=Happy Reading=
.
.
Wonwoo bergeming di tempatnya. Tidak bertanya kenapa Mingyu terus memandangi tangannya. Kekasihnya yang berkulit tan itu membatu hanya dengan memandangi tangannya.
"Tidak mungkin kan?" gumam Mingyu namun tidak ditanggapi Wonwoo.
Perlahan, Mingyu menaikkan pandangannya. Memandang wajah Wonwoo yang sama sekali tidak menampilkan ekspresi.
"Kau ... seorang wanita?" tanya Mingyu hati-hati. Wonwoo mengedip takjub mendengarnya.
Pemuda ber-beanie putih itu membantah. Menggelengkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dan Mingyu kembali memandangi tangan Wonwoo dalam genggamannya.
Tangan Wonwoo terasa begitu halus. Ia sampai begitu hati-hati menggenggam tangan putih itu. Jauh berbeda dengan tangannya. Ia sulit mempercayai tangan digenggamannya adalah milik pria. Dari bentuk dan tekstur kulitnya, benar-benar berbeda.
"Aku sering berjabat tangan dengan wanita dan pria," batin Mingyu. Karena Mingyu memang tidak pernah memiliki kekasih, Mingyu tidak pernah menyentuh orang lain dalam arti sesungguhnya. Hanya rekan bisnis yang ia jadikan pelajaran.
"Kau benar-benar pria?" tanya Mingyu lagi. Ia masih belum yakin dengan gelengan kepala Wonwoo. Karena ia yakin, semua rekan bisnis yang ia jabat tangannya tidak seperti Wonwoo. Dan kali ini Wonwoo mengangguk untuk menjawabnya.
"Sungguhan?" Mingyu masih ragu.
Wonwoo melepas genggaman tangan Mingyu. Tangannya terangkat dan menunjuk tepat ke selangkangan kekasihnya.
"Aku juga memiliki seperti yang di dalam itu," ucapnya polos.
"Y-Yak ... apa yang kau tunjuk? Ke mana arah tanganmu itu hah?" tanya Mingyu gugup dan terbata. Refleks ia merapatkan kakinya. Menutup dengan kedua tangan dan berbalik memunggungi Wonwoo.
"Tapi aku memang punya yang seperti itu," lanjut Wonwoo lagi masih dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah membuat Mingyu malu setengah mati, namun masih tetap menampilkan wajah datarnya.
Merasa tindakannya konyol dan memalukan, Mingyu memperbaiki posisi berdirinya. Kembali tegap dan berdehem menghilangkan kegugupannya. Perlahan ia membalikkan tubuhnya. Memandangi tubuh Wonwoo dari atas sampai ke bawah. Dan pandangannya terhenti tepat di antara dua paha kekasihnya.
Tiga puluh detik telah terlewat, tapi Mingyu belum mengalihkan pandangannya. Sedangkan objek yang dipandangi sama sekali tidak terganggu.
"Sudah percaya kan?"
Mingyu tersentak karena ucapan Wonwoo. Wajahnya sedikit memerah dan menggelengkan kepalanya. Tangannya memukul kepalanya sendiri berulang kali.
"Bodoh. Apa yang baru saja kau pikirkan Kim Mingyu?" rutuk Mingyu dalam hati.
Mingyu menghembuskan nafasnya. Mencoba mengenyahkan segala yang singgah di pikirannya. Mencoba menepis kecurigaannya, Mingyu mengabaikan tentang bagaimana halusnya tangan Wonwoo. Ia menanamkan pada dirinya sendiri, kalau tangan Wonwoo berbeda dengan pria pada umumnya.
"Jangan memasang ekpresi seperti itu. Kau terlihat seperti hantu asal kau tahu." Si pemuda tan mencoba kembali menggenggam tangan Wonwoo. Namun kali ini mendapat penolakan. Wonwoo menghempaskan genggaman tangannya.
"Kau tidak ingin makan?" tanya Mingyu.
"Aku bukan hantu," jawab Wonwoo tanpa nada.
"Lihatlah cara berbicaramu! Bagaimana aku tidak mengira kau hantu."
"Aku bukan hantu."
"Terserah kau saja."
Mingyu melangkah. Namun saat melihat ke samping, tidak ada Wonwoo di sisinya. Ketika berbalik, Wonwoo masih berdiri di tempat semula tanpa melakukan apapun.
"Aku bukan hantu," ulang Wonwoo sekali lagi. Mingyu mendesah mendengarnya. Setelah menggelengkan kepalanya, ia kembali mendekati Wonwoo.
"Kau marah aku sebut mirip hantu?" tanya Mingyu.
"Aku marah."
"Kau merasa kesal?"
"Aku kesal."
"Lihatlah! Bahkan aku tidak bisa membedakan ekspresi marah, kesal, atau bahagia di wajahmu. Kalau kau marah atau kesal setidaknya kau harus menunjukkannya. Jangan seperti ini. Ubah ekspresi wajahmu." Tanpa sadar, Mingyu menangkup pipi Wonwoo gemas.
"Jadi aku harus mengubah wajahku?" tanya Wonwoo. Mingyu menarik tangannya dari wajah Wonwoo saat tersadar.
"Bahkan kulit wajahnya sehalus ini," batin Mingyu.
"Aku boleh mengubahnya?" Wonwoo kembali bertanya karena tidak ada respon dari Mingyu.
"Ya kau harus mengubahnya. Jangan terlalu datar seperti itu." Kali ini Wonwoo tidak langsung menjawab. Ia terdiam seolah tengah berpikir.
"Ke dokter?"
"Hah?" Mingyu memasang wajah bodohnya. Masih mencoba mencerna apa yang Wonwoo tanyakan. Ia tidak mengerti kenapa kekasihnya tiba-tiba menyebut dokter.
"Mengubah wajah di dokter seperti artis di tv?"
Mingyu tidak tahu harus tertawa atau menangis. Ia merasa gemas dan geram dengan kekasihnya sendiri. Setelah mengusap wajahnya. Mingyu menggelengkan kepalanya. Membuat Wonwoo mengerjapkan matanya bingung.
"Sudahlah! Sepertinya aku harus belajar bahasamu. Dari pada aku keriput sebelum menikah," gumam Mingyu. Sedangkan Wonwoo masih berdiri memandangi Mingyu.
Pemuda bergigi taring itu tidak bisa menahan rasa gemasnya. Ia menarik beanie yang menutupi setengah poni kekasihnya. Membuat beanie itu hampir menutup mata Wonwoo. Ia berkedip cepat karena poninya terasa menusuk di matanya.
Tanpa sadar, Mingyu terkekeh pelan. Ia berdiri tepat di depan kekasihnya yang lebih pendek. Kembali merapikan letak beanie-nya dan menggandeng sang kekasih. Mengajak ke salah satu kedai siap saji yang menjual berbagai makanan.
"Aku boleh memakannya?"
"Apa yang kau tanyakan? Tentu saja boleh." Mingyu menjawab tanpa menghentikan langkahnya.
"Tidak ada yang melarangku?" karena Mingyu menghentikan langkahnya, otomatis langkah Wonwoo juga terhenti.
"Kau pikir siapa yang akan melarangmu makan?" Mingyu menggelengkan kepalanya heran.
"Kalau aku sangat suka, apa benar-benar tidak ada yang meminta? Aku tidak harus membaginya dengan siapapun?"
Mingyu terdiam beberapa detik. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Wonwoo. Ia seolah menangkap arti lain dari pertanyaan itu.
"Apapun yang kau suka, kau bisa memakannya dan tidak akan ada yang memintanya. Kau bisa makan sepuasnya."
Sebenarnya Mingyu ingin bertanya arti kalimat Wonwoo. Namun ia memilih mengurungkannya. Ia berpikir, lain kali akan bertanya. Lagi pula, ia tidak yakin pertanyaanya akan dijawab dengan normal. Mengingat betapa ajaibnya kelakuan sang kekasih.
.
.
Seolah tidak jera dengan sikap Wonwoo, Mingyu kembali menemui si pemuda manis. Padahal ia selalu berteriak dan menggeram marah. Namun tidak membuatnya bosan dan mengabaikan Wonwoo.
Sepulang Mingyu kerja, mereka berjalan-jalan seperti biasa. Dan seperti hari-hari sebelumnya, Mingyu harus menahan bahu Wonwoo agar tidak berjalan cepat. Teriakan dan geraman masih ia keluarkan ketika menghadapi sikap ajaib kekasihnya.
"Kau tidak lapar lagi?" tanya Mingyu membuka pembicaraan setelah terdiam beberapa menit.
"Aku sudah makan banyak." Kali ini Mingyu mengangguk. Memperhatikan tangan Wonwoo yang masih menggenggam sebuah pisau. Seberapa keraspun ia meminta agar Wonwoo membuang benda menyeramkan itu, Wonwoo mengabaikannya. Tetap membawanya tanpa bantahan seolah Mingyu tidak pernah melarangnya.
"Kenapa kau memaksaku menjadi kekasihmu?" Mingyu bertanya sambil menatap lurus ke depan. Kembali mengingat pertama kali bertemu dengan Wonwoo.
"Aku memaksa?"
"Ya, kau memaksa."
"Aku tidak memaksa."
Mingyu memejamkan matanya. Dalam hati ia sudah menggerutu panjang lebar. Seberapapun ia mencoba bersabar, namun tetap saja tidak mengubah kenyataan. Berbicara dengan Wonwoo membuat urat lehernya terasa mencuat kepermukaan.
"Bagaimana bisa kau katakan tidak memaksa kalau kau saja menodongkan pisaumu ke leherku?"
Yang ditanya justru tidak menjawab. Membuat Mingyu mengacak rambutnya frustasi. Semenjak bertemu dengan Wonwoo, semakin sering ia merasakan emosi yang meletup-letup. Tidak emosi dalam artian sesungguhnya. Karena emosi dan kesal yang ia rasakan, berpadu rasa gemas serasa ingin menarik pipi putih itu hingga memerah.
"Kau memaksaku menjadi kekasihmu atas dasar cinta atau tidak?" Wonwoo menoleh mendengar pertanyaan Mingyu. Ia kembali mengerjapkan matanya bingung.
"Kau tidak tahu arti cinta?" tebak Mingyu. Dan dugaannya sangat tepat. Karena Wonwoo langsung menggeleng tanpa mau menjawab.
"Kalau tidak tahu, setidaknya kau harus bertanya apa itu cinta?" kesal Mingyu lagi.
"Apa itu cinta?" pertanyaan yang membuat Mingyu menghembuskan nafasnya kasar. Ia memandang kekasihnya sebal. Tapi Wonwoo tidak menunjukkan ekspresi apapun. Jangankan minta maaf karena membuat Mingyu stress, merasa bersalah pun tidak terpancar dari wajahnya.
"Cinta itu saat aku membuka bajumu dan memperkosamu." Dengusnya sebal. Berharap Wonwoo memekik atau mungkin memukulnya. Ia sangat mengharapkan reaksi lain dari Wonwoo. Namun Wonwoo tetaplah Wonwoo. Ia hanya menggeser duduknya sedikit menjauh dari Mingyu. Duduk di ujung bangku taman yang memanjang itu.
"Ya Tuhan, kalau orang lain mungkin sudah memakiku."
Mingyu sadar belakangan ini terlalu banyak mengeluh dan mendesah frustasi. Tapi ia yakin tidak akan ada yang mampu bersikap kalem menghadapi kekasih seperti Wonwoo.
"Wonwoo-ya." Yang disebut menolehkan kepalanya.
"Apa kau tidak merasa keterlaluan? Dari sekian banyak pertanyaan tentangmu, tidak ada yang pernah kau jawab. Bahkan aku sama sekali tidak tahu di mana rumahmu. Apakah itu tidak keterlaluan?" Mingyu mencoba mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. Mereka sudah sebulan menjalin kasih. Ia merasa harus lebih dalam mengenal kekasihnya.
Lagi-lagi Wonwoo tidak menjawab. Ia menunduk seperti biasa saat Mingyu menanyakan beberapa hal padanya. Mingyu sadar ada yang berbeda dari Wonwoo. Meski samar, Mingyu bisa menangkap kesedihan dari wajah putih mulus itu.
"Lupakanlah! Kau tidak perlu memaksa—"
Kalimat Mingyu langsung terputus. Ia menatap tangannya yang digenggam Wonwoo. Kekasih manisnya itu berdiri di depannya dan menggenggam sebelah tangannya.
"Kau mau kemana?"
Meski bingung, Mingyu tetap berdiri dari tempatnya. Mengikuti langkah Wonwoo yang menarik tangannya. Pemuda manis itu tidak mengatakan apapun. Dan kali ini Mingyu tidak melanjutkan pertanyaanya. Meski pisau tajam itu masih ada di tangan Wonwoo yang lainnya, ia percaya si manis tidak akan melukainya.
Mereka terus berjalan dalam diam. Sebenarnya, beberapa kali Mingyu bertanya untuk menghilangkan kesunyian. Tapi Wonwoo enggan menjawab. Terkadang hanya menggeleng atau sama sekali tidak merespon.
Langkah Wonwoo terhenti tepat di depan sebuah rumah mewah. Mereka berdiri di depan rumah yang terpisahkan oleh jalan. Alis Mingyu berkerut melihat rumah mewah itu.
"Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Mingyu bingung.
Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Jalanan itu tampak sepi. Dan ia memang tahu tentang rumah mewah itu. Salah satu pengusaha kaya yang begitu ditakuti.
"Wonwoo-ya, kenapa kau mengajakku ke sini?" Wonwoo tidak menjawab. Hanya memandangi rumah mewah di depan sana dengan pandangan yang sulit diartikan.
Mingyu terdiam. Memandangi kekasihnya beberapa saat. Mencoba mencari tahu apa yang dipikirkan sang kekasih. Namun nihil. Ia tidak bisa menembus wajah putih tanpa ekspresi itu.
Menyerah menyelami pemikiran sang kekasih, Mingyu ikut memandangi rumah besar dan megah itu. Pagar berwarna kuning keemasan berdiri dengan kokoh mengelilingi rumah.
Rumah yang terdiri dari tiga lantai itu terlihat begitu mengagumkan meski dilihat dari luar. Pilar berukir yang terbuat dari marmer mahal menambah kesan mewah. Lampu gantung yang ia yakini bernilai ratusan atau bahkan milyaran menggantung dengan indahnya.
Sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan pagar, tak lama setelahnya muncul beberapa orang berpakaian serba hitam. Saat Mingyu menolehkan kepalanya ke samping, Wonwoo sudah menunduk.
Melihat laki-laki berpakain formal itu, mengingatkannya dengan jawaban Wonwoo beberapa waktu lalu. Jawaban dari pertanyaan kenapa ia tidak menyukai Mingyu memakai jas.
"Ini ... rumahmu?" Mingyu sendiri ragu dengan pertanyaanya. Namun ia mengurungkan menanyakan pertanyaan selanjutnya saat Wonwoo mengangguk. Berjalan meninggalkannya begitu saja masih dengan menunduk.
Mingyu bergeming di tempatnya. Ia percaya Wonwoo tidak berbohong. Namun ada hal yang lain yang membuatnya sulit untuk percaya. Begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ia bahkan sulit untuk memilah mana yang harus ia pertanyakan lebih dulu.
"Wonwoo tinggal di rumah ini? Tapi ... bagaimana mungkin?" batin Mingyu.
"Aku harus mempercayainya atau tidak? Kalau dia tinggal di rumah semewah ini kenapa ...?"
Mingyu memperhatikan punggung Wonwoo yang menjauh. Ia memandang punggung sempit itu dengan seksama. Ia tidak tahu kenapa begitu sulit untuk mengenal Wonwoo lebih dalam. Begitu banyak pertanyaan yang berputar mengenai kekasihnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Ada apa denganmu?"
.
.
TBC
Kemaren banyak yang nebak Wonu bukan manusia? So, gimana? Masih menilai Wonu bukan manusia? Atau udah berubah pemikiran?
Kalian mungkin ga akan nemuin adegan romantis kaya di ff pada umumnya. Secara Wonu yang begitu dan datarnya ngalahin triplek dan Mingyu yang selama ini jomblo abadi yang pastinya ogeb urusan pacaran. :D