Nine Months

A Jaeyong fanfic

Genre: Romance, family, fluff

#0 The Beginning

Taeyong POV

"Selamat pagiiii…" Aku berteriak dalam hati seraya memandang suasana pagi dari balkon rumah kami.

Ya, kami. Setelah menikah tentu saja ini menjadi rumah kami, Aku dan Jaehyun, suamiku. Hihi. Bisa kulihat dia masih bergelung di dalam selimut. Aigoo, neomu kyeopta… Ingin sekali aku memberikannya morning kiss. Ehm, maaf, kebiasaanku setelah menikah.

"Haaahh…" Kupukul-pukul pundakku yang terasa pegal. Sepertinya aku terlalu lama duduk menghadapi laptop semalam.

Ya, pekerjaanku adalah menulis. Berawal dari iseng-iseng menulis cerita pendek di blog, sekarang aku mulai menulis novelku saja itu hanya sebagai kerja sampingan. Karena pekerjaan utamaku tetaplah sebagai Guru Bahasa Korea!

Sudah waktunya menyiapkan sarapan pagi. Bangunkan Jaehyun? Ah, nanti saja kalau sarapannya sudah siap.

Tanpa mengganti piyamaku, aku pun menuju dapur yang ada di lantai satu rumah kami. Masak apa ya pagi ini? Nasi goreng? Sandwich? Roti bakar? Hm, semuanya sudah terlalu sering kubuat untuk sarapan, apa ya yang belum...

Sambil memikirkan ide sarapan hari ini, ku buka kulkas untuk mengambil beberapa bahan makanan, tapi ternyata- "Huft…sudah habis… Seingatku kulkas masih penuh kemarin." Tidak ada pilihan, aku harus pergi ke pasar terdekat untuk membeli persedian bahan makanan.

.

.

Jaehyun POV

"Ngh…" Kubuka mata yang terasa lengket dan kuregangkan otot-otot tubuh yang kaku setelah tidur semalaman. Eoh, sudah pagi rupanya, kenapa istriku yang cantik tidak membangunkanku?

"Eh?" Kusadari dia sudah menghilang dari sampingku. Pasti sedang menyediakan sarapan pagi. Aku tersenyum kecil. Bahagia, tentu saja. Aku telah berhasil memperistri wanita yang kucintai yang juga mencintaiku. Aku harus menagih morning kiss darinya! Hehehe.

Aku turun ke dapur sambil memanggil namanya, tapi tak ada jawaban yang kuharapkan.

"Taeyong-ah…." Sekali lagi kupanggil namanya dan masih sama, rumah ini terlihat sepi tanpa jawaban darinya. Kulihat pintu kulkas yang sedikit terbuka. Aish, siapa yang dengan ceroboh membiarkan pintu kulkas terbuka? Tentu saja, siapa lagi kalau bukan satu-satunya penghuni rumah ini selain aku? Lee Taeyong.

Kubuka lebih lebar pintu kulkas dan kusadari sesuatu. Pantas saja Taeyong tidak ada, dia pasti sedang belanja untuk mengisi kulkas yang hampir kosong ini. Kuputuskan untuk menunggunya kembali sambil duduk membaca koran di kursi yang ada di teras rumah.

Beberapa menit berlalu dan bisa kulihat seorang wanita yang kukenali muncul di ujung jalan. Dia tampak keberatan membawa dua plastik besar di kanan kiri tangannya. Aku segera menyongsongnya dan mengambil alih barang bawaannya yang memang berat.

"Ya, kalau mau belanja banyak, kenapa tak bilang padaku? Aku 'kan bisa membantumu." Protesku saat semua bawaanya sudah berpindah tangan padaku. Aku prihatin melihat wajahnya yang berbanjir peluh dan terlihat sedikit pucat.

"Ya! Siapa suruh baru bangun jam segini!" dia malah balik protes.

"Hehehe, suamimu ini lelah sayang…"

"Huh, alasan!" Dia berjalan mendahuluiku. Meninggalkanku dengan belanjaan-belanjaan berat ini. Sepertinya moodnya sedang jelek.

"Ya, Taeyong-ah… Aish!" Seperti biasa, dia tak suka aku memanggilnya "sayang". Kenapa? Kami 'kan sudah menikah. Tak boleh panggil sayang-sayangan? Dasar tsundere!

Saat aku memasuki dapur, Taeyong sudah bersiap-siap dengan peralatan masaknya. Aku penasaran akan masak apa dia pagi ini. Kupeluk pinggangnya yang ramping dari belakang. Seperti biasa dia akan mengelak dan menoyor kepalaku tapi tak akan menolak saat kupeluk untuk yang kedua kalinya.

"Ya, Jung Jaehyun, aku tak bisa masak kalau kau menempelku terus seperti ini."

Aku tak menghiraukan protesannya."Kau mau masak apa, hm? Aku akan membantumu."

"Diam dan tunggu saja di meja makan."

"Hm? Dulu 'kan aku yang mengajarimu memasak. Sekarang kau mau sok ahli di depanku, eoh?" tanyaku meledeknya. Aku senang sekali melihat wajahnya yang cemberut saat kuledek. Rona merah menghiasi pipinya.

"A-aku 'kan sudah belajar memasak. Sebelum menikah aku sudah banyak bertanya pada eomma dan eomma. Jadi, jangan terus-terusan meremehkan masakanku!"

Lucu sekali mendengarnya memberikan pembelaan, dia menyebut eommanya dan eommaku dengan "eomma dan eomma". Yah, harus kuakui kemampuan memasaknya setelah menikah mengalami kemajuan. Aku tak habis pikir bagaimana dulu dia bisa bertahan hidup sendirian di Seoul dengan kemampuan memasak yang payah. Makan ramyeon instan setiap harikah?

"Iya, iya. Aku percaya kau bisa masak. Aku akan menunggu karyamu…" Aku menjawil hidung mancungnya sebelum beranjak duduk di meja makan tak jauh dari dapur.

Aku memperhatikan tangannya bekerja. Masih sedikit kikuk dan kerepotan jika harus mengerjakan lebih dari satu pekerjaan. Mungkin dia gugup karena kuperhatikan. Hahaha.

Kuraih remote TV dan kutekan tombol powernya. TV pun menyala dan kudapati wajahku sendiri di layar kaca. Haha, iklan dramaku. Ya, pekerjaanku adalah berkarir di bidang akting. Sudah beberapa drama kubintangi setelah kuselesaikan wajib militerku. Aku telah menjadi warga Negara yang baik dan seorang suami yang bahagia. Tinggal satu langkah lagi dan aku akan merasakan kebahagiaan seutuhnya sebagai seorang laki-laki. Memiliki momongan. Kurasa tak butuh waktu lama karena kami sudah berusaha setiap malam, ehem.

Kualihkan pandanganku dari TV ke arah wanita yang masih kerepotan di dapur. Kuputuskan untuk turun tangan membantunya, tapi dia melarangku dan menyuruhku kembali duduk. Huh, kalau tak ingin dibantu kerjakan yang benar dong…

"Sarapan siap…" serunya. Akhirnya…sesuatu yang kutunggu sejak tadi.

Di meja makan kini tersaji dua piring omelet telur dengan irisan daun bawang dan daging cincang di dalamnya, semangkuk salad dari sayur-sayuran segar, dan dua gelas susu. Sangat sederhana, khas Taeyong.

Taeyong ikut duduk di kursi di depanku. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada seraya berdoa. "Selamat makan…" Dia menyendokkan omelet ke mulutnya. Aku terlalu sibuk memperhatikannya sampai melupakan omelet jatahku sendiri.

"Kenapa? Ayo makan." Ujarnya menyadarkanku.

"…E-iya, selamat makan…" Aku menyendokkan omelet ke mulutku. Rasanya…umm… lumayan. Sepertinya Taeyong sudah berusaha keras tidak membuatnya keasinan kali ini. Aku terus menyendok omeletku sambil sesekali mengambil salad dan memakannya bersama omelet. Hmm, benar-benar enak.

'TREK'

Kulihat Taeyong sudah meletakkan sendoknya di piring, padahal omeletnya masih tersisa setengahnya. Kenapa? Apa dia muak dengan masakannya sendiri? Aku saja cukup menikmatinya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tiba-tiba aku tak bernafsu."

Oke, nona Lee Taeyong kau mulai membuatku khawatir kalau kau bilang "Tak bernafllsu". Porsi makan Taeyong memang tidak pernah banyak dan biasanya ia lebih memilih makan kue dibanding makan nasi. Makanya tubuhnya terlihat kurus dan rapuh begitu. Membuatku selalu khawatir.

"Makanlah yang banyak… Kau ada acara bedah buku 'kan hari ini? Itu tinggal setengah lagi. Ayo…" Aku berusaha membujuknya untuk melanjutkan makan.

"Hng... Acaranya nanti siang. Aku bisa makan lagi nanti." Dia malah meraih remote TV dan mengganti ke saluran yang menayangkan film animasi. Kalau sudah menonton film animasi kesukaannya, dia tak akan menghiraukanku.

"Taeyongi, suapi aku…"

"Ha?" Taeyong menatap bingung mendengar permintaan tiba-tibaku.

"Suapi aku…" Aku mengulang permintaanku.

"Ish, kau sudah besar Jaehyun!" Dia menggerutu tapi tetap melakukan apa yang kuminta. Aku mengulum senyum saat mengunyah omelet di mulutku. Nah, sekarang giliranku.

"Ayo buka mulutmu Taeyong-ah, aaaa…" Aku menyodorkan sesendok omelet ke mulutnya. Semuanya baik-baik saja sebelum-

"Ya! Sudah kubilang aku tak mau lagi!" Taeyong menepis tanganku sampai sendoknya terjatuh. Aku memandangnya dengan cukup shock. Menyadari perubahan wajahku Taeyong langsung membereskan sendok beserta omelet yang jatuh.

"Maaf. Aku tak tau kenapa aku tiba-tiba…" Wajahnya terlihat sangat merasa bersalah. Ya ampun… aku paling tidak suka melihatnya begini.

"Tak apa… Tak apa kalau kau tak mau makan lagi." kubelai rambutnya menenangkan. "Tapi pastikan kau makan yang banyak nanti siang ya, mengerti?"Taeyong tidak menjawab, hanya mengangguk.

.

.

Taeyong POV

Aku heran dengan diriku hari ini. Sejak pagi aku sudah berkali-kali moodku berubah. Semoga mood-ku tidak berubah jelek nanti saat bedah buku.

Saat ini aku sedang bersiap-siap. Kupilih baju yang kurasa cocok untuk acaraku nanti. Rapi, tapi santai. Setelah itu kupoleskan sedikit make-up di wajahku. Aku harus memberi warna pada kulit wajahku yang tampak sedikit pucat hari ini. Yak, sudah siap semua.

Aku bangkit berdiri dari kursi meja riasku, sedikit terlalu bersemangat kukira karena bisa kurasakan pandanganku sedikit berputar. Ya ampun… kenapa lagi aku? Kupegang pinggiran meja untuk menopang tubuhku sedang tanganku yang lain memijat-mijat pelan keningku. Haah… pasti masuk angin, pantas saja tadi aku tidak nafsu makan dan badanku pegal-pegal.

.

.

"Jaehyun-ah, aku berangkat…" Aku bersiap memakai sepatuku flat-ku, saat kulihat Jaehyun yang tadi tengah sibuk membaca naskah menghampiriku.

"Benar tak mau kuantar?"

Aku mengangguk membalas pertanyaannya. "Pihak panitia bilang akan menjemputku di halte depan, 5 menit lagi. Lagipula kau masih sibuk membaca naskah 'kan?"Aku bangkit dan mendapatkan sebuah ciuman di keningku.

"Baiklah, hati-hati, Taeyongi…" Jaehyun selalu saja begitu sebelum aku keluar rumah. Aku mengangguk dan melambai padanya.

"Oh, ya, saat kau pulang nanti mungkin aku sudah berangkat."Jaehyun mengingatkanku jadwal syutingnya nanti malam.

"Ya, hubungi aku kalau kau mau berangkat." Aku menunjukkan gesture menelpon sebelum menutup pagar dan berjalan dengan sedikit terburu-buru. Semoga jemputannya belum menungguku.

xxx

"Haahh…" Aku menghela nafas panjang. Kurentangkan tanganku ke atas, sedikit peregangan. Akhirnya acara bedah buku dan tanda tangannya selesai. Tanganku benar-benar pegal sekarang setelah menandatangani sekian puluh buku. Aku jadi sedikit mengerti bagaimana lelahnya para artis melakukan fansigning. Tapi kan mereka sudah terbiasa!

'Kruyuukk' eh? Bunyi perutku. Haha, jadi malu. Oh iya, aku belum sempat makan siang tadi. Kulihat jam, sudah jam lima sore. Nanti malam akan ada acara makan malam dengan kepala penerbit. Sebaiknya sekalian saja makannya nanti malam.

Aku meminta pada salah seorang panitia untuk membawakanku teh hangat. Aku mulai merasa badanku tak enak. Sepertinya masuk anginku tambah parah.

"Ini pesanananmu jakka-nim." Seorang panitia meletakkan secangkir teh hangat di depanku.

"Ya, terima kasih…" Aku menyeruputnya pelan. Haah…segar rasanya.

"Ada yang bisa kubantu lagi jakka-nim? Sepertinya kau terlihat pucat, sedang kurang sehat?"

"Eh? Aku baik-baik saja…" Tetapi tepat setelah aku mengatakan aku baik-baik saja, aku merasakan sesuatu seperti meremas perutku.

"Ssshh..." Aku sedikit mengernyit menahan sakit. Sepertinya aku benar-benar tidak baik-baik saja. Kulihat raut khawatir di wajah panitia di depanku.

"Lee jakka-nim, sudah waktunya kau bertemu kepala penerbit di restoran yang kami sediakan." Seorang panitia yang lain menghampiri dan menyadarkanku akan situasi sekarang.

"Ah, ya. Tunggu-" aku berdiri tetapi tubuhku langsung limbung. Beruntung panitia tadi menahanku sehingga aku tak sampai jatuh ke lantai. Dia juga membantuku kembali duduk dan menenangkanku.

"Jakka-nim, sepertinya kau benar-benar tidak sehat. Bagaimana kalau kami mengantarmu pulang saja?" panitia itu menawarkan. Kali ini, kurasa aku tak bisa menolak.

.

.

Tak sampai satu jam aku sudah sampai di rumah. Bisa kubayangkan reaksi Jaehyun akan seperti apa. Dia marah. Aku tahu, walaupun dia tidak bilang begitu. Aku memang bodoh dan keras kepala sih. Melupakan makan siangku dan mengabaikan larangannya untuk begadang setiap malam.

Wajar saja dia marah. Dan dia marah karena khawatir. Hampir saja dia membatalkan jadwal syutingnya malam ini kalau aku tidak balik memarahinya dan mengatainya bodoh.

"Oke, tapi aku akan menelepon eomma, dan memintanya menjagamu di sini malam ini. A-aa, kau tak boleh melarangku kali ini, atau aku yang akan menungguimu semalaman."

Aku hanya bisa pasrah, bagaimana pun aku tak ingin Jaehyun kehilangan profesionalitasnya sebagai seorang aktor. Tapi meminta eommanya ke sini? Anak macam apa yang berani merepotkan eommanya?

Eomma Jaehyun, sekarang menjadi eommaku juga, langsung datang begitu mendapat telepon dari Jaehyun. Eomma Jaehyun datang diantar oleh Junmyeon-oppa, kakak Jaehyun, karena eomma sekarang memang tinggal bersama Junmyeon-oppa di Seoul. Sementara orang tuaku sendiri tinggal jauh di luar kota Seoul.

"Aigoo… Taeyong-ah… kau kenapa, eum? Sakit?" Bisa kurasakan kasih sayang eomma yang sangat besar padaku saat beliau membelai rambutku. Aku sangat beruntung memilikinya sebagai ibu mertua.

"Tidak, eomma. Paling cuma sedikit masuk angin." Jawabku tak mau membuat eomma cemas.

"Kau sudah makan?" Aku menggeleng. "Eomma buatkan bubur, ya?"

Aku tak mau mengecewakan eomma yang sudah melangkah ke dapur, makanya kubiarkan saja eomma beraksi. Kurasa tak ada gunanya menolak makanan saat ini, walaupun rasanya benar-benar malas memasukkan apapun ke mulutku saat ini.

"Jaehyun-ah, sudah sana berangkat. Eomma sudah datang 'kan?" Aku menyuruh Jaehyun segera berangkat, kurasa sebentar lagi manager Jaehyun akan meneleponnya karena terlambat.

Jaehyun menatapku tak yakin. "Kau benar tak apa-apa?" Aku mengangguk keras untuk meyakinkannya. "Kalau ada apa-apa hubungi aku. Handphoneku akan terus kuaktifkan. Setelah makan kau langsung tidur, jangan buka laptop lagi, mengerti?"

"Ya..." Jawabku malas. Jaehyun mengacak-acak rambutku gemas.

"Eomma aku berangkat… Hyung pulang sana temani istrimu, jangan terus-terusan memandangi istriku." Goda Jaehyun yang sukses dibalas dengan pukulan mesra dari Junmyeon-oppa.

"Aish, kalian ini…" eomma menatap tajam kedua anak laki-lakinya. Aku? Hanya bisa tertawa.

.

.

"Bagaimana? Kau sudah merasa baikan?"

"Ya, eomma…"

Setelah makan bubur buatan eomma, aku merasa tubuhku sedikit berenergi. Sekarang aku sedang berbaring miring di ranjangku dengan eomma terus mengelus-elus punggungku. Sejak tadi aku mendengarkan eomma bercerita tentang masa mudanya, saat-saat bahagia bersama appa Jaehyun yang kini telah tiada. Bisa kutangkap kesedihan di matanya, tapi eomma tetap tersenyum bahagia saat menceritakan masa-masa indahnya dulu.

"Dulu, appanya Jaehyun melamar eomma dengan bernyanyi. Dia memang sangat pandai menyanyi. Eomma selalu terhanyut setiap dia memainkan gitarnya sambil menyanyikan lagu-lagu kesukaan eomma…" Eomma kemudian menyenandungkan lagu lawas yang bisa kutebak adalah lagu yang dinyanyikan appa untuknya dulu.

"Romantis sekali eomma…" pujiku.

"Ne, apakah anak eomma juga romantis begitu padamu?"

Aku mengangguk. "Tapi kurasa appa lebih romantis eomma. Buktinya wajah eomma sampai memerah saat menceritakannya padaku barusan."

"Aaah, kau bisa saja Taeyong-ah." Kulihat eomma tersipu sambil memegang pipinya.

"Eomma, aku mengantuk."

"Kau mau tidur Taeyongi? Kalau begitu eomma akan keluar." Eomma beranjak berdiri.

"Tidak, eomma, tetap di sini… Eomma tidur di sini saja bersamaku. Mau 'kan?" pintaku dengan wajah memelas.

Eomma hanya bisa geleng-geleng kepala kemudian duduk lagi di ranjangku. "Kau ini sama saja dengan Jaehyun, manja."

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.

.

.

"Hoek… hoek… hoeeek… haaah...haaah…"

Ya ampun… kenapa lagi aku? Kukira masuk anginku sudah sembuh semalam. Aku tiba-tiba terbangun karena rasa mual menghampiri. Aku segera berlari ke kamar mandi yang menyatu dengan kamar dan memuntahkan isi perutku. Sekarang aku hanya bisa terduduk lemas di lantai kamar mandi. Merasakan mual yang masih menggelayuti eomma tidak mendengar suara ribut-ribut yang kutimbulkan. Tapi sepertinya eomma dengar.

Kulihat eomma sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi, memandangku prihatin. Eomma berjongkok untuk menyamakan tingginya denganku kemudian mengelus-elus punggungku. Aku merasakan mual yang tak tertahankan lagi. Kuhampiri wastafel dan sekali lagi memuntahkan isi perutku. Eomma memijat-mijat tengkukku, membantuku memuntahkan apapun yang tersisa dari isi lambungku.

Setelah memuntahkan hampir semuanya, aku merasakan kakiku benar-benar lemas tak bertenaga. Eomma memapahku kembali ke ranjang, tapi aku menolak untuk berbaring karena berbaring hanya akan membuatku tambah mual. Akhirnya eomma menawarkan untuk membuatkanku teh ginseng. Kurasa itu lebih baik.

Eomma kembali memapahku menuju dapur. Aku duduk di kursi meja makan sambil menunggu eomma merebus ginseng dan meramunya bersama dengan teh. Aku merasa tak enak pagi-pagi sudah merepotkan mertuaku sampai seperti ini. Tanpa terasa air mataku sudah mengalir.

"Taeyongi, kenapa? Apalagi yang sakit? Jangan menangis…" sepertinya eomma melihat air mataku.

Aku menggeleng lemah, aku sungguh tak tahu bagaimana mengatakannya sekarang pada eomma, bahwa aku sangat bersyukur mempunyai mertua sepertinya.

"Mana yang sakit? Katakan pada eomma. Eomma akan berusaha sebisa mungkin membuatmu nyaman." Eomma memelukku penuh kasih sayang yang malah membuat air mataku semakin deras.

"Sebentar ya…" Eomma melepaskan pelukannya setelah sebelumnya menyeka air mataku. Eomma kembali mengurusi teh ginseng yang tadi sempat terabaikan.

Aku menopang dahiku dengan telapak tanganku. Setelah menangis rasanya tenagaku terkuras lagi. Aku merasakan serangan baru, pusing di kepalaku. Semua di pandanganku terasa berputar dan berat sekali rasanya mempertahankan kepalaku tetap tegak di posisinya. Masih sempat kulihat eomma menuangkan teh ke cangkir dan hendak berbalik membawakannya padaku, sebelum aku merasakan semuanya menjadi gelap dan…

"BRUUK"

"PRAANG!"

Ada yang jatuh. Ya, itu aku. Aku terjatuh dari kursiku. Dan bunyi benda pecah itu, eomma yang melepas cangkirnya.

"TAEYONG!"

"Taeyong… bertahanlah, nak. Tae-" perlahan tak bisa lagi kudengar suara eomma.

.

.

Bau ini… Rumah sakit. Haaah... Sudah kuduga. Eomma pasti sangat panik sampai membawaku ke rumah sakit segala.

Kubuka mataku lebih lebar dan malah mendapati eomma yang berlinangan air mata di sisiku. Ya Tuhan… aku pasti sangat menyusahkannya.

"Eomma, maafkan aku..." tenggorokanku terasa sangat kering saat mengatakannya.

"Tak ada yang perlu dimaafkan Taeyong-ah…" Eomma menggeleng mendengarku meminta maaf. "Kau telah memberikan anugerah yang tak terkira buat eomma dan keluarga kita." Eomma menggenggam tanganku erat.

Aku sedikit tak mengerti ucapan eomma. "Maksud eomma?"

"Kau hamil, Taeyong-ah. Hamil! Usia kandunganmu sudah hampir empat minggu."

"APAA?!" Aku sangat terkejut dengan apa yang baru saja eomma katakan. Tapi sepertinya eomma lebih terkejut karena melihat reaksiku.

Segera kuraba perutku yang masih rata itu. Di dalam sini ada calon kehidupan baru. Buah cintaku dengan Jaehyun. Tuhan, apalagi yang perlu kuminta dari-Mu? Aku sudah merasa menjadi wanita paling sempurna.

Kualihkan pandanganku pada eomma."Eomma, apa Dwaeji-maksudku Jaehyun sudah kesini?"

Eomma tertawa mendengar sebutanku untuk anaknya. "Ya, dia ada di depan sedang berbicara dengan dokter."

"Tuh 'kan, kubilang juga apa. Yang tadi itu pasti teriakannya. Aku hafal betul. Taeyong itu kalau sakit tak akan lama-lama. Kau tak perlu khawatir."

Dua orang laki-laki memasuki ruangan tempatku dan eomma berada sekarang. Salah satunya yang baru saja berkata sesuatu tentangku itu Park Chanyeol-oppa, dokter langgananku, dan ehm, pernah menjadi pacarku dulu, ya dulu, sekarang sudah tak ada hubungan lagi di antara kami selain hubungan oppa dan dongsaeng. Yang seorang lagi tentu saja, suamiku, Jung Jaehyun.

"Ya, kau memang sudah sangat mengenal Taeyong, tapi aku yang lebih mengetahui luar dalamnya."Jaehyun tampak tak mau kalah membalas pernyataan Chanyeol-oppa. Sangat kekanakan, bagaimana dia mau menjadi seorang ayah?

Chanyeol-oppa bertanya tentang perasaanku sekarang, tapi sebelum sempat aku menjawab, selalu saja Jaehyun yang menjawab lebih dulu. Sok tahu sekali orang ini.

"Taeyong-ah, sepertinya suamimu cemburu kalau aku berbicara banyak tentangmu. Hahaha. Kalau begitu sebaiknya aku pergi. Istirahat yang banyak, ya, Taeyong-ah…" Chanyeol-oppa meninggalkan ruangan. Sepertinya dia menyadari Jaehyun sudah siap melahapnya hidup-hidup. Yang benar saja Jaehyun ini, Chanyeol-oppa 'kan juga sudah punya istri!

"Iya, oppa bawel, terima kasih…" Aku mengangguk karena memang hanya itu yang bisa kulakukan dari posisiku sekarang. Aku melemparkan Death glare-ku pada Jaehyun, tapi orang yang bersangkutan malah tak peduli.

"Eomma, bisa kau keluar sebentar, aku ingin bicara berdua saja dengan Taeyong."Eomma mengangguk mendengar permintaan Jaehyun dan mengikuti jejak Chanyeol-oppa meninggalkan ruangan.

Setelahnya hanya tersisa aku dan Jaehyun di ruangan ini. Jaehyun menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

"Berhenti memanggilnya oppa dengan suara sok imut begitu!"

"Eh?" Entah kenapa permintaannya itu malah membuatku kesal. "Ya! Suka-suka aku, Jung Jaehyun!"

"Tidak bisa begitu. Lebih baik aku yang kau panggil oppa. Aku kan memang lebih tua darimu, lagipula aku ini suamimu."

"Lebih tua apanya? Kau 'kan anak umur lima tahun yang masih suka bermanja-manja!"

"Kau sendiri anak umur tiga tahun yang setiap pagi kerjanya menonton Spongebob!"

Oke, itu cukup menohok perasaanku yang tiba-tiba saja menjadi lebih sensitif.

"Cukup! Kita akhiri saja perdebatan bodoh ini Jung Jaehyun, aku sedang malas berdebat denganmu." Kubalikan tubuhku membelakanginya. Kukira tadi dia mau bicara apa berdua saja denganku. Ternyata hanya hal bodoh.

Cukup lama hening tercipta di antara kami. Kuharap Jaehyun merenungkan kebodohannya.

"Taeyongi, maafkan aku…" Aku tak menggubrisnya.

"Taeyongi, aku sungguh minta maaf…Sekarang lihat aku."Jaehyun berusaha membalikkan tubuhku, tapi aku tak bergeming.

"Taeyongi…"

"Pergi dari sini. Dasar dwaeji bau!" Aku mengusirnya penuh emosi.

"Taeyongi, maaf. Aku tahu wanita hamil memang biasanya sangat sensitif. Lupakan saja yang tadi, ya? Aku tak apa kok kalau kau mau memanggil Chanyeol-oppa."

Aku masih tak peduli.

"Taeyongi…" suaranya terdengar sangat memelas. Aku paling tak tahan kalau Jaehyun sudah mengeluarkan suara ter-memelasnya itu. Kubalikan lagi tubuhku menghadapnya.

"Oke, kumaafkan. Tapi kau harus memberiku hadiah karena aku sudah memberikan apa yang paling kau inginkan selama ini." Kataku seraya menepuk-nepuk pelan perutku.

"Oh, 'hadiah', ya? Itu mudah..." Jaehyun langsung tersenyum, yang lebih tampak seperti seringai.

Tiba-tiba saja, tanpa peringatan, bibirnya sudah mengunci bibirku. Jaehyun memberikan ciuman terbaiknya sebagai hadiah untukku. Dia menekan tengkukku untuk memperdalam ciuman kami. Cukup lama bibir kami beradu sampai napas kami terengah-engah saat melepasnya. Setelah itu kami saling melempar senyum penuh arti.

"Ayo, sekarang kita pulang!" Jaehyun menggendongku ala bridal, sesuatu yang sangat tak kusukai.

"Ya! Jung Jaehyun, turunkan aku! Ya!"

Jaehyun malah tertawa-tawa senang mendengarku berteriak panik. Dasar suami bandel!

Not END, but AND…

Hwahahaha apa ini? Bukannya lanjutin This Is Not Cinderella Story malah ngepost ini wkwkwk. Ini cuma fanfic lama yang sudah terkubur bertahun-tahun di laptop dan tokoh aslinya bukan Jaeyong, jadi maklumin aja ya kalo bahasa atau ceritanya rada aneh. Gatau kenapa tiba-tiba aja pengen bikin marriage life Jaeong yang fluffy-fluffy aja gitu tanpa konflik yang berat-berat.

Ini cuma selingan aja selagi nyari-nyari ide buat lanjutin TINCS, dan ga ditargetin buat apdet setiap berapa hari/minggu. Cerita setiap chapternya juga ga bakal panjang-panjang dan beberapa udah ditulis dari bertaun-taun yang lalu.

Setiap chapter cerita ini nantinya bakal nyeritain momen-momen di setiap bulan kehamilan Taeyong-eomma. Hihihi. Yang ga suka GS!Taeyong, baca aja dulu, kali aja jadi suka. Pair-pair lain juga mungkin nanti akan muncul dengan GS for uke.

Happy reading!