak pernah dia ketahui.

"Ya, dia diacuhkan keluarganya. Hyung tidak tahu apa karena hal itu, atau karena setan sudah bosan menempel di otaknya dia merubah sikapnya, sangat drastis." Taeyong tersenyum sendu.

"Hyung salut, dulu dia benar-benar sabar mengurus Hyoje. Dia sendiri yang membawa Hyoje ke dokter untuk imunisasi, juga belanja baju dan keperluan Hyoje sendiri. Pertama kali eomma memperbolehkan dia menginap di sini, hyung kaget saat pagi-pagi melihat dia ketiduran di sofa sambil memangku Hyoje. Katanya Hyoje tidak bisa tidur di tempat asing, jadinya rewel. Terpaksalah bayi itu dia ayun-ayun kesana kemari semalaman."

"Mungkin penebusan dosa, mungkin juga penyesalan atau perasaan bersalah yang berlebih membuat dia seperti itu. Yang pasti dia bukan lagi Jaehyun yang hyung kenal dulu."

Tiba-tiba Taeyong membalikkan badannya menghadap Doyoung, menatapnya lekat, "Youngie, hyung tidak memaksamu untuk memaafkannya, itu semua hakmu. Hyung cuma ingin kau mengerti alasan kita semua menerima dia. Hyung bisa lihat kalau kau tidak terima dengan sikap kami ke dia. Tetapi ada satu yang hyung pinta darimu, Youngie, adek hyung yang paling manis, tolong terima keberadaan Hyoje. Bagaimanapun, dia tetap anakmu." Taeyong mengelus kepala Doyoung pelan.

Doyoung hanya bisa diam menerima penjelasan yang masuk bertubi-tubi. Rasanya otak Doyoung berontak tidak ingin menerima. Semua ini terlalu banyak. Bukan ini yang dia harapkan dari kepulangannya. Bukan ini yang dia harapkan untuk menyambutnya kembali.

Masih terdiam, mencoba mencerna semuanya pelan-pelan. Memprosesnya dalam kepalanya dan menyaring dalam otaknya yang tidak seberapa besar itu.

"Ke bawah yuk, kita bikin cokelat panas. Hyung rindu meminumnya dengan mu." Tiba-tiba saja Taeyong menarik tangannya dari ranjang, menghentikan semua hal yang sedang berperang dalam benaknya.

Mereka sedang menyesap secangkir cokelat panas dalam diam ditemani setoples kecil chocho chips cookies di meja dapur, benar-benar seperti mengenang masa lalu. Dulu mereka memang sering bangun tengah malam membuat keributan di dapur demi secangkir cokelat panas yang akan membuat Minseok mengomel di pagi hari karena meja yang tidak pernah mereka bereskan dari bekas-bekas cokelat bubuk dan susu. Kebiasaan yang akan selalu berulang dan mereka pun tidak akan jera walaupun Minseok telah menghukum mereka berdua.

Ternyata waktu enam tahun telah mengubah banyak hal. Doyoung benar-benar merindukan saat-saat seperti ini. Tiba-tiba Doyoung menyadari bahwa selama hampir tujuh tahun ini tidak ada pun yang dia ketahui tentang keluarganya. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sehingga tak acuh dengan keadaan sekitar.

"Omong-omong, hyung sudah selesaikan dengan kuliah hyung? Kerja dimana sekarang?" Doyoung bertanya sambil menghirup aroma cokelat yang menenangkan.

"Astagaa, Youngie. Hyung sudah lama lulus kenapa baru sekarang tanyanya. Hyung sudah kerja menjadi asisten engineer." Kemudian Taeyoung menyebutkan sebuah perusahaan yang Doyoung ketahui berkantor pusat di Seoul.

"Keren dong, pantas saja hyung bisa nyicil apartemen segala. Tetapi apa gaji asisten engineer cukup buat beli apartemen?" Doyoung mencibir ke arahnya.

"Kan hyung ada bisnis sampingan lainnya, hitung-hitung belajar bisnis. Hyung ingin mandiri, masa iya jadi karyawan selamanya."

Doyoung hendak membuka mulut untuk menanyakan tentang perkerjaan Taeyong lebih lanjut ketika ada sosok yang amat dia benci berdiri kaku di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan membuat Doyoung bungkam seketika. Dia tampak ragu dan berniat untuk berbalik tetapi terhenti karena Taeyong memanggilnya.

"Ingin membuat susu buat Hyoje, Jae hyung?"

"A-ah ituu iya, mmm sepertinya nanti saja." Suaranya gugup, sedikit bergetar.

"Tidak apa-apa, hyung, sekarang saja. Kasihan Hyoje nanti kalau tidak bisa tidur karena belum meminum susunya." Taeyong berkata sambil melontarkan tatapan –tidak usah protes– pada Doyoung.

Dengan langkah ragu dia berjalan melewati mereka menuju kitchen set di mana ada deretan toples aneka warna berjejeran rapi. Rupanya ada susu Hyoje di situ. Dan Doyoung hanya melototi cangkirnya yang hampir kosong ketika Taeyong dengan santainya mengajak si brengsek itu berbicara.

"Dengar-dengar Sean group ingin mengambil alih kantorku, hyung sudah tahu kabar itu?"

Sial Tae hyung, kenapa dia mengajak ngobrol si sialan itu segala? Kalau begini membuatku mendengar suaranya lebih lama.

"Sebenarnya itu sudah lama, Tae. Perusahaanmu itu sudah tidak sehat sejak lama. Pemiliknya sudah mencoba banyak cara menyelamatkan tempatnya. Tetapi tidak ada yang percaya dengan managemen lama. Gosipnya mere-"

"Daddy…"

Semua mata beralih ke asal suara bening itu. Semuanya diam, bahkan si setan mesum yang sedang bicara tadipun diam. Dan disana Doyoung lihat sesosok kecil memakai piyama bergambar angry bird menatapnya malu-malu. Takut, rindu, kecewa? Ah, entahlah apa yang kau pikirkan, Hyoje. Mata polosnya tidak lepas dari Doyoung barang sebentar.

"Hai baby, kenapa menyusul, hm? Daddy terlalu lama ya? Maaf ya, ayo kita kembali ke kamar."

Doyoung lihat dia menggendong Hyoje pada tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang susu yang tadi dibuatnya. Gerakannya tampak luwes, seolah dia telah terbiasa. Tiba-tiba Hyoje berbalik menatap Doyoung dan melambaikan tangannya ringan.

Terkejut, itulah yang Doyoung rasakan. Untuk apa dia melambaikan tangannya padaku. Bagai robot, tanpa sadar Doyoung angkat tangan kanannya dan membalar lambaian tangannya. Segera saja senyum manis terukir dibibirnya. Satu yang baru saja Doyoung sadari, dia memiliki senyum yang sama persis dengannya.

JAEHYUN'S SIDE

Jaehyun merasa badannya remuk semua, tiap sendi-sendinya seperti menjerit memprotesnya untuk segera diistirahatkan. Dia baru saja tiba tengah malam tadi karena ada urusan mendadak yang harus diselesaikann di Jeju. Jaehyun tidak membawa puterinya kali ini karena masih hari sekolah dan juga karena ini terlalu mendadak.

Sengaja Jaehyun menitipkan puterinya di rumah Minseok karena memang minggu ini jatah mereka berlibur di rumah Minseok. Dan di sinilah Jaehyun, berada di halaman belakang keluarga Kim. Memperhatikan bidadari kecilnya yang sedang berlari, melompat dan bernyanyi menyedot seluruh perhatian semua orang yang berada di sini. Melihat dia yang tertawa lepas, seluruh penat di tubuh Jaehyun rasanya menguap entah kemana.

Enam tahun sudah usianya, rasanya baru kemarin Jaehyun menggendongnya setelah perawat membawanya keluar dari ruang bersalin. Terasa baru kemarin Jaehyun mengganti popoknya, menemui dokter untuk janji imunisasi. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dia sudah menjadi gadis kecil yang sangat cantik, mengingatkannya kalau umurnya juga bertambah menua.

Jaehyun bersyukur, sangat sangat bersyukur. Untuk semua yang telah dia dapatkan sejauh ini, yang telah Tuhan anugerahkan untuknya. Walaupun semua yang dia rasakan sekarang harus melalui proses panjang yang terlalu banyak rasa sakit yang harus dia rasakan, tetapi semua itu sepadan dengan adanya Hyoje, pelipur duka lara bagi mereka semua.

"Daad, Hyoje mempunyai tebaakan." Suara melengking puterinya menarik Jaehyun dari berjuta lamunannya. Mata bulatnya menatap Jaehyun cerah, senyum lebarnya mengingatkan Jaehyun pada sosok cantik yang hanya akan berani dia kenang. Si namja manis.

"Kenapaa domba badannya bau?" Dia mengerutkan bibirnya mengejek Jaehyun yang sedang berpikir keras.

"Domba dari dulu memang sudah bau, kan? Terkadang sudah dimasakpun masih ada bau khasnya, right?"

"Salaah, kalian semua nyerah? Nyerah yaa?" Hyoje berkacak pinggang melihat mereka yang kebingungan dengan pertanyaan yang dia ajukan.

"Domba bau karena mempunyai empat ketiak. Uncle Tae yang mempunyai dua ketiak saja bau apalagi domba."

Dan meledaklah tawa mereka berempat melihat Hyoje yang menutup hidungnya dramatis sambil menunjuk ke arah Taeyong.

"Enak saja mengejek uncle bau. Awas ya, tidak akan uncle ajak jalan-jalan lagi." Taeyong menangkap puteri kecil Jaehyun yang hendak berlari padanya untuk meminta perlindungan.

Mereka semua hanya tertawa melihat Hyoje yang berteriak-teriak karena Taeyong tanpa ampun menggelitikinya.

"Hahahaa ihh hahaha uncle jeleek ampun, lepasin… Daddy," Hyoje berteriak kencang, namun Taeyong masih menguncinya dalam pelukan.

"Awas ya, kalau Jie-ya mengulangi lagi, uncle tidak akan mengajak Jie-ya ke rumah Mark oppa."

"Terserah uncle, Jie mau bilang ke meonnie kalau uncle punya pacar banyak," memeletkan lidahnya, Hyoje mengejek Taeyong.

"Astaga Taeyong, jangan aneh-aneh kalau mengobrol sama Jie-ya. Dia masih kecil untuk mengerti tentang pacar-pacaran." Minseok menegur Taeyong yang masih memeluk Hyoje.

Jaehyun hanya bisa tertawa pelan melihat tingkah mereka. Taeyong dan Hyoje memang selalu seperti itu, saling mengejek tanpa satupun yang mengalah. Minseok pernah bercerita kalau tingkah mereka sama seperti Taeyong dan dia sewaktu kecil.

"Sepertinya ada tamu yang berkunjung, eomma akan pergi melihatnya." Minseok bangkit dari duduknya dan masuk rumah.

Jaehyun sedang membalas email yang masuk di ponselnya ketika Hyoje berteriak minta turun dari pangkuan Taeyong dan menanyakan neneknya yang tak kunjung kembali.

"Kau susul saja, sayang. Halmonie sedang menemani tamunya, mungkin." Meletakkan cangkir tehnya, Jongdae menarik tangan Taeyong untuk mengajaknya bermain catur.

"Appa selalu saja yang aku yang diajak main, sekali-kali ajak Jae hyung main dong." Taeyong kesal.

"Main catur dengan Jaehyun tidak seru, dia terlalu banyak mengalah. Tidak ada perlawanan sengit." Jongdae mendengus kesal.

Jaehyun tertawa. Dia hanya merasa tidak enak menang terus melawan Jongdae. Hal itu juga menyelamatkannya dari keharusan bermain catur dengan Jongdae. Karena kalau sudah senang dengan permainan caturnya, Jongdae kadang tidak tahu waktu.

Si kecil cantik sekaligus manis memilih menuruti kata kakeknya untuk menyusul nenek ke dalam rumah, sekaligus melihat tamu neneknya, "Meonnie, siapa tamunya? Kenapa halmonie lama?"

Mungkin tamu Minseok penting, Jaehyun merasa harus mengajak Hyoje tidur siang atau main di kamar agar tidak mengganggu Minseok.

"Hyoje," langkah Jaehyun terhenti, dia membeku, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia ada di sana. Si namja kecilnya. Jaehyun rasa dunianya seolah berhenti berputar. Dia ada di sini?

Tarikan lembut Hyoje pada lengannya membawa kesadaran Jaehyun. Matanya penuh dengan kebingungan. Jaehyun membungkuk, mendekatkan kepalanya ke wajah mungil puterinya. Tangan yang memegang lengannya terasa dingin, pasti dia sangat gugup, Jaehyun mengetahui itu.

"Mommy?" Tanyanya tanpa suara.

Ya Tuhan, apa yang harus Jaehyun katakan pada malaikat kecilnya? Melihat mata bening yang menatapnya penuh pengharapkan seolah Jaehyun bisa menangkap debar jantungnya yang memburu. Apakah ku harus berbohong padanya? Tetapi…

Jaehyun tahu bahwa itu tidak mungkin, puterinya sudah banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari detail foto orang yang dia sebut mommy. Entah sudah berapa kali dia bertanya tentang mommynya. Menggambar tentang mommy, daddy, dan dirinya sendiri. Tetapi Jaehyun takut melanggar janjinya pada Doyoung jika dirinya mengatakan yang sebenarnya.

Akhirnya Jaehyun menggangukkan kepalanya lemah, pasrah terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Seketika itu dia melihat dua mata bening itu berkaca-kaca kemudian membawa dirinya memeluk Jaehyun erat, terisak di lehernya. Puteriku, aku tahu bagaimana perasaanmu.

Segera dia bawa puterinya ke kamar yang mereka tempati, mengantipasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Jaehyun tahu ini pasti akan sangat mengejutkan Doyoung. Dia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk mengingat tidak stabilnya emosi Doyoung.

Benar saja, tidak lama kemudian dia mendengar suara gaduh dari lantai dua, tepatnya di kamar Doyoung. Suara barang yang pecah, teriakkan dan umpatan-umpatan kasar. Jaehyun tidak ingin anaknya mendengar semua itu. Segera Jaehyun berlutut di depan Hyoje yang duduk di atas ranjang yang mereka tempati. Jaehyun harus menghindarkannya dari semua ini.

"Hyoje-ya, daddy masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan daddy meninggalkannya di rumah. Malam ini kita pulang ya, tidur di rumah."

Dapat Jaehyun lihat sinar matanya meredup, suram. Kepalanya menunduk, kesedihan tercetak jelas di wajah mungilnya.

"Tetapi ini masih hari Sabtu, dad. Biasanya kan kita pulang hari Minggu sore, masih ada satu malam lagi kita menginap di sini. Jie tidak ingin pulang sekarang." Kemudian sebutir air mata jatuh di pipi chubbynya.

Ya Tuhan, haruskah semua ini engkau persulit? "Iya, daddy tahu. Tetapi sekarang ini pekerjaan daddy benar-benar banyak, baby. Bagaimana kalau nanti setelah pekerjaan daddy sudah selesai, daddy mengajak Jie-ya jalan-jalan ke kebun binatang?"

Hyoje masih menggeleng, tetapi Jaehyun sudah membulatkan tekad. Dia membereskan semua barang-barang bawaan mereka dan menuntun Hyoje keluar kamar.

Taeyong duduk di anak tangga sedangkan Jongdae mengetuk-ketukkan sandal di kakinya di lantai. Wajah mereka terlihat tegang.

"Mau pergi kemana Jae?" Jongdae tampak kaget melihatnya yang menentang tas.

"Kami akan pulang sekarang, appa." Mereka pasti mengerti, situasi sekarang sangat menyulitkan semuanya. Tetapi Jaehyun melihat ketidaksetujuan dari tatapan Taeyong. Hyoje yang tidak ingin pulang, melepaskan genggaman tangan Jaehyun kemudian duduk di sudut kaki tangga.

Hah.. Jaehyun mengela nafasnya, seharusnya dia tahu tidak semudah itu membujuk malaikat kecilnya. Dia takkan menyerah kalah sebelum seluruh kekuatannya habis–dia memang mewarisi bakat keras kepala yang cukup besar dari dua orang yang sangat keras kepala.

Setengah jam itu mereka bertiga berusaha keras membujuk Hyoje–lebih tepatnya Jaehyun membujuk pulang sedangkan Taeyong dan Jongdae membujuknya untuk tetap tinggal–tetapi Jaehyun tidak ingin keadaan semakin runyam. Dia harus menghindarkan mereka semua dari kondisi tidak mengenakkan ini. Dan Jaehyun yang harus mengalah, kan? Karena ini memang bukan rumahnya.

"Jangan pergi dulu, Minseok sedang membujuk Doyoung di atas." Jongdae kembali menyakinkannya.

"Tidak, appa. Sekarang belum saatnya ini semua terjadi. Aku tidak ingin Doyoung syok. Sebaiknya kami segera pulang." Walaupun Jaehyun sendiri tidak yakin ketika melihat Hyoje menangis dalam diam.

Kemudian Taeyong naik ke atas, entah apa yang dia lakukannya sehingga Minseok turun dan membujuk Hyoje, menenangkan tangisannya.

Tetapi Hyoje tetaplah Hyoje yang keras kepala, bahkan dia tidak ingin mengangkat wajahnya yang disembunyikan di kedua lututnya yang ditekuk. Dan Jaehyun hampir kehilangan akal ketika kemudian puteri kecilnya menatap muka Minseok. Mata beningnya terluka. Seketika hati Jaehyun hancur begitu bibir mungil itu melempar pertanyaan yang tidak pernah dia duga.

"Kenapa Jie-ya harus pulang, meonnie? Apa salah Jie? Apa mommy tidak ingin bertemu Jie-ya, meonnie? Apa mommy benci dengan Jie? Kenapa meonnie?"

Minseok tergagap, berusaha menyembunyikan air mata yang gagal dicegahnya turun, kemudian membawa sang cucu ke dalam dekapannya. Jaehyun terduduk, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Suaranya yang sarat akan kesakitan menyayat hatinya tajam. Puteri kecilku, maafkan daddy, sayang.

Jaehyun tidak tahu apa yang kemudian diusahakan Minseok, Jongdae dan Taeyong. Tetapi pada akhirnya dia dan anaknya menginap kembali malam itu, dengan satu syarat dari Minseok bahwa dia dan Hyoje tidak boleh menampakkan diri sama sekali di hadapan Doyoung.

Jaehyun meringis menahan perih. Tidak apa, eomma, selama malaikat kecilku tidak menangis lagi.

ooOOoo

Bayangan Doyoung yang Jaehyun lihat siang tadi tetap menari di depan matanya. Dia sudah sangat berubah, berbeda jauh dari yang terakhir Jaehyun lihat tujuh tahun lalu. Tentu saja dia masih cantik, semakin cantik namun dia lebih tinggi bahkan tinggi mereka hampir sejajar ya walau masih tinggi Jaehyun. Pipinya tidak lagi chubby seperti saat remaja dulu dan sorot matanya, itu yang membuat Jaehyun tersiksa. Hanya sekali lihat, Jaehyun bisa merasakan jika Doyoung menyimpan dendam, dendam yang sangat dalam. Dan Jaehyun sangat menyadari kepada siapa dendam itu ditujukan.

Tahukah kau, Doie, aku sangat merindukanmu.

Memejamkan mata, Jaehyun mencoba untuk tidur, juga untuk menghapus semua yang serasa berputar di depan matanya bagai kilasan flashback sebuah film dokumenter. Namun gagal. Rupanya dosa ini terlalu besar untuk membuat Jaehyun mendapat pengampunan.

Jaehyun melirik jam di atas meja, 01.15 ketika dia lihat puterinya terbangun dan meminta segelas susu. Kebiasaannya dari kecil kalau terbangun di tengah malam. Jaehyun pun bergegas ke dapur untuk memenuhi permintaannya. Kebetulan dia juga sangat haus, dan air yang di teko sudah habis dia minum tadi.

Langkahnya terhenti di pintu ruang makan. Ada dia di sana.

Jaehyun lihat dia dan Juna sedang memegang cangkir dan mengobrol bersama. Jaehyun merindukan senyum itu, raut wajah bahagia itu. Aku merindukanmu. Tapi kemudian dia terdiam, menyadari kehadiran Jaehyun, bisa Jaehyun lihat tubuhnya menegang. Oh bumi, telan saja aku karena telah menghilangkan senyum manis dari wajahnya, karena telah menghilangkan sinar bahagia dari hidupnya.

Tetapi Taeyong selalu menjadi penyelamatnya.

"Ingin membuat susu untuk Jie -ya , hyung?"

"A-ah ituu iya, mmm sepertinya nanti saja." Jaehyun panik, terjebak dalam situasi tidak nyaman.

"Tidak apa-apa, hyung, sekarang saja. Kasihan Hyoje nanti kalau tidak bisa tidur karena belum meminum susunya."

Sepertinya Jaehyun tidak punya pilihan selain mengiyakan apa kata Taeyong. Dan dasar Taeyong, dia berusaha menghilangkan kekakuan di antara mereka dengan menyanyakan tentang akuisisi Sean group pada kantor tempatnya bekerja–pertanyaan yang sudah mereka bahas panjang lebar pagi tadi–bagaimanapun, terima kasih Tae.

Suara Hyoje memutuskan obrolan terpaksa mereka berdua, juga menempatkan Jaehyun untuk segera pergi dari dapur. Satu hal yang dia tahu setelah itu, senyum bahagia Hyoje yang tidak Jaehyun mengerti. Ada apa sayang?

TBC