LavenderBlues

.

Naruto © Masashi Kishimoto

~Story belongs to Sunflowers37~

.

~Don't like Don't read~

Happy Reading

.

Special for NaruHina Wedding Celebration Event

Prompt : Ayah

...

"Seperti apa rasanya akan menjadi seorang ayah?"

Pertanyaan blak-blakan itu ditujukan padanya oleh Nara Shikamaru, sahabatnya. Ia tidak langsung menjawab, oh tentu saja. Jenis pertanyaan yang menggangunya. Dalam artian bahwa ia bukan orang yang cukup cerdas untuk menjawab pertanyaan macam itu.

Ia otomatis menjadi objek tatapan sahabat-sahabatnya yang lain, menunggu jawabannya.

"Pertanyaan yang aneh." Sahutnya sembari tersenyum kecut. Ia tentu saja berusaha menutupi kegugupannya.

Haruno Sakura menggeser posisi duduknya. Manik hijau milik sang gadis berkilat antusias menatapnya. "Oh, Katakanlah. Aku juga penasaran dengan jawabanmu."

Tahan rasa penasaranmu kalau begitu, runtuknya dalam hati. Seolah membaca pikirannya, Sakura bersedekap lantas berdeham ragu, "Ayolah. Semua orang tahu bahwa kalian berdua adalah pasangan yang pertama kali menikah. Tentu saja bukan hal aneh jika kami bertanya."

Bola matanya bergerak liar. Berusaha mencari objek yang tepat untuk ia amati. Gaya bahasa yang jelas menggambarkan bahwa pemuda itu salah tingkah.

"Menurutku, menjadi orang tua terasa masih jauh di masa depan." Inuzuka Kiba ikut bersuara. Manik biru miliknya melirik Kiba tidak mengerti.

Pemuda penyuka anjing itu menghembuskan napasnya sekilas kemudian melanjutkan, "Tapi begitu melihatmu dan Hinata yang akan segera menjadi orang tua, rasanya hal itu menjadi begitu nyata."

"Benar. Mungkin sebaiknya aku tidak mengatakannya didepanmu –apa boleh buat untuk saat ini. Tapi tidak ada yang ingin menjadi ayah karena ia ingin. Kau paham maksudku?" Kini giliran sahabat besarnya Chouji yang ikut bicara. Pipinya yang besar membuat matanya menyipit seraya ia bicara. Terlihat menggemaskan sekalipun Akimichi Chouji sudah bukan di umur yang tepat untuk disebut menggemaskan.

Sai mengangguk membenarkan. Pemuda mantan né Anbu itu memangku dagunya di tangan, menatap dirinya dengan pandangan jauh menerawang. "Bagiku, menjadi orang tua sama halnya seperti bencana alam. Seperti gempa bumi atau petir. Tentu saja aku mengatakan itu Karena aku belum siap menjadi satu diantaranya."

Nara Shikamaru tersenyum tipis. Tangan yang dibalut kaos panjang Shinobinya terulur menyambar ocha yang ditawarkan teman satu timnya, Ino. "Rasanya kau dan Hinata menjadi jauh tapi tak begitu jauh. Untuk saat ini hal itulah yang kupikirkan."

"Ya, Tepat sekali." Ino merespon riang. "Begitu mendengar bahwa kalian berdua akan menjadi orang tua, aku sebenarnya merasa sedikit gugup. Kau tahu? Rasanya kalian berdua begitu jauh mendahuluiku dalam hidup sekalipun kalian adalah yang termuda diantara kami."

Tenten mengangguk, "Kehidupan itu begitu misterius, ya?"

Ia mengusap tengkuknya. Memandang sahabatnya bergantian. Sungguh, sebelum ini ia bahkan sama sekali tidak memerkirakan respon para sahabatnya begitu ia berencana memberitahukan mereka perihal kehamilan istrinya.

'Seperti apa rasanya akan menjadi seorang ayah?'

Ah, benar. Pertanyaan itu masih saja mengganggunya.

Seperti apa rasanya? Jangan bercanda. Ia sendiri bahkan belum bisa menggambarkan perasaannya sendiri begitu Hinata pertama kali memberitahukannya bahwa gadis –Ah, ralat. wanita– itu sedang mengandung.

Hm, mungkin ia harus kembali meminjam buku dari Sai. Pemuda itu selalu memiliki barang bagus untuk bahan belajar. Dan siapa tahu pemuda pucat itu juga memiliki buku perihal bagaimana menjadi ayah yang baik atau semacamnya.

Paling tidak itulah gagasan terbaik yang bisa dipikirkannya untuk saat ini.

.

Naruto tidak bisa menolak permintaan istrinya untuk berkunjung ke kediaman Hyuuga. Ia menyetujuinya karena ia ingat betul bahwa sang ayah mertua –Hyuuga Hiashi– dan para Hyuuga lainnya belum mengetahui perihal kehamilan Hinata.

Jalanan menjadi terlampau ramai siang itu. Konoha kini tengah memasuki bulan Maret. Tidak mengherankan melihat banyak orang membawa serta keluarganya piknik diluar untuk sekedar melakukan Hanami. Ia mungkin akan mengajak Hinata ber-hanami kapan-kapan.

Omong-omong soal Hinata, Wanita yang kini tengah berjalan disampingnya itu menatapnya dengan seulas senyum manis yang membuat Naruto merasakan hatinya mulai menghangat. Tipe senyuman yang mampu menghangatkan hati yang beku sekalipun. Oh, sial. Senyuman Hinata memang selalu mematikan. Mematikan yang baik tentu saja. terlebih untuk dirinya.

Naruto berdeham. Berusaha menetralkan rasa gugupnya, "Apa ada sesuatu di wajahku?"

"Tidak." Jawab Hinata sembari menggeleng anggun. Naruto mengerucutkan bibirnya. Jawaban yang sama sekali tidak meyakinkan. Ia memang bodoh, tapi setelah ia memutuskan untuk bersama dengan wanita itu, ia jadi terlampau mengenal wanita Uzumaki itu dengan baik. Karena itu, mudah baginya menilik kebohongan kecil yang di ucapkan istrinya.

"Kau tahu benar bahwa aku sama sekali tidak percaya dengan jawabanmu 'kan, Hinata?"

Uzumaki Hinata meletakan telapak tangannya di depan bibir, berusaha menahan tawanya, "Sungguh tidak ada. Aku hanya…"

"Kau hanya..?" Selidik Naruto tidak sabaran.

"Baiklah. Kau menang. Aku hanya membayangkan bagaimana reaksi Tou-sama dan yang lain begitu kita memberitahu mereka soal kehamilanku."

Naruto mengangguk mengerti. Benar juga. Ia sama sekali belum memikirkannya. Bagaimana reaksi Hiashi perihal kehamilan putri sulungnya? Apakah pria tua itu akan kehilangan kontrol atas wajah datarnya? Atau bisa jadi Pak tua itu akan datang padanya kemudian menghajarnya habis-habisan sebelum memberinya ucapan selamat?

Mata birunya menyipit. Tentu saja itu bukan hal yang mustahil. Bagaimanapun, ia lah orang yang bertanggung jawab atas kehamilan putri kesayangannya. Sekalipun keduanya sudah menikah, Naruto tidak memiliki rasa percaya diri sebesar itu untuk mengatakan bahwa Hyuuga Hiashi bisa secepat itu merelakan putrinya di persunting orang lain.

Mungkin ia harus menyiapkan diri untuk menerima paling tidak satu –atau dua– juuken yang akan bersarang tepat di salah satu bagian tubuhnya.

"Hinata nee-sama! Naruto nii-sama!"

Suara manis nan lantang yang sudah sangat dikenalnya membuyarkan lamunan sang Jinchuuriki tak tanggung-tanggung.

"Oi! Hanabi!" Sapa Uzumaki Naruto ceria sembari melambai-lambaikan tangannya di udara.

Gadis manis dengan rambut panjang coklat itu berlari dengan langkah kecil kearah keduanya. Natsu yang merupakan pengasuh Hanabi sedari kecil mengekorinya dari belakang.

"Selamat siang. Bagaimana kabar kalian?" Hanabi menghentikan larinya tepat lima langkah didepan suami-istri Uzumaki.

Uzumaki Naruto berinisiatif menjawab, "Kami baik sekali. Kuharap kau juga sama, Hanabi, Natsu-san. Omong-omong, Kami punya beberapa keperluan disini."

"Tentu saja baik. Dengan Natsu yang selalu mengomeliku, mustahil aku bisa lolos darinya." Sahut Hanabi sembari menunjuk pengasuhnya. "Dan tunggu dulu. Apa maksudmu dengan beberapa keperluan?"

Hinata yang sedari tadi diam balik bertanya, "Apakah Tou-sama ada?"

Hyuuga Hanabi mengerutkan hidungnya. "Chichi-ue? Beliau baru saja pulang dari pertemuan diplomatik dengan Klan Taketori. Sekarang ini beliau sedang beristirahat di rumah."

Hinata memertemukan maniknya dengan milik Naruto. Keduanya saling melempar senyum. Kemudian wanita Uzumaki itu menjawab, "Syukurlah kalau begitu."

Hanabi adalah gadis muda yang memiliki intelejensi yang tinggi. Ia di besarkan sebagai pewaris Hyuuga untuk menggantikan kakaknya. Gelagat kakak dan kakak iparnya jelas terlihat aneh di matanya. "Baiklah, Ini semakin mencurigakan dan aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bertanya. kenapa tiba-tiba saja kalian berdua ingin bertemu Chichi-ue? Apakah ada hal penting yang harus di sampaikan?"

Sang bungsu Hyuuga mengembangkan senyum jahilnya. Ia mencondongkan tubuhnya kearah sang kakak ipar, menatapnya dengan tatapan menggoda. "Kau tidak perlu menjawab. Biarkan aku menebaknya. Dan lagi, aura macam apa ini? Jangan katakan bahwa kau sudah membuatnya hamil?"

Uzumaki Naruto tersentak keras dengan wajah memerah. Pun begitu dengan Hinata dan Natsu. Tentu saja ketiganya malu. Mengingat Hanabi bahkan mengatakannya dengan volume suara yang membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh lantas berbisik-bisik mencurigakan.

Natsu menyentuh sebelah bahu sang bungsu Hyuuga. "Hanabi-sama! Tolong jaga privasi Hinata-sama dan suaminya. Anda sudah terlalu lancang."

Hanabi mendengus pelan. Gadis muda Hyuuga itu mengarahkan telunjuknya kedepan wajah Uzumaki Naruto. "Cih, Kalau kau memang laki-laki, seharusnya kau sudah membuatnya hamil sekarang."

"Hanabi-sama!"

"Ayolah, Natsu!"

"D-Daripada itu, lebih baik kami segera pergi menemui Tou-sama. Bagaimana kalau kalian juga ikut?" Naruto beryukur dengan keputusan istrinya untuk mengganti topik pembicaraan. Ia tidak bisa memastikan bahwa ia bisa bertahan lebih lama lagi menjadi tontonan publik gratis.

.

"Sudah lama sekali tidak melihatmu kemari."

Suara datar itu mengambil seluruh atensinya. Uzumaki Naruto menoleh kebelakang. Menatap Hyuuga Hiashi yang kini tengah berdiri di ambang pintu ruang keluarga.

Ia lekas berdiri dan membungkuk memberi hormat –diikuti Hinata yang berposisi tepat di sampingnya. Hyuuga Hiashi berjalan mendekat, mengambil posisi duduk di depannya.

"Ada perlu apa hingga kalian berdua repot-repot datang kemari?"

Naruto meringis tertahan. Nada bicara yang digunakan ayah mertuanya membuatnya merasa bahwa ia adalah pria brengsek yang dengan lancang berusaha merebut kepunyaannya. Sejujurnya ia tidak keberatan sama sekali. Ia sudah sering berhadapan dengan sang kepala keluarga Hyuuga. Dan tentu saja hal paling mengerikan yang bisa diingatnya adalah bagian dimana ia datang kemari satu tahun lalu untuk meminta kepemilikan atas Hyuuga Hinata dari tangan seorang Hyuuga Hiashi.

Oh, astaga. Ia bersumpah. Sejauh yang bisa diingatnya, momen itu merupakan momen paling menegangkan yang pernah dialaminya seumur hidup –sekalipun tentu saja harus ia akui bahwa malam pengantinnya dengan Hinata juga nyaris sama menegangkannya.

"Aku bertanya padamu dan kau malah melamun. Begitu caramu bersikap kepada ayah mertuamu, Uzumaki Naruto?"

Naruto tersentak kecil. Bola mata birunya bergerak gelisah namun dengan keberanian yang susah payah dikumpulkannya, ia akhirnya mampu menatap lavender Hiashi yang tertuju kearahnya.

"A-ano.. sebenarnya ada suatu hal yang ingin kami beritahu-dattebayo."

Sebelah alis Hyuuga Hiashi terangkat naik. Mata birunya melirik Hinata sejenak. Wajah istrinya sudah memerah padam. Naruto bisa saja menyerang wanitanya andai ia tidak tahu diri dengan mengabaikan sang ayah mertua. Dan, tidak. Ia lebih baik untuk mencari aman.

Hinata menundukan kepalanya. "T-Tou-sama.. ano.. etto.."

"Cukup sudah 'ano'nya. Ada apa dengan kalian? Bicaralah yang jelas!"

"S-sebenarnya.." Uzumaki Naruto menelan salivanya. Menyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah memilih keputusan yang benar. Safirnya menatap Hyuuga Hiashi lurus-lurus. "Dalam kurun waktu dekat ini, Kau mungkin harus menyiapkan diri untuk bertemu dengan cucu pertamamu-dattebayo."

Naruto memejamkan matanya kuat-kuat. "H-Hinata-san sekarang ini sedang mengandung anakku. usianya sudah menginjak tiga minggu-ttebayo!"

"….."

Hening sejenak.

"Apa?"

Dan sang Jinchuuriki Kyuubi bertanya-tanya dalam hati bagaimana sepatah kata sederhana itu bisa terdengar begitu menakutkan.

.

Naruto tahu bahwa seorang Hyuuga Hiashi adalah tipikal pria yang tidak suka sesuatu yang sudah menjadi miliknya di ganggu. Dan putrinya mungkin ada di urutan nomor satu untuk itu. Ia bisa maklum dengan tingkah sang ayah mertua. Mungkin itulah yang disebut dengan naluri seorang ayah.

Hey, coba bayangkan. Kau memiliki seorang anak. Kau merawat dan menjaganya dengan seluruh jiwamu. Melindunginya dengan sangat baik melebihi caramu melindungi dirimu sendiri. Dan ketika anakmu dewasa, kau harus memberikan anak yang sudah kau jaga dan kau sayangi melebihi seluruh isi dunia ini kepada orang lain. Tenrdengar mudah namun sulit untuk dilakukan. Terlebih jika anakmu adalah seorang perempuan.

Sudut bibir Naruto terangkat. Jika kelak memiliki anak perempuan, ia mungkin akan melakukan hal yang lebih parah dari Hiashi. Ia tidak akan membiarkan anaknya direbut darinya semudah itu.

Setelah memberitahukan sang ayah mertua perihal kehamilan istrinya, Hiashi memintanya untuk keluar dari ruangan itu. Untuk sesaat ia merasa heran. Namun ia tetap menurut. Ia membiarkan Hinata berbicara berdua dengan ayahnya. Bagaimanapun Hinata jauh lebih dulu memiliki ayahnya ketimbang dirinya. Jadi ia harus mengerti.

Uzumaki Naruto menyelenjorkan kakinya di teras kediaman Hyuuga. Sesekali menyapa keluarga Hyuuga lainnya yang berlalu-lalang di koridor.

"Apa kau sudah menyiapkan nama?"

Naruto menahan napas untuk beberapa saat. Ia menoleh kesamping begitu merasa seseorang mendekat kearahnya dan mengambil posisi duduk di samping kanannya.

Jinchuuriki Kyuubi itu ragu sejenak. Ia menelan ludah kemudian menggeleng pelan.

Hyuuga Hiashi menghela napasnya. Manik lavendernya yang tegas menatap lurus kedepan –kearah pohon Sakura. Seolah enggan menatapnya. Padahal Naruto yakin wajah tampannya jauh lebih sedap dipandang ketimbang pohon sakura yang sudah kolot itu.

"Hinata dimana?"

"Dia bersama Hanabi. Ada apa? Kau tidak suka mengobrol denganku?"

"Bu-Bukan seperti itu-ttebayo."

"….."

Hening menyelimuti.

'Seperti apa rasanya akan menjadi seorang ayah?'

Pertanyaan itu. Pertanyaan yang hingga kini masih belum bisa di jawabnya. Mata biru milik sang tunggal Uzumaki menatap Hiashi lekat.

Naruto membuka mulutnya, "Ano.. Sebenarnya.. ada yang ingin kutanyakan."

Ayah mertuanya tidak bergeming. Ia tidak pandai berhadapan dengan petinggi-petinggi klan Hyuuga. Ia juga tidak berniat mengenal kebiasaan atau tingkah laku satu diantanya. Namun ini pengecualian. Pria tua disampingnya bukan hanya petinggi klan biasa. Pria disampingnya adalah ayah mertuanya. Ayah dari wanita yang amat di cintainya. Dan tanpa memikirkan lebih lanjut, Naruto memilih untuk melanjutkan perkataannya. "Seperti apa rasanya menjadi seorang ayah?"

Dahi Hyuuga Hiashi mengkerut. Ia menatap menantunya heran.

Uzumaki Naruto yang mengerti maksud dari tatapan ayah mertuanya balas tersenyum kikuk. "Sebenarnya pertanyaan itu tadi ditanyakan Shikamaru padaku. Kau tahu, sebelum ini aku bahkan sama sekali tidak memikirkannya-ttebayo."

"Aku tidak benar-benar hidup dengan sosok ayah disampingku. Sejak dulu aku selalu sendirian. Beberapa tahun lalu aku bahkan tidak mengenal siapa ayahku-dattebayo. Sekalipun kami sudah bertemu di medan perang, namun aku dan Tou-chan tidak banyak memiliki waktu untuk bicara. Kau tahu maksudku. Karena itu.. begitu Hinata memberitahuku untuk pertama kalinya bahwa aku akan menjadi seorang ayah.. aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bingung. Apa yang harus kulakukan? Apa itu sosok ayah sebenarnya?

"Pada akhirnya aku hanya bisa bertanya-tanya pada diriku sendiri. Bisakah aku menjadi ayah yang baik? Apakah kelak anakku akan bangga memunyai ayah sepertiku? Seorang ayah yang notabenenya adalah seorang Jinchuuriki? Atau.."

"Kau terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak, Naruto." Potong Hiashi. Naruto tidak bisa menangkap perubahan ekspresi apapun di wajah keriput mertuanya. Pandangan kepala klan Hyuuga itu kembali menatap lurus kedepan tanpa berniat menjawab penkataannya tadi.

Uzumaki Naruto menatap Hiashi bersungguh-sungguh. "Tidak adakah sesuatu yang ingin kau katakan padaku-ttebayo?"

"…." Tidak ada respon.

"Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan?"

"Apa ada sesuatu yang ingin kau dengar?"

Naruto menatap ayah mertuanya dengan mata disipitkan. Ia menggerutu dalam hati. Terkadang orang jenius memang sulit dimengerti.

"Hinata putriku. Sejak awal anak itu lahir, tangisnya seperti lonceng malaikat. Begitu melihatnya, bulan desember hari itu kehilangan semua pesonanya di mataku. Tergantikan oleh sosok Hinata yang berada di pangkuan ibunya." Tutur Hiashi. Dengan atau tidak disadarinya, Naruto menangkap segenap kehangatan yang tiba-tiba terpancar dari mata lavender milik seorang Hyuuga Hiashi.

Oh, pembicaraan macam ini tidak sering terjadi. Hiashi adalah tipikal pria yang menutup diri. Ia tidak akan sudi menampakan emosinya dengan begitu mudah terutama pada putri-putrinya. Lantas apa alasan Hiashi berbicara dengannya seperti ini? Naruto tidak berani berandai.

"Bagiku yang sudah tua ini, cinta adalah putri-putriku. Yang tidak mampu kusebut kecuali dengan denyut. Dan selagi aku masih hidup, aku tak lelah merindukan keduanya, tak kurang pula mencintainya."

Naruto menimbang-nimbang. Haruskah ia menyela? Haruskah ia menjawab? Dilihat darimanapun, pekataan Hiashi lebih cenderung bisa diartikan sebagai penyataan yang tidak memerlukan jawaban.

Jadi.. Tidak. Naruto tidak akan menjawabnya.

Hyuuga Hiashi menegadah kelangit. Menikmati angin musim semi yang menerpa wajah tuanya dengan halus. "Bisakah benci meredahkan luka? Karena jika bisa, mulai hari dimana aku menyakiti putri sulungku, aku membenci diriku sendiri."

"Aku membangun jarak yang begitu lebar dengan Hinata disaat dimana ia membutuhkanku. Dan tanpa kusadari.. jarak yang memisahkan kami bahkan lebih dingin dari udara yang dilahirkan hujan."

"…."

"Hingga putriku bertemu denganmu."

Naruto tersentak lantas menoleh cepat. Pegangannya pada ujung jaket orangenya menguat. Hiashi mengeluarkan suara setengah mendengus setengah tertawa. "Hinata putriku yang awalnya begitu tidak percaya diri dan selalu diam tumbuh menjadi seorang kunoichi yang baik dan tangguh. Itu semua karena kau bersamanya, Uzumaki Naruto."

"Itu tidak benar-ttebayo!" Tatapan Hiashi yang mengarah padanya membuat napasnya tercekat untuk beberapa saat. Naruto menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ia kembali menunduk memandangi kakinya tidak focus. "Hinata.. Sekalipun ia berkata akulah yang berperan penting dalam kehidupannya. Pada kenyataannya.. aku tidak pernah melakukan apapun."

"Kau tidak perlu melakukan apapun."

Sekali lagi sang Jinchuuriki menoleh kearah ayah mertuanya. Sang ayah mertua menutup matanya beberapa detik kemudian berkata, "Kau tidak melakukan apa-apa. Kau juga tidak perlu berbuat apa-apa. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa kau ada dan putriku bisa melihatmu."

Manik Naruto terbelalak lebar. Ia berani bersumpah. Ekspresi wajah Hiashi melembut saat itu seiring dengan suaranya.

Angin musim semi kembali menerpanya. Beberapa kelopak sakura berjatuhan. Beberapa ada yang tepat mendarat di pangkuannya.

Jika diingat kembali. Ia pun menikahi Hinata di musim yang sama. Bulan maret, musim semi tahun lalu, ia dengan resmi menjadikan gadis Hyuuga yang paling dicintainya menjadi seorang wanita Uzumakinya. Wanita nomor satunya. Bagian lain dari jiwanya.

Ia ingat betul saat disaat dimana napasnya tercekat dan jantungnya yang bertalu lebih keras begitu pertama kali melihat Hinata dalam balutan kimono putihnya di dampingi sang ayah. Oh, sungguh. Tak ada satupun hal di dunia ini yang mampu melampaui kebahagiaannya begitu ia dan Hinata berdiri di tengah-tengah pesta. Di kelilingi sahabat serta kerabat terdekatnya.

Mengingatnya, Naruto tertawa lirih dan tersenyum lebar. Wajah ayah mertuanya mengerut dengan puas. Tangan tua milik Hiashi terangkat. Menyentuh puncak kepala Naruto sembari menutup matanya. Ia menyunggingkan seulas senyum tipis yang membuat sang Jinchuuriki terpaku melihatnya.

"Hinata adalah putriku yang berharga. Dia adalah mimpiku. Mulai hari dimana kau menikahinya, kau juga menjadi bagian dari mimpiku. Kebahagiaan kalian berdua adalah impianku. Karena itu, berbahagialah, putraku."

Naruto nyaris yakin ia bisa merasakan hatinya luluh saat itu.

Ia memutuskan untuk membiarkan tangan Hiashi berada diatas kepalanya. Memalingkan wajah demi menatap sang ayah mertua. "Kami pasti akan bahagia…"

"..bersama anak kami nanti." Tambahnya dengan yakin.

.

Setelah menjalani masa-masa sulit sebagai ibu hamil, akhirnya tiba hari dimana Hinata melahirkan.

Uzumaki Naruto sebagai suaminya tidak mau meninggalkan istrinya sendiri di ruang bersalin. Ia terus menggenggam jemari istrinya ketika wanita itu mengalami kontraksi.

Uzumaki Hinata pingsan berkali-kali. Kemudian ia terbangun karena rasa sakitnya. Terlampau kejam hingga Naruto merasa ingin berpaling. Lama sekali dan rasanya akan berlanjut tanpa akhir. Melihat istrinya yang berjuang keras membuatnya juga ingin pingsan.

Mungkin hatinya tidak siap. Mungkin juga ia sudah putus asa.

Kalau bisa, ia ingin sekali menggantikan Hinata merasakan rasa sakit yang menyiksanya.

"Hinata. Kuatkan dirimu-ttebayo! Hinata!"

Napas wanitanya tersendat-sendat. Hinata mungkin sudah tidak mengindahkan perkataannya. Wanita Uzumaki itu hanya mampu merintih disela teriakannya dan mengapit tangan suaminya erat-erat.

Hingga suara tangis bayi mendekap telinganya. Mengenyahkan kegundahannya begitu saja, membuat tubuhnya lemas seketika itu juga.

.

"Selamat siang, Boruto. Kau begitu tampan. Akhirnya aku bisa bertemu denganmu."

Uzumaki Hinata menimang putranya dengan sayang. Wanita itu mengecup puncak hidung si bayi pelan. Berlanjut ciuman beruntun ke kedua pipinya, bibir, dahi dan daerah sekitar wajah bayi mungil itu.

Naruto diam mematung tidak jauh dari pintu. Ini kali pertamanya ia melihat putranya yang sudah dinamainya Uzumaki Boruto. Dan kini putranya tengah berada di gendongan wanitanya. Tertidur pulas di pelukan ibunya yang hangat. Melihatnya membuat ia merasa… entahlah. Kata mana yang sebaiknya ia pilih untuk mengatakannya. Terpesona? Entahlah. Ada banyak sekali kata yang menginvasi otaknya dan hingga saat ini ia masih belum menemukan pilihan kata yang tepat.

Terlebih, kini hanya mereka bertiga diruang itu. Hanya bertiga. Sebagai sebuah keluarga. Ia meringis begitu hatinya berbisik dan berkata, pantaskah ia bergabung dengan Hinata disana? Bagaimana jika Boruto akan menangis jika ia mendekat? Bagaimana jika ia tidak bisa memenuhi harapan Hinata padanya sebagai seorang ayah yang baik?

"Hinata.. Apa kau membutuhkan sesuatu?" Tanyanya sedikit canggung. Hinata berpaling padanya, menatapnya dengan mata Lavendernya yang menawan. "Kau bisa meminta apapun itu-ttebayo. Aku juga bisa memanggil Sakura-chan jika kau mau. Shikamaru dan yang lain juga akan berkunjung nanti."

Hinata menggeleng pelan. Bibir merah muda istrinya tertarik dengan anggun. "Terima kasih. Tapi saat ini aku tidak membutuhkan apapun. Selain itu…." Hinata menggantungkan kalimatnya. Ia menatap suaminya geli. "Kenapa Naruto-kun sedaritadi berdiri di depan pintu? Kenapa kau tidak mendekat kemari?"

".…"

Melihat tidak ada respon dari suaminya, Hinata melembutkan tatapannya. "Tidakkah kau ingin melihatnya? Aku yakin Boruto juga ingin bertemu denganmu."

Dengan langkah ragu, Naruto berjalan mendekati ranjang tempat istrinya duduk. Uzumaki Naruto menatap putranya dengan manik berbinar antusias. "Whoaa.. Dia kelihatan seperti monyet dan sangat kecil-dattebayo."

Hinata tertawa kecil. Ia menguraikan sedikit gendongannya pada sang bayi. "Dia benar-benar mirip dengamu 'kan?"

Ia mungkin terlalu terpesona dengan wajah putranya hingga yang bisa ia lakukan untuk menjawab pertanyaan Hinata hanyalah sebuah anggukan.

"Apakah kau mau menimangnya, Naruto-kun?" Tanya Hinata sembari tersenyum.

Pemuda dewasa Uzumaki itu menoleh kearah istrinya dengan panik. "Eh?! Tidak. Itu.." Naruto meruntuki dirinya dalam hati. Tidak bisakah ia mengatakannya dengan lebih cerdas lagi. Bagaimanapun ia harus terlihat keren di depan putranya.

Naruto berdeham. "Jika kulakukan aku takut aku akan menghancurkan kepala Boruto atau hal semacamnya-ttebayo."

"Tentu saja itu tidak akan terjadi. Kemarikan tanganmu."

Dengan setengah kikuk, Naruto mengikuti intruksi Hinata agar ia bisa menggendong putranya. Dan, voila! Dengan sukses Boruto kini sudah ada dalam gendongannya.

Mata biru Naruto berbinar kagum. Ada berbagai perasaan yang membanjiri hatinya saat ini. Putranya begitu mirip dengannya. Benar-benar seperti kagebunshinnya versi mini.

"Naruto-kun.. Cobalah untuk berbicara padanya."

Naruto ragu sejenak. Ia membuka mulutnya, namun kembali tertutup sedetik kemudian. Apa yang harus di katakannya? Naruto berharap setidaknya kali ini kata-katanya bisa membuatnya terlihat keren dimata putra dan juga istrinya.

"B-Boruto.. Ini Pa–" Naruto menghentikan perkataannya tiba-tiba. Tunggu dulu. Ia sungguh harus menentukan nama panggilan untuknya saat ini. Akan ia panggil apa dirinya di depan anaknya?

Papa? Tou-san?

Ah, segala hal jadi rumit jika kau berhadapan dengan kondisi yang mengharuskanmu untuk memilih.

"I-ini Tou-chanmu-ttebayo!"

Boruto yang berada di gendongannya menggeliat kecil. Seolah merespon perkataan ayahnya. Bayi mungil itu lantas membuka matanya untuk pertama kali. Biru cerminan langit milik Uzumaki Naruto bersirobok dengan manik identik milik putranya.

Melihatnya membuat Naruto tertegun.

Apa ini rasanya menjadi seorang ayah?

Ia tidak bisa menahan rasa takjubnya yang kemudian mewujudkan diri sebagai air mata yang tiba-tiba berkumpul di pelupuk matanya.

Uzumaki Naruto mengubah tipe senyumnya dari cengiran lebar menjadi sesuatu yang tulus dan begitu bermakna –sebuah lengkungan tipis yang berwibawa. Gambaran kebahagiaan terpatri tulus dari raut wajahnya.

"Hinata.. Menurutmu apakah Boruto tahu bahwa dunia ini juga diisi oleh kesedihan?"

Uzumaki Hinata membenarkan posisi duduknya. Menatap suaminya lekat. Sosok Naruto yang tengah menggendong putranya membuat pria yang menjadi suaminya itu berkali lipat terlihat lebih tampan di matanya.

"Gaara pernah berkata padaku bahwa seorang seorang bayi harus menangis begitu ia dilahirkan. Karena ia terlahir di dunia yang di penuhi penderitaan. Kali ini.. aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum ketika aku melihat putraku-ttebayo.

"Dia begitu kecil dan rapuh. Sulit di percaya bahwa sesuatu yang sangat kecil nyatanya mampu membawa begitu banyak kebahagiaan dalam hidupku." Katanya pelan.

"…."

Naruto menyentuhkan hidung mancungnya dengan milik Boruto. Tersenyum simpul. "Ini semua karena dirimu Hinata."

Hinata tersentak kecil. Ia sungguh ingin menangis namun ia coba untuk mengendalikan dirinya. Uzumaki Naruto menatapnya lurus-lurus. "Terima kasih karena sudah lahir ke dunia ini. Terima kasih karena selalu berada di sampingku. Terima kasih karena sudah bersedia menikahiku." Cairan bening yang sedari tadi bertahan di pelupuk mata suaminya memaksa keluar. Jatuh begitu saja di pipinya. Namun tentu saja air mata itu tidak mampu melunturkan senyuman yang kini terukir apik di wajah Uzumaki Naruto.

"Terima kasih karena kau bersedia menjadi keluargaku. Dan karena telah menjadikanku ayah dari anak ini… aku benar-benar berterima kasih."

Hinata menggigit bibir bawahnya. Tangan putihnya terangkat mengusap air yang menganak sungai di pipi suaminya. "Kau tidak perlu mengatakannya. Mendengarnya darimu membuatku ingin menangis."

Uzumaki Hinata membimbing wajah suaminya mendekat. Memertemukan dahi keduanya. Naruto membeku. Bulan purnama yang tercermin sempurna dalam mata istrinya benar-benar sebuah sumber hipnotis yang memabukan.

"Sejak dulu, sengaja kukagumi seorang bernama Uzumaki Naruto, yang darinya aku belajar tentang jalan ninja, pantang menyerah, senyuman sehangat fajar, kesetiaan dan cinta tanpa batas. Semua kulakukan atas kehendakku sendiri. Kau sama sekali tidak perlu berterima kasih untuk itu."

Naruto merasakan sebuah kehangatan luar biasa yang meluapi hati dan perasaannya. Inikah kehangatan memiliki keluarga itu?

Lagi-lagi ia tersenyum. Ia sungguh kehabisan kata untuk menjawab. pembendaharaan katanya langsung lenyap begitu saja saat manik Hinata bersirobok dengannya.

Naruto merasa bahwa berpandangan dengan wanitanya membuatnya memiliki hasrat untuk Hinata. Ia ingin mengekspresikan kebahagiaannya dengan cara yang lain. Ia sama sekali tidak ingin menyembunyikan kebahagiaannya. Maka Uzumaki Naruto memilih untuk melakukan apa yang harus di lakukannya saat ini.

Diciumnya bibir wanitanya lembut. Tak peduli bahwa mungkin putranya bisa saja merasa cemburu.

Siapa peduli? Ia hanya ingin mencium wanita itu agar istrinya ini tahu bahwa dirinya memiliki cinta yang sungguhlah besar. Bukan untuk orang lain. Melainkan untuk wanitanya. Istrinya. Hinatanya.

.

'Seperti apa rasanya akan menjadi seorang ayah?'

Jika boleh jujur, ia masih merasa kebingungan untuk menjawabnya. Seperti yang dikenal banyak orang, ia bukan tipikal orang yang bisa menyusun kata-kata yang mungkin bisa memuaskan pertanyaan orang-orang.

Perasaan seorang ayah menurutnya harus di rasakan untuk bisa di mengerti. Perasaan yang hanya bisa dijawab oleh dirimu sendiri. Bukan orang lain.

Namun satu hal yang pasti bisa ia katakan.

Naruto menemukannya. Akhirnya ia menemukannya. Sesuatu yang selalu ada untuknya. Sesuatu yang dibangunnya bersama Hinata. Sesuatu yang hanya bisa dilindungi olehnya.

Hal berharga yang hanya bisa dilindungi olehnya sebagai seorang suami, juga sebagai seorang ayah. Hal itu ada disini.

Keluarganya sendiri.

~À bientôt~

A/N: Hallo, semua! Sebelumnya Bieber mau mengucapkan banyak terima kasih kepada Kakak-kakak –uhuk-tua-uhuk– *lirik anggota Sunflowers37 lain* yang karena mereka Bieber akhirnya ngebut nyelesain chapter ini.

Dan sebagai yang paling imut –coret- bontot, Bieber mengalah saja dapat bagian pertama sekalipun rasanya frustasi minta ampun gara-gara belum dapet ide sampai pertengahan Februari X'D

Apa boleh buat, soalnya Bieber lagi senang-senangnya berkecimpung di dunia per-fanart-an X'D

Speaking about fanart, sudahkah kalian mengikuti challenges untuk memeriahkan NaruHina Wedding Celebration Event di Facebook? ^^

Jika belum, Bieber mengajak kalian semua untuk turut bergabung memeriahkan event yang di dedikasikan untuk pernikahan OTP tercinta kita ini. Bagaimana caranya?

Mudah sekali. Silahkan ketik "NaruHina Wedding Celebration" di kolom search. Event ini memiliki satu grup dan satu halaman acara. Ada banyak sekali challenge menarik yang bisa diikuti siapun (sekalipun mungkin kalian merasa tidak memiliki bakat dalam menulis/menggambar atau lain sebagainya, tidak masalah! Banyak challenges menarik lainnya!).

Karena itu, mari bergabung dan meriahkan pernikahan Naruto dan Hinata bersama-sama! ^^

Kami tunggu partisipasinya~

Akhir kata,

Mind to Review?