Kita pernah dijadikan sebagai sebuah kehancuran. Yang bahkan oleh langit ditertawakan mati-matian.
Kita pernah ditempatkan sebagai suatu kemegahan. Yang mampu memaksa angin untuk bertepuktangan tanpa henti.
Masing-masing ada jalannya.
Cerita, berikut bagaimana kesimpulannya.
Dari skenario.
Yang dirangkai saat melangkah; kau jatuh, atau kau bangkit.
Tangan semesta selalu mau ikut campur. Dengan memberikan fragmen-fragmen terbaik. Yang sialnya, juga terbagi dua.
Air mata, atau tawa.
Mokuji
.
OPERA
.
Kim Namjoon | Kim Seokjin
.
"Seburuk apapun alurnya, jangan pernah menyiksa diri dengan sekeping frasa; menyerah." – Kim Namjoon
.
BGM: Jung Seunghwan – Wind
[바람 – 보보경심: 려 OST]
Gyeongju, akhir musim dingin 2016.
"Sudah terlalu lama aku memaksa mereka untuk pura-pura tersenyum."
Seokjin bilang begitu setelah semalam telinganya merasakan kebosanan saat mendengar orang tuanya mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Dan terisak. Ibunya, terutama.
"Tunggu, jangan bilang kalau kau begitu meyakini kata-katamu itu." Tentu saja Yoongi tidak terima.
Seokjin, tidak boleh putus asa barang satu menit pun.
"Kau lihat bentangan bukit itu?" Yoongi menunjuk horizon.
"Tahu. Keindahan mereka membosankan."
Shit. Bola mata Yoongi berotasi.
"Mereka menyemangatimu, Kim. Bukit-bukit itu masih indah karena mereka yakin bahwa keindahannya masih bisa kau nikmati selamanya..."
Secara harfiah kalimat itu berarti, Seokjin, kau harus yakin, bahwa kau akan sembuh.
"Semoga aku masih bisa mempercayaimu. Yang pasti, terima kasih."
Memang ada senyuman dari Seokjin.
Tapi Yoongi–sungguh–tidak menyukai yang seperti ini.
Seharusnya, di beranda luas rumah keluarga Kim ini, Min Yoongi, mampu mempertahankan Seokjinnya.
'Seharusnya Tuhan sudah waktunya ikut campur.'
Namjoon mengumpamakan, kalau semua pernak-pernik menyebalkan yang ia lihat selama ini sebagai pertunjukan membingungkan yang disutradarai oleh Tuhan sendiri.
Oi, jangan bilang begitu.
Di jam makan siang ini, Yoongi kembali menemuinya. Dengan wajah yang, hm, itu lagi, itu lagi.
"...pokoknya kau harus mau membujuk Seokjin."
Ujar Yoongi, meletakkan sendok di atas piringnya secara tidak manusiawi.
"Apa dia mengatakan perkataan pesimis lagi,"
"Ya! Selalu! Dua hari aku mengunjunginya, dia sudah seperti mayat hidup! Ck, kenapa sih keinginan anak itu untuk bertahan begitu menyedihkan?"
Mau tidak mau ekspresi wajah Yoongi berubah.
"Aku, mana mau melihat Seokjin mati dalam waktu dekat."
Masuk akal.
Namjoon paham. Namjoon mengerti. Namjoon mengerti bahwa semuanya bukan saja keinginan Yoongi. Namun juga keinginan orang tua Seokjin. Keluarga Seokjin. Teman-teman Seokjin. Para penggemar karya-karya Seokjin.
Serta keinginan seorang Kim Namjoon.
"Min Yoongi,"
"Ng?"
"Apa kau pernah membayangkan, kalau aku batal menikahinya?"
Ada yang tertegun.
Kemudian, Yoongi tersenyum.
"Tidak."
"Hm?"
"Tidak pernah dan tidak perlu kubayangkan. Karena kau berhasil membujuknya. Membawanya sembuh."
Namjoon mempersilahkan atap besar itu menyapanya. Lagi. Yang keberapa? Jangan terlalu heboh untuk menghitung. Senyumnya saat memandang kantung plastik berisi roti-roti hangat, bukan representasi dari sebuah kebahagiaan seorang pria muda di siang hari.
Ting-tong.
"Oh, Namjoon..."
"Selamat siang."
Namjoon menunduk saat wanita yang lebih tua tersenyum dan membantu membawakan barang-barang yang ia bawa.
Kini mereka berdua sudah duduk di ruang tamu. Dengan Namjoon yang menggenggam selembar kertas. Ia baca. Saat wanita yang lebih tua terus menatapnya dengan gestur penuh harap.
"Masih ada harapan, kan...?"
Namjoon diam.
"Namjoon, apakah khayalan bibi terlalu tinggi?"
Namjoon, bicaralah.
"Bahkan terlalu rendah." Namjoon meletakkan kertasnya. "Bibi jangan menganggap kesembuhannya sebagai harapan."
Saat tautan kata itu menguar, yang terjadi adalah munculnya kalimat menyejukkan.
"...sembuhnya Seokjin bukan harapan, tapi kenyataan."
Disini Kim Namjoon, yang menyaksikan sebuah anomali.
Menurutnya Kim Seokjin tidak seharusnya begini.
Menurutnya, Kim Seokjin, tidak seharusnya mengalami ini.
Kini, jalur lurus pandangnya adalah punggung Seokjin; Seokjin yang duduk di kursi roda, di beranda lantai dua, menatap kosong bentangan topografi menyilaukan, yang tidak pernah bosan ia lihat sepanjang hari. Menghabiskan berbulan-bulan waktunya dengan hanya menikmati pemandangan. Seokjin telah berhenti menulis. Seokjin sudah berhenti memasak, mengunjungi perpustakaan, menemui orang-orang penerbitan, juga berhenti menyapa penggemarnya di kafe. Yang ia tunggu adalah matahari terbenam. Jingga senja, satu-satunya aksen yang bisa membuatnya tersenyum kecil sebelum hari menuju gelap.
Bukankah ini miris? Bung, kekasihmu remuk, dan kau masih belum mampu meyakinkan bahwa kehancurannya bisa diperbaiki, bagaimana perasaanmu?
Dungu, jangan bertanya. Tanpa melihat pun semua tahu rasanya. Perih dan pahit menyakitkan.
Di tengah langkahnya menuju beranda, Namjoon lewati rak besar yang menampilkan semua lambang kejayaan Seokjin. Foto-foto berbingkai, piagam, dan buku-buku karyanya, serta karya-karya orang hebat lain. Sempat ekor matanya menemukan obat-obat tertumpuk di atas nampan, di tempat tidur. Bukti bahwa Seokjin sama sekali tidak menyentuhnya.
"Kau tahu ini sudah yang keberapa?"
Suara Namjoon membuat Seokjin berhenti melamun. Tidak berputar posisi, namun Seokjin menoleh.
"Namjoon?"
"Kau membuang obat itu lagi?"
"Namjoon."
"Aku heran, kenapa kau begitu bodoh. Tolol, dungu, ck, entah. Kau ini, masih berotak atau tidak?"
Seokjin yang diam begitu ujaran Namjoon mengepul di depan wajahnya.
"N-Namjoon, apa akhir-akhir ini pekerjaanmu melelahkan? Apa kau belum makan siang?" Seokjin menggerakkan roda kursinya, mendekati Namjoon.
"Kim Seokjin, aku membawa pertanyaan, dan kau belum memberi jawaban,"
"Namjoon, akan kuambilkan air–"
"JAWAB!"
Kursi roda terhempas. Bersama Seokjinnya. Dan Namjoon yang menyebabkan semua itu. Seokjin terjatuh, terseret hingga dekat pintu. Matanya seketika memerah bukan karena merasakan ngilu di kakinya. Bukan. Sama sekali. Ia menatap Namjoon dengan tanda tanya besar. Mengapa Namjoon melakukan hal ini padanya?
"Namjoon, kau..."
"Bagaimana menurutmu? Aku bisa membunuhmu, Seokjin. Aku bisa membunuhmu kapan saja kalau kau mau. Kau jatuh, kau terjerembab seperti ini. Kau lemah. Kau tak punya apapun. Harapanmu bahkan nihil. Begitu mudah untuk membunuhmu, kalau kau ingin mati, kalau kau benar-benar ingin mati sekarang, aku bisa. Aku bisa melakukannya saat ini. Membuatmu mati."
"N-Namjoon...?"
"Bukankah kau tidak ingin untuk bertahan hidup? Kau mengacuhkan semua obatmu, kan? Kau mengabaikan jerih payah orang tuamu, benar? Dan kau menampik doa serta semangat yang telah teman-temanmu berikan?"
Dalam bola mata Seokjin, Namjoon terlukis begitu tampan, memabukkan. Ranum bibirnya. Lesung pipinya yang menukik samar-samar. Mata jahitan yang tajam itu. Seokjin menemukan semuanya.
"Daripada terus-terusan seperti ini, lebih baik kau mati."
Satu. Air mata Seokjin jatuh. Dua, jatuh lagi. Dan seterusnya.
"...aku bisa menjadi tangan Tuhan untuk mencabut nyawamu sekarang."
Saat itu, ada Namjoon. Yang mendekati Seokjin. Mencengkeram kerah piyama si pria berkulit pucat.
Jika dengan mencekik Seokjin sepuluh detik saja, Seokjin renta sudah pasti sukses meregang nyawa.
Mungkin wajah itu basah. Mungkin, hati itu berteriak tidak karuan berkat tak percaya. Tapi sebuah keajaiban besar saat akal sehat Seokjin masih berjalan. Meski merangkak. Dan merintih memilu. Selama ini ia memang ingin mati. Penyakit ini membuatnya putus asa. Dua tahun, dan tiga tahun. Sementara uang sudah terbuang untuk membiayai segalanya, dan Tuhan masih saja bungkam. Kesembuhan semakin jauh. Berikut kian menjauh saat Seokjin memutuskan untuk pasif; ingin mati, menyerah dengan penyakitnya.
Namun ia tidak ingin mati di tangan orang tercintanya.
Demi yang tidak pernah terombang-ambing, Seokjin tidak ingin. Tidak akan mau. Ia mencintai Kim Namjoon secara kesumat. Separuh bidang hatinya adalah ruang nyaman yang berisi seorang Kim Namjoon. Itu berlaku mutlak. Seokjin tidak ingin mencederainya. Meski ia ingin menyerah. Meski ia ingin mati. Tetapi ia tidak ingin melihat Namjoon seperti ini. Ia, demi Tuhan tidak akan membiarkan tangan Namjoon berlumuran darahnya, darah Kim Seokjin.
Kau, kau membuatnya menderita, Seokjin. Penderitaanmu menyeret Namjoon terindahmu ke dalam cawan beracun yang secara salah kaprah kau ciptakan sendiri.
Bisakah, kau menurutinya?
Suara ratusan orang, hari ini, terkumpul di lidahnya.
"Maafkan aku."
Dua kata. Dan dua detik Namjoon berhenti.
"Namjoon maafkan aku."
"Apa..." Namjoon tersenyum menyedihkan. "Apa katamu. Meminta maaf pada siapa?"
"Bisakah kita mengulang semuanya...?"
Hening.
Memejamkan mata, Namjoon merasakan ada angin yang datang malu-malu.
"Namjoon, ayo, ayo kita ulang kembali. Agar tidak ada lagi yang merasa sedih."
Suara pelan itu. Yang Namjoon dengar. Harfiahnya, menggebrak telinga serta alam sadarnya. Murni, bahwa yang ia temukan pada detik ini sungguh mengejutkan.
"Kim Seokjin..."
Akhirnya ada keputusan.
"Mungkin bukit-bukit itu sudah bosan karena setiap hari selalu kutatap tanpa alasan. Akhirnya mereka mengirimmu kemari." Seokjin sedikit beranjak, membelai pipi Namjoon. "Maafkan aku. Sudah berapa lama kau tersakiti karena aku yang keras kepala...?"
Rahang itu bergetar.
"Sial. Ternyata selama ini aku berusaha menghancurkan seorang pria sempurna."
Namjoon memeluk Seokjin. Menggendongnya, mendudukkannya kembali di kursi roda. Ia menangis keras. Tangannya memeluk kaki Seokjin rekat. Kepalanya tertelungkup, mengucapkan terima kasih dan banyak hal mengenai, betapa indahnya semesta jika Kim Seokjin sembuh dan kembali melanjutkan hidupnya.
"Seokjin, jika kau tidak ingin sembuh karena orang tuamu, jika kau tidak ingin sembuh karena Min Yoongi, jika kau tidak ingin sembuh karena orang-orang baik di sekelilingmu, paling tidak, inginlah sembuh untukku. Untukku, untukku sendiri. Bukan pada siapapun."
Dengung angin, yang menggiring tangan Seokjin untuk merengkuh kepala Namjoon, mengusap rambut harumnya.
'Baiklah...'
"Seburuk apapun alurnya, jangan pernah menyiksa diri dengan sekeping frasa; menyerah."
Itu kata Namjoon. Baru saja. Saat ini ia dan Seokjin berada di tepi danau. Seokjin di kursi roda, masih sibuk melempar kerikil-kerikil ke tengah danau.
Tenang, ia mendengarkan ucapan itu.
Dan senyumnya mengembang.
"Namjoon,"
"Hm?"
"Besok aku ingin melanjutkan proyekku yang batal tahun lalu."
Namjoon tercengang.
"Sungguh? Benar?"
Seokjin mengangguk dan terpejam.
"Eum! Membosankan rasanya setiap pulang dari rumah sakit." Seokjin melempar kerikil terakhir. "Boleh, kan?"
"Aku tidak akan melarang. Asal kau tetap menjaga waktu istirahatmu." Namjoon tersenyum.
"Aey, aku tidak menyangka bahwa aku akan kembali seperti ini."
Gulungan awan yang berenang pelan.
Seperti kapas manis.
Yang terayun oleh waktu.
Waktu yang membawa semua ini pada sebuah titik akhir.
Kita semua pernah merasakannya.
Kita, kita bersama.
Ditindih oleh kebiasaan waktu yang selalu tak bisa terbaca.
Yang seperti ini, bukanlah hal sia-sia.
Kau membuang putus asanya.
Kau, membuat dia berdiri dengan wajah terbuka.
Meski akhirnya Tuhan yang punya suara.
Selebihnya kita hanya menjadi pemain terbaik dalam drama kreasinya.
Gyeongju, awal musim gugur 2018.
"Pemandangan dari atas sini indah, ajak pacarmu lain kali."
"Mau kujitak?"
Pacar, pacar, pacar nenekmu. Yoongi sensitif menyoal pembahasan itu.
Ia mengeluarkan barang pesanan Namjoon dari dalam tas, meletakkannya di atas meja.
"Berapa harganya?" Sebenarnya Namjoon ingin kegirangan dan buru-buru memegang buku itu, tapi dia jaga muka.
"Tidak usah. Aku traktir."
"Eh? Yang benar?"
"Aku sedang dermawan akhir-akhir ini. Asal kau tahu."
Namjoon memasang wajah jijik.
"Tapi kau memang yang terbaik, Min. Thanks."
"Anu, pak kepala, jadi, sekarang kita mulai berbicara dimana?"
"Ah, meja ujung sana sengaja kukosongkan. Pemandangannya terbaik. Silahkan."
Yoongi mengakhiri kegiatan menatap pemandangan dan kemudian melongok wajah Namjoon yang tengah bersantap.
"Kim Namjoon, dua puluh sembilan tahun, kepala restoran bintang lima, makan serakus ini? Pelan-pelan itu– hei nanti kena bajumu, astaga ya ampun."
Menurut Namjoon, Yoongi ini seperti neneknya.
"Kau pikir menjadi atasan bisa seenak jidat memesan makanan disini? Jarang-jarang aku begini, kalau bukan karena kau yang jauh-jauh datang." Namjoon meletakkan garpu. "Kau ingin menambah?"
Yoongi menggeleng.
"Jadi, kau masih melanjutkan bukunya yang belum selesai?"
Sepi.
Cukup lama.
Mungkin dua puluh detik.
"Ya." Namjoon tidak ingin memikirkan hal apapun. "Enam bulan ini, syukurlah tidak ada kesulitan apapun. Orang-orang penerbitan dan Senior Park mau membantuku, mereka baik."
"Kau benar-benar kuat, Kim."
Di luar, cuaca sangat cerah.
"Semoga saja."
Memang. Jawaban yang Namjoon lempar itu siratan. Yoongi tahu. Dia memungkinkan diri untuk tersenyum. Ah, dirinya tidak bodoh dan mengerti betul bahwa di dalam tubuh Kim Namjoon, kekuatan yang menjulang tak sebanding dengan kesedihannya yang, walau hanya bayang-bayang, namun menggunung.
Sekali lagi, yang dimohon adalah, tolong tegarkan.
"Namjoon, kau tidak pernah memarahi Tuhan, kan, karena semua ini?" Yoongi, suaranya hati-hati.
"Tidak. Aku tak sebajingan itu, dengan menyalahkan Tuhan." Namjoon melanjutkan, "Meski aku tahu bahwa tak seharusnya Dia melakukan ini."
Jangan dipedihkan kembali. Yoongi ingin sekali menyemangati Namjoon lagi, lagi, terus menerus.
"Semangat, Namjoon sayang. Kau bisa menyelesaikannya." Itu membuat Namjoon bisa menyeringai. Dan pertanyaan terakhir dari Yoongi, "Lalu, kau menyuruhku membeli novel Ahn Hyunmin untuk kau buat referensi?"
Bukan.
"Aku ingin menaruh novel itu di altar Seokjin." Namjoon sempat tersenyum. "Karena sebelum pergi, dia sempat menginginkannya."
Pertunjukan ciptaan Tuhan, memang seperti ini...
.
.
.
END
.
.
.
A/N: Kesimpulannya adalah, jangan menyerah karena apapun, atas nama apapun, atas dasar apapun, untuk yang lebih baik. Meski akhirnya semua jatuh pada kuasa Tuhan. Setidaknya, kita pernah optimis dan berusaha. Tuhan punya yang terbaik. Ini bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk kita, dan untuk penulis sendiri. Halo. Setelah tiga bulan tidak menghasilkan apapun (disini), akhirnya bisa kembali. Rasanya kaku. Astaga cuma tema gini doang tapi bahasa–dan bahasannya–terlalu berlebihan. Maafhamnida. Fiction sederhana ini tayang dalam rangka tagar #btsffnwploveyourself, semoga semuanya bisa menikmati. Noehoen.