A/n; sebelumnya, terimakasih banyak untuk GUEST terhormat yang mereview, dan mengatakan bahwa fic saya banyak persamaan dalam segi kata-kata dengan fic milik Author Icha-Icha Fairy dan itu hampir 65%. Sama persis. Wow saya tersanjung, karena saya baru tahu fic karya kak Icha-Icha yang anda maksud, dan saya bahkan BELUM pernah membacanya. Dan juga, kata-kata apa yang anda maksud? EYD? Cara penulisan? ALUR? Penokohan? Tolong beritahu dengan jelas agar saya tidak salah tanggap. Saya punya idola, mereka menjadi panutan bagi saya untuk terus memperbaiki apa yang salah dari karya saya sebelumnya.
Terimakasih karena review anda berhasil membuat semangat saya untuk segera menyelesaikan fic ini menurun. Saya orang yang sangat menghargai karya orang lain, jika anda menganggap saya adalah seorang PLAGIAT maka anda SALAH BESAR. Dan helo, 65% itu bukan perkiraan yang sedikit. Banyak para penulis di luar sana yang mungkin gaya penulisannya memiliki kesamaan satu sama lain bukan? Terakhir, terimakasih untuk perhatiannya, anda ternyata sangat memperhatikan cara penulisan saya sehingga bisa berkata demikian.
Dan untuk pembaca lainnya, semoga terhibur dengan cerita saya ini yang bahkan tidak ada apa-apanya. Maaf atas ketidaknyamanannya, dan maaf jika ending dari cerita ini jauh dari apa yang kalian harapkan.
.
.
Presetan dengan acara itu.
Ia tidak perduli dengan ibu, kakak, atau bahkan ayahnya yang mencoba menghubungi ponselnya. Sasuke memukul setir mobil kesal, ia kehilangan obatnya, Sakura tidak berada di apartemen, wanita itu pergi entah kemana. Hilang bagaikan debu yang tersapu angin, ia menghubungi Naruto, meminta bantuan pada pria kuning itu agar menanyakan keberadaan Sakura pada sepupu merahnya. Namun nihil, Sakura sedang tidak bersama Karin.
Sasuke memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, tetapi ia ingat apa yang pertama kali membuat Sakura kembali ketakutan padanya. Izuna. Ia beralih melirik jam tangannya, acara pasti sudah selesai, dan ia yakin bahwa seluruh anggota keluarga beserta kerabatnya sekarang berada di kediaman besar Uchiha. Ia harus tahu kenapa wanita itu sampai sebegitu ketakutannya hanya karena melihat Izuna, androfobia, apakah... kerabatnya adalah penyebab androfobia wanita itu?
Gigi-giginya bergemerutuk marah. Apa yang telah Izuna lakukan? Apa mereka berdua telah saling mengenal sebelumnya? Kenapa, kenapa, sial! Terlalu banyak pernyataan yang berkeliaran dalam otaknya, ia harus segera menemui Izuna dan menanyakan semuanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Deficiency
[ Final Chapter ]
"Pertahankan seseorang yang masih setia berada di sampingmu, meskipun tahu segala kekuranganmu."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Uchiha Fugaku menggeleng kecil, "Sasuke masih tidak menjawab panggilanku." ucapnya pelan, putra bungsunya pergi entah ke mana tanpa sebab, meninggalkan acara penting yang mengharuskan anak itu hadir di sana. Itachi putra sulungnya memberitahu bahwa ia melihat Sasuke memang hadir dengan seorang wanita merah muda, tetapi kemudian pergi dan tidak kembali sampai saat ini. Ini membuat otaknya seakan mau pecah, ditambah seluruh kerabat Uchiha berada di kediamannya saat ini, sedangkan putra bungsunya berpergian tanpa ada kabar. Bagus sekali.
Hari sudah gelap, demi Tuhan ia akan benar-benar marah besar pada Sasuke jika pria itu tidak pulang dalam 10 menit.
"Dimana Izuna?"
Seluruh kerabat yang semula asik bercengkrama beralih menatap pria yang berdiri di tengah ruang tamu dengan penampilan berantakan. Uchiha Sasuke di sana, berdiri dengan kedua oniks yang menyala, menatap satu persatu kerabat yang ia sendiri tidak terlalu mengenal mereka semua dengan baik. Fugaku bangkit dari duduknya berniat memarahi si bungsu jika saja sosok pria lain terlebih dulu mendekat pada Sasuke, dengan tatapan yang berbanding terbalik.
"Sasuke."
Amarahnya seketika naik, darah dalam tubuhnya mendidih, kedua tangannya terkepal membuat sebuah tinju kuat, tapi ia sadar, ini bukanlah tempat yang pas untuk menghajar Izuna. "Kau... kita perlu bicara." ucapnya setengah menggeram rendah.
Izuna menghela napas, dan menatap ayah dari pria yang mengajaknya ke suatu tempat tersebut dengan tatapan seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia mengikuti langkah Sasuke yang terkesan terburu-buru dari belakang, Izuna tahu, sangat tahu apa yang akan pria itu lakukan setelah mereka hanya berdua. Ini semua adalah bencana, wanita yang hampir ia nodai di masa lalu berhubungan dengan kerabat dekatnya.
Sasuke berhenti melangkah, dan berbalik menatap tajam pria yang memiliki tinggi 2 centimeter di bawahnya tersebut. "Kau pasti tahu apa tujuanku mengajakmu kemari, Izuna."
Izuna mengangguk kecil, "Ya..." Ia mengambil sedikit udara untuk mengisi paru-parunya, Sasuke mungkin belum mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Sakura, atau tentang apa hubungan mereka berdua di masa lalu, dan Sasuke perlu tahu, ia akan menjadi kerabat yang paling jahat jika menyembunyikan kesalahan paling menjijikan dalam hidupnya ini pada Sasuke. "Sakura... dulu adalah mantan kekasihku."
Dugaannya benar. Kedua telapak tangan Sasuke tanpa sadar kembali terkepal di balik saku celananya. Jika Sakura dan Izuna dulu adalah sepasang kekasih dan kemudian berpisah secara baik-baik, maka Sakura tidak akan sehisteris ini jika kembali bertemu dengan Izuna. Tapi ini lain, wanita itu ketakutan setengah mati, bahkan fobianya kembali muncul. Ia merasakan sesuatu yang buruk di sini. "Hn, lalu?"
"Hubungan kami berjalan baik... tapi kemudian, kami berpisah." ucapnya terhenti untuk melihat bagaimana respon lawan bicara, Sasuke tetap memasang ekspresi datar, tapi ia tahu, pria itu sedang menahan rasa penasaran yang tinggi atas ucapan selanjutnya. Izuna memejamkan matanya, "Karena aku... pernah berusaha untuk memperkosa Sak—"
Sebuah pukulan yang berasal dari tinju sang Uchiha bungsu melayang tepat di rahang kanan Izuna sebelum sempat ia menyelesaikan perkataannya. Izuna jatuh terpental cukup jauh dari tempat semula ia berdiri, pria itu memegangi rahangnya yang seakan patah, tinju Sasuke terlampau kuat, dan ia memang pantas mendapatkannya.
"Kau... brengsek." Sasuke melangkah maju, menarik kerah kemeja yang Izuna kenakan penuh rasa amarah. "KAU TAHU AKIBAT DARI PERBUATAN KOTORMU HAH?!"
Pertama kalinya, Uchiha Sasuke mengeluarkan seluruh emosi yang ia tahan secara terang-terangan. Pertama kalinya, Izuna melihat kedua oniks yang selalu terlihat tenang itu mengkilat marah. Pertama kalinya, Izuna merasa bahwa ia memanglah makhluk paling kotor di muka bumi. Sasuke memukulinya tanpa henti bagai orang kesetanan, tapi ia tidak berniat melawan, rasa sakit yang ia rasakan saat ini, tidak sebanding dengan kedua emerald yang dulu pernah hampir ia nodai.
"KAU TAHU?! JAWAB AKU SIALAN!" Sasuke kembali berteriak, kemudian tertawa sedih, hampir mirip seperti ungkapan rasa putus asa, dan itu membuat alis Izuna mengkerut bingung. Apa? Apa yang ia tidak tahu? Apa sesuatu terjadi pada Sakura? Kenapa, kenapa semuanya menjadi sangat rumit? Wanita itu mengenal Sasuke, memiliki hubungan dengan kerabat dekatnya, dan sekarang, apa ini? "Sakura, dia menjadi trauma pada pria, semua pria. Itu karena kau, sialan!"
Kembali, tinju dengan kekuatan yang tidak main-main itu menghantam pipi kirinya, tetapi itu tidak membuat Izuna merintih kesakitan. Apa... trauma? Sakura? "A.. apa yang kau katakan?" tanyanya lemah, setiap inci permukaan kulit wajahnya luar biasa nyeri, setiap kali ia menggerakkan sedikit bibirnya, seolah semua tulang wajahnya patah. Namun sekali lagi, ia tidak perduli. "Trauma? Apa maksudmu, Sa—"
"Huh, apa?" Sasuke berdiri, membiarkan Izuna mengerang saat ia membanting tubuh pria itu ke tanah. Masa bodoh dengan kedua tangannya yang kini berlumuran darah, atau bahkan baju yang ia kenakan kotor. Darahnya mendidih, dan sekarang adalah kesempatan untuk membalas si bajingan ini atas apa yang ia lakukan pada Sakura. "Kau mencoba untuk memperkosa seorang wanita, dimana otakmu? Uchiha tidak pernah berbuat hal kotor seperti yang kau lakukan." ucapnya dengan geraman rendah, ia kembali mencoba untuk meredam emosinya.
Izuna jatuh berbaring di atas tanah, ia yakin bahwa wajahnya akan penuh dengan luka memar, dan beberapa bagian yang sobek, kulit wajahnya terasa perih. "Aku... memang bodoh." jawabnya kemudian, tanpa memandang lawan bicara. Tanpa sadar oniksnya meredup, diiringi air yang mulai berkumpul di pelupuk matanya. "Sakura... dia wanita yang baik." Izuna memejamkan matanya, bersiap untuk memulai ceritanya meski ia tahu ini tidak akan membantu sedikitpun untuk membuat emosi Uchiha Sasuke mereda. "Aku menyesal pernah melakukannya, Sasuke kau dengar? Aku menyesal."
"Penyesalanmu tidak akan membuat Sakura kembali." Sasuke menjawab dengan kepala tertunduk, "Dia pasti membenciku karena tahu bahwa aku adalah kerabat dari si bajingan yang pernah nyaris memperkosanya. Bagus Izuna, kau... sialan." Ia meremas helaian rambutnya kesal, rasa amarah bercampur bingung membuatnya serasa akan muntah. Jika sudah seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Sakura menjauh darinya, ditambah fobia wanita itu kembali, semakin mempersulit untuk dirinya mendekati Sakura.
Izuna bangkit terduduk, seluruh sendi di tubuhnya terasa sangat nyeri. Ia terbatuk ketika mencoba untuk berdiri, dan suatu benda kecil keluar dari mulutnya, ia yakin itu adalah salah satu giginya yang patah. "Aku memang pantas dibenci oleh Sakura." ucapnya kemudian, "Aku ingin meminta maaf, meski tahu apa yang aku perbuat tidak pantas menerima kata maaf darinya." Ia berdiri berhadapan dengan Sasuke, perlahan kedua oniks si bungsu itu kembali mengkilat. "Saat itu aku kalut, Sakura terlalu sulit untuk aku sentuh, sehingga suatu sisi dalam diriku berniat untuk memaksanya. Aku berpikir, bagaimana rasanya bercinta dengan gadis yang sangat kucintai? begitulah kira-kira."
"Dan rasa penasaranmu itu berhasil membuat Sakura ketakutan setengah mati saat berhadapan dengan pria, pria manapun." Sasuke menghela napas berat, Izuna adalah kerabatnya. Ia tidak bisa membenci Izuna, ia hanya merasa kesal, sangat kesal. "Sakura mengalami androfobia, dan kuyakin itu karena kebodohanmu."
Izuna menghapus darah segar yang mengalir melalui sudut bibirnya, kemudian tersenyum kecut. "Aku tidak mengira akibatnya akan sampai sejauh itu." tetapi sesaat kemudian, Izuna terbelalak. "Tunggu Sasuke, kau mengenal Sakura dan memiliki hubungan dengannya, benar? Dan yang kulihat Sakura kemarin terlihat baik-baik saja bersamamu, trauma apa yang kau maksud?"
"Dia sudah terbiasa dengan kehadiranku, karena itu " Perasannya kini sedikit membaik, meski hanya sedikit. Amarahnya sedikit mereda, mungkin karena melihat kondisi Izuna yang jauh dari kata baik akibat ulahnya. "Dan saat melihatmu, fobianya secara tiba-tiba kembali. Aku tidak tahu kenapa, dan ini membuatku gila."
Izuna mendesah kecil, "Maaf. Aku... sangat menyesal." kemudian melirik ke arah baju yang ia kenakan. "Dia pasti sangat berharga bagimu, sehingga kau menghajarku tanpa ragu, seakan memang berniat membunuhku." ucapnya, dan tertawa kecil. "Dan ya... aku memang pantas untuk ini."
"Diam kau."
.
.
.
.
.
Emeraldnya seakan kehilangan cahaya untuk hidup, yang saat ini kedua bola mata tersebut lihat hanyalah sebuah pantulan wajahnya yang terlihat sangat menyedihkan, hidupnya memang sangat menyedihkan, dan ia berharap bahwa kedua orang tuanya berada di sini sekarang. Sakura menghirup udara dan menghembuskannya, kedua matanya sembab akibat terlalu lama menangis. Apa yang ia tangisi sebenarnya? Hidupnya? Takdir menyedihkannya? Atau... Sasuke?
Kedua matanya kembali memanas, tanpa sadar kedua kaki jenjang tersebut bergetar seolah kehilangan tenaga untuk berpijak. Sakura menunduk, dan sesegera mungkin menyalakan kran air wastafel, memasuh wajahnya berusaha menghilangkan efek akibat tangisan yang membuat matanya menjadi membengkak seperti saat ini. Namun percuma, rasa sakit di hatinya membuat satu tetes air mata kembali mengalir melewati pipi, disusul tetesan berikutnya.
Aneh, tangisannya kali ini tidak mengeluarkan suara. Seakan ikut merasa lelah, karena ia tahu menangispun percuma. Air matanya tidak akan membuat Sasuke kembali, pria itu, obatnya, pasti saat ini Izuna telah memberitahu Sasuke segalanya, dan ia yakin Sasuke seratus persen membencinya.
'Dasar jalang.'
Sakura berjongkok, menutupi wajahnya di antara kedua lutut. Menangis tanpa suara, ia memang menyedihkan. Setidaknya, ini yang terbaik. Sehingga ke depannya ia tidak perlu merasakan sakit lagi, dan juga tidak ada orang yang akan ia sakiti.
Kebahagiaan baginya, hanyalah sebuah angan-angan.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Jangan jadikan ketakutanmu sebagai alasan, untuk tidak berusaha membiarkan satu cinta yang baru datang."
.
.
.
.
.
.
.
.
Sasuke tersenyum sedih, ia berulang kali membolak-balik halaman buku novel yang kini ia baca tanpa bosan. Novel yang saat ini sedang ramai-ramainya di gandrungi masyarakat, dan menjabat sebagai novel best seller adalah buku novel karya Haruno Sakura. Buku berjudul Song, cerita yang mana tokoh wanita menjadi seorang penyanyi terkenal dan bertemu seorang pria tuli yang memiliki cita-cita ingin bisa mendengar suara. Alur cerita yang luar biasa, serta penjabaran diksi yang sangat menyentuh hati, tidak heran jika cerita ini menjadi novel keluaran baru yang mampu membius para pembaca.
Sudah lebih dari 6 bulan, yang berarti hampir satu setengah tahun lebih ia tidak melihat wanita itu lagi, harum tubuhnya, helaian merah mudanya, suara indahnya. Sakura sekarang telah berhasil menjadi penulis berbakat di usia muda, dalam waktu singkat nama Haruno Sakura mengudara, menyebarluas di koran juga majalah mingguan sebagai penulis novel romantis terbaik dengan konflik yang berbeda-beda di setiap buku yang ia buat.
Sasuke merindukannya.
Beberapa waktu kebelakang ia sempat mendatangi apartemen Sakura dan mendapati apartemen itu dihuni oleh orang yang berbeda. Sakura pindah, dan ia kehilangan wanita itu. Mungkin untuk selamanya. Karin sepupu Naruto juga ikut tutup mulut atas kepergian Sakura, memaksa Karin agar memberitahunya pun percuma.
Ia menaruh novel tersebut ke dalam laci mejanya, bersandar pada sandaran kursi guna mengurangi rasa kaku pada punggungnya. Jika memang Sakura membencinya, maka tak apa, hanya saja kenapa sampai harus menjauh? Ini menyiksanya. Sasuke membutuhkannya, membutuhkan Sakura. Bukan untuk mengobati masalahnya, melainkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Tidak ada wanita yang bisa membuatnya menjadi setengah gila seperti sekarang ini, hanya Sakura.
Pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu, dan ia tahu betul pelakunya. Uchiha Itachi berdiri di sana dengan tatapan prihatin, oh apakah wajahnya terlihat sangat menyedihkan saat ini? "Aku bosan untuk memberitahumu tentang, bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk? Itu tidak sopan."
Itachi tersenyum kikuk, "Maaf." ucapnya, kemudian duduk di kursi depan meja Sasuke tanpa permisi. "Aku kemari karena tahu bahwa kau sedang dalam suasana hati yang buruk."
"Kau tahu berapa lama aku seperti ini." jawab Sasuke asal, ia kembali menegakkan punggungnya, berusaha kembali mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda. "Jika kau tidak punya keperluan penting di sini, lebih baik pergilah."
"Kau merindukannya."
Gerakan jari tangannya di atas keyboard berhenti, kakaknya tahu persis bagaimana perasaannya saat ini, hanya dengan melihat, dan Itachi akan tahu segalanya. Sasuke diam, tak menjawab juga sama sekali tak bergerak, lidahnya kelu hanya untuk sebatas bergumam sebagai jawaban.
Setelah Sasuke kembali ke rumah dengan Izuna yang babak belur waktu lalu, semua anggota keluarga yang hadir di sana terkejut bukan main saat Izuna mengakui kesalahannya sendiri. Termasuk Itachi. Dan ia bisa melihat dengan sangat jelas ekspresi terluka yang adik satu-satunya coba tutupi, tapi sebanyak apapun Sasuke berusaha menutupinya, ia akan tahu.
Setelah itu Izuna terancam kembali dipindahkan ke luar negeri oleh kedua orang tuanya sebagai hukuman atas perbuatan menjijikannya di masa lalu. Namun Sasuke berkata bahwa itu tidak perlu, karena apapun yang akan mereka lakukan tidak akan membantu sama sekali.
Itachi berdeham kecil, kemudian kembali mengulangi pertanyaan yang sama. "Jawab aku, kau merindukannya?"
"Hn." Akhirnya ia bisa mengeluarkan suara, meski hanya gumaman kecil. Sasuke tidak bisa berbohong jika lawan bicaranya adalah sang kakak, arti dari ekspresi wajah datarnya selalu tertangkap jelas oleh kedua oniks di depannya saat ini. "Aku... memang merindukannya, sangat." jawabnya kecil, Sasuke beralih menumpu kedua siku tangannya di atas meja, menutupi wajahnya yang ia yakini saat ini terlihat sangat menyedihkan. "Dia pergi, dan aku tidak berhak membuatnya tetap berada di sampingku, aku bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Menyedihkan."
Itachi menghela napas, lalu duduk bersandar. "Ya, kurasa." Oniksnya menerawang, kemudian berkata tanpa menatap lawan. "Apa sebelumnya dia tahu masalahmu?"
"Aku bahkan belum sempat memberitahunya." Sasuke memijat pelan pangkal hidungnya. "Aku takut, jika aku bilang bahwa awal dari niatku mendekatinya adalah karena kelainanku yang tidak bereaksi terhadap wanita, hanya akan membuatnya semakin takut padaku." lanjutnya seraya mendongak, ikut menerawang. "Kakak, dia mengalami androfobia, dan penyebabnya adalah percobaan pemerkosaan Izuna. Bukan tidak mungkin dia akan lari setelah tahu bahwa aku selalu merasa panas saat berada di dekatnya, dan beberapa kali berpikiran kotor untuk menggesekan tubuhku pada tubuhnya. Itu gila."
"Aku tahu." jawab Itachi kemudian. "Tapi jika memang Sakura mencintaimu, dia akan menerima segala kekuranganmu." kini ia beralih menatap sang adik yang ikut menatap ke arahnya. "Sekarang aku ingin tahu... apa kau mencintainya? Apa arti Haruno Sakura dalam hidupmu?"
Sasuke terdiam. Pertanyaan mutlak dari Itachi berhasil menciutkan hatinya, apa arti Sakura baginya? Hanya sebatas obat? Sebatas teman? Sahabat? Atau... cinta? Ia melihat lurus ke arah layar komputernya, sesuatu dalam dirinya bergejolak hanya karena pertanyaan tersebut. Tidak, Sakura lebih dari sebatas obat bagi kelainannya, wanita itu, lebih dari obat, teman, sahabat.
"Aku mencintainya." jawab Sasuke refleks. "Awalnya memang aku hanya menganggap Sakura sebagai percobaan obat kelainanku, tapi sekarang berbeda... dia lebih."
Tanpa Sasuke sadari, Itachi tersenyum tipis. "Apa yang akan kau katakan, jika Sakura berada di sini sekarang?"
Ia menelan lidahnya gugup, bayang-bayang Sakura yang sedang menatap ke arahnya dengan sebuah senyuman manis terlintas dalam otaknya. "Kau boleh menjauh dariku, tapi tolong, jangan pernah berpikir untuk membenciku walau hanya sedikit." ucapnya kemudian, kata itu secara tiba-tiba meluncur melalui bibirnya. Tapi, sesuatu dalam dirinya berteriak, "Sial... Aku benar-benar merindukanmu." lanjut Sasuke yang kemudian mengacak helaian ravennya frustasi.
.
.
.
.
.
Sakura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal, sudah lebih dari 2 jam ia duduk di hadapan laptop kesayangannya untuk membalas pesan masuk melalui emailnya, dan banyak dari mereka adalah penggemar novel-novelnya.
Tak terasa, sudah hampir beberapa buku karyanya menjadi best seller. Ia tinggal bersama neneknya di luar kota Tokyo, sehingga tidak akan ada seorang pun yang tahu tempat tinggalnya sekarang. Hanya Karin dan juga pihak penerbit buku-bukunya yang mengetahui tempat tinggal sementaranya ini. Tujuannya adalah, menghindari Izuna yang kemungkinan besar masih berada di Tokyo, dan juga... Sasuke.
Raut wajahnya berubah tegang, mengingat nama itu membuat rasa bersalah di hatinya membuncah, ia menyakiti hati Sasuke dengan tidak memberitahu kebenaran dibalik androfobianya. Kembali pun percuma, ia tidak siap jika memang berakhir dengan Sasuke membencinya, bayang-bayang pria itu menatap tajam padanya dengan senyuman meremehkan membuat ia menjerit takut. Ia tahu bahwa masalah tidak akan terselesaikan dengan cara melarikan diri, tetapi... Ia hanya tidak bisa.
'Dasar jalang.'
"Tidak..." Sakura memegangi dua samping sisi kepalanya, berteriak tertahan. Sasuke tidak seperti itu, dia tidak mungkin setega itu padanya. Tapi... bukankah di sini Sakura yang lebih jahat? Kelopak matanya terpejam erat, perlahan tubuh kecilnya bergetar yang pasti bukan karena udara sekitar yang membeku secara tiba-tiba.
.
.
.
.
.
Karin mendesah frustasi, menatap bingung wajah tunangannya yang ikut ditekuk. "Apa?" tanyanya bosan. "Aku sedang pusing sekarang, sayang. Kuharap kau mengerti, saudariku sedang dilanda bencana besar. Dan hanya aku satu-satunya orang yang dapat dipercaya olehnya saat ini."
"Aku tahu." Akasuna Sasori menghela napas kecil, sikap perduli tunangannya pada wanita merah muda itu sangat besar, dan ia tidak ingin menjadi orang egois dengan mementingkan diri sendiri. "Jika berada di posisi Sakura, akupun akan lebih merasa sakit. Ya, ditambah perasaan wanita itu mudah rapuh, seakan sedikit saja disentuh akan jatuh." ucapnya sedikit menjurus lelucon. "Tapi kau tahu, bahwa Sakura tidak bisa selamanya bergantung padamu. Wanita itu harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."
Amarahnya seketika naik, Karin memicing tajam, menyiratkan rasa tidak suka. "Sakura sudah bisa menyelesaikan masalahnya, terbukti dari sekarang ia meneruskan hidupnya dengan menjadi penulis tanpa halangan, dia hanya membutuhkan bantuan. Sasori, jangan buat aku marah padamu karena ini."
"Oke maafkan aku." Sasori tersenyum masam, terlihat kedua manik hazel itu melembut. "Jadi setelah ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku tidak tahu..." Ia melepaskan kacamata frame merahnya. "Naruto si bodoh itu bilang bahwa Sasuke saat ini berpikir bahwa Sakura pasti membencinya, dan sebaliknya, Sakura saat ini berpikir bahwa Sasuke pasti membencinya. Ini membuatku gila, mereka berdua sama-sama keras kepala." ucapnya diakhiri helaan napas yang cukup panjang.
Sasori ikut menghela napas. "Mereka bukan keras kepala sayang, hanya sedikit, ya... bagaimana aku menjelaskannya." Ia berdeham sejenak sebelum memulai ucapan selanjutnya. "Besarnya rasa bersalah yang mereka rasakan mengalahkan kenyataan yang sebenarnya."
"Hng..." Karin menyentuh dagunya dengan jari telunjuk, kemudian menatap bingung tunangannya. "Aku tidak mengerti apa maksud dari ucapanmu, tapi sepertinya kau berbakat untuk menjadi penulis novel romantis seperti Sakura."
"Apa?"
"Kata-katamu puitis, Tuan." Karin tertawa saat melihat pipi pria yang sebentar lagi menjadi suaminya itu memerah tipis. "Tapi aku serius! Ah bagaimana membuat mereka berdua kembali bersama? Ayolah aku senang melihat Sakura bahagia saat bersama Uchiha itu."
Sasori terdiam, kini raut wajahnya berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya. Namun kini sepertinya ia mengingat sesuatu. "Bagaimana jika kita kembali pasangkan Sakura dengan pria lain?"
"...Apa?"
.
.
.
.
.
Kali ini suasana makan malam di kediaman Uchiha terasa sangat dingin, biasanya tidak seperti ini, entahlah mungkin karena salah satu dari mereka yang terlihat tak bersemangat.
"Sasuke." Sang Ibu tersenyum lembut, mencoba memahami perasaan anak bungsunya yang sedang dilanda badai. "Ada apa sayang? Apa makanannya tidak enak?"
Sasuke tersentak kemudian menggeleng kecil, merasa bersalah karena mengacuhkan masakan sang Ibu yang dibuat khusus untuk malam ini. "Tidak, maksudku, ini enak." Ia tersenyum tipis, dan mencoba mengunyah satu sendok nasi tersebut, meski terpaksa. Ia sedang tidak lapar, tapi melihat sang ibu yang tampak kecewa karena ia sama sekali tidak menyentuh hidangan tersebut, membuat ia mengalah.
Itachi ikut menggeleng kecil, tapi untuk artian yang berbeda. Ia sangat paham apa yang dirasakan adik lucunya ini, dan mau tak mau membuat Itachi terkekeh kecil. Tanpa sadar kekehannya menyebabkan seluruh pasang mata dengan warna yang sama itu menatap serempak ke arahnya. "Maaf, aku hanya merasa lucu saja melihat Sasuke seperti itu."
"Apa yang kau maksud dengan seperti itu?" tanya Sasuke sedikit tidak terima.
"Ya, maksudku adalah kau yang dalam mode putus cinta, itu lucu."
"Itu sama sekali tidak lucu."
"Itu lucu."
Mikoto tertawa kecil, diiringi gelengan kepala. Melihat anak-anaknya walaupun sudah besar tetapi masih memiliki sifat yang kekanak-kanakan itu adalah sebuah hiburan kecil baginya. Mereka semua tahu bahwa Sasuke baru saja ditinggal pergi oleh pujaan hatinya, meski ia tidak mengenal siapa wanita merah muda yang berhasil membuat putra bungsunya menjadi sangat gelisah seperti ini, tapi Mikoto bisa menjamin, dia adalah wanita yang luar biasa.
"Sudahlah." Fugaku kini mengeluarkan suara, lalu kembali menyuap makanan di atas piringnya. "Kau lebih baik mencari wanita lain, Sasuke. Uchiha biasa dikejar, bukan mengejar."
Sasuke berusaha keras untuk tidak mendelik tajam pada sang ayah yang seenaknya berucap tanpa berpikir panjang. "Maaf, tapi aku tidak bisa ayah." kemudian beralih menatap Itachi dengan tatapan yang mengandung arti.
Itachi tahu bahwa tidak ada wanita lain yang mampu membuat Sasuke merasa panas.
"Ya." Si sulung ikut mengiyakan diiringi anggukan kepala. "Dan juga, dia harus bisa membuktikan bahwa cinta memang butuh perjuangan, bukan begitu Sasuke?"
"Hn."
.
.
.
.
.
"Oh sayang, biar aku saja yang membuat tehnya."
Sakura menoleh ke belakang, tetapi dengan tubuh yang tetap menghadap ke depan, kemudian tersenyum manis. "Tidak apa-apa nenek, biar aku saja." jawabnya lalu kembali menyibukan diri dengan cangkir, gula, dan air teh.
Kosaki tersenyum lembut, cucu kesayangannya 6 bulan yang lalu datang secara tiba-tiba dan berkata bahwa akan tinggal bersamanya untuk beberapa waktu kedepan, ini membuatnya tidak lagi kesepian dan sangat terbantu karena keberadaan Sakura di rumahnya. Pintu itu selalu terbuka bagi cucunya tersayang.
Namun, walaupun ia hanyalah seorang wanita tua, tapi penglihatan dan kata hati nalurinya tidak salah, ada sesuatu yang mengganggu cucunya, ada sesuatu yang salah saat pertama kali cucunya meminta untuk tinggal di sini. Emerald hijau itu kembali menatap punggung mungil dengan helaian merah muda tersebut dalam diam, ia tahu bahwa cucunya sedang menyembunyikan sesuatu darinya, dan ia tidak ingin memaksa Sakura untuk menceritakan segalanya.
"Ini tehnya." Sakura mendekat ke arah wanita tua tersebut yang masih setia terduduk di kursi meja makan, meletakan cangkir berisi teh manis hangat ke hadapan nenek tersayangnya. Warna rambut dan kedua bola matanya menurun dari sang nenek, hanya saja merah muda Haruno senior itu lebih terlihat tua dibandingkan dirinya. "Apa yang nenek pikirkan?"
Kelopak mata dengan kulit yang tak lagi kencang itu mengerjap perlahan, lalu terkekeh khas orang tua. "Tidak ada sayang." jawabnya kemudian mengambil cangkir teh tersebut dan meminumnya perlahan. "Aku hanya sedang mengenang masa muda setiap kali melihatmu."
Sakura tertawa pelan, "Tapi dulu nenek lebih cantik dariku."
"Tentu saja." Wanita tua itu menjawab dengan penuh percaya diri, mau tak mau membuat Sakura tertawa, tingkal laku konyol neneknya selalu berhasil membuat perasaannya membaik dalam waktu singkat. Oleh karena itu ia memilih tinggal di sini saat masalah datang seakan berniat menghancurkan dunianya. "Tapi sayang, aku tahu... kau sedang dalam keadaan buruk, sangat buruk."
Sakura menghela napas, meski sudah memasuki usia rentan, neneknya selalu memiliki insting yang kuat akan segala hal, dan itu termasuk dirinya. "Ya." Ia tersenyum sedikit dipaksakan, lalu mendudukan diri di samping sang nenek. "Kau selalu tahu apa yang terjadi padaku."
"Karena kau cucu kesayanganku." Nenek tua itu terbatuk sesaat kemudian tersenyum lembut. "Apa ini mengenai masalah fobiamu sayang?"
"Tidak... maksudku, aku sendiri tidak yakin." Sakura menjawab tanpa memandang lawan bicaranya, neneknya tahu tentang fobianya, tahu tentang masalah masa lalunya dengan Izuna, tahu tentang segala hal yang menghantui pikirannya.
"Ceritalah pada nenekmu ini, meskipun aku sudah tua, tapi aku juga pernah muda." ucapnya penuh pengertian. "Katakan... apa ini masalah Izuna lagi?"
"Bukan..." Sakura menggeleng kecil dengan sedikit menundukkan kepalanya, saat ini logika dan hatinya saling bertolak belakang, bertentangan satu sama lain hingga membuatnya harus berpikir dua kali untuk menyusun kalimat yang pas untuk bercerita pada nenek tercintanya.
Namun, ingatan tentang bayangan seorang pria berambut raven yang tersenyum tipis ke arahnya membuat hatinya kembali tercubit keras. Sakura perlahan menghembuskan napasnya ke udara, "Aku... mencintai kerabat dekat Izuna, nenek."
.
.
.
.
.
Naruto melipat kedua tangannya di depan dada, berpose seolah-olah berpikir ekstra keras dengan seluruh kemampuan otaknya. Namun itu hanya membuat Karin benar-benar ingin mematahkan leher pria kuning itu. "Bodoh cepat berpikir dan jangan memasang pose idiot seperti itu!"
Ia mendelik tajam, hendak mengamuk. "Diamlah mata empat! Aku sedang berpikir! Apa kau buta?!"
"Apa kau bilang?!"
Baik Sasori ataupun istri dari pria Uzumaki itu menghela napas panjang. Jika Karin dan Naruto disatukan maka bukan tidak mungkin suasana di sekitar mereka akan berubah menjadi medan perang.
Hinata menarik lengan kemeja sang suami. "Naruto, sudahlah..."
Naruto menghela napas gusar, lalu kembali berpose seperti sebelumnya. "Jadi inti dari masalah yang membuat kita berkumpul di sini adalah... tanpa kuberitahu kalian juga tahu. Kita akan kembali membuat Sasuke dan Sakura bertemu, benar?"
Karin mengangguk cepat, dan mendelik tajam pada Sasori yang dibalas dengan cengiran penuh rasa salah. Saran tak bermutu dari tunangannya membuat emosi Karin seketika meledak ke ubun-ubun, bagaimana bisa Sasori mengusulkan untuk mencari pria lain untuk Sakura, sedangkan fobia wanita itu hanya bisa sembuh oleh Sasuke? Sasori terkadang butuh sebuah hadiah berupa jitakan kepala.
"Aku punya ide bagus untuk itu." Karin menjentrikan jari jemari tangannya, hendak kembali melanjutkan ucapannya jika saja sebuah suara mendahuluinya.
"Tidak perlu."
Seluruh pasang mata yang berada di sana sontak menoleh ke titik yang sama, di mana seorang pria raven dengan ekspresi dingin berdiri menjulang di depan pintu kedai ramen. Kedai sengaja di tutup untuk hari ini karena digunakan untuk rapat yang di adakan oleh kedua Uzumaki tersebut. Namun entah bagaimana caranya Sasuke bisa masuk ke sana.
"S..Sasuke?! Sejak kapan kau masuk?!" Naruto nyaris berteriak heboh seraya menunjuk Sasuke dengan jari telunjuknya, saat pria Uchiha itu melangkahkan kakinya mendekat ke arah meja yang Naruto tempati.
"Aku kemari untuk menemui Naruto." mengabaikan pria kuning tersebut yang terus menerka dari mana ia masuk, Sasuke menaruh sebuah kertas khas bersampul dengan lambang kipas merah putih pada bagian ujung kanan itu di atas meja. Membuat beberapa pasang mata di sana membulat tak percaya.
Karin berdiri dan menggebrak meja, "Apa maksudmu Uchiha?!"
Sasuke menghela napas kecil, kemudian tersenyum sedih, menatap satu persatu orang di sana terutama Naruto dengan tatapan penuh rasa menyesal. "Aku akan menikah."
.
.
.
.
.
Wedding Invitation
Uchiha Sasuke & Yamanaka Ino
.
.
.
.
.
Genggaman tangannya pada ponsel melonggar, emerald itu membulat tak percaya diiringi dengan air yang mulai berkumpul di pelupuk mata. Perasaannya pecah, hatinya luar biasa terkoyak habis, apa? Apa ini? Sasuke... sungguh? Kenapa?
"Sakura? Kau masih di sana? Halo halo?"
"A..ah, ya Karin." Sial, suaranya bergetar akibat menahan rasa nyeri di hatinya. Karin tidak boleh tahu bahwa ia di sini sedang menahan tangis, tidak boleh. Sakura mencubit lengannya sebagai pelampiasan hingga memerah dan nyaris berdarah. "Selamat, untuk pernikahannya. Sasuke m-maksudku. Aku, Karin kenapa..." Ia menangis, sial sial sial! Seharusnya Sakura ikut berbahagia di sini! Tapi kenapa, kenapa ini terasa sangat menyakitinya?
"Sakura..." Karin di seberang sana juga ikut meneteskan air mata, tetapi ia masih bisa mengontrol intonasi suaranya agar tidak terdengar bahwa ia sedang berjuang untuk tidak tersedu-sedu seperti Sakura saat ini. Sahabatnya terlalu banyak mendapatkan luka, dan ia bersumpah setelah ini tidak ada lagi air mata yang akan menetes dari kedua emerald itu. "...Maafkan aku, tidak seharusnya aku memberitahumu."
"Tidak! Karin, terimakasih... aku sangat berterimakasih padamu untuk ini, karena..." Sakura menutup bibirnya dengan punggung tangan, perasaannya sudah sangat diambang batas, ia yakin sebentar lagi akan meledak dan hancur menjadi serpihan kertas. "...dengan seperti ini, aku tahu... bahwa Sasuke memang benar-benar telah membenciku."
"Tidak, Sakura tidak seperti itu. Sasuke tidak mempunyai alasan untuk membencimu, asal kau tahu itu."
"Dia punya banyak alasan untuk membenciku Karin." suaranya serak, ia mengambil sedikit udara lalu menghembuskannya, berusaha menstabilkan deru napasnya yang memberat. "Terimakasih, kurasa aku tidak akan pernah kembali ke Tokyo."
Belum sempat Karin menjawab, Sakura lebih dulu menekan tombol merah pada layar ponselnya, sambungan telepon terputus dan berakhir dengan tangisan keras dari Sakura. Ruangan kamar yang gelap itu, seolah berubah menjadi lubang kesedihannya.
Niat Sakura untuk kembali dan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Sasuke hancur sudah, setelah ia bercerita dan neneknya bilang bahwa tidak ada yang salah di antara keduanya serta belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Namun, jika sudah seperti ini, apa yang ia bisa? Mendatangi kediaman Sasuke dan mengamuk di sana? Hei siapa memangnya dia? Siapa Sakura bagi Sasuke?
"Tuhan... kenapa harus seperti ini. Kenapa harus aku."
Sakura tak menyadari, bahwa di balik pintu kamarnya, nenek Kosaki bersandar pada dinding mendengar semua percakapan sang cucu, ia memeluk erat selimut tebal yang niatnya akan ia berikan untuk Sakura tidur malam ini. Wajahnya yang telah memiliki banyak keriput karena termakan usia itu tersenyum pilu.
Tanpa diminta, setetes air mata ikut turun melalui emerald yang mulai rabun tersebut. Seolah ikut merasakan sakit yang cucunya rasakan saat ini.
.
.
.
.
.
"Hn, bagaimana?" Uchiha Itachi terdiam, menunggu jawaban dari seseorang di seberang sana. Tak lama, senyumnya melebar. "Kerja bagus. Setelah itu tentukan jadwal keberangkatan untukku ke sana."
Ia berjalan seraya memegang ponselnya, sesekali menganggukan kepalanya. "Baiklah, terimakasih." dan sambungan telepon terputus. Itachi menghela napas lega, dan menggadah menatap pintu ruang kerja pribadi adik satu-satunya. Ia yakin di dalam sana Sasuke akan terlihat sangat konyol saat ini. "Permisi." ucapnya setelah mengetuk pintu dan membukanya.
Benar dugaannya, Sasuke di sana duduk dengan tampang garang layaknya seorang bos yang akan mengamuk dan bersiap untuk menghancurkan gedung kantor. "Kau akhirnya tahu cara bertamu yang sopan." cibir Sasuke diiringi dengan dengusan kecil.
"Terserahlah." Kedua oniks itu berputar bosan, sifat keras adiknya ternyata masih melekat dengan sempurna. "Aku datang kemari hanya ingin memberitahumu, bahwa aku akan pergi selama dua hari keluar kota, untuk suatu urusan penting."
"Hn, lalu?"
"Jangan rindu padaku."
Sudut bibirnya berkedut nyeri, "Kau kemari hanya untuk itu?" Sasuke berdiri hendak bersiap untuk melempar pot bunga yang berada di atas mejanya pada sang kakak.
"Oke baiklah aku pergi!" Itachi terdiam sesaat setelah membalikan tubuhnya, kemudian tersenyum tanpa Sasuke lihat. "Oh ya Sasuke."
"Apa lagi?"
"Kau mau ikut?"
.
.
.
.
.
Akhir-akhir ini Sakura menjadi lebih pendiam, senyuman yang biasanya terlihat kini hilang entah kemana, ia hanya akan membuka suara jika memang benar-benar dalam percakapan penting, aura tubuhnya mati, ia seolah hidup tapi tak bernyawa. Tubuhnya semakin kurus karena jarangnya pasokan makanan yang masuk, tulisan dalam novelnya berubah, apapun yang ia tulis menjadi berantakan hingga novelnya sampai saat ini belum mencapai kata final.
Hah, putus cinta ternyata seperti ini.
Ia bertompang dagu seraya memandang kosong layar laptopnya yang menyala, pikirannya melayang dan terfokus pada dua objek.
Pernikahan.
Sasuke.
Ia bukan anak remaja labil yang seharusnya larut dalam kesedihan kisah cinta, hidupnya sekarang adalah yang terpenting, hidupnya, hidup kedua orang tuanya, dan hidup nenek kesayangannya. Tapi, ya Tuhan ini sungguh...
Matanya memanas, disusul dengan setetes air yang turun melalui pipi kirinya. Tapi Sakura masih tak bergeming, ia menangis entah untuk yang kesekian kali, tapi gerak badannya membeku.
Pintu kamarnya diketuk, barulah Sakura tersentak dan segera menghapus jejak air mata di wajahnya. "Masuklah nek."
Nenek Kosaki membuka pintu dan tersenyum lembut seraya membawa segelas susu putih hangat di tangannya. "Bagaimana pekerjaanmu, sayang?" ucapnya diiringi langkah kaki yang mendekat, dan duduk di samping sang cucu.
"Baik." jawabnya. Sakura berpura-pura sibuk menggerakkan jari jemari tangannya di atas keyboard laptop, walau sebenarnya ia sendiri tidak tahu apa yang ia tulis.
"Sakura." Lagi, nenek tua itu tersenyum. Ia mengelus bahu kecil cucu merah mudanya kemudian berkata. "Kau lupa bahwa kau adalah pembohong yang buruk?"
Gerakan tangannya terhenti, Sakura lantas tersenyum kikuk. "Ah... ya." ucapnya setelah menerima susu putih yang neneknya bawa, dan meminumnya sedikit. Bagaimana pun juga ia tidak ingin membuat neneknya ini khawatir karena ia sama sekali belum mengisi perutnya sejak pagi. "Aku hanya sedikit kesulitan untuk melanjutkan cerita ini."
"Benarkah?" Kosaki sedikit memicing untuk membaca tulisan-tulisan kecil di dalam layar sana, ia menggeleng diiringi kekehan kecil. "Maaf sayang, tapi untuk itu aku tidak bisa membantu. Bakatku hanya di dapur dan juga mengurus cucuku."
"Nenek... aku bukan anak kecil."
"Hm, aku tahu." Ia tertawa renyah. "Oh bagaimana jika kau berjalan-jalan keluar? Mungkin saja ide untuk tulisanmu akan muncul."
"Dan memancing fobiaku keluar? Ah tidak nek, terimakasih." Sakura menggeleng kecil dan kembali menggerakkan jari jemarinya, berusaha membuat suatu kata yang akan menjadi isi dari novelnya.
"Ayolah sayang, sejak kau kemari, yang kau lakukan hanyalah berdiam diri di kamar. Sesekali kau harus merasakan udara luar."
"Aku sudah merasakannya saat aku membuka jendela kamar, nenek."
"Bagaimana dengan aspal jalanan?"
"Mereka keras."
"Hmm... bagaimana dengan daun-daun musim gugur?"
Kali ini Sakura terdiam, oh ia sampai lupa bahwa sekarang sudah masuk akhir bulan September, yang berarti sudah memasuki musim gugur. Musim kesukaannya setelah musim semi, kenapa ia bisa lupa? Ah sial, pikirannya terlalu dipenuhi oleh masalah hidupnya.
Kosaki tertawa, ia sangat tahu apa yang cucunya sukai. Berjalan-jalan di sekitar pohon-pohon dengan daun berwarna merah kekuningan adalah kegiatan sehari-hari Sakura saat musim gugur. "Jadi?"
Sakura akhirnya menghela napas cukup panjang, dan mengangguk singkat. "Oke baiklah, nenek menang."
.
.
.
.
.
Indah seperti biasa. Dedaunan dengan warna merah kekuningan adalah tontonan favoritenya saat musim gugur, membuat suasana hatinya tenang dalam sekejap. Sakura memasukan kedua tangannya ke dalam saku mantel karena udara sore hari ini cukup dingin, tetapi terasa sangat damai karena diiringi sapuan angin halus. Hanya sedikit orang yang saat ini ia lihat, beruntung karena hanya ada satu atau dua orang pria di sini.
Ia menggadah, tersenyum pada dedaunan yang bergoyang seakan melambai padanya. Namun entah mengapa, hatinya kosong, keindahan yang Tuhan ciptakan hanya mampu membuat beberapa persen suasana hatinya membaik, sisanya hilang terbawa oleh kabar buruk yang diberitahukan sahabatnya.
Jantungnya berdebar, perasaan sakit dihatinya datang lagi. Sakura mengambil sebuah note kecil dari dalam saku mantel dan memilih duduk di salah satu bangku jalan yang tersedia. Menulis sepatah kata yang tiba-tiba saja terlintas di kepalanya.
'Although you are very small and your kind have existed in the universe for only a short time, you are and important part of something very large and very beautiful.'
Waktu pertemuan mereka memang singkat, dan mereka tidak akan pernah bertemu tanpa bantuan Naruto dan Karin, tapi... ia bahagia. Jika memang akhirnya mereka tidak bersama, maka tak apa, ia bisa mengingat Sasuke sebagai teman masa lalu terindah dalam hidupnya. Datang lalu pergi. Ini adalah salahnya, jika saja ia tidak pergi dari acara itu secara tiba-tiba, mungkin saja... Sasuke masih bersamanya.
Sakura mengedipkan kedua kelopak matanya cepat, gawat ia hampir saja akan menangis, tidak boleh, jangan, jangan lagi.
Sapuan angin kecil membuat helaian rambutnya terbang. Ia menghela napas panjang, namun pelan, berusaha untuk menormalkan deru napasnya yang melambat. Hingga sepasang sepatu hitam berhenti dan berada tepat di depannya, membuat ia menggadah dan bertatapan langsung dengan sepasang oniks kelam di depan sana.
Pria itu tersenyum simpul. "Haruno Sakura?"
.
.
.
.
.
"Kau boleh menjauh dariku, tapi tolong, jangan pernah berpikir untuk membenciku walau hanya sedikit... Sial... Aku benar-benar merindukanmu."
Sakura membatu, rekaman suara yang pria di hadapannya putar seakan menjungkir balikkan isi perutnya, tanpa sadar telapak tangannya berkeringat dingin dilengkapi getaran kecil. Itu suara yang selama setengah tahun belakangan ini ia rindukan, Sasuke... benarkah?
"Kau mendengarnya sendiri dari awal." Uchiha Itachi menghela napas berat, "Dia menjadi gila dan berubah seperti pria workaholic tingkat tinggi. Setelah kau menghilang tanpa kabar, dia menjadi sangat temperamen, bahkan Naruto sering menjadi korban meskipun ia tidak salah apa-apa." Kekehan kecil terdengar dari bibirnya, ingatan tentang Sasuke yang mendatangi pihak penerbit novel yang Sakura buat, untuk meminta alamat di mana Sakura tinggal tidak mendapatkan hasil. Saat itu ia ingat, sangat ingat, bagaimana keadaan Sasuke yang setengah kerasukan.
Wanita itu masih menundukkan kepalanya, tak berani menatap pria yang entah bagaimana caranya dapat mengetahui kediaman barunya selama setengah tahun ini. Uchiha Itachi, yang mengaku sebagai satu-satunya kakak dari Uchiha Sasuke secara tiba-tiba tanpa dipersilahkan duduk di sampingnya dan memutar rekaman suara yang secara diam-diam ia ambil saat mengintrogasi Sasuke.
Suara itu... ia merindukannya, sangat rindu. Tapi ketakutannya lebih mendominasi isi pikirannya, saat ini pun ia masih merasa takut pada pria yang duduk di sampingnya, meski dengan jarak yang terpaut cukup jauh. Emeraldnya untuk yang kesekian kali kembali memanas, hatinya seakan terhantam puluhan batu besar. Tidak, jangan menangis lagi, ia sudah berjanji.
"Hei, Izuna yang salah di sini. Tapi kenapa kau memilih untuk menyiksa Sasuke?" Itachi kembali bersuara, menoleh ke arah samping dan melihat wanita itu menangis tanpa suara dengan kepala tertunduk. Ia tersenyum simpul, "Dan kau mendengarnya sendiri, bahwa Sasuke memang sempat menganggapmu sebagai percobaan obat kelainannya, tapi itu dulu... dia, banyak berubah semenjak mengenalmu, asal kau tahu."
Pria itu selalu merasa panas saat berada di dekatnya, itu berarti, selama bersamanya Sasuke selalu menahan diri, dan itu berhasil. Dia... memang luar biasa. Uchiha Itachi benar, Sasuke tidak bersalah di sini, tapi kenapa... kenapa Sakura tega melakukan ini? Tidak, ia sama sekali tidak tahu bahwa Sasuke memang benar-benar mencintainya. Oleh karena itu Sakura memilih pergi, dan meminta Karin dan pihak penerbit tutup mulut jika ada yang bertanya kediamannya.
"Aku... aku, maaf."
Dan untuk kesekian kalinya, ia kembali menangis tersedu-sedu.
Bodoh.
"Tapi kau juga harus ingat, adanya sebuah kata terlambat jika tidak bergerak lebih cepat." Itachi tersenyum sendu. "Sasuke akan menikah, minggu depan karena permintaan ibu kami."
.
.
.
.
.
Sasuke memandang kosong ke arah depan, dengan bertompang dagu dengan sebelah tangannya pada balkon kamar, sesuatu mengusik pikirannya, dan ini sangat mengganggunya. Setelah ia memberikan undangan palsu tentang pernikahannya pada Naruto dan sepupu merahnya itu, mereka berdua kompak meneror Sasuke dengan berbagai pesan singkat, juga telepon beruntun pada jam tidurnya yang menyebabkan ponsel tak berdosanya bergoyang semalaman. Mereka gila.
Salahkan Itachi kakaknya yang memberinya usul tentang undangan palsu sialan itu, Itachi bilang bahwa itu akan membantu masalahnya, tapi yang datang hanyalah menambah beban hidupnya. Dan juga, siapa itu Yamanaka Ino? Ia sama sekali tidak mengenal nama tersebut. Kakaknya gila, mereka semua akan membuat isi kepalanya meledak.
Satu helaan napas panjang keluar, Sasuke memijat pangkal hidungnya dan tersenyum sedih. Bagaimana keadaan Sakura sekarang? Apa yang sedang wanita itu lakukan? Ia merasa hampir gila karena merindukan wanita itu, sangat rindu. Sakura tidak bisa lagi ia hubungi, mungkin wanita itu mengganti nomor ponselnya.
Ditambah lagi kakaknya pergi entah kemana, memang sebelumnya Itachi mengajak Sasuke untuk ikut bersamanya, tapi pekerjaannya di sini tidak bisa ditinggal begitu saja. Ia tidak mau membuat perusahaannya bangkrut dan pegawai-pegawainya menjadi pengangguran di kemudian hari.
Hingga sebuah getaran pada ponselnya membuat lamunannya membubarkan diri seketika, kedua oniksnya berputar bosan, kemungkinan besar adalah teror konyol Naruto dan sepupunya. Tanpa melihat nama sang penelepon, Sasuke menekan tombol hijau di sana. "Apa?!"
"Ow Sasuke tenanglah, ini aku."
Ia menggeram rendah, suara tenang dengan intonasi menjengkelkan ini. "Kakak, ini sudah malam. Ada apa?"
"Aku hanya merindukan adik tersayangku." godanya dengan kekehan kecil, ia sangat tahu bahwa Sasuke saat ini sedang menahan diri untuk tidak meneriakinya, tapi ia tidak perduli. "Apa kau tahu siapa yang sedang bersamaku saat ini?" lanjutnya dengan tatapan yang beralih pada sosok wanita merah muda di sampingnya.
"Aku tidak perduli." jawab Sasuke jujur, isi pikirannya hanya terfokus pada Sakura, masa bodoh dengan omong kosong kakaknya saat ini.
"Jahat sekali." Itachi menghela napas kecil, kemudian ikut menahan tawa saat melihat nenek tua yang duduk di hadapannya terkekeh kecil mendengar jawaban sinis di seberang ponselnya. Sengaja ia menghidupkan mode pengeras suara agar orang-orang di sekitarnya dapat mendengar suara adik lucunya ini. "Apa yang kau lakukan saat ini?"
"Apa itu penting?" Ia sungguh tak habis pikir dengan apa yang ada dalam otak pintar kakaknya, kenapa Itachi sebenarnya? "Dan dimana kakak sekarang?"
"Bertemu seseorang." jawab Itachi santai. "Oh dan jangan bilang kau saat ini sedang melamun di balkon kamar."
"Kau tahu tanpa harus kuberitahu, kak." Sasuke terdiam sejenak, kemudian kembali berkata dengan nada suara yang sedikit lebih kecil. "Kau tahu bahwa aku masih memikirkan dan merindukannya."
"Siapa?"
"Sakura."
Jantungnya berdebar keras, subjek yang Sasuke maksud saat ini sedang duduk tepat di samping Itachi dengan mencengkram erat bajunya sendiri menahan tangis, ia merindukan suara itu, dan pemiliknya juga merindukannya. Sedangkan nenek Kosaki hanya mampu tersenyum simpul melihat raut wajah cucunya perlahan berubah menjadi lebih hidup.
Itachi tersenyum lebar, ia berhasil memancing Sasuke. "Kenapa? Bukankah seminggu lagi kau menikah? Belajarlah untuk melupakan masa lalu, Sasuke."
"Diamlah, aku hanya akan menikah dengan Sakura." jawab Sasuke jengkel, tanpa ia tahu sepasang emerald di sana melebar sempurna mendengar ucapannya. "Jika kau meneleponku malam-malam hanya untuk berbicara omong kosong. Maka selamat tidur, kakak."
.
.
.
.
.
"Kau dengar?" Itachi tertawa renyah lalu mengusap helaian rambutnya sedikit lelah. "Meskipun Sasuke akan menikah, tapi dia masih hanya memikirkan dirimu. Sakura. Dia jahat sekali."
Sakura menunduk, membuat wajahnya tertutupi oleh helaian rambutnya. Sasuke bilang bahwa dia merindukannya, dia bilang bahwa hanya akan menikah dengan dirinya. Apakah itu benar? Luka di hatinya seolah lenyap, tergantikan oleh rasa bahagia yang luar biasa. Tapi, jika memang benar Sasuke masih merindukannya, bukankah apa yang pria itu lakukan salah?
Sasuke akan menikah.
Kenyataan itu kembali menghantamnya.
"Sasuke itu anak yang penurut, ia tidak mungkin menolak permintaan Ibu. Tapi..." Itachi menggantung kalimatnya, membuat Sakura menggadah dengan kedua mata yang memerah. "...Jika kau kembali, mungkin ia bisa membujuk Ibu agar membatalkan pernikahannya meski terdengar mustahil. Kau tahu, ia kadang berbuat hal gila hanya demi keinginannya dapat tercapai."
Kosaki terbatuk sejenak, lalu berdeham. "Jadi... maksudmu Sakura masih mempunyai kesempatan, bukan begitu nak?"
Itachi mengangguk yakin. "Hn."
Dan Sakura tidak tahu harus berkata apa lagi setelah ini.
.
.
.
.
.
"Aku terkejut saat Itachi berkata bahwa kau ingin menemuiku, Sakura."
Sakura tersenyum, meski Izuna tahu bahwa senyuman itu tidak benar-benar senyuman tulus. Senyum wanita itu masih mengandung ketakutan di dalamnya, dan itu semua tak luput dari pandangannya. Wanita itu tumbuh sebagai wanita dewasa yang kuat, dan ia menyesal pernah melukai hati si merah muda.
"Maaf."
Perkataan Izuna tadi bersamaan dengan angin musim gugur yang berhembus, membuat Sakura memejamkan matanya sejenak. Ia membutuhkan keberanian yang tinggi sebelum meminta kakak Sasuke agar menghubungi Izuna dan mempertemukan keduanya, ketakutannya masih ada, dan mungkin akan terus membekas jika bertemu dengan Izuna, tapi demi menghapus segala rasa benci di hatinya ia akan melakukan segala cara.
"Maaf untuk segalanya, Sakura. Aku sungguh menyesal. Maafkan aku."
"Aku tahu." jawab Sakura pelan, ia tak berani mengeluarkan suara yang lebih keras dari ini, setidaknya dengan suara rendah, Izuna tidak akan tahu bahwa ia sedang menahan diri untuk tidak menangis histeris dan berlari dari tempat duduknya. "Tapi aku tidak bisa melupakannya dengan mudah."
Izuna terdiam. "Aku memang brengsek, tapi tolong..." Ia menggantung ucapannya, kemudian menatap kedua emerald di depan sana dengan tatapan terluka. "...jangan menyiksa kerabatku yang benar-benar mencintaimu."
Ia sontak meremas rok yang dikenakannya kencang. Izuna tahu.
"Aku yang bersalah padamu, limpahkan semua rasa benci dan kesalmu padaku, kau bahkan boleh memukuliku sekarang, atau bahkan hal-hal gila yang akan kau lakukan. Apa saja. Tapi kumohon dengan sangat, jangan menambah rasa bersalahku dengan membuat Sasuke ikut masuk ke dalam masalah ini."
"Aku tidak pernah berniat seperti itu, tidak sama sekali." Raut wajahnya terlihat tenang, seolah Sakura baru saja melepaskan beban berat yang selama ini menjadi bayang-bayang buruk hidupnya. Tanpa diduga, sebuah senyuman tulus kini terbentuk sempurna di wajahnya, membuat Izuna terperangah. "Dan Izuna... aku memaafkanmu, aku tidak pernah berpikir untuk balas dendam atas apa yang kau lakukan padaku di masa lalu, dan jujur, rasa benci juga takut saat bertatap muka denganmu, sampai saat ini masih aku rasakan."
Izuna tersenyum miris, perasaannya seakan tercabik ketika mendengar kalimat terakhir Sakura yang dilengkapi dengan suara bergetar.
"Kau... penyebab fobiaku, tapi kau juga dulu pernah sangat aku cintai. Itulah sebabnya." Sakura mengigit bibir bagian bawahnya kencang, sesuatu dalam dirinya mengamuk. "Aku... percaya padamu Izuna, sangat. Dan kau menghancurkanku dengan segala perkataan dan perbuatanmu yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya."
Izuna panik, Sakura menunduk dengan tubuh kecilnya yang perlahan bergetar. "Sakura, maaf, maafkan aku. Aku sungguh." Kedua matanya memanas, keadaan berantakan wanita di hadapannya saat ini adalah kesalahannya, dan ia merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi.
"Ya... setidaknya sekarang, aku merasa lebih baik." Sakura kembali menggadah, wajahnya terlihat sedikit berwarna, dengan santai Sakura berkata. "Bolehkah aku menamparmu?"
Ia tertegun, atas dosa besarnya, Sakura hanya berniat untuk memberinya sebuah tamparan? Sial, ia ternyata sudah kehilangan bunga yang dulu sangat mencintainya. Izuna tersenyum tipis, dan mengangguk. "Lakukanlah."
Sakura mengambil sedikit udara, kemudian mengangkat telapak tangannya. Melihat Izuna menutup mata bersiap untuk mendapatkan tamparannya membuat Sakura mau tak mau harus mempersiapkan diri. Dan...
PLAK!
Perih pada bagian pipi kanannya tak membuat Izuna bergeming, tak lama kemudian ia membuka kembali kelopak matanya dan melihat Sakura tersenyum manis di depan sana. "Dengan begini, aku merasa sedikit lebih baik." Izuna ikut tersenyum lebar, lalu tertawa. Membuat Sakura menyadari satu hal. "Izuna, ada apa dengan gigimu?"
"Oh... ya, ini karena Sasuke." Izuna menggaruk bagian belakang kepalanya. "Dia menghajarku habis-habisan tepat setelah kau meninggalkannya di acara perusahaan, apa aku terlihat jelek?"
"Ya." Sakura menjawab dengan raut wajah serius. "Kau... jadi terlihat mirip nenekku." ucapnya diiringi kekehan kecil.
"Dasar." Izuna tertawa. "Dan Sakura, terimakasih..."
.
.
.
.
.
"Berusahalah menjadi seperti Tuhan. Yang selalu memaafkan, meski tahu berapa banyak dosa yang diperbuat."
.
.
.
.
.
Sasuke mengacak helaian rambutnya kasar, pekerjaannya sejak tadi pagi tak kunjung selesai, ini membuatnya harus terus menerus duduk di atas kursi dan mempelototi layar komputernya dengan seksama. Ia bahkan tidak sempat keluar untuk makan siang, dan sekarang sudah pukul 9 malam, sial ia harus kembali lembur karena pekerjaan ini. Seharian berada di depan komputer dan duduk tanpa melakukan aktifitas berat membuat gerak badannya berubah menjadi kaku.
Setelah merenggangkan sedikit otot tubuhnya, Sasuke berdiri dan berjalan menuju kaca jendela dalam ruang pribadinya. Kota besar Tokyo saat malam terlihat sangat indah, lampu-lampu menyala serta beberapa orang berlalu-lalang di jalanan membuat perasaanya sedikit membaik. Ia kemudian beralih menatap sofa yang berada di samping kirinya, tempat dimana ia dan Sakura pertama kali bersentuhan fisik satu sama lain.
Ia masih tetap merindukannya wanita itu. Sampai kapan pun.
Oniksnya meredup sedih, semua yang ia lakukan sia-sia, ia hanyalah pria bodoh yang dengan mudahnya membuat Sakura pergi tanpa mencegahnya terlebih dulu. Dan sekarang, ia tak yakin bisa sepenuhnya kembali membuka hati untuk wanita lain.
Sasuke kembali mendekati meja kerjanya, mematikan komputer lalu mengambil kunci mobilnya dari dalam laci.
.
.
.
.
.
Sakura kembali melihat kantung belanjaannya, semua yang ia butuhkan untuk mengisi lemari makanan di apartemen barunya sudah ia peroleh. Ia telah kembali ke Tokyo dan tak lupa memberitahu Karin tentang kedatangannya. Sebelumnya Sakura sempat bimbang saat Itachi mengajaknya untuk kembali ke Tokyo, karena itu berarti ia harus meninggalkan neneknya seorang diri, tetapi neneknya berpesan jangan terlalu mengkhawatirkan dirinya di sana, Sakura juga harus mementingkan masa depannya.
Beban berat dalam hidupnya terangkat dengan permintaan maaf tulus dari Izuna kemarin siang, ini sama seperti sebelum ia menderita androfobia, dan mungkin saja fobia itu saat ini telah hilang. Tapi, ia masih tidak yakin, fobia hilang tidak semudah yang dipikirkan. Dulu, fobianya hilang karena Sasuke.
Sasuke.
Sejak Sakura kembali ke Tokyo ia sama sekali belum mengunjungi Sasuke, baik di kantor atau di mana pun. Sehingga ia yakin sepenuhnya pria itu belum mengetahui bahwa ia telah kembali, Itachi bilang bahwa ia tidak akan memberitahu Sasuke sampai Sakura sendiri yang muncul ke hadapan pria itu. Tapi, apa yang akan dia lakukan saat kembali bertatap muka dengan Sasuke? Meminta maaf? Atau apa?
Ah itu bisa ia pikirkan nanti, dan yang terpenting adalah... bagaimana jika Sasuke ada di sini sekarang, detik ini juga, di hadapannya, dengan kedua oniks yang membulat sempurna.
Sial,
Itu benar-benar Sasuke.
"Sakura?"
Bagaimana ini? Lari? Apa Sakura harus benar-benar lari? Sasuke masih tetap tampan sama seperti terakhir kali mereka bertemu, ini membuat jetak jantungnya berirama dengan cepat, apa yang harus ia lakukan? Ya Tuhan, ini di luar perkiraannya. Tidak! Bodoh bodoh, ia bahkan terlalu serius berpikir hingga tidak menyadari tempat sekitar, ini adalah daerah kantor tempat Sasuke bekerja.
"Sa..suke?"
.
.
.
.
.
Mobilnya tidak mau menyala dan itu membuat Sasuke menggeram lalu memukul setir mobilnya kencang, beruntung benda itu cukup kuat hingga tidak terlepas dari tempatnya. Mau tak mau membuatnya harus menelpon sang kakak dan meminta untuk menjemputnya di sini, tetapi Itachi hanya bersedia menjemputnya di halte dekat kantor, dan sialnya adalah, lokasi halte itu cukup jauh.
Namun, kesialannya ternyata berujung indah, sosok dewi berada beberapa langkah di hadapannya, berdiri dengan wajah yang masih tetap cantik seperti terakhir ia melihatnya. Seperti mimpi, wanita merah muda yang selama setengah tahun lebih belakangan ini ia rindukan duduk tepat di sebelahnya. Sasuke sangat ingin memeluk tubuh mungil itu erat dan berkata bahwa ia sangat merindukan Sakura sebanyak ribuan kali. Tetapi melihat raut wajah Sakura yang kelewat tegang membuatnya mengurungkan niat.
Apakah wanita itu tidak senang akan kehadirannya?
Berbeda dengan Sakura yang sedang menetralkan detak jantungnya, apakah saat ini wajahnya memerah? Tidak, pasti tidak, ayolah ini mudah. Mereka tidak bisa terus-menerus berdiam diri di bangku halte, berselimut keheningan malam, tanpa ada salah satu yang berinisiatif untuk memulai percakapan.
"Sejak kapan?" Akhirnya Sasuke lebih dulu membuka suara. Ia berucap seraya menatap Sakura yang sedikit menunduk melihat aspal jalanan, entah mengapa wanita itu sekarang terlihat sedikit lebih tenang, mereka bahkan duduk tanpa jarak tertentu yang biasanya Sakura buat.
Sakura yang paham betul maksud dari pertanyaan Sasuke menjawab dengan nada suara rendah. "Baru kemarin." jawabnya tanpa memandang lawan, membuat Sasuke tersenyum getir, Sakura mungkin memang tidak menyukai keberadaannya. "Kudengar kau akan menikah, jadi... aku kembali, karena akan sangat jahat jika aku tidak datang pada pernikahan temanku. Ya 'kan?"
Karena itu? Hanya karena itu Sakura kembali? Jadi bukan karena wanita itu merindukannya? Sungguh? Wanita itu tidak perduli padanya dan hanya datang karena menghormatinya sebagai teman? Sasuke tanpa sadar menahan napas, rasa sesak kini memenuhi dadanya, paru-parunya terasa mengecil dan membuat udara yang mampu masuk menjadi sangat terbatas.
Keadaan menjadi hening, suasana di antara keduanya berubah menjadi luar biasa canggung. Sakura memejamkan kedua kelopak matanya kuat, ya Tuhan, ia telah berbohong. Tentu saja alasan ia kembali ke sini adalah karena Sasuke, ia merindukannya, tapi ia sadar apa yang ia lakukan adalah salah. Tidak sepantasnya ia merindukan calon suami orang lain. Sakura ingin menangis sekarang.
Sakura menoleh dan mendapati Sasuke yang sedang menatapnya dengan sorot mata terluka. Hatinya tercubit, apa ia telah salah berucap? Kenapa, kenapa? "Sasuke?"
"Maaf." Sasuke menunduk, lalu mengusap permukaan kulit wajahnya kasar. "Aku seharusnya menyadari ini semua dari awal, bahwa aku hanyalah seorang teman bagimu."
Alisnya mengkerut bingung, Sakura tanpa sadar kembali mencubit lengannya keras, ada rasa tak sabar dalam dirinya untuk menunggu ucapan Sasuke selanjutnya.
"Tapi..." Sasuke kembali menatap kedua emerald indah di depan sana, sekilas ia dapat melihat kilat kerinduan yang teramat besar di kedua iris tersebut. Ia terdiam, haruskah ia mengatakannya sekarang? Tapi, sesuatu dalam dirinya mengamuk, Sakura harus tahu perasaannya, ia akan menerima apapun jawaban dari Sakura jika memang wanita itu benar-benar menolaknya. "...aku mencintaimu."
Kata-kata sakral yang keluar dari bibir pria tampan di sampingnya membuat Sakura diam seribu bahasa, lidahnya kelu hanya untuk sekedar menelan ludah. Kedua matanya memanas, ia telah menunggu cukup lama untuk mendengar kata cinta langsung dari Sasuke. Tapi sekarang, entah mengapa ia merasa sakit. "Tapi kau akan menikah, Sasuke, ini salah."
"Katakan yang sejujurnya, Sakura." Deru napasnya memberat, Sasuke terdiam sejenak sesaat ketika menyadari bahwa tadi Sakura berucap dengan nada suara yang bergetar, seperti menahan tangis. "Kau kembali, hanya karena untuk menghadiri pernikahanku, atau untukku?"
Sapuan angin halus bertiup, membuat helaian rambut berbeda warna itu ikut bergoyang.
Tatapan kedua oniks itu seakan menghipnotisnya, Sakura membeku, haruskah ia menjawabnya? Haruskah? Hatinya tercubit nyeri saat Sasuke mengucapkan kata pernikahanku dengan raut wajah serius. Ini menakut-nakutinya. Ya Tuhan, tolong ia mencintai Sasuke. "Aku..." Suaranya tercekat, bagaimana sekarang? Tapi, lebih baik menyampaikan perasaannya daripada tidak sama sekali. "...kembali untukmu."
Seketika kupu-kupu berterbangan dalam perutnya, bagai bunga-bunga yang mekar layaknya musim semi. Sasuke menahan diri untuk tidak tersenyum lebar, ia senang, luar biasa bahagia, sekarang ia hanya perlu terus membuat Sakura jujur akan perasaannya. "Kenapa?"
Katakan yang sejujurnya, sekarang.
Sakura!
"Karena, aku mencintaimu. Sasuke, aku tahu ini gila, maksudku kau akan menikah, kita, bukan tapi aku tidak seharusnya seperti ini." Tanpa sadar kedua tangan Sakura yang berada dipangkuannya bergetar, setetes air mata terjun bebas di pipi kirinya membuat Sasuke tertegun. Sakura menangis... untuknya? "Maafkan aku, setelah kau menikah, aku akan pergi. J-jadi, terimakasih." Sakura menoleh ke arah samping, melihat Sasuke yang sedang menatap penuh padanya. Apa ia salah bicara? Apa ia terlihat aneh berbicara sambil menangis?
Namun ternyata, respon Sasuke sangat jauh dari yang ia pikirkan. Sasuke tertawa. Sungguh, tertawa? "A-apa? Aku terlihat aneh?" Sakura buru-buru menghapus jejak air mata di pipinya, dan mengkedip-kedipkan kelopak matanya agar berhenti berkaca-kaca. "Berhenti tertawa Sasuke, apa ada yang lucu di sini?" tanyanya heran.
"Maaf." Pria yang masih mengenakan stelan pakaian kantor itu memegangi sisi kepalanya, kemudian tersenyum. "Kenapa kau sangat yakin bahwa aku akan menikah?"
"Karin, dia memberitahuku." jawab Sakura yakin dengan alisnya yang terangkat naik, kenapa Sasuke tidak menampilkan ekspresi tertentu? Kenapa, kenapa pria itu malah berbanding terbalik dengan dirinya yang bagai dilanda hujan badai? Sasuke menatapnya intens tanpa berkedip, dan itu membuatnya gugup. "Kenapa?"
Tangan kanannya terulur ke depan, menyentuh lembut pipi Sakura yang pucat dan dingin. Wanita itu terdiam, tidak menampilkan reaksi tertentu, dan itu membuat Sasuke tersenyum tipis. "Fobiamu sembuh?"
"Uh... aku tidak tahu." Sakura baru saja akan menunduk jika Sasuke tidak menahan dagunya agar terus menatap tepat ke dalam kedua oniks tersebut. Sasuke menggeser duduknya menjadi lebih dekat, membiarkan Sakura membeku ketika ibu jarinya mengelus pelan kulit bibir wanita tersebut. Sakura terengah, napasnya menjadi sedikit memberat. Apa yang Sasuke lakukan?
"Ketakutan dalam kedua matamu menghilang." Sasuke berkata sinis, sangat memperlihatkan bahwa ia sedang mencurigai sesuatu. "Siapa?"
"Apa, siapa maksudmu?" Sakura balik bertanya, apa yang Sasuke maksud tentang siapa?
"Obat barumu."
Wanita itu terdiam, terjebak antara tatapan oniks di hadapannya yang menuntut. Namun sesaat kemudian, ia berkedip, ah Sakura paham. "Aku tidak mempunyai obat selain dirimu." jawabnya. "Mungkin belum."
"Jangan." Sasuke menjawab cepat. "Jangan cari obat lain, selain aku."
Tunggu, kenapa rasanya ini jauh dari topik awal yang mereka bicarakan? Bukankah mereka sedang membicarakan tentang pernikahan Sasuke? Tapi kenapa ini seolah-olah tidak ada hal penting, selain pertemuan mereka?
Sedangkan Sasuke, saat ini ia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, rasanya ia mulai bisa membaca situasi yang kakaknya perbuat. Tentang awal dari undangan pernikahan palsu itu, dan kepulangan Sakura. Senyumnya merekah tanpa menyadari wanita di hadapannya yang kebingungan.
Sasuke menghembuskan napasnya ke udara dengan perasaan berdebar. Itachi menyuruhnya untuk memberitahu kedua Uzumaki itu tentang pernikahan palsunya, dengan melampirkan surat undangan yang tentunya juga tidak benar sebagai bukti. Agar Karin memberitahu Sakura, dan melihat apakah Sakura perduli atau tidak, lalu terbukti wanita itu kembali dengan alasan akan menghadiri pernikahannya. Walau Sasuke tahu.
Wanita itu merasa sakit.
Tuhan, dia mencintai Sakura dengan teramat sangat.
"Haruno Sakura..."
Dan detik itu juga, Sakura merasakan bahwa detak jantungnya berhenti sesaat, tepat ketika bibir Sasuke menekan pada bibirnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Sudahkah menemukannya?"
.
—END—
.
.
.
.
.
.
.
.
.
A/N:
Oke jauh dari ekspetasi ya ini endingnya www maapkeun *diinjag* ada yang janggal ga sih? Atau berlebihan? Atau terkesan maksa? Atau aneh? Atau gaje? Atau sama kayak fic lain lagi mungkin? /heh. Aku terima semua kritik dan saran pembaca dengan lapang dada, tapi kayaknya review Nyonya Guest itu sangat menyakiti aku dengan secar langsung dia menyangka aku ini plagiat dari kak Icha-Icha, sakit tau ga? Ini murni hasil dari ilmu aku berkencan dengan beberapa novel romantis, juga para idola author legend di beberapa situs (bukan di sini)
Dan makasih banyak buat support kalian *lope* maaf banget gabales reviewnya :" tapi aku baca semua kok xD review kalian penyemangat aku nomor satu *tarik ingus* sampai ketemu di cerita selanjutnya! Jangan bosen bosen sama cerita gajeboo aku :'9 I love you! *kissu kissu*
Btw, mau bonus chapter ga? Kwkkw xD review ya! Nanti aku coba buat :3