From The Darkness Side

Original Story by Santhy Agatha

Disclaimer :

Saya hanya me-remake novel ini dengan cast favorit saya;yoonmin (BTS). Sebagian kecil dari cerita ini saya rubah demi terciptanya feel yang tepat.

Caution!

Novel/tulisan ini merupakan rated dewasa (M), jadi diharapkan bagi yang belum mencukupi batas umur minimal dilarang membaca.

Genderswitch for Jimin and Jin. Jadi mohon maaf apabila cast tidak sesuai dengan keinginan kalian.

BTS YOONMIN (Yoongi x Jimin )

Min Yoongi

Kami ini dua yang menjadi satu. Satu yang terdiri dari dua. Aku tak tega membiarkanmu mencintaiku, karena dengan begitu, kau harus bisa mencintai sisi jahatku. Dan sisi jahatku ini, sangat sulit untuk dicintai-

"Bukankah cinta juga sama? Aku selalu berpikir bahwa cinta hanyalah bentuk puitis dari obsesi dan keinginan untuk memiliki satu sama lain."

-Min Suga-

.

.

.

.

.

.

.

BAB 1

Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan Jimin sekarang selain rasa takut dan kegugupan yang menyesakkan dada.

Ketika mobil mereka memasuki pintu gerbang yang megah itu, rasa gugup dan takutnya makin memuncak. Ibunya, yang menyetir di sebelahnya tampak tenang dan bahagia, tentu saja, kemewahan ini akan menjadi kehidupan barunya, hal yang diimpi-impikannya sejak dulu. Lagipula ibunya tidak perlu mencemaskan penampilannya, ia selalu terlihat cantik, muda dan wangi, tidak pernah berubah sampai sekarang.

Ibunya melahirkan Jimin saat berusia sangat muda, 16 tahun. Dan sekarang di usia Jimin yang sudah 20 tahun, selisih usia itu sama sekali tidak kelihatan, mereka terlihat seumuran. Apalagi Jimin selalu mengenakan pakaian konservativ yang cenderung kusam tapi nyaman digunakan, sedangkan ibunya memilih berpakaian seksi dan penuh gaya.

Yah, penampilannya sekarang tidak bisa dibilang baik, Jimin menarik napas sambil mengamati dirinya sendiri. Dia tadi berdiri lama di depan lemari pakaiannya mencoba menemukan gaunnya yang terbaik, tetapi ternyata dia tidak punya gaun satupun yang baik. Gajinya sebagai staff administrasi biasa di sebuah biro wisata sama sekali tidak memungkinkannya membeli banyak pakaian. Dan ibunya sama sekali tidak bisa diharapkan, Jin, ibunya melahirkannya karena kesalahan remaja masa lalu, jadi dia tidak punya ayah yang mengakuinya.

Jin lalu meninggalkannya begitu saja, menitipkannya ke kedua orang tuanya, lalu pergi merantau ke luar kota untuk melupakan masa lalu dan melanjutkan sekolah. Sejak saat itu Jimin dan Jin hanya bertemu saat Jin pulang liburan ke rumah, Jimin tidak pernah menganggap Jin sebagai ibunya, selain karena Jin tidak mau dipanggil ibu, bagi Jimin orang tua sejatinya adalah kakek dan neneknya yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang sejak ia lahir sampai dia beranjak dewasa.

Lalu setelah dua tahun lalu, kakeknya meninggal dunia, disusul neneknya setahun kemudian, Jimin tetap tidak menggantungkan diri kepada ibunya, toh Jin juga tidak peduli.

Jimin menghidupi dirinya sendiri dan sama sekali tidak ingin terlibat dalam kehidupan ibunya yang saat itu sudah menjadi aktris ternama.

Sampai suatu ketika Jin menghubunginya, mengatakan bahwa dia akan menikah dengan salah satu konglomerat paling kaya dan paling ternama, seorang lelaki berusia 5 tahun lebih muda darinya, dan mengundang Jimin untuk turut serta dalam persiapan acara pernikahannya.

"Bagaimanapun juga, meski kau adalah sebuah kesalahan akibat kebodohanku di masa lalu, kau adalah anakku," gumam Jin dengan logat seksinya sambil mengoleskan lipstik pada bibirnya yang indah pada pertemuan makan siang mereka setelah dua tahun lamanya tidak berjumpa.

"Lagipula, aku terlanjur menceritakan tentangmu pada Yoongi, tidak sengaja tentunya, tapi siapa yang bisa membohongi Yoongi? Dia tahu segalanya...," Jin tersenyum menerawang seperti orang dimabuk kepayang, "Dan Yoongi ingin melihatmu."

Jadi karena calon suaminya yang kaya itu ingin melihatku? Bukan karena dia ingin bersamaku di saat-saat bahagianya? Jimin menyimpulkan dalam hati, dan seberkas rasa nyeri mengalir di dadanya.

Memang dia sudah terlatih untuk tidak mengharapkan apapun dari Jin, wanita itu terlalu egois untuk memikirkan siapapun selain dirinya sendiri. Tetapi kadangkala ada sedikit rasa di hatinya, yang ingin dicintai sebagai seorang anak.

Dan disinilah dia, datang dengan ibunya, yang begitu cantik dengan gaun sutra keemasan seperti sampanye, rambut tatanan salon, kulit selembut satin dan aroma minyak wangi mahal. Sedangkan dia hanya memakai sweater cokelat jeleknya serta rok selutut yang membuatnya seperti kutu buku yang tidak menarik, belum lagi rambutnya hanya dikuncir kuda, tanpa riasan.

Calon suami ibu pasti akan kecewa berat jika mengharapkan aku secantik dirinya,desah Jimin dalam hati.

Mungkin aku lebih mirip ayah, gumamnya menghibur diri, meski dia juga tidak tahu siapa ayahnya dan bagaimana wajahnya, Jin tetap menyimpan rahasia itu sampai sekarang seolah itu aib masa lalu yang tidak boleh dibuka. Kakek neneknya juga tidak pernah membicarakannya.

Lagipula, Jimin tidak berani bertanya lagi sejak insiden pada saat dia berumur sepuluh tahun dan mulai bertanya pada neneknya siapa ayahnya. Waktu itu neneknya langsung masuk ke kamar dan menangis, sedang kakeknya hanya mengelus kepalanya dengan wajah muram. Kesedihan yang menggantung setelah insiden itu begitu menyesakkan dada sampai berhari-hari. Dan pada saat itulah Jimin belajar untuk tidak pernah bertanya lagi.

Rupanya calon suami ibunya ini sangat kaya, jarak pintu gerbang menuju rumah utama lumayan jauh dengan taman dan pepohonan yang indah di kiri kanan jalan. Ketika ahkirnya mobil mereka berhenti, Jimin sempat ternganga, melihat rumah marmer putih bergaya gothic dan renaissance yang megah di depannya.

Jin rupanya sangat bersemangat karena dia segera melompat keluar dari mobil begitu mobil itu berhenti dan mau tak mau Jimin segera mengikutinya.

Sepertinya mereka sudah ditunggu, atau ada kamera pengawas di depan pintu? Jimin mengedarkan pandangannya ke atas dengan curiga, karena begitu mereka sampai di pintu dibawah kanopi dan pilar marmer yang indah, pintu itu langsung terbuka tanpa diketuk, dan seorang pelayan pria setengah baya dengan penampilan yang sangat rapi sudah berdiri disana.

"Miss Jin?" tanya pelayan itu dengan muka ekspresi sedatar batu hingga Jimin bertanya-tanya apakah itu ekspresi asli atau hasil latihan bertahun-tahun.

Jin mengangguk penuh percaya diri. Pelayan itu melihat ke belakang, ke arah Jimin dan mengangkat alisnya, tapi tidak berkata apa-apa. Mungkin dia mengira aku pembantu Jin, desah Jimin dalam hati.

"Saya Hoseok, kepala pelayan disini. Tuan Yoongi sudah menunggu di ruang utama, mari saya antar," gumam pelayan itu sopan sambil membalikkan tubuh dan membiarkan Jin dan Jimin mengikutinya.

Sepanjang lorong itu Jimin terlalu sibuk terkagum-kagum dengan kemewahan interior dan perabot rumah mewah ini.

Ya, Jin pasti akan sangat bahagia di sini, dia selalu ingin menjadi nyonya rumah yang kaya raya, impiannya sebentar lagi terwujud. Dan sudah pasti Jimin tidak masuk ke dalam daftar impiannya itu. Jimin tahu dia hanya dibutuhkan karena calon suami Jin yang kaya raya itu ingin mengenalnya, setelah itu Jimin akan kembali ke kehidupan lamanya, dilupakan oleh ibunya.

Toh dia memang tak ingin terlibat.

Kenapa? Karena meskipun mewah dan mengagumkan, rumah ini terasa dingin dan kaku, begitu menekan jiwa. Berbeda dengan rumah neneknya yang diwariskan padanya, rumah itu kecil tapi hangat dan penuh ketentraman. Seberat apapun pekerjaannya, Jimin selalu merasa segala kelelahannya hilang ketika pulang ke rumah itu. Karena itulah meskipun kagum, Jimin sama sekali tidak tertarik untuk tinggal di rumah seperti ini.

Hoseok membuka sebuah pintu yang sangat besar dan mempersilahkan mereka masuk.

Jin langsung melangkah masuk dengan bersemangat. "Darling," serunya mesra lalu menghambur ke pelukan pria bersetelan resmi yang berdiri ditengah ruangan.

Pria itu membalas pelukan Jin, tapi matanya menatap tajam kearah Jimin.

Dan Jimin ternganga melihat sosok calon suami Jin untuk pertama kalinya, semula dia pikir laki-laki itu adalah lelaki botak berjenggot yang gendut, tidak tampan tetapi sangat kaya. Tetapi lelaki yang berdiri di depannya ini sama sekali tidak gendut, dia tinggi atletis bahkan sepertinya tidak ada lemak berlebih di tubuhnya, dan jas yang pastinya dijahit khusus itu menempel pas dan indah di tubuhnya yang berotot tetapi ramping itu. Hey.. Lagipula dia mengharapkan apa? Lelaki ini baru 27 tahun!

Matanya cokelat gelap begitu juga dengan rambutnya yang cokelat dengan sedikit warna keemasan. Tentu saja begitu, dari literatur bisnis yang memuat tentang jajaran pengusaha-pengusaha sukses, Min Yoongi selalu dibahas, pengusaha berusia 27 tahun, setengah Yunani yang sangat menarik. Tapi mereka tidak memasang fotonya di literatur itu, jadi Jimin tidak pernah bisa membayangkannya.

Lelaki ini tidak bisa dibilang tampan, sosoknya terlalu keras untuk digambarkan dengan kata "tampan", tetapi ada kharisma tersendiri yang membuat semua orang pasti akan menoleh dua kali ketika berpapasan dengannya.

Lelaki itu melepaskan Jin yang menggelendot dengan mesra di pelukannya, lalu melangkah mendekati Jimin. "Dan ini pasti Jimin," bahkan aksen suaranya begitu mempesona, Jimin menyadari dia ternganga ketika Yoongi mengulurkan tangan untuk bersalaman, dengan gugup disambutnya jabatan itu, tangan lelaki itu ramping, tapi menggenggam tangannya dengan mantap. "Iya, ini Jimin, putri kecilku," Jin berkata seolah olah mereka ibu dan anak yang sangat akrab. "Dan Jimin, perkenalkan ini calon ayah tirimu."

Jimin menganggukkan kepalanya, sedikit gugup ketika menyadari Yoongi menatapnya dengan sangat tajam, sangat meneliti, sampai dia salah tingkah, adakah yang salah dengan rambutnya? Bajunya? Ataukah Yoongi sedang mencari kemiripannya dengan ibunya dan tidak berhasil menemukannya?

"Hmmm karena umurku hampir 27 tahun, kurasa aku pantas-pantas saja mempunyai putri seumuranmu, tapi kau boleh memanggilku dengan Yoongi saja."

Tentu saja, lelaki dengan vitalitas semacam ini dia pasti malu dipanggil "papa" oleh gadis berusia 20 tahun seperti dirinya.

"Nah karena kalian sudah berkenalan? Bolehkah aku memintamu menemaniku berkeliling rumah ini? Kita akan tinggal disini setelah menikah bukan? Dan wow, rumah ini indah sekali Yoongi."

Lelaki itu menatap Jin tanpa ekspresi. "Tentu saja sayang," gumamnya, lalu mengamit lengan Jin, Yoongi mengatakan sayang tapi tampak begitu dingin.

Tiba-tiba Jimin merasa sedikit antipati kepada Yoongi, dia terlalu dingin dan tak berperasaan seperti suasana di rumah megah ini.

Jin menoleh pada Jimin, "kau ingin ikut Jiminku?" suaranya begitu penuh kasih tapi matanya memperingatkan, dan Jimin mengerti isyarat itu, ibunya ingin berduaan dengan kekasihnya dan tak ingin Jimin mengganggu.

Lagipula Jimin juga tidak tertarik melihat-lihat isi rumah ini.

"Tidak, terima kasih, kalau boleh saya ingin menunggu disini saja," Jimin tadi mengamati ruangan dan menemukan rak buku yang penuh di dinding, rasanya lebih menarik duduk dan membaca, sepertinya koleksi buku di rak itu sangat menarik, kalau dia diijinkan, dia ingin membacanya.

"Tapi kau akan tinggal disini juga, jadi sebaiknya kau ikut agar lebih mengenal rumah ini," sahut Yoongi tajam.

Kata-kata itu membuat Jin dan Jimin sama-sama terkejut, rupanya Yoongi sudah menarik kesimpulan yang salah selama ini tentang hubungan Jin dan Jimin.

Jin dengan muka pucat segera menyahut, suaranya sedikit melengking karena gugup. "Darling, kau salah, Jimin tidak akan tinggal dengan kita setelah kita menikah nanti."

"Kenapa tidak?" lelaki itu mengernyitkan kening, tampak tidak senang. "Dia putrimu bukan?"

"Iya...tapi...tapi..." suara Jin hilang karena kebingungan, "Tapi Jimin lebih suka hidup mandiri, dia sudah punya pekerjaan tetap kau tahu, dan dia merasa nyaman tinggal dirumah warisan orang tuaku, bukan begitu Jimin?" sekali lagi Jin menatapnya dengan tatapan memperingatkan.

"Tentu saja," jawab Jimin cepat-cepat, selain karena dia tidak ingin tinggal di rumah ini, dia tak mau Jin marah padanya karena mengacaukan seluruh rencana masa depannya.

Yoongi menatap Jimin dan Jin dengan tajam dan penuh perhitungan, lalu bergumam. "Well kita bahas pengaturan itu nanti," kata-katanya menunjukkan masalah itu sama sekali belum selesai.

Yah, rupanya selain dingin dan kaku, lelaki ini juga arogan.

"Baiklah Jimin, kalau kau ingin tetap disini, aku akan meminta pelayan mengantarkan segelas cokelat panas dan kue untukmu, kau boleh membaca atau melihat televisi untuk mengisi waktumu," matanya menunjukkan kearah televisi plasma yang menempel di dinding yang sama sekali tidak Jimin perhatikan karena perhatiannya terpusat pada rak buku yang penuh itu.

Jimin menatap Yoongi dengan gugup. "Kalau boleh... Kalau boleh saya ingin membaca buku-buku di rak itu," pintanya pelan.

Jin tertawa cekikikan seperti anak kecil, "Membaca?" gumamnya dalam tawa, "Begitu banyak hiburan di rumah ini dan kau memilih membaca?" nada mencemooh terdengar jelas di suaranya hingga pipi Jimin memerah.

Tapi Yoongi hanya berdiri di situ dan menatapnya datar.

"Setidaknya putrimu memilih hiburan yang paling bermutu di antara semuanya," kata-katanya diucapkan dengan nada biasa-biasa saja, tetapi arti yang tersirat di dalamnya membuat tawa Jin terhenti dan wajahnya merona malu, dalam rasa malunya itu, Jin melirik Jimin dengan jengkel.

"Silahkan, baca saja semua buku yang kau inginkan," senyum tipis muncul di bibir Yoongi, lalu menggandeng Jin, membawanya pergi ke luar ruangan.

Jimin merasa sangat lega ketika ditinggalkan sendirian, dengan penuh rasa tertarik, ditelusurinya buku-buku di rak raksasa itu. Kebanyakan buku berbahasa asing, dan merupakan versi asli, setelah meninggalkan buku-buku literatur bisnis, Jimin tertarik ke sederetan buku sastra lama... Diambilnya salah satu buku, dan tersenyum.

Well kapan lagi dia bisa membaca buku-buku versi asli ini dengan gratis? Karena sudah

pasti dia tidak akan mampu membelinya...

Ketika dia masuk, didapatinya pemandangan indah terpampang jelas di depannya.

Jimin, gadis itu tertidur di kursi santai dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya, sebelah lengannya lunglai di sandaran kursi dan kepalanya miring setengah tertunduk.

Dia tidak dapat menahan keinginan untuk mengawasi lebih dekat. Dengan langkah pelan tak bersuara, seperti singa mengintai mangsa, didekatinya gadis itu. Dia berusaha sedekat mungkin, karena hasratnya mendorongnya untuk lebih mendekati gadis itu.

Ah, betapa cantiknya, wajahnya polos tanpa polesan apapun, tapi kulitnya begitu lembut, seperti bayi dengan semu kemerahan yang membuatnya tergoda untuk menyentuhnya, menyusurkan jemarinya di semu kemerah-merahan itu. Dan bibirnya, astaga bibir itu, begitu ranum, basah bagai kelopak mawar yang baru mekar, tanpa polesan lipstik sedikitpun, tetapi tetap begitu indah. Matanya menyusuri seluruh keindahan didepannya. Sudah berapa lama dia menunggu saat-saat ini? Menunggu saat-saat gadis ini berada begitu dekat dengannya?

Ya, gadis ini membuatnya terbangun setelah ditidurkan dengan paksa sekian lama.

Ahkirnya dia tidak dapat menahan godaan, dibungkukkannya tubuhnya melingkupi gadis itu, kemudian bibirnya menyentuh bibir lembut gadis itu dengan halus tapi penuh hasrat.

"Kau milikku Jimin, ingat itu."

"Kau milikku Jimin, ingat itu."

Bisikan itu begitu lembut sekaligus tegas, seperti dibawa oleh tiupan angin ke telinganya.

Jimin tergeragap, mengerjapkan matanya dan langsung terduduk tegak. Matanya memandang sekeliling dengan bingung. Dia masih sendirian di ruangan ini.

Tapi tadi jelas-jelas ada yang berbisik di telinganya, dan kata-katanya itu masih terngiang jelas.

Apakah dia bermimpi ?

Jimin mengernyit. Lalu menyentuh bibirnya. Terasa hangat… Seperti ada yang menyentuhnya sebelumnya.

Jantung Jimin berdetak cepat. Apakah mimpi bisa terasa sejelas itu? Suara bisikan itu begitu nyata. Sentuhan di bibirnya pun masih terasa hangat.

Tapi... Tidak mungkin kan ada orang masuk ke mari dan menciumnya begitu saja? Dengan putus asa Jimin menatap buku di pangkuannya. Sebuah novel sastra romantis karya pengarang Rusia...

Ah, aku pasti terbawa alur novel ini, gumam Jimin dalam hati, menarik napas lega. Sekali lagi dia memandang sekeliling, ruangan masih sepi. Tadi dia pasti tertidur cukup lama. Tapi Jin dan Yoongi belum juga kembali.

Jimin mengangkat bahunya. Well mereka kan pasangan kekasih yang akan menikah, pasti akan lupa waktu jika sedang berduaan.

Dengan pelan Jimin berdiri, berusaha melemaskan tangan dan kakinya yang kaku. Lalu dia berjalan mengitari ruangan yang luas itu.

Ruangan ini didesain untuk bersantai. Meskipun di sudut sana terdapat meja kerja yang sangat besar, tapi di sisi lain benar-benar penuh dengan perabotan dan fasilitas yang menunjang kenyamanan.

Dengan tertarik, Jimin mendekat ke arah meja kerja Yoongi. Ada sebuah bingkai foto yang di letakkan terbalik begitu saja. Sengaja? Atau memang terjatuh? Jimin mengambil bingkai foto itu dan menegakkannya lagi, matanya mengamati bingkai foto di dalam sana, foto keluarga. Sepertinya itu gambar kedua orangtua Yoongi dan dua orang anak laki-laki berusia sepuluh tahunan, yang berambut cokelat itu pasti Yoongi dan…kakak laki-lakinya? Jimin mengernyit. Tapi kenapa kedua orang tua Yoongi asli indonesia? Dan kakak laki-lakinya juga terlihat seperti orang indonesia asli. Sedangkan jelas-jelas ada darah asing yang mengalir di tubuh lelaki itu, bahkan majalah-majalah bisnis itupun menyebutnya setengah Yunani.

"Itu orang tua angkat dan kakak angkatku, mereka yang mengasuhku ketika kedua orangtuaku tewas karena kecelakaan pesawat."

Suara yang muncul tiba-tiba di belakangnya itu membuat Jimin terlonjak kaget, membalikkan badan, dan langsung menabrak tubuh kokoh yang berdiri di belakangnya.

Yoongi langsung memegang kedua pundak Jimin, menjaganya agar tidak terjatuh. "Maaf aku mengejutkanmu," gumamnya datar.

Jimin mengangguk, mundur menjauh, melepaskan diri dari pegangan Yoongi. "Maaf...

Saya... Saya lancang, saya melihat foto ini dan tertarik..."

Yoongi mengangkat bahu. "Tidak apa-apa, mereka adalah orang tua dan saudara yang kusayangi. Meskipun aku tetap menggunakan nama asli keluargaku, mereka sudah seperti orang tua kandung bagiku."

Jimin tersenyum getir, setidaknya Yoongi lebih bahagia darinya. Lelaki itu kehilangan kedua orang tuanya tetapi tetap merasakan kasih sayang dari orang tua barunya. Sedangkan dia? Ibunya masih hidup, tetapi sang ibu sama sekali tidak mau repot-repot mengurusi kehidupannya.

Omong-omong tentang ibunya... Dimana Jin? Jimin mengedarkan pandangan ke balik punggung Yoongi tetapi Yoongi memang datang sendirian.

"Jin menunggu di ruang makan, aku memanggilmu untuk makan siang bersama," gumam Yoongi, menyadari kebingungan Jimin, lalu membalikkan tubuh, "Ayo, kita ke ruang makan."

Mau tak mau Jimin mengikuti Yoongi melangkah ke ruang makan, lelaki itu lalu melambatkan langkahnya sehingga bisa berjalan berjejeran dengan Jimin.

"Senang tadi?"

"Apa?" Jimin terlalu kaget mendengar pertanyaan Yoongi yang tiba-tiba sehingga tidak mencerna kata-kata lelaki itu.

Yoongi tersenyum tipis. "Di antara buku-buku itu..."

"Oh iya," jawab Jimin buru-buru, "Saya menemukan banyak buku-buku edisi asli yang sekarang sudah sulit ditemukan... Tadi saya terlalu asyik membaca dan bahkan sempat ketiduran," pipi Jimin merona.

Yoongi menoleh dan menatap Jimin. "Tapi tidak ada sesuatu yang aneh terjadi padamu kan?"

Jimin termangu, pertanyaan macam apa itu? Yang aneh malahan pertanyaan yang diajukan Yoongi padanya ini.

"Aneh ?" ulangnya bingung.

Yoongi mengalihkan tatapannya.

"Sudahlah, lupakan," lelaki itu lalu melangkah mendahului Jimin. Meninggalkan Jimin termangu kebingungan.

Aneh? Apa maksud Yoongi?

Tengah malam dan ruangan itu gelap gulita. Yoongi memasuki ruang kerjanya dan menghempaskan jasnya di kursi dengan jengkel. Rencananya berhasil tentu saja. Dia sudah berhasil membujuk Jin dan Jimin menginap di rumahnya selama ahkir pekan ini.

Yang tidak diduganya adalah sikap pantang menyerah Jin. Begitu Jimin berpamitan untuk tidur di kamarnya, Jin langsung berusaha mati-matian untuk merayunya, perempuan itu terang-terangan menunjukkan kalau dia tidak keberatan tidur bersama Yoongi sebelum pernikahan mereka.

Tentu saja rayuannya tidak menggunakan alasan kelelahan untuk mengusir Jin agar kembali ke kamarnya sendiri. Dia memang lelah, tapi seandainya dia tidak lelah pun, dia tidak pernah berminat tidur dengan Jin.

Bukan Jin yang diinginkannya...

"Sampai kapan kau tahan dengan wanita murahan itu?" suara itu terdengar begitu sinis penuh ejekan, dan Yoongi langsung berhadapan dengan sosok di kegelapan yang menatapnya.

"Bukan urusanmu," balas Yoongi dingin, "Lagipula, bukan saatnya membahas tentang Jin, aku meminta penjelasanmu tentang apa yang kau lakukan pada Jimin tadi siang."

Sosok di kegelapan itu tertawa mengejek, sengaja membuat Yoongi marah.

"Kau tidak bisa menyalahkanku, aku sudah menanti begitu lama untuk melihatnya," sanggahnya tidak peduli.

"Kau tidak cuma melihatnya, kau menciumnya," geram Yoongi marah, "Kau benar-benar tidak punya otak ya?"

"Aku memang tidak punya otak. Kau selalu bilang aku lebih mirip binatang," sosok di kegelapan itu mengacuhkan kemarahan Yoongi, "Aku menginginkan Jimin, jadi aku akan memilikinya, sesederhana itu."

"Kau harus menunggu sampai rencanaku membuahkan hasil!" sela Yoongi tak sabar.

Lagi, sebuah tawa mengejek menggema di ruangan yang gelap pekat itu. "Kau bilang itu rencana? Merayu ibu gadis itu untuk kau nikahi? Kau bilang itu rencana? Kau tahu tidak, aku harus menahan jijik ketika melihat kau harus mencium perempuan murahan itu, berpura-pura menikmati mencumbunya," sosok di kegelapan itu menyeringai marah, "Jin adalah perempuan murahan yang menjijikkan, membayangkan dia ada di rumah ini membuatku muak."

"Kau harus tahan. Rencanaku ini sudah berhasil menggiring Jimin masuk ke rumah ini."

"Lalu bagaimana kau menyingkirkan Jin? Kau harus segera melakukan sesuatu Yoongi sebelum aku mulai kehilangan kesabaran, cara Jin meremehkan dan menghina Jimin secara tersirat seharian tadi benar-benar mengusik kemarahanku, dan kau tahu kan bagaimana kalau aku marah?" sosok di kegelapan itu mulai terlihat mengancam.

Yoongi mengernyitkan kening. "Tak akan kuizinkan kau bertindak semaumu sendiri"

"Kalau begitu sebaiknya rencanamu segera membuahkan hasil! Kau tahu sendiri kan akibatnya kalau aku sampai turun tangan? Aku tidak suka ada yang menyakiti gadisku, aku akan melakukan apapun untuk membalaskannya."

"Jimin bukan gadismu."

"Dia akan menjadi gadisku, milikku. Aku sudah mengatakan janji itu. Jimin adalah milikku," sosok di kegelapan itu berucap penuh keyakinan.

Yoongi menggeram marah. "Kau harus menunggu. Aku tidak mau kau berbuat seperti siang tadi, mendatangi Jimin dan menciumnya, menciumnya! Apa kau sadar semuanya akan berantakan kalau saat itu Jimin terbangun?"

Sosok di kegelapan itu terkekeh. "Aku hanya mengucapkan selamat datang."

"Kalau begitu jangan sampai kau ulangi lagi. Biarkan aku menangani semuanya dulu. Setiap kau ikut campur hasilnya malah berantakan karena kau mahluk kejam yang tidak pernah memakai perasaan. Aku tidak mau terpaksa menyembunyikan kejahatanmu lagi, mengerti? Jadi tahan dirimu," geram Yoongi mengancam.

Sosok di kegelapan itu mengangkat bahu. "Baik. Aku akan kembali ke tempatku, duduk di kegelapan dan mengamati semuanya dalam diam. Tapi kesabaranku ada batasnya Yoongi, kau tahu itu kan? Kau pasti tahu apa yang akan terjadi kalau aku kehilangan kesabaran."

Yoongi mengernyit mendengar kekejaman yang tidak disembunyikan itu, lalu memegang pangkal hidungnya yang terasa nyeri.

Ini harus segera di selesaikan. Segera! Sebelum dia, mahluk kejam itu, turun tangan dan mengacaukan semuanya...

-to be continued