"Kenapa mukamu merah begitu?"
Haechan bertanya pada Jaemin yang baru saja masuk ke kelas dan duduk di kursi kosong yang berada di sampingnya.
"M –masa sih?"
Kening Haechan semakin mengernyit mendengar sahabatnya itu berkata terbata-bata. Belum lagi tingkah Jaemin yang seperti orang linglung, lihat saja anak itu menggigiti ujung pulpen sambil tersenyum aneh.
Haechan melirik ke arah pintu kelas, Jeno –dengan tampang malasnya berjalan menuju tempat duduknya yang berada di deretan paling belakang. Haechan bersumpah bahwa tadi ia melihat Jeno melirik Jaemin dengan ekor matanya. Ia juga yakin kalau mereka berdua sempat bertemu pandang sebelum Jaemin menunduk lalu kembali tersenyum aneh.
"Jaemin, kau ada 'something' ya sama Jeno?"
.
.
PAST PRESENT FUTURE
.
.
"Jadi kau mau bercerita yang mana dulu?" todong Haechan. "Alasan kenapa kau membolos berhari-hari? Atau kau yang ada something sama Jeno?"
Haechan dan Jaemin sekarang berada di kedai sederhana yang menjual bubble tea. Sekolah baru saja usai dan mereka berdua memutuskan untuk membeli minuman kesukaan mereka itu sambil menunggu bis.
"Kau mau aku bercerita yang mana dulu?" tanya Jaemin. Jujur saja ia sebenarnya tidak ingin bercerita tentang apapun, tapi Jaemin tahu cepat atau lambat ia akan tetap menceritakan segalanya pada Haechan. Ia tidak pernah bisa lama-lama menyimpan rahasia dari sahabatnya itu.
"Sebenarnya aku penasaran setengah mati tentang hubunganmu dengan Jeno. Tapi sepertinya kau lebih ingin menjawab pertanyaanku yang satunya. Benar kan?" jawab Haechan.
Jaemin mengangguk, diaduknya bubble tea rasa coklat favoritnya. Menatap minuman itu tak selera.
"Orangtuaku akan bercerai" ucapnya lirih.
Perkataan Jaemin membuat Haechan terbelalak, mulutnya terbuka beberapa centi. Ia mengamati raut wajah Jaemin, menelisik apakah perkataan sahabatnya itu benar adanya.
"K –kau serius?" tanyanya terbata.
Jaemin mengangguk. Ia mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah. Mengingat perceraian orangtuanya membuat Jaemin ingin menangis lagi.
"Kau saja kaget, apalagi aku. Aku tidak pernah menyangka mereka akan mengambil keputusan itu. Tapi aku bisa apa kalau mereka berdua menginginkannya"
Haechan menggeser kursinya menjadi lebih dekat pada sahabatnya. Diusapnya punggung Jaemin pelan. Jujur saja, Haechan tidak tahu harus melakukan apa. Masalah orang dewasa itu terlalu rumit untuk dipahami.
"Aku tidak tahu harus menghiburmu dengan cara apa." Haechan berkata jujur "Orang dewasa punya masalah yang mungkin tidak kita pahami. Mungkin saja mereka mengambil keputusan ini karena inilah yang mereka anggap terbaik"
"Apa membuatku tidak punya keluarga yang lengkap adalah keputusan terbaik Chan?" tanya Jaemin.
Seperti tersengat, Haechan merasakan sesak menyerang dadanya. Ia tahu bagaimana rasanya tidak mempunyai keluarga yang lengkap. Ia beruntung dari kecil tidak mengenal ayahnya, jadi ia tidak merasakan rindu terhadap sosoknya. Berbeda dengan Jaemin, anak itu tumbuh dalam keluarga yang lengkap, akan sangat menyakitkan jika tiba-tiba ia kehilangan sosok ayah ataupun ibu yang selama ini menemaninya.
"Rasanya menakutkan. Aku takut mereka perlahan-lahan akan melupakanku. Suatu saat nanti mereka pasti akan memiliki keluarga baru lagi. Benar, kan?"
Karena yang Jaemin ingat, ayah dan ibunya selalu ada. Meski mereka tidak selalu punya waktu untuk Jaemin, setidaknya setiap hari ia masih bisa melihat keduanya. Tidak seperti hari ini, hari pertama yang ia lewati tanpa Taeil –ayahnya terasa begitu asing. Ia harus terbiasa, namun membiasakan diri mengapa begitu sulit.
"Ah maafkan aku Haechan –ah… Aku jadi menangis tidak jelas begini"
Jaemin mencoba mencairkan suasana sendu di antara mereka. Ia mengusap airmatanya kasar lalu tersenyum ceria seperti Jaemin yang Haechan kenal.
Haechan mengulum senyum, ia balas tersenyum.
"Mungkin Tuhan sedang mengujimu, Jaem…." Tukas Haechan "Tapi yakinlah, bahwa Ia tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuanmu"
"Orangtuamu mungkin tidak lagi tinggal dalam satu rumah" Haechan ikut mengusap sudut matanya yang berair "Tapi mereka tetaplah ayah dan ibumu"
"Kau mungkin marah pada mereka, hatimu juga mungkin sangat sakit saat ini. Tapi ingatlah, bahwa ketika kau lahir merekalah yang paling bahagia menyambutmu ke dunia ini"
"Kau harus kuat! Buat ayah dan ibumu bangga. Walaupun mereka tidak bisa membesarkanmu berdua lagi, tunjukkan pada mereka, bahwa kau anaknya adalah yang terbaik"
"Hanya ingat, mereka mencintaimu melebihi apapun di dunia ini. Arrachi?"
Jaemin mengangguk cepat dengan airmata yang kembali mengalir.
"Sudah jangan menangis. Jadi tidak nih jengukin Renjun?"
.
.
PAST PRESENT FUTURE
.
.
Suara erangan terdengar lirih, seorang anak laki-laki sedang meringkuk di atas kasur lapuk. Renjun meringis, tubuhnya terasa sakit semua. Belum lagi rasa mual yang membuatnya ingin muntah. Efek kemoterapi selalu membuatnya sengsara.
"Renjunie… Bagian mana yang sakit?"
Seorang laki-laki paruh baya masuk ke dalam kamar berukuran sempit itu dengan tergesa. Satu tangannya membawa bungkusan nasi beserta piring dan sendok. Dibukanya bungkusan berisi nasi dan lauk yang tak seberapa, lalu menyuapkannya pada sang anak.
"N –nanti saja makannya, ayah…." Lirih Renjun. "Rasanya mual sekali" imbuhnya. Ia semakin menarik diri membentuk kepompong, menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.
"Tiga suap saja, oke? Kata dokter kau harus makan yang banyak setelah kemoterapi"
Kun –ayah Renjun berusaha membujuk sang anak. Dengan sabar ia membuka selimut yang menutupi tubuh kurus Renjun. Ia membantunya untuk duduk bersandar di dinding, menyuapkan sesendok nasi yang ditelan dengan malas oleh sang anak.
Renjun mengamati raut wajah ayahnya. Rasa lelah terekam jelas di wajah yang masih tampan di usianya yang menginjak angka empat puluh. Titik-titik keringat mengalir deras, Renjun tahu ayahnya selalu bekerja keras –untuk menghidupinya.
"A –ayah pasti lelah kan?" tanya Renjun. Entahlah, hatinya sangat sensitive akhir-akhir ini.
"Tidak. Ayah tidak pernah lelah Renjunie~" balas Kun disertai seulas senyum menenangkan. Ia kembali menyuapi Renjun.
"Bohong. Ayah pasti lelah kan!" tuntut Renjun. Ia menelan susah payah. Dadanya terasa perih karena rasa sesak yang tiba-tiba datang.
Kun mengusak surai tipis sang anak. Laki-laki itu tersenyum sendu melihat helaian rambut Renjun yang tersangkut di sela jarinya.
"Kalaupun ayah lelah, hanya dengan melihatmu semua rasa lelah ayah akan berkurang Renjunie…."
TES
Air mata Renjun mengalir begitu saja.
"Aku tidak akan sembuh ayah…" bisiknya. "Aku akan pergi seperti Ibu"
Kun meletakkan piring berisi nasi di samping tempat tidur. "Kata siapa kau tidak akan sembuh?" Diusapnya pipi tirus Renjun penuh sayang, ia tahu anaknya itu hanya merasa takut. "Kau pasti sembuh Renjunie~ Ayah akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk pengobatanmu. Jangan pernah takut….."
Renjun menggelengkan kepala, menampik tangan Kun yang berada di pipinya.
"Aku tidak mau berobat lagi jika itu hanya akan membuat ayah lelah. Berhenti saja, mari habiskan waktu yang kita punya ayah…."
"Renjunie dengar….." Kun berkata sembari memegang kedua bahu Renjun "Lihat ayah…. Lihat… Apa ayah terlihat lelah? Apa ayah pernah berkata bahwa ayah lelah?" tukasnya. Ia menghapus air mata Renjun yang membasahi wajah pucatnya.
Justru itu, justru karena ayahnya tidak pernah berkata apapun membuat Renjun semakin merasa bersalah.
"Justru karena ayah tidak pernah berkata bahwa ayah lelah… hiks….."
Suara Renjun bergetar
"Karena ayah tidak pernah berkata bahwa ayah terluka…"
Ia menggigit bibir, menundukkan kepala agar air matanya tidak disaksikan oleh ayahnya.
"Karena ayah selalu berkata semua baik-baik saja….
Karena ayah selalu berusaha kuat untukku"
Renjun menatap Kun memelas. Menangis penuh putus asa yang terdengar menyakitkan.
"Aku selalu merasa berdosa menjadi anakmu… ayah…." ucap Renjun menyengguk "Aku selalu menyusahkanmu…. Maaf….."
Di usianya yang ke tujuh tahun, Ibu Renjun meninggal karena penyakit kanker darah yang diidapnya. Penyakit genetik selalu menurun. Itu yang dokter katakan setahun yang lalu saat Renjun terbaring lemah di rumah sakit. Ia ingat, ayahnya menangis sambil bersimpuh di depan dokter. Ketika Renjun menanyakan perihal sakitnya, Kun hanya tersenyum sambil mengusap kepalanya.
"Uhukk… Uhukk…."
Kun tersentak saat Renjun terbatuk hebat. Ia semakin panik melihat sang anak muntah.
"PERGI! AYAH PERGI SAJA! INI MENJIJIKKAN!"
Renjun berteriak. Ia mendorong tubuh Kun yang berusaha memijit belakang kepalanya. Nafasnya memburu karena amarah. Renjun melepas seprei yang terkena muntahannya tidak sabar. Ia marah terhadap dirinya sendiri, perasaan tidak berguna membuatnya kembali terisak semakin hebat.
"Renjun! Biar ayah saja yang membersihkannya." Kun mengambil alih seprei kotor yang berada di tangan Renjun. Memaksa sang anak untuk duduk di tempat tidur dan berusaha membersihkan mulut Renjun.
"BERHENTI! KUBILANG BERHENTI AYAH!"
Kun menjauhkan tangannya. Ditatapnya Renjun tak mengerti. Apa yang salah sebenarnya. Kun tak mengerti.
"Lalu ayah harus bagaimana, Renjunie?" tanya Kun putus asa.
"Kau itu putra ayah satu-satunya…." Lirih Kun. "Hanya Renjunie yang ayah punya di dunia ini. Ibumu sudah pergi, Ayah juga tidak ingin Renjunie pergi"
Mata laki-laki itu merah, sekuat tenaga menahan tangis yang bisa saja pecah. Orangtua mana yang ingin melihat anaknya sakit. Jika bisa, ia ingin sakit itu dialihkan saja padanya. Agar Renjun tidak perlu menghadapi semua kesakitan ini.
Bibir Kun bergetar "Semua akan ayah berikan untuk Renjun. Semuanya hanya untuk Renjun."
"Kau sangat berharga bagi ayah, melebihi apapun. Bahkan nyawa ayah sekalipun. Kenapa Renjun tidak mengerti juga?"
Renjun sesenggukan. Ia meraih tangan Kun. "Maaf…. Maaf… Maafkan aku ayah…" isaknya.
"Aku tidak ingin mati….. Aku tidak ingin meninggalkan ayah sendirian…."
Renjun terus mengulang sampai nafasnya tersengal. Ia menggenggamn tangan Kun sangat erat. Ia takut, ketakutan jika sewaktu waktu meninggalkan Kun sendirian.
"Siapa bilang kau akan pergi meninggalkan ayah?" balas Kun. Ia mengusap sudut matanya yang basah. Ia harus kuat, jika Renjun lemah, tugasnya adalah menguatkan. "Kau pasti sembuh dan akan menemani ayah sampai rambut ayah jadi putih semua" tukasnya.
"Maka dari itu mari sama-sama berjuang, Renjunie….."
.
.
PAST PRESENT FUTURE
.
.
Seorang pelayan membawak secangkir kopi dengan asap yang masih mengepul. Diletakkannya dengan pelan cangkir tersebut di atas meja kecil disamping kursi santai yang tengah diduduki oleh majikannya.
"Tuan, kopinya sudah siap. Saya permisi dulu"
Seseorang yang dipanggil Tuan itu menoleh, tersenyum sekilas lalu kembali memusatkan fokusnya pada pintu. Yuta –laki-laki itu sedang menunggu kepulangan Jeno. Hari ini ia tidak bekerja, tubuhnya sedang tidak baik, begitu juga dengan hati dan pikirannya.
Langit semakin gelap, jam menunjukkan pukul enam. Kemana gerangan sang anak yang tak kunjung pulang. Yuta memang tidak pernah pulang dari kantor dibawah jam tujuh. Jadi dia tidak hafal jam pulang sekolah Jeno. Menunggu anaknya seperti ini membuatnya cemas, khawatir jika terjadi sesuatu dengan sang anak.
Tiba-tiba bibirnya menyungging senyum, sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini. Berapa banyak waktu yang ia lalui tanpa menyadari bahwa ia hanyalah seorang ayah. Yang kapan saja bisa merasa khawatir dengan keadaan anaknya.
Manik Yuta melebar melihat kedatangan sosok yang sejak tadi ia tunggu. Dengan cepat ia memangggil Jeno yang acuh akan keberadaannya.
"Jeno, kau sudah pulang?" tanya Yuta. "Kemarilah, appa ingin berbicara"
Tak ada pergerakan dari Jeno. Anak laki-laki itu hanya berdiri diam, seakan malas berinteraksi dengan Yuta.
"Ada hal penting yang ingin appa bicarakan denganmu, Jeno-ya" ulang Yuta.
Jeno berdecak "Hal penting? Ah~ Apa appa akan menikah dengan jalang itu? Itu yang kau maksud hal penting?"
Rahang Yuta mengeras, namun daripada menuruti emosi Jeno, Yuta memilh mengalah.
"Duduklah sebentar Jeno-ya…." Kali ini Yuta berucap setengah memohon.
Sebenarnya Jeno enggan beranjak, namun ia tahu tidak ada gunanya membantah perintah ayahnya. Dengan kesal, ia duduk di kursi yang terletak bersebelahan dengan Yuta. Ini kali pertamanya mereka berdua berinteraksi dengan normal layaknya ayah dan anak setelah dua tahun lamanya.
"Kemarin ayah berbicara dengan dokter yang menangani eommamu" Yuta memulai. Sedikit dipijat keningnya yang terasa pusing. Akhir-akhir ini ia memang tidak bisa tidur dengan nyenyak.
"B –beliau meminta ayah agar merelakan eommamu"
Jantung Jeno berdetak cepat. Bulu kuduknya meremang. Ia meremas tangannya sampai buku jarinya memutih. Tubuhnya terasa lemas. Telinganya berdenging mendengar kalimat yang keluar dari bibir Yuta.
"A –apa maksud appa?" tanya Jeno terbata. Matanya memburam berisi tetesan bening yang bergumul di sudut-sudut.
Yuta diam, tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu Jeno mengerti apa yang ia bicarakan.
"Ah~ Arrasso…. Appa pasti senang sekali. Kalau eomma mati, appa bisa cepat-cepat mencari pengganti eomma kan?"
Seluruh tubuhnya gemetar. Sakit luar biasa saat mengatakan kata 'mati'. Jeno menyimpan harapan dua tahun lamanya, bahwa suatu saat Winwin akan membuka mata dan kembali tersenyum untuknya. Tapi detik ini, Yuta seperti memadamkan harapan yang selalu ia semogakan itu.
"BENAR KAN! BENAR KAN ITU APPA!"
Marah. Sesak. Perih. Semua bercampur menjadi satu. Jeno berdiri, dengan sempoyongan beranjak meninggalkan Yuta. Ia tidak kuat lagi.
Lari. Pikiran yang muncul tiba-tiba ketika jiwanya tidak ingin menerima kenyataan.
"DENGARKAN APPA JENO!"
Yuta ikut berteriak. Ia mencekal lengan sang anak namun dengan cepat pula terlepas karena Jeno menyentaknya begitu kuat.
"APA YANG HARUS KUDENGAR LAGI, APPA? APAKAH APPA INGIN MENGATAKAN BAHWA APPA SETUJU DENGAN KATA-KATA DOKTER SIALAN ITU?"
Ketakutan Jeno besar. Jika Yuta menjawab iya, sungguh ia akan memilih mati saja.
"Lihat appa Jeno….."
Yuta kembali memegang kedua lengan Jeno. Pada satu titik matanya bertemu dengan mata Jeno yang masih berdiri gemetar, perutnya terasa mulas. Ia bisa melihat buliran bening yang mengalir menuruni pipi sang anak.
"A –apakah appa terlihat seperti sedang mencintai orang lain?"
Yuta beralih pada pipi Jeno. Ditangkupnya wajah yang basah dengan air mata itu.
"Apakah appa pernah terlihat memuja orang lain selain eommamu?"
Yuta adalah laki-laki. Ia pernah berikrar dalam hidupnya untuk selalu kuat. Tapi ia terlalu lelah. Ia hanya ingin Jeno mengerti perasaannya.
"Apakah appa terlihat menginginkan orang lain sebagai eommamu? Jawab appa, Jeno ya…"
Yuta menangis. Ia biarkan airmatanya mengalir. Biar hari ini mereka berdua berbagi kesedihan. Lebih baik seperti ini daripada mereka harus berdiam-diaman dengan kesalahpahaman.
"Seumur hidup appa, hanya satu orang yang appa cintai tulus sepenuh hati
Hanya eommamu, Jeno-ya…"
Jeno menunduk. Bahunya berguncang keras, ia menangis sampai terasa sesak. Untuk pertama kali hari ini Jeno mengingat ayahnya juga manusia yang mempunyai perasaan. Ia tidak sadar, bahwa laki-laki di hadapannya ini mungkin lebih terluka lagi. Yuta lah yang paling menderita.
"Kumohon appa….. hiks….. Kumohon….."
Jeno meraung seperti anak kecil. Dicengkeramnya tangan Yuta yang memegang lengannya. Ia menumpukan tubuhnya sepenuhnya pada sang ayah.
"Jangan biarkan eomma pergi…. Hiks… Kumohon jangan biarkan dokter itu membuat eomma pergi".
.
.
TBC
.
.
Halloooo
Mark Chenle Jisung nyusul ya munculnya
Jeno sama Renjun kebalikan bgt ya situasinya
Yg satu rela nuker hidupnya buat ortunya yg satu rela nuker buat anaknyaanaknya
Bikiff inni rada puyeng, huftdhuftd
Semoga masih betah bacanya
Ditunggu ya lanjutannya
Makasih sudah mau review, fav atau follow
Sumpah aku sayang kalian