Papillon

.

Main Cast(s)

Oh Sehun, Luhan

Category

BL

Warning
Mungkin ada beberapa tokoh yang aku sandingin sama Sehun tapi tenang aja, ini fanfiction Hunhan. Dan endingnya pasti HunHan. Tokoh lagi untuk pelengkap saja.

.

.

"Sehun tidak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal. Sehun tidak pernah mau beranjak dari masa lalu. Masa lalu, baginya, hanyalah masa depan yang pergi sementara."

.

Chapter 2

.

Sehun's POV

Hidup selalu punya tetapi.

Hujan memang indah, tetapi matahari memiliki keindahannya sendiri. Hujan betul-betul menggairahkan, tetapi matahari lebih menantang. Hujan berlalu. Keadaan penuh kasih itu berlalu, tetapi aku harus tetap tumbuh. Seperti sebatang pohon yang tumbuh jauh dari sumber air aku susah payah melewati hari-hari musim panas. Tetapi, dalam hidup ini, bukankah kebahagiaan harus selalu butuh menguji dirinya?

Ada banyak kegiatan dan pekerjaan yang harus kuselesaikan pada saat-saat musim mengeluh itu tiba. Aku harus menyunting beberapa buku yang cukup tebal. Mengurus workshop penulisan. Menyelesaikan penerbitan beberapa buku. Melakukan promosi COMMA's Cafè. Mencari uang untuk mengembalikan saham Luhan. Menghadiri beberapa kegiatan seni. Dan, tentu saja, menuliskan berjudul-judul puisi sedih. Puisi-puisi sedih yang membuat banyak orang tertawa. Derita seseorang adalah penghiburan bagi orang lain. Kesedihan seseorang adalah lelucon bagi orang lain. Ketika melewati kesibukan-kesibukan musim panas, aku bertemu dan mengenal beberapa orang yang sempat singgah di hatiku. Sebagian besar cantik dan penuh resiko.

Aku heran, kenapa mataku masih bisa menemukan orang lain ketika kenangan menjadi debu tebal menutup jarak pandangnya. Mungkin memang begitu, kenangan adalah debu-debu yang jika kita rajin, justru bisa membuat kaca jendela bersih setiap hari. Pandangan menjadi lebih tajam.

"Kenangan itu jika kau amati lebih jeli, tidak lebih dari kertas-kertas putih baru yang bisa kau pakai menulis. Namun, jika kau gegabah memperlakukannya, sisi-sisinya yang tajam akan mengiris jari-jarimu," kata Jongin.

"Sehun yang kukenal adalah Sehun yang gampang bersedih dan gampang jatuh cinta," katanya lagi.

Kadang-kadang, aku berpikir bahwa Jongin adalah satu-satunya orang yang kukenal yang selalu hadir ketika aku membutuhkannya—meskipun dengan cara berpikirnya sendiri, ia selalu melontarkan pandangan yang menyakitkan tentang aku.

.

Di pementasan teater, pada suatu hari aku bertemu Baixian. Ia laki-laki pertama yang cukup menggetarkan hatiku setelah Luhan pergi. Baixian datang sendiri ingin menonton. Aku datang sendiri ingin menonton. Kami sama-sama telat tiba di gedung pertunjukan yang pintunya sudah ditutup oleh panitia. Pementasan sudah berlangsung separuh jalan. Ia menyapaku. Ia mengatakan pernah bertemu denganku pada suatu waktu. Barangkali di suatu kegiatan yang aku dan ia tidak ingat. Rambutnya indah, seperti rambut boneka berwarna cokelat muda terang. Ia membawa tas berisi buku-buku dan berbungkus-bungkus rokok, juga korek kayu ke mana-mana.

"Aroma korek kayu sesaat setelah apinya mati selalu membuatku bahagia," katanya.

"Kau lelaki yang beruntung sekali. Kebahagiaan bisa kau temukan semudah memadamkan korek api," kataku.

"Bukankah memang harusnya seperti itu?" Baixian menanggapi.

"Kau pernah patah hati?" tanyaku.

"Tentu saja. Aku patah hati hampir setiap hari."

"Segala sesuatu terdengar begitu mudah bagimu."

"Tampaknya, aku sedang berbicara dengan seseorang yang sedang patah hati," katanya sambil menyalakan beberapa batang korek api sekaligus.

"Aku sedang ingin jatuh cinta lagi, lebih tepatnya." kataku.

Dia tertawa sambil memadamkan korek api yang baru ia nyalakan. "Kau boleh jatuh cinta kepadaku, jika kau mau. Jangan suka menambah rumit hidupmu," kata Baixian. Sore itu, kami menikmati senja. Baixian mengenggam Norwegian Wood. Sepertinya ia baru saja membaca beberapa halaman novel Haruki Murakami, pengarang yang karya-karyanya seolah digemari oleh separuh manusia di bumi. Kami berdua berbicara dan tertawa seperti sepasang teman lama yang saling merindukan.

Kami berjalan memasuki sebuah kafe di dekat dermaga kecil yang tidak jauh dari tempat pertunjukan itu. Kami berdua sama-sama memesan segelas kopi hitam. Aku suka orang yang suka kopi. Luhan juga suka kopi. Kopi adalah puisi cinta yang bisa diminum. Begitu yang sering Luhan katakan ketika ada yang bertanya mengenai kesukannya akan kopi.

Kami menghabiskan berbungkus-bungkus rokok sambil bercerita tentang judul-judul buku yang pernah kita baca. Juga berlembar-lembar kenangan masing-masing. Aku selalu mengamati bibir Baixian setiap kali ia meneguk kopinya, dan entah kenapa aku merasa setiap menit bibirnya berubah menjadi semakin mirip dengan bibir Luhan.

"Siapa yang kau temukan di wajahku?" Baixian seperti mampu membaca pikiranku. "It's okay, Sehun-ah. Beberapa lelaki yang kukenal sebelum kau pernah melihat mantan kekasihnya di wajahku," katanya sambil sekali lagi menyalakan korek api.

"Bibirmu mengingatkanku kepada bibir seseorang. Aku tidak bilang sama tapi terlihat mirip," kataku jujur.

"Mantan kekasihmu?"

Aku mengangguk, lalu menatap matanya.

"Bentuknya mungkin mirip. Rasanya tentu saja berbeda," katanya, lalu tertawa dengan sangat ringan.

"Biar kutebak. Mantan kekasihmu bukan perokok. Bibirnya pasti lebih hambar," katanya lagi.

"Tapi," kataku, "ia juga suka minum kopi."

Aku dan Baixian memutuskan tidak menonton teater lagi. Kami melanjutkan percakapan hingga larut malam. Ia membawa perpustakaan di dadanya. Ia senang memintaku memilih buku apa saja yang mau kubaca. Ia menceritakan kisah hidupnya.

Aku juga membawa perpustakaan di dadaku. Ia mendengar kisah-kisah malang yang kuceritakan. Kami mendengar kisah-kisah malang yang kuceritakan. Kami tidak berhenti menertawai kenangan kami masing-masing—hingga kami harus pulang, lalu berjanji bertemu lagi besoknya. Baixian mengecup pipiku ketika taksi berhenti di depan rumahnya. Kecupan pertama yang menyentuh pipiku setelah Luhan pergi.

Begitulah. Aku sering bertemu Baixian. Kami senang bertemu dan bercerita tentang banyak hal dari satu kafe ke kafe lain. Baixian masih mencintai Chanyeol—mantan kekasihnya. Aku juga belum bisa lepas dari penjara kenangan atas Luhan. Di Pantai Gwangalli, di salah satu sudut kafe, pada suatu malam, aku dan Baixian ragu memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.

"Sebut saja ini pacaran," kata Baixian.

Ada satu aturan sederhana jika Baixian dan aku ingin saling bertemu. Siapapun yang ingin bertemu harus saling menghubungi lewat telepon atau pesan pendek dua hari sebelumnya. Jika ia merasa sedih atau butuh teman bicara, ia meneleponku. Jika aku sedih dan butuh teman bicara, aku meneleponnya. Kami sering membicarakan perihal-perihal sederhana. Rindu. Kenangan. Malam dan pagi. Bunga. Rokok. Nama-nama jalan dan nama-nama toko. Buku-buku tertentu. Apa saja.

Baixian adalah teman bicara yang menyenangkan. Ia menurut jika suatu kali aku datang mengatakan hanya ingin berbicara dan diidengarkan. Aku juga tidak menolak jika suatu kali ia datang mengatakan hal serupa.

Tetapi, Baixian masih mencintai mantan kekasihnya.

Mantan kekasih persis seperti utang, kita tidak pernah betul-bertul melupakannya. Kita hanya pura-pura melupakannya. Akhirnya suatu hari kami mulai tidak berbicara dengan satu sama lain. Masing-masing pergi dan mencari jalan hidup sendiri. Aku tetap dengan segala kenanganku tentang Luhan dan Baixian dengan mantan kekasihnya. Kami sama-sama berhenti untuk saling bertemu, dan begitulah akhir kisahku dengannya. Tapi, jujur saja aku tidak pernah menyesal mengenal Baixian dalam hidupku.

.

Setelah itu, aku bertemu Kyungsoo. Ia lelaki sederhana yang menyukai warna hitam. Aku melihatnya di sebuah pameran buku yang diadakan di kampusnya. COMMA's Cafè berpartisipasi di pameran itu. Kyungsoo menjadi panitia yang mengurusi konsumsi peserta. Ia mengenakan sweater berwarna kesukaannya waktu itu. Sepasang matanya bulat lebar seperti mata burung hantu. Indah. Berbeda sekali dengan mata Luhan yang agak sipit.

Kyungsoo terlalu banyak disita kesibukan selama lima hari pameran. Kamera yang kubawa tidak bisa menangkap wajahnya untuk dibekukan waktu agar ia tetap cantik. Aku tidak sempat mengenalnya sampai acara selesai.

Pada suatu siang, waktu jam makan, ia datang membawa sekotak makan siang untukku. Ia meletakkan kotak makanan di depanku tanpa tersenyum. Ia berbalik pergi dengan riang dan ringan seperti angin atau angan. Beberapa langkah kemudian, mungkin empat atau lima langkah, ia tiba-tiba berbalik. Aku menatapnya dan tersenyum. Ia balas tersenyum. Ia seperti lupa sesuatu. Mungkin ia lupa mengatakan sesuatu. Selamat makan. Maaf, makanan itu akan tawar tanpa senyumku. Senyumnya yang berasal dari bibir tebal berbentuk hatinya kubayangkan sebagai kalimat seperti itu.

Kepada seseorang, yang kutahu mengenal Kyungsoo, aku bertanya apakah Kyungsoo mempunyai kekasih. Dari orang itu, aku mendapatkan nomor telepon Kyungsoo. Aku juga mendapatkan informasi sialan itu, Kyungsoo sudah memiliki kekasih. Aku menelepon Kyungsoo. Aku mengatakan menyukai dan selalu mengingat senyumnya yang ia serahkan pada hari terakhir pameran. Aku tidak mengatakan ingin menjadi kekasihnya. Tidak. Kyungsoo lelaki sederhana yang baik hati. Aku tidak ingin ditolak pada percakapan pertama kami. Di akhir percakapan telepon, kami sepakat bertemu pada hari Selasa pukul empat sore. Di suatu toko buku.

Kyungsoo suka membaca buku juga. Aku senang ia ingin bertemu denganku di toko buku. Sudah sejak lama aku menyimpan impian bisa mencium seseorang di antara rak-rak buku. Tetapi tidak, aku tidak mencium Kyungsoo pada pertemuan pertama.

Selasa datang terlalu lambat. Hari itu matahari seperti memanggang apapun yang ada di Seoul. Aku sampai di tempat pertemuan. Taksi yang kutumpangi tidak bisa menembus kemacetan di beberapa persimpangan. Aku mengajak Kyungsoo duduk berbincang di café kecil samping toko buku. Aku memesan dua es krim. Satu untuk Kyungsoo. Satu untukku.

Es krim itu membuat Kyungsoo batuk selama berhari-hari setelah pertemuan pertama. Aku menyesal memesan es krim—meskipun suara Kyungsoo menjadi lebih indah saat dia batuk. Pada pertemuan pertama itu, aku dan Kyungsoo menyepakati sebuah hubungan. Kita tidak tahu apa namanya.

"Hubungan dengan separuh perasaan yang tidak tahu diri," kataku.

Ia tertawa mendengarnya. Aku merasa sebagai seorang lelaki yang dikejar-kejar tenggat waktu. Harus segera bisa memiliki pacar setelah Luhan pergi. Bodoh. Percayalah, jika sedang patah hati, lelaki sama bodohnya ketika ia jatuh cinta. Bahkan, otak lelaki yang paling percaya bahwa lelaki menggunakan logika untuk mencintai pun berhenti bekerja saat mereka jatuh cinta dan patah hati. Dalam situasi diburu tenggat waktu itulah, aku bertemu Kyungsoo. Namun, Kyungsoo ternyata sudah punya kekasih yang lelaki juga. Namanya Kai.

"Kau lebih cocok bernama Kaili," kataku.

"Tapi itu nama untuk wanita, bodoh! Ah atau jangan-jangan itu adalah alasan supaya aku dan Kai bersaudara dan kita tidak perlu merasa bersalah?"

"Kau tidak hanya cantik. Kau juga pintar dan lucu," kataku. Aku tidak tahu dari mana gombalan semacam itu kupelajari.

"Beberapa bulan terakhir hubunganku dengan Kai lebih hambar dari roti tawar," kata Kyungsoo.

"Kedengarannya cukup menarik untuk jadi alasan bagiku untuk mendekatimu," kataku.

"Aku akan mengatakan itu pada Kai," katanya.

"Agar hubungan kita berakhir sebelum terlalu jauh?"

"Kai tidak seperti yang kau bayangkan," katanya.

Kyungsoo betul-betul mengatakannya pada Kai. Laki-laki itu cemburu dan tidak bisa melakukan apa-apa selain cemburu. Laki-laki selalu tampak konyol di hadapan cinta. Aku juga laki-laki, dan punya kekonyolan di atas rata-rata ketika jatuh cinta. Beberapa hari kemudian, Kai menunjukkan perubahan. Ia menjadi sangat perhatian dan mesra, kata Kyungsoo melalui telepon. Kai mengantar ke mana pun Kyungsoo mau pergi. Kai menjadi sangat menyayangi Kyungsoo. Aku mengatakan itu kabar bagus.

"Sebaiknya kau sering-sering saja dekat dengan lelaki lain, agar Kai bisa terus bersikap mesra," kataku.

Sialan! Aku mengumpat diri sendiri dalam hati setelah mengatakan kalimat itu.

Pada suatu hari yang lain, aku mengajak Kyungsoo menemaniku mencari sepatu. Sepatuku habis diambil teman-temanku. Mereka terlalu mencintaiku. Mereka menganggap semua barangku adalah barang mereka juga.

Sialan.

Di suatu kafe, saat makan malam, kita mengobrol.

"Aku tidak bisa begini terus, Sehun-ah. Aku merasa telah menyakiti dua pria sekaligus. Aku harus memilih dan menyakiti cukup satu orang," kata Kyungsoo sambil tunduk mengamati ujung kakinya. Aku ikut tunduk menatap ujung kakinya.

"Aku salah. Aku yang memulai. Aku tidak tahu diri telah menculikmu dari Kai."

"Kau tidak menculikku. Aku yang ingin diculik."

Tepat ketika ia menyelesaikan kalimat itu, aku tidak berminat lagi menjadi pacar Kyungsoo.

"Kalau begitu, kau sebaiknya kembali pada Kai," kataku.

"Mengapa harus memilih Kai?"

"Karena ia seorang yang baik. Jangan pernah menyerahkan dirimu kepada penculik yang bodoh seperti aku."

"Dan kau?"

"Aku punya buku-buku. Aku punya COMMA's Café. Mereka mencintaiku dan aku mencintai mereka."

"Maukah kau jadi adikku, Sehun-ah?" tanyanya sambil mengamati tangannya yang memainkan gelas.

"Maaf, aku juga butuh adik. Aku anak tunggal. Aku tidak pernah mengatakannya. Omong-omong kau bukan orang pertama yang mengatkan itu. Beberapa kisah cintaku berakhir seperti itu. Aku menjadi kakak atau adik bagi seseorang yang kucintai. Kata temanku, jangan memperlakukan seseorang yang kau cintai terlalu baik. Kalau ia tidak memanggilmu pendeta, ia akan memanggilmu kakak atau adik," kataku, lalu tertawa.

Ia terdiam. Ia heran melihatku tertawa.

Setelah kejadian itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Kyungsoo. Dari teman yang memberikanku nomor telepon Kyungsoo, aku tahu bahwa Kyungsoo memutuskan menikah dengan Kai. Yang aneh, Kyungsoo tidak pernah mau mengangkat telepon dariku lagi.

Kakak macam apa itu!

Baekhyun dan Kyungsoo adalah dua dari sekian orang yang pernah singgah di hatiku. Tapi mereka berdua lah yang paling membekas. Sesungguhnya tidak satupun di antara mereka yang betul-betul kupacari. Mungkin karena aku tidak cukup berusaha. Mungkin aku belum bisa meloloskan diri dari jeruji geligi Luhan.

Baekhyun dan Kyungsoo adalah yang paling lama. Mereka menemani hari-hariku sampai akhirnya satu per satu menjadi milik kekasih mereka masing-masing. Membangun keluarga masing-masing. Mereka juga tidak akan mudah dihapuskan dari lembar-lembar hidupku. Mereka telah mengambil bagian di rumah kenangan. Barangkali ada yang menjadi dinding, jendela, beranda, atau apa saja.

.

Angin puyuh selanjutnya telah tiba.

Untuk bisa hidup dengan kuat, sebatang pohon harus dihantam angin kencang berkali-kali. Kupikir ibuku pernah mengatakan kalimat itu.

Luhan menikah. Ia mengirimkan undangan kepadaku. Berwarna biru. Berwarna kesukaan kami. Berwarna kenangan.

Aku menghabiskan berbotol-botol bir di kamar sambil memandangi undangan pernikahan Luhan berlama-lama. Menenggak minuman beralkohol adalah cara naif untuk lari dari kemabukan panjang bernama kehidupan. Aku tahu. Namun, rupanya, aku memelihara seorang pengecut dalam diriku.

Aku tidak membuat waktu untuk hadir di acara pernikahan Luhan. Aku tidak suka berpura-pura tersenyum di acara pernikahan. Aku tidak bisa membayangkan hal konyol apa yang akan kulakukan di pesta pernikahan mereka. Aku memilih mengasingkan diri ke rumah Jongin. Tidur di sofanya dan menangis untuk berhari-hari.

Pernikahan seperti buku yang bab pertamanya ditulis dengan bahasa puisi dan sisanya ditulis dengan bahasa ilmiah. Aku tertawa menemukan kalimat itu di sebuah buku yang kubaca di perpustakaan kampus.

Pernikahan Luhan hanya bertahan beberapa bulan sebelum berubah menjadi buku teks ilmiah. Ia dan suaminya tidak berminat lagi membacanya. Aku terhibur mendengar ketawaran pernikahan Luhan. Diam-diam, aku sering merasa menjadi seorang penjahat. Aku bahagia mendengar pernikahan Luhan tidak bahagia.

"Kebahagiaan, pada satu titik, bisa menjadi kejahatan yang amat mengerikan. Ada saat ketika kau tidak mampu berbahagia, kecuali dengan cara menyakiti orang lain," kata Jongin.

Sejak Luhan menikah, aku tidak pernah lagi bertemu langsung dengan Luhan. Aku selalu menghindari segala kemungkinan yang bisa mempertemukan kami. Aku tidak mau mengambil risiko berada di tempat-tempat yang kemungkinan terjadinya kebetulan menyakitkan bertemu dengannya.

Tetapi, bodohnya, aku sering diam-diam bertanya kepada orang lain tentangnya. Aku sering diam-diam mencari tahu segala macam tentang dirinya di media sosial. Aku sering diam-diam menghangatkan dadaku dengan menatap foto-fotonya yang tersenyum. Dan, di luar semua itu, aku sering membayangkan Luhan berpisah dengan suaminya.

Pada suatu sore, beberapa tahun setelah luhan menikah, Jongin datang ke COMMA's Café. Ia seperti sengaja menemuiku untuk menumpahkan semua pikiran dan kejengkelannya kepadaku yang sudah lama ia tahan.

"Kebahagiaan apa yang sudah kau temukan dengan terus menyakiti diri sendiri seperti ini, Sehun-ah?" tanya Jongin.

"Aku tidak sedang menyakiti diri sendiri. Aku sedang berusaha membiarkan kesedihan hidup bahagia dalam diriku," kataku.

"Oh, alangkah indah dan bodoh kalimat yang baru saja kau ucapkan. Apakah itu sebuah puisi? Tolong, tolong kau ulangi sekali lagi!"

"Kau mau minum kopi, Jongin-ah?" aku mengalihkan pembicaraan.

"Sudahlah, Sehun, sudahlah! Berhentilah menjadi anak kecil dan mulailah menerima kenyataan. Tidak ada masa depan untuk kau dan Luhan hyung. Tidak ada. Carilah masa depan yang lain."

"Kau tidak mengerti, Jongin -ah," kataku.

"Aku tidak mau mengerti, Sehun."

"Untuk apa kuserahkan hidupku kepada hal-hal lain, jika cinta juga bisa membunuhku. Berkali-kali dan berkali-kali lebih perih."

"Oh, itu juga puisi? Pasti puisi itu lahir dari kepala orang gila! Sudahlah, Sehun, keluarkanlah dirimu dari sepi yang kau ciptakan sendiri. Akhirilah kesendirianmu."

"Dengarkan aku, Jongin. Tidak ada yang salah dengan kesepian dan kesendirian. Jika saja orang-orang mau lebih keras berusaha membuat diri mereka nyaman dengan kesendirian, jika orang-orang mau berdamai dengan kesepian mereka, aku percaya dunia ini akan menjadi jauh lebih baik."

"Tapi sebagai sahabatmu, aku ingin melihatmu bahagia, Sehun-ah."

Aku tidak pernah lagi mau menghadiri pesta pernikahan dan pesta apa poun, yang menjadi tempat orang menghambur-hamburkan tawa. Jongin marah dan menganggapku orang bodoh karena itu. Jika ada teman yang menikah, kadang aku hanya mengirimkan kado dan ucapan selamat berbahagia, sambil berdoa semoga pernikahan betul-betul bisa membuat mereka jadi lebih baik. Aku semakin membenci pernikahan. Setiap menerima undangan pernikahan, aku selalu harus menenangkan diri dengan berbotol-botol bir.

Aku tidak percaya lagi pada kebahagiaan.

Tetapi, pada suatu hari, aku mendengar berita kematian suami Luhan. Aku tetap menghindari bertemu dengan Luhan. Kematian memang tidak bisa ditebak. Kematian bisa menjemput seorang yang ia kehendaki kapan saja. Di tempat tidur saat seorang bermimpi indah. Kematian tidak mau tahu.

Luhan mungkin merasa kehilangan setelah suaminya meninggal. Kehilangan adalah perasaan yang baik untuk selalu dimiliki. Tidak ada yang sempurna dalam hidup kita.

Pernikahan dan kematian suaminya membuat Luhan tinggal dan berada dalam kesepian yang terus mencemaskan hari-harinya. Kadang ingin sekali aku tidak peduli kepada apa pun yang menimpa Luhan. Faktanya, aku selalu menemukan diriku gagal. Aku selalu memikirkan Luhan.

Sejak pernikahan Luhan, aku setia kepada keputusanku untuk tidak menikah. Semua orang menyayangkan keputusan itu. Keputusan tidak menikah bagi seorang lelaki sama dengan keputusan melakukan bunuh diri. Mereka hanya melihat keputusan itu didasari sakit hati dan kepenjaraanku kepada kenangan. Mereka terang-terangan menyebutku bodoh dan aku tahu mereka tidak betul-betul salah. Aku tahu.

.

Ada kalanya cinta tampil dalam wujud yang amat mengerikan. Atau, barangkali, cinta tidak lebih seutas tali rapuh yang mengikat seluruh perangai buruk dalam diri manusia. Ada saat ketika tali itu putus dan kita tidak mampu mengendalikan akibatnya.

COMMA's Café bekembang menjadi tempat yang menyenangkan seperti sekarang. Tak pernah sepi pengunjung. Sebulan setelah Luhan meninggalkan COMMA's Café, aku membangunnya menjadi berlantai dua. Di lantai dasar, ada toko buku dan sudut khusus untuk para penggila komik seperti Luhan. Pada saat-saat tertentu Luhan bisa mencintai komik lebih dari apapun.

Di lantai atas, kubuat ruang baca dengan belasan rak penuh buku. Kenangan akan Luhan membuatku semakin gigih ingin mempertahankan satu-satunya milikku, COMMA's Café. Kehilangan satu hal tidak harus membuatku kehilangan hal lain.

Aku mati-matian mempertahankan dan merawat COMMA's Café. Tempat itu ibaratkan anakku dengan Luhan. Seorang anak yang ditinggal ibunya. Kenangan adalah energi besar yang sering kali disia-siakan orang. Aku berkeras mempertahankan COMMA's Café karena di tempat itu aku punya banyak kenangan bersama Luhan. Aku dan Luhan menuliskan kenangan di setiap sudut tempat itu. Aku, seperti selalu kukatakan, tidak mau melawan kenangan. Aku tidak mau menyesal seperti Luhan. COMMA's Café juga tidak akan pernah ada andai aku dan Luhan tidak berpacaran. Aku kadang merasa bersalah tidak cukup berterimakasih kepada Luhan.

Di tempat ini, kutuliskan banyak cerita dan puisi. Disini aku membaca buku-buku, memikirkan dan mendiskusikan banyak hal, tidur, makan, minum, dan mengutuk diri sendiri. Di sini, aku tidak henti-hentinya memikirkan Luhan, dan selalu menghibur diri dengan mengatakan aku tidak lagi mencintainya. Aku menua dan menunggu hari-hari terakhirku disini. Di sini, di COMMA's Café, aku berumah dalam kenangan.

Sungguh, aku tidak membutuhkan apa-apa lagi setelah ini. Aku menikmati hidupku di tengah tumpukan buku, dan sering membayangkan bercinta sekali lagi dengan Luhan di atas tumpukan dan serakan buku itu. Aku menikmati hidupku yang sekarang ini. Mengeluhkan jantungku yang sering kumat dan menunggu saat tepat ia akan membunuhku, barangkali pada saat yang tak terduga. Aku tidak takut pada kematian.

Seminggu sekali aku menelepon dokter untuk datang mengecek kabar jantungku yang bandel dan sering menyusahkan. Seminggu sekali, aku dengar lagi nasihat itu. Berhenti merokok, berhenti minum kopi, dan jangan terlalu sering begadang. Aku mengangguk, mengiakan, kemudian melupakannya sampai minggu depan tiba dan mendengar nasihat itu lagi dan melupakannya lagi dan seterusnya.

.

.

Langit di barat seperti motif rok gadis paling cantik yang pernah kulihat.

Aku menyukai sore hari menjelang matahari terbenam. Segala sesuatu tampak mempercepat diri mereka. Orang-orang di jalanan seperti memburu diri mereka menemukan kebahagiaan melihat hal-hal di luar diriku bergerak cepat sementara aku berhenti. Aku tidak tahu kenapa orang-orang suka memasukkan diri mereka ke dalam gerak cepat waktu. Aku percaya bahwa mereka yang suka bergerak cepat adalah orang-orang yang tidak suka berpikir.

Hampir seluruh perihal telah aku ceritakan. Senja telah menukar gaunnya dengan pakaian serba hitam, seperti gambar di kartu pos yang dikirimkan Luhan kepadaku. Dari kamarku, di lantai dua COMMA's Café, kudengar suara-suara di bawah sana. Suara dengung halus lampu dinyakalan. Suara musik dipelankan. Suara orang-orang beranjak pulang. Suara-suara orang yang baru datang. Aku juga mendengar dengus napasku sendiri.

Suatu malam, ketika aku dan Luhan saling berjanji kelak menjadi pengantin. Sumpah itu kami ucapkan setelah merampungkan percintaan. Aku katakan kepadanya bahwa percintaan-percintaan yang telah kami lakukan adalah dosa-dosa tidak terampunkan.

"Aku hanya bisa memafkan diriku atas dosa ini jika berhasil menikahimu," kataku.

Ia mengulang kalimat itu.

Aku dan Luhan berpelukan dan saling menitikkan air mata. Aku bersumpah tidak akan menikah, kecuali dengan Luhan. Ia juga telah bersumpah tidak akan menikah, kecuali denganku. Tetapi, ia melupakan kejadian malam itu. Mungkin ia mengidap amnesia. Ia menikah dengan orang lain.

Keputusan paling besar yang pernah kubuat adalah tidak menikah dan bersetia kepada satu orang saja yang telah kuajak bercinta, sejelek apapun ia, bagaimanapun bencinya aku kepadanya. Tetapi, aku pernah beberapa kali tidur dengan orang lain, dan merahasiakannya. Hidupku, sesungguhnya, tidak lebih dari arena pertempuran melawan diriku sendiri. Dan, celakanya, aku selalu kalah. Tidak ada yang lebih mudah di dunia ini daripada mengingkari janji dan prinsipmu sendiri.

Aku membaca kartu pos Luhan yang sampai padaku minggu lalu, membaca berulang kali untuk memastikan barangkali ada sesuatu yang tidak kutahu apa tepatnya. Aku merasa sedang meneliti seekor serangga kecil yang membuatku penasaran dengan warna-warni sayapnya. Ada sesuatu yang ingin kupecahkan dari sana. Aku tidak paham apa.

Sehun, apakah kau baik-baik? Jujur saja, aku tidak. Apakah kau mau memaafkanku? Aku menyesal. Maukah kau menemuiku, Sehun? Aku kesepian. Atau, setidaknya, balaslah kecupanku ini dengan sebaris kabar. Terima kasih.

Aku mendekatkan kartu pos itu ke bibirku. Aku menciumnya lama. Aku menciumnya seolah-olah berusaha menghirup kekuatan darinya. Seolah-olah seluruh energi yang kubutuhkan untuk kehidupanku besok dan hari-hari setelahnya berasal dari sehelai kertas putih itu. Aku mulai menuliskan rentetan kalimat balaskanku untuk surat Luhan yang tidak pernah sempat kukirim pada Luhan itu.

Biarkan aku tetap tinggal bersamamu di rumah kenangan, sebab aku mencintaimu, Luhan. Aku sangat mencintaimu. Barangkali aku sudah memaafkanmu sejak dulu. Segalanya. Meskipun aku mengatakan aku marah, aku selalu tersenyum mengenangmu.

Aku mendekatkan kartu pos Luhan ke dadaku. Aku mendekapnya sambil memejamkan mata. Aku merasa seluruh masa lampau, Luhan, dan masa depan datang sekaligus.

Aku ingat, suatu kali pada musim dingin, ketika pelukan Luhan menyembunyikan tubuhku yang sakit dari tangan-tangan angina, juga takdir yang dingin dan runcing.

Aku merasa pelukan itu sekali lagi meliputi diriku.

Aku menyelipkan kartu pos Luhan ke halaman pertama buku puisi yang baru kubeli, lalu beranjak mengambil sebatang rokok dan mengisapnya lebih dalam daripada yang biasa kulakukan. Aku membakar dan mengembuskan asapnya pelan. Sangat pelan.

Perasaanku pada Luhan tidak pernah berubah meskipun aku telah berusaha meyakinkan diriku dengan berbagai cara bahwa ia telah menjauh dari kehidupanku. Aku mampu meyakinkan semua orang bahwa aku tidak lagi mencintai Luhan, kecuali diriku sendiri.

Tetapi, hidup selalu punya tetapi…

"Barangsiapa menganggap masa lalu sebagai bencana, ia akan tinggal di masa depan sebagai pengungsi."

Eomma sering menyebut kalimat itu. Kepada masa lalu, Luhan, aku ingin bersahabat. Kenangan indah adalah hal-hal yang berakhir tepat waktu. Aku percaya itu. Untuk itulah, aku menuliskan seluruh kisah ini untuknya. Aku menata ingatan demi ingatan dengan kehati-hatian yang mampu kucapai seperti sedang membangun rumah paling nyaman untuk pulang Luhan. Entah bagaimana caranya, aku yakin kelak kisah ini akan sampai kepadanya.

.

.

ADA yang akan menjadi kenangan.

Kalimat serupa itu kukatakan kepada diriku kali pertama sepasang mata Luhan mengecupkan pandangan ke sepasang mataku. Sebagai seorang yang gampang tergesa, begitu caraku belajar waspada meskipun kuakui aku tidak pernah berhasil. Aku tetap saja lelaki ceroboh yang gampang tersandung kaki sendiri.

Kenangan adalah bukti terbaik untuk mengatakan tidak ada yang utuh di bumi ini, bahkan kehilangan. Kenangan juga adalah cara waktu mengatakan ada sejumlah hari yang tidak pernah melihat matahari tenggelam. Ada bulan dan tahun yang tidak pernah berakhir.

Di kepalaku, meskipun orang lain tidak mudah memahaminya, kenangan dan harapan adalah dua perihal perih yang susah dibedakan di kepalaku. Setelah orang yang kucintai pergi, aku adalah bagian dari dirinya yang tinggal di diriku. Di hadapan cermin atau kaca jendela atau benda apa pun yang mampu memantulkan wajahku, kadang aku berkata bahwa diriku tidak lebih dari sekumpulan orang yang kucintai, orang-orang yang pergi dariku. Dan, itulah yang dilakukan Luhan. Ia pergi dariku dan tetap tinggal di diriku. Rasa benciku mungkin bertambah karena ia meninggalkanku, tetapi rasa cintaku tidak pernah berkurang.

Jika kehidupan adalah buku, memaafkan diri sendiri adalah cara terbaik unuk menyuntingnya. Namun, aku tidak pernah betul-betul berhasil memaafkan diri sendiri. Mencintai dan menikmati sakitnya adalah sepasang kebodohan—dan kehidupan tampaknya hadir untuk menanggung kutukan itu.

Maka, selalu begitu, pada akhirnya adalah awal kenangan…

.

.

.

.

.

.

.

.

Luhan's POV

Sehun tidak pernah membalas kartu pos yang kukirimkan kepadanya. Tetapi, beberapa bulan kemudian, kami saling menelepon. Beberapa kali. Aku yang memutuskan meneleponnya lebih dulu. Melalu Jongin, aku mendapatkan nomor teleponnya yang baru. Kita tidak pernah berhubungan lagi semenjak aku menikah. Aku memaksa Jongin memberikannya padaku.

Hubunganku dengan Sehun membaik. Aku dan Sehun menyadari satu hal yang sama. Di luar semua ketidakcocokan antara aku dan dia, sesungguhnya kami masih saling mencintai. Aku dan Sehun sepakat bertemu langsung. Pertemuan pertama kami, sejak aku menikah dengan Kris. Bukan di COMMA's Café, tetapi di suatu kedai tua tidak jauh dari tempat itu. Pada masa awal-awal pacaran, aku dan Sehun sering menghabiskan sore di kedai itu. Di sana, di kedai yang pemiliknya sudah berganti itu, Sehun melamarku. Aku bahagia. Tentu saja. Rencananya aku dan Sehun akan menikah paling lambat tiga bulan setelah pertemuan itu. Kris suamiku sudah meninggal, sehingga aku bukan milik siapa-siapa lagi tetapi Sehun. Cinta sejatiku.

Tetapi, seperti kata Sehun, hidup selalu punya tetapi.

Sehun meninggal tiga hari setelah pertemuan kita di kedai itu, naasnya ia meninggalkanku sebelum aku sempat mengatakan padanya seberapa banyak aku mencintainya seperti ia mencintaiku.

Aku menyesal.

.

.

.

END

Hai! Udah bener-bener end nih. Maaf ya saya bikin kayak gitu hehehe. Pengen angst. Saya berharap banget kalian suka. Terima kasih udah mau baca dan saya mohon cintailah orang-orang disekitar kalian. Lakukan itu sebelum kalian lupa atau tidak punya waktu untuk melakukannya. Maaf kalo ada yang ga suka liat hubungan Sehun-Baekhyun atau Sehun-Kyungsoo disini, kenapa saya masukin mereka? Ya buat pemanis cerita, agak tidak rasional aja kalo Sehun benar-benar setia 100% sama Luhan. Saya juag pengen Sehun merasa dicintai disini. Jadi saya mohon jangan mengkritik jahat karena pemilihan karakternya. Duh, malah ceramah. Oh ya, saya punya niatan pingin buat fanfic Kaisoo nih. Kira-kira ada yang mau baca? Kaisoo tuh OTP kedua saya setelah HunHan, jadi saya juga pingin membuat sesuatu yang bisa nunjukin kecintaan saya sama Kaisoo. Hehehehe. Kasih saran ya. Enjoy reading and don't forget to reviewing it! I love you guys a lot!