POLAR

.

.

a story by minseokmyass

www asianfanfics com/story/view/1016240/polar-mingyu-seventeen-meanie-wonwoo-meaniecouple

Disclaimer : I do not own this story. I got the permissions to translate and post the fic here.

Rate : T

Kim Mingyu

Jeon Wonwoo

and the others SVT members

Happy reading!


#26 Too Late

Wonwoo beristirahat di rumah sakit selama sisa akhir pekannya, orangtuanya bergantian menemaninya. Meskipun Wonwoo merasa senang orangtuanya menemaninya, orang yang benar-benar Wonwoo inginkan untuk datang menjenguknya tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Jun mengunjunginya dua kali dalam 2 hari, dan hanya tinggal selama sekitar satu jam tiap ia berkunjung. Wonwoo begitu menyukai keadaannya yang kini sulit bergerak, dan mengutuk tulangnya yang patah karena kalau bukan karena tulangnya yang patah, ia mungkin sudah akan berlarI, mencari, dan mencium lelaki bodoh yang sudah mematahkan hatinya, dan juga miliknya sendiri. Ketika Jun berkunjung, Wonwoo akan meminta nasihat tentang bagaimana cara memperbaiki hubungan mereka.

"Jadi, kau benar-benar akan mengejarnya?"

Wonwoo kembali menyesap bubble tea yang dibawakan Jun untuknya.

"Well, ya." Ia menjawab.

"Tapi tidakkah menurutmu dia yang seharusnya melakukan itu?" Jun berkata, jujur.

Wonwoo berpikir beberapa saat dan menjawab,

"Dia tidak akan melakukannya. Kau tahu dia idiot. Jika dia cukup bodoh untuk berpikir kalau memutuskan hubungannya denganku akan membuatku menjauh dari hidupnya, dari segala kemungkinan, maka dia pasti juga cukup bodoh dan berpikir kalau aku benar-benar membencinya…" Wonwoo berkata.

"Plus, dalam sebuah hubungan ada 2 orang yang terlibat, kan? Dia sudah mencoba berusaha, meskipun keputusannya benar-benar buruk, maksudku, siapa orang yang akan mematahkan hati seseorang seperti itu? Tapi- dia melakukannya dengan maksud yang menurutnya terbaik untukku… Jadi aku juga harus berusaha, kan?" Wonwoo melanjutkan, memberikan Jun sebuah senyuman lebar.

Jun menatap sahabatnya yang kini tidak bisa banyak bergerak dan berkata,

"Sepertinya kalian berdua memang pantas mendapatkan satu sama lain."

Jun berdiri dari duduknya dan memakai tasnya.

"Apa maksudmu?"

Jun terkekeh dan mengacak rambut Wonwoo yang sudah berantakan karena terlalu banyak tiduran, dan berkata

"Karena kau, Tuan Jeon, juga cukup bodoh karena masih mencintainya."

Wonwoo mengerutkan hidungnya dan menjulurkan lidahnya kea rah sahabatnya yang berjalan menuju pintu kamar rumah sakitnya. Jun membalasnya dengan tertawa lalu melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal padanya.

Wonwoo duduk di kasur rumah sakitnya, meminum bubble teanya, dan berpikir. Merancang sebuah rencana untuk mendapatkan kekasihnya kembali. Ia tahu kalau perasaan itu masih sama, tapi Sungwon tidak membuat segalanya mudah. Wonwoo memikirkan tentang masa lalu Mingyu, masa lalunya dengan Seokmin yang hingga kini masih menghantuinya, dan selalu menghambatnya untuk terus berjalan ke depan.; Ketua Kelas itu tidak tahu bagaimana caranya bicara pada lelaki yang ia cintai, untuk move on dari Seokmin tanpa menyinggung perasaannya. Ia memainkan beberapa scenario di kepalanya, tapi semuanya selalu berakhir dengan Mingyu yang marah dengan caranya mengekspresikan dirinya, atau mereka yang tidak saling bertemu, membuat kesalahpahamannya semakin membesar. Ia tidak mau itu terjadi, jadi ia melanjutkan memikirkan caranya bicara pada Mingyu dan mengatakan padanya bahwa sudah terlambat untuk menyuruhnya menjauh dari hidupnya. Selagi ia berpikir, bayangan tentang pagi kemarin berputar di kepalanya. Ia ingat hanya melihat 2 cincin di kalung Mingyu.

Apa yang terjadi dengan cincin miliknya? Atau mungkin milik Seokmin?

Pertanyaan ini mengganggu Wonwoo selama sisa hari itu, dan pada Minggu malam, anak itu memutuskan untuk masuk sekolah keesokan harinya dan mengkonfrontasi Mingyu dengan berbagai pertanyaan, kekhawatiran, dan rencananya di masa depan. Untungnya, ia sudah bisa pulang ke rumah pada Minggu malam, dan bisa tidur dengan nyaman di tempat tidurnya sendiri.

Wonwoo memasuki kamarnya dan langsung disambut oleh beberapa hal yang membuatnya menangis tanpa henti beberapa minggu lalu. Jaket merah yang menggantung di balik pintunya, ia meraih jaket itu, dan memeluknya.

Kau sangat bodoh.

Ia berbicara pada jaket itu seakan ia berbicara dengan Mingyu. Wonwoo berbaring di atas kasurnya, tidak nyaman karena tulangnya yang patah, tapi ia merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Hell yes, rasanya memang menyakitkan terlibat dengan Mingyu dan kehidupan 'jalanan' miliknya. Tapi ia mencintai lelaki itu, dan ia tidak bisa mengelak kalau Mingyulah yang selalu bisa menyelamatkannya dan membuatnya bahagia. Wonwoo dengan perlahan, bergerak seperti robot berbalik, meringis kesakitan, dan mengutuk rasa sakitnya pelan. Ia menatap poster bertuliskan 'I Love You', dan tersenyum sambil merasakan kalau pipinya menghangat. Ia menutupi wajahnya sambil mengerang malu, karena melihat gambar itu masih membuatnya merasakan kupu-kupu bertebaran di perutnya. Ia mengerang karena gerakannya itu membuat lukanya terasa sakit. Dan begitulah, the romantic Jeon Wonwoo yang sudah tidak tertolong lagi itu pergi tidur, bertekad untuk membuat segalanya membaik esok hari. Bertekad untuk masuk sekolah esok hari, tanpa mempedulikan tulangnya yang patah, dan membuat segalanya membaik dengan seorang lelaki tinggi, berandalan idiot bernama Kim Mingyu.

Tapi semuanya tidak berjalan sesuai rencana.

Hari Senin pagi di awali dengan Wonwoo yang sampa di bangunan sekolahnya. Wonwoo datang ke sekolah terlalu pagi, karena ia pikir ia membutuhkan waktu lebih lama untuk pergi ke lokernya, dan memikirkan kecepatan yang bisa ia gunakan dengan keadaannya sekarang. Orang-orang di sekitarnya dengan baik hati menawarkan bantuan padanya, tapi ia dengan sopan menolaknya, bersikeras untuk melakukan segalanya sendiri dan tidak ingin menjadi beban bagi orang lain. Wonwoo berhasil membawa semua bukunya dari lokernya, sambil berjalan dengan canggung menuju kelas. Untungnya, bukan kakinya yang patah, atau segalanya akan memakan waktu lebih lama kalau ia menggunakan kruk. Anak itu berjalan ke kelasnya, dan merasa tidak sabar sekaligus gugup saat ia melihat Mingyu duduk di kursinya yang biasa, dengan dagu bertumpu pada kedua lengannya, dan keterdiamannya yang terasa tenang membuat Wonwoo berasumsi kalau lelaki itu sedang tertidur. Wonwoo tidak melewatkan buku jari Mingyu yang terlihat lebih memar dari biasanya, dan dalam hati ia tersenyum saat tahu kalau luka-luka itu di dapatnya karena menyelamatkannya, meskipun ia merasa sedih dan bersalah untuk alasan yang sama. Wonwoo duduk di kursinya, dan dengan perlahan menepuk pundak Mingyu. Mingyu membuka matanya perlahan dan memalingkan wajahnya ke arah Wonwoo, yang sudah tidak bicara dengannya selama beberapa minggu. Saat ia berbalik, Mingyu memperlihatkan wajahnya yang terlihat lelah, dan terluka. Wonwoo baru akan membahas hal itu, tapi ia memutuskan untuk berkata,

"B-bisakah kita bicara saat istirahat makan siang?"

Mingyu menatap mata lelaki yang ia cintai, dan menghilangkan keinginannya untuk menubrukkan bibir mereka berdua, dan mempertahankan wajah datarnya. Lelaki tinggi itu hanya mengangguk sebagai balasannya, sedangkan Wonwoo tersenyum canggung, dan berpura-pura mengambil sesuatu dari tasnya sambil memarahi dirinya sendiri yang bisa-bisanya tergagap di depan seseorang yang biasanya ia ajak bicara dengan nyaman. Rasanya luar biasa dan sedih mengingat apa yang bisa dilakukan waktu dan jarak pada sepasang pasangan. Dan dengan begitu, separuh hari itu dilalui dengan normal, dan Wonwoo menjadi semakin tidak sabar dan gugup saat istirahat makan siang semakin dekat, dan sebentar lagi ia akan memiliki kesempatan untuk bicara dengan Mingyu. Tapi ia tidak benar-benar mendapatkan kesempatan itu. Saat jam pelajaran keempat, ruangan kelas yang hening terinterupsi oleh suara telepon kelas yang tiba-tiba berbunyi. Guru mereka berhenti menulis di papan tulis, dan suara ketukan sepatu haknya terdengar saat ia berjalan untuk mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

Murid-murid di ruangan itu tidak bisa mendengar suara dari orang yang sedang berbicara dengan guru mereka di seberang sana. Guru mereka lalu menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kelas sebelum menjawab,

"Ya, dia di sini."

Wanita itu mengangguk lalu melanjutkan,

"Mingyu-ssi." Ia berkata lantang.

Seisi kelas mengalihkan perhatian mereka pada anak laki-laki yang menatap guru mereka dengan ekspresi yang sedikit terkejut. Mata Wonwoo mengikuti lelaki tinggi itu saat ia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju telepon. Gurunya menyerahkan gagang telepon itu pada Mingyu yang menerimanya dengan anggukan pelan di kepalanya.

"Ya?"

Suara rendahnya bergema di dalam kelas saat guru mereka berjalan kembali ke papan tulis. Lalu, Wonwoo menyaksikan dalam keheningan saat bola mata Mingyu melebar dan ia tiba-tiba menjatuhkan gagang telepon itu, lalu berlari keluar dari kelas. Gagang telepon itu terjatuh menghantam lantai, dan berayun kembali karena kabel teleponnya, disaksikan oleh seisi kelas yang menatap kejadian itu, terkejut. Minghao bangkit dari kursinya, kursinya berderit saat ia bangkit, hendak mengejar sahabatnya, ketika gurunya berkata,

"Minghao-ssi, kembali ke tempat dudukmu."

Gurunya berjalan menuju telepon yang masih terhubung itu. Ia menarik kabelnya dan mendekatkan kembali gagang telepon itu ke telinganya, dan berjalan sedikit keluar kelas untuk bicara dengan orang tersebut. Seisi kelas masih diliputi keheingan karena terkejut, dan satu sama lain saling melemparkan tatapan bingung. Lain lagi dengan wajah Wonwoo, Wonwoo terlihat terkejut dan khawatir. Tatapan mata Mingyu menunjukkan ketakutan yang belum pernah Wonwoo lihat sebelumnya. Wonwoo, Jun, dan Minghao saling bertukar pandang khawatir dan kebingungan.

Ada sesuatu yang tidak benar terjai.

Mingyu berlari kencang, menubruk beberapa orang tanpa permintaan maaf yang sopan setelahnya seperti yang biasanya ia lakukan.

Tidak ada waktu untuk itu. Jika ia tidak bergegas, semuanya bisa saja terlambat.

Anak lelaki itu berlari lebih cepat dari yang pernah ia lakukan sebeleumnya dalam hidupnya saat suara yang ia dengar dari telepon tadi bergema di kepalanya.

"Mingyu-ssi. Saya Eun Yujin, dari kantor guru…. Masalahnya, Mingyu-ssi… Kami baru saja mendapat kabar dari rumah sakit kalau ibumu-"

Mingyu tidak bisa mendengar apapun setelah itu. Ia memejamkan matanya erat selagi pikirannya berkelana ke segala kemungkinan yang mungkin akan dikatakan gurunya setelahnya, dan ia berlali lebih kencang lagi karena panic. Suara langkah kakinya dan detakan jantungnya menjadi satu-satunya yang bisa ia dengar di dalam kepalanya.

Sesampainya di rumah sakit, Mingyu langsung berlari menuju bagian informasi dan bertanya di mana ibunya berada. Ia di beritahu kalau ibunya berada di lantai 2, kamar nomor 262. Anak lelaki itu langsung menaiki tangga darurat, tidak cukup sabar untuk menunggu lift, dan sekarang berlari menyusuri koridor, mencari di mana ruangan ibunya dengan putus asa dan tergesa-gesa. Ia merasa kalau jantung dan perutnya terjatuh saat ia menemukan ruangan ibunya, dengan 2 orang polisi yang menunggu di depan ruangannya. Mingyu hampir terjatuh saat berhenti mendadak begitu ia melihat kedua pria berpakaian polisi tersebut. Ia berjalan perlahan, mendekati kedua pria yang kini menyadari kehadiran Mingyu.

Tidak.. Tidak, mereka tidak mungkin ada di sini karena ibuku, kan? I-itu tidak masuk akal…

Mingyu berpikir, tapi pikirannya terbukti salah ketika kedua polisi tersebut menghampirinya, menemuinya tepat di depan ruangan ibunya.

"Kim Mingyu?" Salah satu dari polisi itu bertanya.

Mingyu hanya mengangguk, selagi mencoba untuk melihat ke dalam ruangan, dimana ia berharap kalau ibunya sedang beristirahat di dalam, berharap ibunya di sini hanya karena kelelahan bekerja atau semacamnya.

"Nak, kami punya beberapa… kabar buruk untukmu…" polisi lainnya berkata.

"Dimana ibuku? Apa dia di dalam?"

Mingyu mencoba menghindari "kabar" yang akan disampaikan kedua polisi tersebut, dan ingin dengan cepat masuk ke ruangan ibunya dan berada di sisinya karena ia yakin itulah yang paling ibunya butuhkan sekarang.

"Mingyu, saya sarankan untuk mendengar apa yang harus saya katakana terlebih dahulu, sebelum kau masuk ke dalam sana untuk bertemu ibumu…" polisi itu berkata, dengan suara yang tegas, dan sedikit kesedihan terdengar saat ia berbicara dengan anak remaja itu.

Mingyu memutuskan untuk lebih tenang, dan mendengarkan apa yang harus mereka katakana. Mungkin beberapa remaja berandalam menyerang ibunya, dan itulah kenapa polisi terlibat dalam hal ini. Mingyu mulai merasa gugup saat ia memikirkan kemungkinan kalau Sungwon terlibat dalam hal ini… tapi kenyatannya ternyata jauh lebih buruk.

Lelaki tinggi yang berusia 18 tahun itu diberitahu kalau ayahnya sudah di bebaskan dari hukumannya hari ini. Ayahnya membuktikan di dalam penjara kalau ia sudah berubah, sadar akan kesalahan dan perbuatannya, dan hakim memutuskan untuk memberikan remisi berupa bebas bersyarat. Kedua mata Mingyu melebar saat mendengar kalau ini tentang ayahnya.

Kenapa ayahnya di sebut-sebut dalam masalah ini? Ini tentang ibuku. A-apa yang….

Kedua polisi itu lalu mengatakan dengan penuh sesal kalau ibunya dipukuli oleh lelaki itu. Pukulannya terlalu kuat, sehingga menyebabkan kerusakan otak yang fatal, membuat ibunya berada dalam keadaan koma. Polisi sampai di tempat kejadian setelah salah satu tetangga mereka, yang datang untuk mengantarkan sesuatu untuk ibunya menyaksikan kejadian mengerikan itu dan menghubungi polisi.

Mingyu berdiri di tempatnya, merasakan kakinya lemas saat ia menatap kosong kedua pria di depannya yang menunjukkan raut wajah penuh penyesalan. Seakan memperparah keadaan, dokter yang menangani ibunya baru saja menyatakan kalau ibunya kini dalam keadaan mati otak beberapa menit lalu.

Ini tidak mungkin terjadi, kan? Ini semua hanya lelucon, kan? Koma? T-tidak, ibuku tidak mungkin meninggal…. Jangan dia juga.

Segala sesuatu yang dikatakan petugas polisi di depannya setelahnya tidak benar-benar Mingyu perhatikan. Mingyu melewatkan bagian ayahnya sudah ditangkap dengan tuduhan percobaan pembunuhan, dan hukumannya mungkin 30 tahun atau seumur hidup. Satu-satunya yang Mingyu pikirkan saat itu adalah masuk ke ruangan ibunya secepat mungkin. Kedua petugas polisi itu akhirnya pergi, dan Mingyu berdiri di depan ruangan ibunya, menatap kosong. Ia menggelengkan kepalanya, membangunkan dirinya sendiri dari pikirannya dan dengan ragu membuka pintu ruangan di depannya. Mingyu masuk ke dalam ruangan, dan hampir terjatuh ketika ia melihat ibunya berbaring di atas tempat tidur, wajah cantiknya hampir tidak bisa dikenali. Mingyu mulai bernapas tersengal-sengal selagi air mata terjatuh dari kedua matanya dan mengalir di kedua pipinya. Ia berjalan mendekati ranjang ibunya, jatuh berlutut di sebelahnya, dan sebelum ia sadar, ia sudah menangis terisak-isak. Mingyu meraih tangan ibunya dan meremasnya erat, sampai buku jarinya memutih. Suara tangisannya dipenuhi rasa sakit dan kesedihan saat ia bersusah payah menarik napas.

"Ibu," ia berhasil mengeluarkan kata itu, "Kau masih hidup, kan? Ayolah, ayo kita pulang…" Mingyu semakin terisak saat ia mengelus wajah ibunya dengan tangannya yang lain.

"Ayo, makanan disini rasanya tidak enak dibandingkan dengan masakan ibu… Lagipula, tempat tidur ibu di rumah jauh lebih nyaman, kan?" Mingyu berkata, mengelus pipi ibunya dan membiarkan air mata semakin banyak terjatuh dari matanya.

"Aku tahu ibu tidak bisa mendengarku, tapi kumohon respon aku," Mingyu berkata sambil terisak keras.

Menjadi seorang ibu yang tuli sangat sulit bagi ibu Mingyu, Kim Minah benar-benar mencoba sekuat tenaga untuk membesarkan seorang anak penuh dengan rasa hormat dan sopan. Dan ia berhasil. Mingyu masih terus menangis saat ia memeluk tubuh ibunya. Masih berlutut di lantai rumah sakit di sebelah ranjang ibunya.

Mingyu terus terisak, air matanya tidak bisa berhenti mengalir meskipun ia perlahan-lahan sudah bisa menerima kenyataannya. Dokter masuk dan Mingyu mendengarkan berita menyakitkan itu sekali lagi. Mati otak. Tidak ada harapan untuk hidup. Melepaskan bantuan medisnya. Mingyu menatap kosong, mendengarkan informasi itu sambil terus menangis dalam diam. Dokter merasa prihatin pada anak laki-laki yang baru saja menjadi yatim piatu itu, demi Tuhan ia hanyalah seorang anak remaja. Para petugas medis membiarkan Mingyu selama beberapa waktu sebelum mulai mencabuti bantuan medis ibunya, dan dalam waktu singkat itu Mingyu hanya duduk di dalam ruangan dan menatap tubuh ibunya yang kini tidak berdaya. Ia mengeluarkan ponselnya. Ada sekitar 20 panggilan tidak terjawab dari Minghao. Mingyu lalu mengirim pesan singkat untuk Minghao.

Aku di rumah sakit.

Minghao lalu menyampaikan informasi itu pada Wonwoo. Wonwoo meninggalkan sekolah, menggunakan alasan kalau ia harus ke rumah sakit untuk memeriksakan tulangnya yang patah, yang disetujui dengan mudah oleh gurunya. Wonwoo menaiki taksi menuju rumah sakit, karena ia yakin ini bukan saatnya untuk bersantai dengan berlari apalagi jalan kaki. Wonwoo turun dari taksi, memasuki bangunan rumah sakit itu dan disapa oleh seorang perawat yang bertanya apa Wonwoo terluka, yang disanggah dengan sopan oleh Wonwoo. Ia hanya bertanya dimana ia bisa menemukan Mingyu. Lalu, setelah mendapat informasi dari perawat itu, ia berjalan menuju ruangan 262. Ketua kelas itu mengetuk pintu, lalu dengan perlahan, dan penuh keragu-raguan, ia membuka pintu. Mata Wonwoo melebar saat ia melihat ibu Mingyu terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tenang, lalu matanya beralih pada Mingyu yang sedang duduk di atas kursi di samping ibunya. Matanya merah, dan sorot matanya terlihat seperti seseorang yang kehilangan seluruh keinginan untuk hidup. Wonwoo berdiri di ambang pintu, menatap Mingyu yang kini juga menatapnya dengan air mata yang menganak sungai di kedua pipinya. Wonwoo tidak pernah meihat Mingyu menangis, sekalipun, jadi melihatnya dalam keadaan seperti ini membuatnya hancur. Wonwoo dengan hati-hati berjalan mendekat dan Mingyu bangkit dari duduknya saat melihatnya. Sekarang mereka berdua berdiri berhadapan.

"Mingyu-ya…"

"Aku sudah terlalu sering berada di rumah sakit ini, Wonwoo-ya…" Mingyu berkata samil terisak, dan Wonwoo bisa mendengar kehancuran dari suaranya.

Wonwoo hanya menatap dalam diam saat Mingyu menangis semakin keras,

"Dia sudah pergi….." Mingyu berkata, air mata semakin deras mengalir setelah mengatakan kenyataan pahit itu.

Wonwoo menggigit lidahnya, menahan air matanya sendiri demi Mingyu. Ia melangkah mendekat, tidak yakin apakah ia harus memeluknya atau tidak.

"Semua orang yang dekat denganku selalu berakhir terluka seperti ini… Pertama Seokmin, sekarang ibuku… Mereka semua meninggal karena aku."

Mingyu menyalahkan dirinya sendiri, dan Wonwoo menggelengkan kepalanya saat ia merengkuh Mingyu, membawanya ke dalam pelukannya. Mingyu tidak menolak dan mulai membasahi bahu Wonwoo dengan air matanya, dan Wonwoo mengusap kepalanya saat ia merasakan Mingyu mencoba menarik napas di sela isak tangisnya.

"Aku tidak bisa mengambil resiko dan kehilanganmu juga, Wonwoo-ya." Ia berkata.

Wonwoo menangis mendengar kalimat itu, dan memeluk Mingyu semakin erat. Wonwoo merasa lebih tenang saat Mingyu melingkarkan tangannya juga, tapi ia terus menangis.

"Jika ka uterus berhubungan denganku, suatu saat kau akan berakhir di rumah sakit ini lagi, dan saat itu, mungkin kau tidak akan terbangun lagi." Mingyu menangis,

"Satu-satunya orang yang kusayangi…" Suara Mingyu terdengar pelan, penuh rasa sakit, "Seharusnya aku… seharusnya aku yang mengalami itu."

Hati Wonwoo serasa di remas saat mendengar suara Mingyu pecah dan penuh kesedihan dan kesengsaraan.

"A-aku seharusnya ada untuk melindunginya. Aku bisa dengan mudah melawannya, aku seharusnya bisa mencegah ini…" Mingyu melepas pelukan itu dan meraih wajah Wonwoo dengan tangannya yang bergetar, mereka berdua menangis saat ini. Mingyu menatap mata Wonwoo, matanya tertutup oleh air mata saat ia berkata,

"Jadi, kumohon… Aku mohon Wonwoo-ya… setidaknya biarkan aku mencegah supaya hal yang sama tidak terjadi padamu… Setidaknya biarkan aku menyelamatkanmu dari maut seperti yang dialami semua orang yang kusayangi."

Sebelum Wonwoo sempat mengatakan apapun,

"Kumohon bencilah aku… Cintai orang lain, jangan cintai aku. Jangan terlibat lagi denganku, dengan hidupku…" Mingyu memohon, dan hati Wonwoo hancur mendengar setiap kata itu, menunjukkan betapa besar penderitaan lelaki yang dicintainya itu, dan betapa Mingyu masih bisa melukai dirinya sendiri dengan mengatakan itu. Mingyu selalu bersikap tegar, cukup kuat untuk berakting seakan-akan hatinya tidak terluka saat ia putus dengan Wonwoo, dan melihatnya dalam keadaan lemah seperti ini membuat Wonwoo ingin terus berada di sisinya selamanya.

"Terlambat." Wonwoo menjawab, dan kali ini gentian ia yang meraih wajah Wonwoo, menyatukan kening mereka,

"Terlambat untukmu menyuruhku untuk tidak mencintaimu. Sudah terlambat untukku untuk tidak melibatkan diriku dalam hidupnya, karena kau adalah milikku. Kumohon jangan menyalahkan dirimu sendiri, Mingyu-ya… Aku benci melihatmu menderita seperti ini, tapi aku berjanji untuk selalu berada di sisimu dan menemanimu melewati itu semua." Mingyu menatap Wonwoo, air matanya diam-diam mulai mengalir lagi,

"Jadi kumohon jangan menyuruhku untuk mencintai orang lain karena itu tidak akan terjadi. Hanya kau satu-satunya yang akan kucintai. Dan jangan menaruh beban berat ini di pundakmu karena ini sama sekali bukan kesalahanmu…" Wonwoo juga menangis, tapi ia tetap melanjutkan perkataannya,

"Sekarang semua sudah terlambat, aku sudah pernah mengatakannya, kan? Aku sudah terlibat dengan siapa dirimu di masa lalu, siapa dirimu saat ini, dan akan jadi apa kau di masa depan. Dan aku akan selalu berada di sisimu, sama seperti ibumu dan Seokmin yang akan terus mengawasimu."

Pasangan itu saling berpelukan lagi dan menangis di bahu satu sama lain selama beberapa saat. Wonwoo menenangkan kekasihnya, yang bahkan tidak pernah terlihat berkaca-kaca sebelumnya, dan kini sedang menangis terisak tepat di hadapannya. Membutuhkan waktu cukup lama sampai akhirnya Mingyu tenang, tapi Wonwoo tidak masalah harus terus menemaninya. Setelahnya, Wonwoo duduk di sebelah Mingyu dan berbicara pada Minah,

"Hai Ny. Kim… Aku Jeon Wonwoo. Aku yakin kau mendengarkan ini dari surga, kan?"

Pasangan itu saling berpegangan tangan, dan Mingyu merindukan rasa nyaman dari sentuhan Wonwoo.

"Aku kekasih putramu. Aku pikir kau sudah tahu itu.." Wonwoo terkekeh pelan sambil menatap tubuh ibu kekasihnya,

"Aku berjanji untuk terus ada di sisi Mingyu. Selalu," Wonwoo berkata, "Aku akan memastikan dia memakan makanannya, dan tidak terlalu banyak terlibat dalam perkelahian… Aku berharap aku bisa memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbicara denganmu… Pasti menyenangkan rasanya bisa dekat dengan calon mertuaku," Mingyu menyenggol bahu Wonwoo saat ia mengatakan itu dan membuat ekspresi wajah aneh,

"Hehe, hanya bercanda… Tapi aku sudah berjanji untuk selalu ada untuknya. Aku berjanji akan menjadi kekasih terbaik yang bisa dia miliki…. Aku berjanji untuk jadi seseorang yang akan membuatmu bangga ketika kau mengatakan pada orang lain kalau aku ini kekasih putramu."

Setelah berbicara dengan Minah, dokter kembali masuk dan kini mulai melepaskan peralatan yang menopang kehidupan ibunya. Dan, Wonwoo terus berdiri di samping Mingyu, menenangkannya, dan mencoba membagi rasa sakit Mingyu dengan dirinya.

Meninggalnya ibu Mingyu membuat pasangan itu memperbaiki hubungan mereka. Ikatan mereka kembali terjalin, dan lebih kuat dari sebelumnya.

.

.

Di hari pemakaman ibunya, Mingyu memakai pakaian serba hitam, jas hitam itu terlihat sangat cocok di tubuhnya. Di sebelahnya berdiri kekasihnya, yang juga berpakaian serba hitam, menggenggam tangannya. Keluarga Jeon berdiri di belakang mereka, mengikuti acara pemakaman dari seseorang yang tidak pernah mereka temui sebelumnya. Minghao dan teman-temannya yang lain semua berbaris di belakang sebelah kiri Mingyu, semuanya memakai pakaian hitam terbaik mereka, hampir sama dengan yang mereka kenakan saat pemakaman Seokmin. Orang tua Seokmin juga hadir dan mereka duduk di dekat di barisan depan.

Setelah upacara pemakaman selesai, Mingyu membawa sebuket bunga dan menaruhnya di peti mati ibunya. Orang-orang mulai berpergian setelah mengucapkan bela sungkawa pada Mingyu, yang dibalas dengan tundukan sopan dari Mingyu. Saat semua orang sudah pergi, termasuk Wonwoo dan kedua orang tuanya, setuju kalau Mingyu mungkin memerlukan waktu lebih lama dengan ibunya. Ia duduk di sebelah pusara ibunya yang baru saja dikuburkan dan berbicara tentang apapun. Meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah ia lakukan sebelumnya, berterima kasih pada ibunya untuk semua yang sudah ibunya lakukan untuknya. Mingyu menatap langit dan matanya diselubungi air mata saat ia tersenyum sedih, memikirkan tentang Seokmin dan ibunya yang sangat ia sayangi kini mengawasinya dari atas sana. Ia terus tersenyum saat pikirannya beralih menuju Wonwoo. Kekasihnya, cinta dalam hidupnya, dan kekuatannya. Kata-katanya saat di rumah sakit, dan keputusannya yang menolak untuk meninggalkan Mingyu sendirian. Mingyu berdiri dari posisinya dan mulai berjalan, bukan ke rumah, tapi menuju markas dimana ia tahu kalau saudara-saudaranya mungkin tengah menunggunya. Selagi berjalan, ia memikirkan tentang tindakan bodoh dan perkataannya pada Wonwoo selama ini. Dari mulai caranya yang berpura-pura sudah tidak mencintai Wonwoo, caranya mengatakan kalau Wonwoo sebaiknya tidak terlibat lagi dengannya. Ia tersenyum saat memikirkan jawaban Wonwoo, dan berkata dalam hati,

"Sepertinya semua memang sudah terlambat, huh?"

.

.

.

To Be Continued...


Happy new year!

ini chapter favoritku:'' mama Mingyu HUHUHUHUHU kenapa sih harus meninggal :')

I'm having a hard time writing this chapter because... idky but it somehow reminds me of the late Jonghyun :(

anw, happy reading!;)

Read n Review?

Love,

seulgibear