Deficiency

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Miinami

[ Sasuke & Sakura ]

.

.

.

.

.

A SasuSaku Fanfiction.

[ Masalah, cinta, dan juga rasa saling membutuhkan. Membuat keduanya menyadari bahwa kekurangan ada, untuk membuat mereka belajar menerima. / "Kau boleh menjauh dariku, tapi tolong, jangan pernah berpikir untuk membenciku walau hanya sedikit." ]

.

.

.

.

.

Warning!

AU, Threeshot, Typo, Alur kecepetan, Kata tak sesuai eyd, Drama terlalu krenyes/?, dll.

.

Tolong hargai imajinasi dari penulis aslinya, dengan tidak mencopy-paste atau memplagiat apapun dalam fic ini. Walau jauh dari kata sempurna, tapi percayalah, ini buatnya sampe jatuh bangun bro, sis /hala.

Thank you *kiss*

.

.

Don't like, don't read. Yeah?

.

.

.

.

.

Enjoy reading...

.

.

.

.

.

.

.

.

.


Haruno Sakura tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, mungkin apa yang sahabat merahnya katakan memang benar, bahwa ia akan menjadi gila dalam waktu dekat. Isi kepalanya sebentar lagi akan meledak dan berubah menjadi serpihan kertas, mungkin. Ia butuh sedikit liburan, bukan, bukan sedikit melainkan liburan penuh di suatu tempat terpencil bila perlu, pulau di tengah laut misalnya. Dan tentunya tanpa makhluk yang bernama pria di dalamnya.

"Kau hanya perlu mengenalnya lebih jauh, itu saja." Uzumaki Karin kembali mengaduk Ice Mocacinno pesanannya dengan sedotan, kemudian bertompang dagu dengan sebelah tangannya, kembali menatap wanita berambut merah muda di depan sana dengan tatapan yang tetap tidak berubah. "Ketakutanmu tidak akan pernah hilang jika kau tidak berusaha, kau tahu itu."

Sakura menjawabnya dengan gumaman malas, ia ikut mengaduk teh hangatnya dengan sendok kecil. Pesanannya dengan Karin berbeda, dan Sakura tidak tahu kenapa wanita maniak warna merah itu memilih memesan minuman dingin di saat Tokyo sedang diterpa hujan lebat. "Aku tahu." jawabnya acuh, sebenarnya ia tidak terlalu antusias dengan topik obrolan mereka saat ini, lebih tepatnya, tidak tertarik. "Dan kau juga tahu, bahwa aku butuh waktu, Karin."

"Sampai kapan?" Si merah membenarkan letak posisi kacamatanya yang sempat merosot, sepasang manik di balik kacamata tersebut menatap khawatir pada sahabatnya yang balas menatapnya dengan tatapan datar. "Ini sudah terlalu lama, Sakura."

Ia menghela napas cukup panjang, ia tahu, sangat tahu. Sudah lebih dari 3 tahun berlalu sejak putusnya ia dengan si brengsek itu—Sakura bahkan tidak sudi untuk menyebut namanya—dan sampai saat ini ia tidak berani untuk kembali menjalin hubungan dengan seorang pria. Ia hanya belum berani, ia takut, tetapi bukan berarti tidak sama sekali. Ia masih butuh waktu untuk bisa sepenuhnya berinteraksi dengan seorang pria lagi, terlalu takut jika nanti kejadian 3 tahun yang lalu kembali terulang, dan ia tidak ingin menjadi wanita lemah yang akan menangis hanya karena cinta. Please, ia bukan lagi gadis remaja Menengah Atas yang memprioritaskan cinta asmara. Itu memuakkan.

"Tidak semua lelaki itu sama, Baby." Karin merubah posisi duduknya menjadi tegak, sedikit lebih condong ke arah Sakura untuk membisikkan sesuatu. "Dia adalah pria baik-baik, dan dia akan mengerti fobiamu. Aku yakin itu."

Sebelah alisnya naik, Sakura terkekeh seolah ucapan Karin barusan adalah sebuah lelucon. "Darimana kau bisa seyakin itu?"

"Well, Naruto. Dia berteman baik dengannya."

Oh yeah, Naruto. Sepupu Karin yang Sakura juluki dengan sebutan si Kuning matahari, ia tidak terlalu takut pada Naruto mungkin karena sifatnya yang melewati batas normal itu sedikit membuatnya rileks, meski terkadang sukses membuatnya sakit kepala berkepanjangan. Dan sekarang, Karin ingin membuat Sakura mengenal lebih jauh tentang teman Naruto itu? Oh, ia berdoa agar pria itu tidak seberisik Naruto. "Kau bercanda." jawabnya sedikit kesal.

"Tidak, aku tidak." Karin menggeram, ia mencoba untuk tidak menggores pipi pucat Sakura dengan kuku tangannya, ia merongoh sesuatu dari dalam mantelnya, menaruhnya di atas meja agar Sakura dapat melihat. "Ini fotonya, dia seratus persen tampan, jika saja aku belum bertunangan maka aku jamin bahwa akulah yang akan mengambilnya lebih dulu." ucapnya setengah bercanda, setengah serius. "Dia salah satu direktur muda sukses di Jepang, dan aku yakin dia bukanlah lelaki brengsek seperti I—"

"Jangan sebut namanya." Sakura memicing tajam, kemudian menghela napas gusar. "Karin, hentikan. Aku tahu bahwa maksudmu baik, tapi aku." Ia menggigit bibir bagian dalamnya, tatapannya masih belum turun untuk melihat selembar foto yang tergeletak di atas meja caffe. "Aku hanya butuh sedikit waktu... lagi."

"Lagi? Kau bilang lagi?" Refleks, wanita berkacamata itu menggebrak meja yang kini mereka tempati, dan sukses membuat beberapa pengunjung lain menoleh ke arah mereka terganggu, Karin menggaruk pipinya yang tidak gatal, setelah mengucapkan kata maaf, ia kembali duduk di kursinya. "Apa kau tidak sadar berapa umurmu sekarang, Sakura?" ujarnya gemas, dengan sengaja Karin mengeja saat menyebut nama Sakura di akhir.

"Aku tahu, tapi apa salahnya jika aku belum mempunyai pasangan diumur dua puluh empat?" Sakura akhirnya ikut terpancing, nada suaranya mulai naik. Membuat Karin melotot tak percaya, "Kau tidak tahu ketakutan apa yang aku rasakan!"

Karin memejamkan matanya, ia tahu jika saat ini Sakura sudah mulai terbawa emosi, wanita itu merasa bahwa ia tidak mengetahui apa-apa soal masalahnya, tapi Sakura salah, Karin tahu segalanya, ia bisa merasakan semuanya yang Sakura rasakan, oleh karena itu ia harus membantu sahabat sejak Sekolah Menengah Atasnya ini, bagaimanapun caranya. Sakura harus bisa melupakan masa lalunya, masa lalu buruknya. Ia kembali membuka mata, "Dengar Sakura, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tapi kau tahu, aku menyayangimu sebagai saudariku. Berhentilah membuat dirimu sendiri menderita. Cobalah untuk kembali bersosialisasi dengan seorang pria, kumohon."

Sakura mengusap permukaan kulit wajahnya yang tiba-tiba terasa kaku. Ia benci ketika harus membahas masa lalu sialannya dan juga fobia yang dialaminya, tapi jika Karin sampai mengucapkan kalimat mantra 'menyayangimu sebagai saudari' membuat hatinya kembali luluh. Ia akhirnya menghembuskan napasnya ke udara pelan, "Jadi... kau ingin aku bagaimana?"

Wajah Karin berbinar, wanita itu sepertinya memang sudah merencanakan semua ini, seolah memang sudah tersusun sejak awal apa yang akan terjadi dan apa yang tidak akan terjadi. Sakura yang melihatnya hanya bisa memutar emeraldnya bosan. "Kau, berkencan dengannya."

Ia melotot, "Tunggu... apa?"

"Baiklah, aku akan menghubungi Naruto dan memberitahunya bahwa kau setuju. Ini kabar bagus!"

Sakura menepuk keningnya frustasi, ia rupanya sudah salah bicaranya. "Kau tidak—" Tak didengar, wanita berkacamata itu sibuk menelepon seseorang, yang Sakura yakini itu adalah si pria berambut kuning. Kabar bagus? Apanya yang bagus? Ini adalah bencana besar baginya. Ditambah lagi, menurut informasi yang Karin berikan, pria itu adalah seorang Direktur muda yang sukses, seorang pria bila digabungkan dengan harta berlimpah, maka Sakura yakin pria itu akan dominan dengan sifat brengsek, womanizer, atau apapun itu. Ia merasakan sesuatu yang buruk di sini.

Emeraldnya turun, dan untuk pertama kalinya melihat sepasang oniks tajam yang tercetak di dalam foto. Meskipun hanya dalam foto, tapi entah mengapa ia merasakan sesuatu yang janggal. Seolah foto itu hidup dan benar-benar sedang menatap ke arahnya. Pria itu tampan, sangat tampan, dan sepertinya foto ini diambil dengan cara sembunyi-sembunyi, terlihat dari raut wajah pria dalam foto ini yang sedikit terkejut ke arah kamera. Di bagian bawah foto itu terdapat sebuah nama yang ditulis menggunakan bolpoin.

"Uchiha Sasuke."

.

.

.

.

.

Uchiha Sasuke kembali menggeram gemas, ia berulang kali mencoba untuk melangkah ke kiri, tapi pria bodoh kuning di depannya ikut menghalangi jalannya dengan cara menghadang bagian sebelah kiri, lalu ke kanan, dan si kuning itu ikut menghadang bagian sebelah kanan. Ia mulai geram, dengan cepat ia menarik kerah kemeja yang pria di depannya kenakan, dan berucap dengan nada suara kelewat sinis, cukup membuktikan bahwa ia mulai kehilangan kesabaran. "Apa yang kau inginkan, sialan."

"Woah, Sasuke. Tenanglah." Naruto mencicit, baiklah ia jujur, ia takut jika Sasuke sudah memasuki mode ganas seperti sekarang. Uchiha bungsu ini memang tidak bisa diajak bercanda terlalu lama, Naruto mendengus. "Aku hanya ingin bicara, lepaskan tanganmu."

Sasuke menghela napas kasar, ini sudah malam, dan ia sudah sangat lelah untuk sekedar mendengarkan celontehan Naruto yang ia yakin tidak penting sama sekali, jika tidak tentang masalah kedai ramennya, maka tentang masalah rumah tangganya bersama sang istri. Naruto sudah menikah, dan kenyataan itu membuatnya berada satu langkah di belakang Naruto, ia terbiasa menjadi nomor satu. Jika saja, jika saja ia tidak memiliki suatu masalah. "Lalu apa?" Ia melepaskan cengkramannya, mencoba bersabar di sini. "Jika tidak penting, lebih baik kau bicara nanti, Naruto. Aku sedang tidak dalam suasana baik."

"Aku mengerti." Naruto mengangguk sesaat, kemudian mengedarkan pandangannya ke arah sekitar, "Lebih baik kita duduk, tidak bagus berbicara sambil berdiri 'kan?" ucapnya yang hanya dibalas gumaman khas oleh Sasuke. Naruto berjalan ke arah salah satu sofa yang berada di seberang ruang rapat, diikuti Sasuke di belakangnya. Pria beristri itu berdeham sejenak sebelum akhirnya menatap sang atasan di Perusahaannya dengan serius. "Jadi, apa jawabanmu?"

Alisnya mengkerut, "Apa?" Sasuke mengulangi bagai orang idiot. "Jawaban apa?"

Naruto melotot tak percaya, "Jawaban! Tentang yang aku bicarakan padamu kemarin, kuharap kau tidak lupa, Sasuke."

Pria itu terdiam, mencoba untuk mengulang kembali apa yang ia bicarakan dengan Naruto kemarin, dan oniksnya meredup saat sebuah ingatan terlintas di kepalanya. "Tidak." Ia tahu betul apa yang Naruto maksud di sini, seorang wanita, yang gilanya akan Naruto bersikeras untuk membuat Sasuke mengenal lebih jauh wanita yang wajahnya sama sekali tidak ia ketahui ini. "Kau gila? Ini tidak akan bekerja."

"Ya, ini akan." Manik biru langitnya memicing tajam, seakan-akan Naruto memang seratus persen yakin bahwa wanita yang berteman baik dengan sepupunya ini mampu membuat sahabatnya kembali sembuh. "Kau hanya perlu mencoba, Sasuke. Dan lihat apa tubuhmu bereaksi, atau tidak."

Sasuke memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri, ia gila karena masalahnya, dan sekarang kegilaannya bertambah karena Naruto mencoba untuk mencari wanita yang mampu membuatnya kembali normal. Sasuke tidak gila, hanya saja Itachi bilang bahwa ia bisa saja tidak normal, seperti para pria dewasa pada umumnya. Dan jika ia boleh jujur, masalah ini membuatnya ikut merasa terbebani. Satu persatu mimpi buruk perlahan-lahan mendatanginya bagai air hujan yang saat ini mengguyur kota Tokyo. Entah sadar atau tidak, sebelah tangannya terkepal erat, ia takut, bukan, tapi sangat takut.

Organ di antara kedua kakinya sudah lama tidak bisa merasakan ketegangan, yang biasanya dirasakan para pria jika melakukan sesuatu yang lebih dengan wanita.

Ia takut, ini terjadi sudah sejak lama, bahkan wanita-wanita penghibur yang pernah ia temui bersama Naruto di klub malam tidak ada yang mampu membuat miliknya berdiri, sudah sejak lama darahnya tidak berdesir akibat sentuhan wanita pada tubuhnya, ia seolah mati rasa, wanita-wanita berpakaian seksi di matanya kini terlihat hambar. Jika ditanya, Sasuke beralih menyukai sesama jenis, tidak ia tidak seperti itu. Ia masih menyukai lawan jenis, terbukti bahwa satu tahun kemarin ia baru saja berhubungan dengan salah satu teman rekan kerjanya, tapi itu tidak bertahan lama, wanita itu tidak bisa mengobati sesuatu yang hilang dari dirinya.

Sasuke membutuhkan seorang wanita yang mampu menjadi obat baginya, mampu mengembalikan sesuatu yang bisa membuatnya kembali panas dalam artian tertentu, ini bukan berarti ia membutuhkan wanita hanya untuk memuaskan nafsunya, sama sekali bukan. Ia butuh wanita yang bisa menjadi obat dan juga, cinta. Keluarganya—khususnya sang Ibu—berulang kali bertanya pertanyaan yang sama, dengan topik yang itu itu saja. Tentang kapan ia akan memperkenalkan wanita kepada keluarganya, tentang kapan ia akan menikah, kapan ia akan bisa memberikan kedua orangnya cucu.

Tapi, sesuatu dalam dirinya berteriak. Miliknya bahkan tidak pernah bereaksi terhadap sentuhan wanita, bagaimana bisa ia memberikan cucu kepada Ayah dan Ibunya? Ini buruk. Kenapa ini terjadi padanya?

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Sasuke." Suara Naruto seolah kembali menarik kesadarannya, Sasuke mengerjap perlahan, dan membetulkan posisi duduknya menjadi bersandar. Ia hanya menceritakan masalah ini pada Naruto dan sang kakak, tidak ada keberanian dalam dirinya untuk bercerita pada sang Ibu apalagi Ayahnya, ia cukup yakin bahwa ini hanyalah rasa sementara, dan semuanya akan kembali semula. Tapi takdir seolah mengejeknya, selama hampir 4 tahun ini, Sasuke tidak lagi merasakan gairah nafsu birahi dalam hidupnya.

"Naruto." Ia menghela napas lelah, "Kau tahu jika ini gagal, dan akan berakhir dengan menyakiti pihak wanita." Sasuke menatap dinding bercat putih bersih di hadapannya dengan tatapan kosong.

"Kau bisa memulainya dari saling mengenal satu sama lain, bukan begitu? Kenali dia sebaik kau mengenal dirimu sendiri, karena dari apa yang aku tahu dari Karin. Bahwa—" Naruto terdiam sejenak, melihat bahwa raut wajah Sasuke mulai berubah, pria itu penasaran, terbukti dengan menolehnya Sasuke dan menunggu lanjutan ucapannya. "—dia memiliki semacam trauma atau bisa dibilang, fobia pada seorang pria."

"Fobia?"

Si kuning mengangguk kecil, "Hubungannya dengan seorang pria di masa lalu tidak berjalan baik. Kau bisa mengetahuinya dari wanita itu sendiri, dan kurasa kau butuh sedikit kerja keras disini." Ia mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya, mengeluarkan selembar foto dan memperlihatkannya ke hadapan Sasuke. "Ini dia."

Kening Sasuke mengkerut, dan satu kata yang terlintas di pikirannya saat itu juga adalah, wanita itu cantik, sangat cantik untuk ukuran wanita yang mempunyai masalah serius di masa lalunya. Sepasang emerald di sana tampak bercahaya, dengan kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman manis. Tanpa sadar, Sasuke mengambil foto tersebut dan mengamatinya dengan seksama.

Sedangkan Naruto menyeringai tipis melihat respon sahabatnya, sudah ia duga ini akan berhasil, pasti akan berhasil, dan harus berhasil. Bagaimanapun juga, ia ingin melihat sahabat dekatnya hidup normal, menikah, kemudian memiliki keturunan. "Bagaimana?"

Sasuke terdiam, benar apa kata Naruto. Tidak ada salahnya mencoba, dan mungkin saja ini akan bekerja. "Siapa namanya?" tanyanya dengan tatapan yang tidak lepas dari selembar foto tersebut.

"Haruno Sakura."


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Karena prinsipku adalah, cinta tidak hadir untuk memuaskan rasa kesepian, melainkan untuk menuntaskan pencarian. Jadi, untuk apa terburu-buru hanya demi kesenangan?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


Sudah seminggu berlalu sejak obrolannya dengan Karin tentang pria berambut raven itu, dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa pria tersebut akan muncul dan menampakkan dirinya di hadapan Sakura. Ia mendesah, sudah ia duga itu tidak akan berguna, Karin hanya membual dan ia terlalu berharap bahwa fobianya akan terobati. Namun, jika begini mungkin ia tidak akan pernah bisa dekat lagi dengan seorang pria manapun. Ketakutannya terlalu besar, dan ia tidak cukup berani untuk melangkah melewatinya.

Sakura menatap jalanan yang basah, karena hujan baru saja turun satu jam yang lalu, kemudian beralih melihat jam tangan di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 4 sore. Setelah memberikan naskah novelnya kepada penerbit, ia harus cepat ke supermarket untuk mengisi lemari esnya dengan makanan jika tidak ingin mati kelaparan, hidup seorang diri di kota yang jauh dari kedua orang tua memang sulit. Ia mendongak, berniat melangkah menuju halte bus jika saja di depan sana tidak terparkir sebuah mobil berwarna hitam, dengan seorang pria yang sedang bersandar pada bagian sampingnya.

Pria itu, adalah pria yang berada di dalam foto minggu lalu. Menggenakan kemeja berwarna hitam lengkap dengan dasi yang sudah tidak terpasang rapi di lehernya, lengan kemeja itu digulung hingga siku sehingga menampilkan lengan putihnya yang kuat. Emeraldnya terpaku, saat sepasang oniks di depan sana menatapnya dengan tatapan tak terbaca, Sakura mengenalnya, dan mungkin juga pria itu tahu siapa dirinya. Angin bertiup, dan membuat helaian raven dengan model mencuat di bagian belakangnya ikut bergoyang, pesona pria itu terlalu tinggi, hingga tanpa sadar Sakura menggenggam tali tas selempangnya erat.

Dia, Sasuke, hanya terdiam dengan posisi bersandar pada mobilnya. Tatapannya fokus ke arah depan, ke arah wanita merah muda sebahu yang berdiri beberapa langkah kaki dari tempatnya. Tubuhnya menegang secara tiba-tiba, wanita dalam foto yang sekarang ia lihat secara langsung itu terlalu sempurna untuknya, dia sangat cantik dan juga menarik, meski hanya menggunakan pakaian sederhana berupa sweater merah maroon dan rok hitam berbahan kain di bawah lutut, tetapi entah mengapa ia merasa bahwa pesona wanita itu terasa sangat tinggi. Hati kecilnya berteriak, ia menyukai wanita itu dalam sekali pertemuan yang bahkan tidak disengaja ini, dan jika halnya dirinya tetap tidak bereaksi pada si merah muda, mungkin ini adalah yang terakhir kalinya Sasuke berhubungan dengan wanita.

Sasuke bangkit dari posisinya dan maju satu langkah, membuat emerald di depan sana membulat dan sontak melangkah mundur, menjauh dari pria yang mungkin mencoba untuk mendekatinya. Rasa takut tiba-tiba saja menjalar ke seluruh tubuhnya dan mengintruksi pikirannya untuk segera pergi dari tempat ini, Sakura bisa melihat bahwa kedua oniks itu mulai menyala, tatapan pria itu berubah menjadi tatapan yang haus akan sesuatu. Dan itu membuat tubuhnya seketika bergidik, mimpi buruknya tiba-tiba saja terlintas di otaknya. Berniat berbalik dan berlari sekuat mungkin, jika sana sebuah suara berat memanggil namanya dengan sedikit berteriak.

"Haruno Sakura!"

Sakura menegang, ia tidak sanggup meski hanya sekedar menoleh ke belakang, lebih tepatnya tidak mau, ia takut, sangat takut. Tuhan, tidak bisakah kau memberikan ia jalan untuk keluar saat ini?

Sasuke berjalan mendekat ke arah Sakura yang membelakanginya, ia sadar, wanita itu takut padanya, dan sebisa mungkin ia harus membuat wanita itu menerimanya. Naruto memberikan obat yang tepat, tubuhnya secara ajaib terasa panas hanya karena melihat kaki jenjang wanita itu saat angin halus dengan nakalnya bertiup, dan membuat rok yang dikenakannya bergoyang sedikit tertarik ke atas. Sasuke menelan salivanya guna mengurangi rasa gugup, ini harus berhasil, dan dimulai dari saling mengenal.

"Kita perlu bicara."

.

.

.

.

.

Ini buruk.

Sangat buruk bagi Sakura yang menderita *androfobia, detak jantungnya bekerja berkali-kali lipat saat ini, yang bisa ia lakukan hanya menundukkan kepalanya atau melihat ke arah lain, menghindari sepasang oniks di depan sana yang terus menatap padanya. Tidak bisa 'kah pria itu membiarkan Sakura pergi? Ia ingin menangis sekarang, fobia ini menyiksanya. Ia takut, sangat takut, tatapan pria itu sedari tadi seolah akan memakannya hidup-hidup.

Sasuke menghela napas berat, ia sedikit bergerak untuk merubah posisi duduknya. Oh, lihatlah bagaimana resahnya wanita yang saat ini bersamanya, wanita itu berulang kali berusaha untuk menghindari kontak mata dengannya, terlihat sangat jelas bahwa wanita itu ketakutan setengah mati hanya karena duduk satu meja bersamanya. Ayolah, ia mirip seperti seorang psikopat yang hendak membunuh korbannya di sini. "Sebelumnya, maaf tiba-tiba mengajakmu kemari." ucapnya memulai, mereka tidak bisa terus-menerus hanya saling berdiam diri di dalam restoran ini.

Sakura mencubit lengannya sendiri cukup keras, kebiasaan buruknya jika sedang dihadapkan dengan sesuatu yang membuat dirinya gelisah, seperti saat ini, androfobia. Ia menghembuskan napasnya pelan, dan sebisa mungkin berusaha untuk tidak terlihat gugup, meskipun ia tahu usahanya sia sia. "Ya." jawabnya, sial! Suaranya bergetar, ayolah tolong saat ini saja, bersikaplah normal Sakura! "Tidak masalah."

Suaranya indah, dan sepertinya wanita itu tidak menyadari perubahan wajah Sasuke yang jelas-jelas terpesona hanya karena mendengar suaranya. Ia berdeham sejenak, apapun yang ia lakukan sekarang jangan sampai membuat si merah muda semakin ketakutan, cukup mencari topik obrolan yang mampu membuatnya merasa nyaman. "Aku yakin kau mengenalku."

Emeraldnya terus bergerak menghindari tatapan lawan jenis yang duduk di hadapannya, "Ya... temanku membicarakan sedikit tentangmu minggu lalu." Bagus, bicaralah lebih banyak dan kurangi ketakutanmu Sakura. Karin bilang bahwa pria raven ini adalah pria baik-baik, ya, dia pria yang baik, mungkin. "Dan kau juga mengenalku."

"Hn." Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, Sasuke tersenyum meski tipis, sangat tipis. "Namaku Uchiha Sasuke, jika kau lupa."

"Haruno... Sakura." Ia menggigit bibir bagian bawahnya, berharap bahwa detak jantungnya bisa segera kembali normal, senyuman tipis pria itu terlihat jelas oleh indra penglihatannya dan itu semakin membuat rasa gugup dalam dirinya meningkat drastis. Kedua telapak tangannya berkeringat, dan yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah meremas roknya atau sesekali mencubit lengannya sendiri.

Ini gila, gerakan Sakura mengigit bibir tadi membuat jantungnya seketika berdebar, meskipun ia tahu kenapa alasan wanita itu mengigit bibir, tapi sungguh itu terlihat sangat menggoda. Sial, otaknya mulai kotor. "Kau... yah, jadi, salam kenal." ucapannya berantakan, bagus sekali Uchiha, kau bagaikan orang idiot saat ini. "Kuharap kita bisa mengenal satu sama lain lebih jauh lagi, berteman misalnya?"

Berteman? Berteman katanya? Jangan bercanda, Sakura akan mati berdiri jika terus menerus dihadapkan dengan pria ini, fobianya terus meningkat dan mengintruksi pikirannya agar ia segera menyelesaikan obrolan tidak penting sekarang dan lari sejauh mungkin. Pria ini terlalu membuat mimpi buruknya naik ke permukaan, dalam segi fisik, Sasuke nyaris mirip 74 persen dengan si bajingan itu, ini buruk dan ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria ini. Tidak mau. Ini seperti mengulang kejadian yang sama, kedua kakinya bergerak gelisah, ia harus pergi. "Maaf aku—"

"Aku tahu masalahmu."

Emeraldnya membulat, gerakan Sakura yang akan berdiri dari duduknya terhenti saat Sasuke menautkan jari-jarinya di depan bibir, ekspresi pria itu kelewat serius jika hanya untuk mengobrol santai, dan ini membuatnya takut. Apa maksud ucapannya tadi? Apa dia mengetahui fobianya? Apa... dia memang orang yang tepat untuk berbagi masalahnya? Mengobati androfobianya? "Maaf, apa maksudmu?"

"Gerak gerikmu bukan mencerminkan bahwa kau gugup dalam hal menyukai atau cinta dan sejenisnya saat berhadapan dengan pria, melainkan takut, ketakutan yang sangat besar." Oniks itu tidak lagi terlihat karena pemiliknya tengah memejamkan mata, tetapi sesaat kemudian kembali menampakkan wujudnya. "Fobia terhadap lawan jenis yang dialami wanita.." ucapnya kemudian dan membuat Sakura membatu seketika.

"Androfobia, benar?"

Bagaimana dia bisa tahu?

Sasuke menghela napas, ia memang pernah membacanya di internet, gerak gerik Sakura sama persis seperti apa yang ditulis dalam artikel tersebut. Sakura tidak merona, juga tidak terlihat salah tingkah saat ia tatap, berbeda dengan beberapa wanita yang pernah ia ajak bicara dan terang-terangan menunjukkan ketertarikan. Emerald itu terlalu menampilkan rasa takut yang teramat besar, mau tak mau ia juga ikut merasa bersalah. Ia akhirnya mengerti apa masalah wanita ini tanpa harus diberitahu, dan benar apa kata Naruto. Ia harus bekerja keras di sini.

Sakura sendiri tetap berkutat dengan pikirannya, mengapa pria itu tahu? Apa ketakutannya terlalu mencolok hingga dia menyadarinya? Seharusnya... jangan sampai tahu. Ini memalukan. Sampai Sasuke kembali membuka suara, dan lagi-lagi membuat detak jantungnya seakan berhenti.

"Membutuhkan bantuan?"

.

.

.

.

.

Langit-langit kamarnya yang dihiasi stiker bintang-bintang kecil kini terasa berbeda, ada sesuatu yang membuat bintang-bintang itu redup, meskipun Sakura sudah mematikan lampu kamarnya dan biasanya stiker itu akan bersinar seperti bintang sungguhan, tapi kali ini berbeda. Ia meraih gulingnya dan merubah posisi tidurnya menjadi menyamping, perkataan pria itu terus terulang di dalam kepalanya, seolah-olah terekam jelas setiap kata yang pria bernama Sasuke itu ucapkan. Sakura memang membutuhkan bantuan, ia butuh seseorang yang dapat mengerti fobianya, mengobatinya, menjadi obat baginya. Sehingga membuat Sakura kembali terbiasa akan kehadiran seorang pria.

Tapi,

Apa benar Sasuke orang yang tepat?

Ia mengigit bibir bagian dalamnya gemas, pria itu mengerti tentang fobianya, menebak dalam sekali pertemuan itu adalah hal yang menakjubkan. Sifat dewasa dan pembawaan yang tenang itu mau tak mau membuat Sakura terpesona, meskipun rasa takut lebih mendominasi saat tadi. Ini gila, kenapa ada pria dengan tingkat kepekaan yang tinggi seperti si raven itu?

"Aku mengerti masalahmu, kau bisa datang ke tempatku jika suatu saat berubah pikiran, dan aku akan membantu."

Sakura kembali berguling ke arah lain. Jika memang pria itu adalah orang yang tepat untuk menjadi obatnya, maka untuk apa menunggu? Meminta bantuannya bukankah tidak masalah? Lagipula pria itu yang terlebih dulu menawarkan. Tapi, sesuatu mengganjal di hatinya. Bagaimana jika ia kembali salah memilih? Bagaimana jika Sasuke adalah pria yang memanfaatkan fobianya untuk hal buruk?

"...dan aku juga membutuhkan bantuanmu."

Bantuannya, apa yang bisa ia lakukan untuk membantu Sasuke? Bukankah dia terlihat normal-normal saja? Lalu, bantuan apa yang dia maksud? Kenapa juga dia bisa menawarkan bantuan tanpa berpikir panjang? Apa dia juga memiliki masalah semacam fobia sepertinya? Tapi jika dilihat dari gerak geriknya, Sasuke itu normal, dia sama sekali tidak menunjukkan tingkah laku mencurigakan... lantas, apa?

"Aku akan gila." gumamnya pelan, ia menutupi wajahnya dengan bantal. Karin benar, ketakutannya tidak akan pernah hilang jika ia tidak berusaha, dan ini adalah saat yang tepat baginya untuk memulai. Sakura bangkit, mengambil sesuatu di atas meja tempatnya bekerja untuk menulis novel, dan menatap sebuah kartu nama dalam diam. Ia menarik napas cukup panjang kemudian menghembuskannya ke udara, semoga ini bukanlah awal yang buruk.

.

.

.

.

.

Ini sudah masuk hari ke-3, ia menghitungnya dengan benar dan tentu tidak salah. Wanita itu tidak datang, dia tidak menerima tawaran bantuan darinya. Apa ini berarti ia kehilangan obatnya? Obat untuk mengatasi masalahnya?

Sasuke menggeram rendah, ia melipat kedua tangannya di atas meja, menjadikan tangannya sebagai bantal untuk menumpu kepalanya yang terasa sangat berat. Pekerjaannya menumpuk saat ini, dan akan sangat mustahil bagi Sasuke untuk bisa keluar walau hanya sebentar. Ia ingin menanyakan pada Naruto di mana tempat tinggal Sakura, ia yakin bahwa ia akan meledak sebentar lagi, wanita itu terlalu berdampak besar hanya dalam sekali pertemuan.

Bayang-bayang saat angin halus bertiup dan membuat rok itu tertarik ke atas, saat Sakura mengigit bibir bagian bawahnya, saat melihat kedua manik emerald itu menatap tepat ke arahnya dengan tatapan terkejut. Sasuke kembali menggeram sedikit lebih keras, ia ingin melihatnya lagi. Hanya karena gerakan kecil wanita bernama lengkap Haruno Sakura itu bisa membuat panas tubuhnya seketika meningkat adalah hal yang luar biasa. Darahnya berdesir dan berkumpul di satu titik salah satu organ tubuhnya, ia membutuhkan wanita itu.

Sesuatu yang pernah hilang itu, telah kembali. Dan pemegang kendali penuh atas tubuhnya saat ini hanyalah si merah muda, ia harus bertemu dengan wanita itu lagi. Harus. Suara pintu diketuk membuat Sasuke sontak menegakkan punggungnya, ia mendecih pelan, disaat seperti ini mengapa selalu ada orang-orang yang mengganggu ketenangannya? "Hn."

Sosok wanita berambut coklat ikal sepunggung memasuki ruangannya, ia tersenyum sopan seraya membungkukkan sedikit tubuhnya sesaat. "Maaf menganggu Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda." ucapnya dengan nada suara rendah.

Alisnya mengkerut, "Siapa?"

"Beliau hanya bilang bahwa ini penting." sorot mata sang Sekretaris itu berubah menjadi sedikit bergetar takut ketika aura hitam seketika mengelilingi atasannya. Ia tahu betul bahwa Uchiha bungsu ini sangat benci jika ada tamu yang datang tanpa diundang, ataupun tamu yang datang tanpa memberitahu atau membuat janji terlebih dahulu. "Bag—"

"Rekan bisnis?"

"Sepertinya bukan, Pak." Sekretaris itu menggaruk pipinya yang tidak gatal, bagaimana ia harus menjelaskan? "Itu... dia memiliki rambut merah muda."

Oniksnya membulat, ia hanya mengenal satu orang yang memiliki rambut merah muda dalam hidupnya. Seorang wanita yang baru-baru ini mengusik pikirannya, mungkinkah itu... Ia sontak menegakkan punggungnya, berdeham sejenak sebelum akhirnya berkata. "Antarkan dia ke ruanganku."

.

.

.

.

.

Sakura tersenyum pada wanita yang mengantarnya ke depan pintu ruangan yang katanya adalah ruangan sang atasan, yaitu orang yang saat ini ia cari. Ia menatap kepergian wanita tersebut dan kembali menatap pintu di depannya. Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan, ayo Haruno! Ini pasti akan berjalan baik-baik saja, cukup ajak pria itu bicara tanpa mendekatinya, kurangi kegugupanmu dan jangan terlalu banyak basa-basi. Setelah itu kembali pulang.

Tangannya yang menyentuh kenop pintu bergetar kecil, keringat perlahan tapi pasti mulai mengalir di pelipisnya, ia gugup, terlampau gugup, ini adalah kali kedua ia akan bertatap muka dengan seorang pria yang sejak 3 hari lalu sukses membuatnya seakan ingin meledak. Menelan saliva takut, ia mulai menarik kenop pintu ke bawah dan mendorong kayu dengan lapisan cukup tebal itu perlahan. "Permisi."

Di sana, seorang pria dengan aura sensualnya yang tinggi duduk di atas kursi, menghadap tepat ke arah pintu dengan senyum kecil di wajahnya. Jantung si merah muda seketika seolah akan meloncat dari tempatnya, bersyukur Sakura sesegera mungkin menstabilkan rona wajahnya dengan mencubit lengannya keras. Ia gugup, entahlah, mungkin bisa dibilang takut. Namun, ketika melihat kedua oniks di depan sana menatap lembut padanya mau tak mau membuatnya sedikit rileks. "Um, hai." Ia menutup pintunya tanpa berbalik, dan menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Masih mengingatku?"

Sasuke tersenyum lebih lebar, "Tentu." Ia berdiri dan berjalan mendekat ke arah Sakura yang berdiri tepat di depan pintu, sedikit menjaga jarak dengan berada 5 langkah kaki dari Sakura. Ketakutan wanita itu masih sangat bisa ia rasakan, terlihat jelas bahwa emerald indahnya melebar kaget ketika ia mendekat. Sasuke menghela napas, "Tak perlu takut, aku tidak akan memakanmu." ucapnya seraya memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana.

Kekehan kecil yang berasal dari Sakura terdengar dalam ruangan tersebut. "Maaf, aku lupa bahwa kau memiliki kepekaan yang tinggi." jawabnya, ia kembali mencubit lengannya sebelum berbicara. "Jadi... um ya, aku kemari untuk membicarakan soal saling membantu."

Sasuke mengangguk kecil, "Aku tahu." Ia berjalan mendekat ke arah sofa berwarna hitam di samping jendela yang berada dalam ruang kerjanya, dan berbalik, menatap Sakura yang memandangnya dengan raut wajah bingung. "Duduklah. Aku akan sangat tidak sopan jika membiarkan tamu ku terus menerus berdiri."

Sofa, sofa itu hanya cukup untuk dua orang, itupun dengan jarak di antara keduanya yang cukup dekat. Itu buruk, dan Sakura tidak mau mengambil resiko jika nantinya ia kelepasan menampar atasan di perusahaan ini jika androfobianya secara mendadak meningkat. "Sekali lagi, maaf, kau tahu apa masalahku." jawabnya berusaha sopan. "Cukup seperti ini."

"Berusahalah."

Alisnya mengernyit, "Apa?"

"Berusaha, dimulai dari hal-hal kecil. Seperti halnya mencoba untuk berada sedikit lebih dekat dengan pria." jawab Sasuke, kedua oniksnya berubah serius, "Anggap ini semacam terapi, jadi duduk." ucapannya sukses membuat tengkuk Sakura tegang, pria itu benar, tujuan utamanya kemari adalah untuk menerima obat, dan Sasuke-lah obatnya. Melihat Sakura mulai mendekat ke arahnya membuat senyum tipis Sasuke kembali tercetak, pria itu menepuk tempat kosong di sebelahnya dan mengangguk meyakinkan.

Ia duduk perlahan di sana, dengan jantung luar biasa berdetak lebih cepat. Ini gila, tapi ia harus mencoba, Sasuke hanya berada 2 jengkal tangan darinya, dan ini adalah peningkatan yang luar biasa dalam hidupnya selama 3 tahun terakhir, ia kembali bisa duduk bersama lawan jenis, dalam waktu singkat. Senyumnya mengembang meski tipis, sangat tipis. "Uh, ini—maksudku maaf, aku pasti terlihat sangat aneh sekarang." cicitnya, Sakura kembali mencubit tangannya sedikit lebih keras.

Sasuke bersandar pada sandaran sofa di belakangnya, tanpa diberitahupun ia tahu, sangat tahu bahwa wanita itu sangat takut berada di dekatnya. Tubuh kecil Sakura terlihat bergetar ketika ia bergerak, meskipun hanya mencari posisi nyaman untuk bersandar, "Hn." jawabnya, Sasuke melirik wanita di sebelahnya sejenak, dan kembali menatap lurus. "Kau kemari untuk bantuanku 'kan?" Sakura mengangguk kecil, dan Sasuke mendengus menahan tawa. "Tapi kuharap kau tidak lupa, apa yang harus kau lakukan untuk mendapatkannya."

"Well, yeah." Jari jemarinya bergerak bertautan di atas pangkuannya, Sakura terus berbicara tanpa menatap lawan. Lebih tepatnya takut untuk menoleh ke samping. "Membantu masalahmu, aku tahu itu."

"Hn." Sasuke membuka telapak tangannya ke arah Sakura, membuat alis wanita Haruno itu mengkerut bingung. "Kita mulai dari yang paling awal, sentuh tanganku."

"Kau gila?" Sakura sontak menoleh dan menutup bibirnya dengan telapak tangan, nyaris memekik, ia kelepasan berkata cukup kasar. Oh tidak, berharap saja bahwa Sasuke tidak akan melemparnya dari sini. "Maaf, maksudku, aku itu—" dan selanjutnya yang sangat tidak ia bayangkan adalah Sasuke tertawa cukup nyaring, kedua kelopak mata pria itu menyipit dilengkapi dengan Sasuke yang memegangi perutnya sendiri. "Ini serius, tuan."

"Aku tahu, aku tahu." Sasuke mengusap permukaan kulit wajahnya, mencoba untuk meredakan sesuatu yang menggelitik perutnya secara tiba-tiba tadi. "Nona, tanganku cukup bersih jika halnya kau takut bahwa aku baru saja buang air tanpa membilasnya."

Sakura berekspresi jijik, "Kau jorok."

"Hanya perumpamaan." Sasuke mendengus pelan, ia kembali membuka telapak tangannya, dan mengarahkannya tepat di depan Sakura yang kini menatap penuh ke arahnya. "Cukup sentuh, dan biasakan."

Sakura terdiam sejenak, cukup lama sebenarnya. Ia hanya memandangi telapak tangan yang terbuka di hadapannya dalam diam, sampai akhirnya tangan kanannya bergerak, mendekati telapak tangan yang lebih besar dari ukuran miliknya. "Kau... serius?" Melihat Sasuke mengangguk, Sakura refleks menelan salivanya takut. Ia 75 persen takut, dan 25 persen gugup, ini membuat jantungnya kembali berpacu dengan cepat, emeraldnya berulang kali menatap Sasuke dan telapak tangan itu bergantian. Sampai kulitnya benar-benar merasakan sentuhan lembut dari permukaan kulit telapak tangan Sasuke.

Sasuke sendiri memejamkan matanya, merasakan sensasi menggelitik kulit tangannya di sana. Sakura menyentuhnya dengan sangat perlahan, seolah berhati-hati karena takut kulitnya akan terluka jika disentuh terlalu keras. Oh Tuhan, ini bahkan hanya sentuhan kecil di telapak tangannya, tapi kenapa... kenapa berhasil membuat darahnya berdesir? Oniksnya kembali terbuka, tetapi tidak lagi menampilkan kelembutan seperti saat pertama kali. Itu adalah tatapan yang mulai didominasi oleh nafsu. Ini gawat. Kendalikan dirimu Uchiha, wanita itu membutuhkanmu sebagai obat, dan ia juga membutuhkan si merah muda sebagai obat. Jangan bertindak di luar kendali.

Sakura mengelus telapak tangan yang memiliki ukuran lebih besar dari miliknya dengan sangat perlahan, tangan pria itu lembut, meski terasa sedikit kasar karena mungkin para pria lebih sering melakukan pekerjaan berat, tapi ini berbeda, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini memang benar, tapi melihat Sasuke memejamkan matanya dengan alis mengkerut membuat pergerakannya terhenti. "Maaf... apa aku menyentuhmu terlalu keras?" pertanyaan bodoh, tapi ini sungguh membuatnya merasa tidak enak, ekspresi Sasuke terlihat seperti menahan sesuatu. Bisa saja pria itu kesakitan karena pergerakannya.

"Uh... tidak." Kelopak matanya kembali terbuka, menatap Sakura dengan ekspresi ketakutannya seraya menahan sesuatu yang berkumpul pada titik kedutnya di bawah sana. Ini gila, pengaruh sentuhan wanita itu terlalu besar. Jika dilanjutkan, ia yakin bahwa wanita itu akan pulang dengan dipenuhi ruam merah di lehernya, memikirkan itu saja sudah membuat Sasuke merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Sial! "Untuk hari ini, mungkin cukup sampai di sini saja."

Benar dugaannya, pria itu merasa kesakitan akibat sentuhannya. "Aku tidak bermaksud menyakitimu, maaf." Ia menunduk seraya mengigit bibir bagian dalamnya, merasa bersalah. Namun yang ia dapat adalah sebuah sentuhan lembut pada pucuk kepalanya, membuat ia seketika melenjit kaget.

"Kau tidak menyakitiku, tapi ada sesuatu yang membuat terapimu cukup akhiri, untuk hari ini." ucapnya pelan, celananya semakin terasa sempit, ia kelepasan menyentuh wanita itu. Sekali lagi, alarm pertanda bahaya berderung keras dalam diri Sakura, ini pertama kali sejak 3 tahun lalu seorang pria menyentuh dirinya, salah satu anggota tubuhnya. Sasuke menghela napas pelan saat Sakura secara cepat berdiri dengan raut wajah panik, ia harus berpikir sesuatu yang dapat meredakan panas tubuhnya. Harus. "Maaf." ucapnya pelan.

Sakura memejamkan kelopak matanya, tadi itu adalah serangan mendadak baginya yang menderita androfobia, sentuhan ringan Sasuke di kepalanya membuat tubuhnya seketika bergidik takut. Ini gila, mereka bahkan baru saja bertemu 2 kali, dan sudah saling menyentuh—meski hanya sentuhan biasa. Sudah ia duga bahwa ini bukanlah hal yang baik. "Aku... kurasa, aku harus pergi." Sakura dengan cepat berjalan ke arah pintu, sebelumnya ia sempat menoleh pada Sasuke dan tersenyum tipis—meski senyuman gugup bercampur takut lebih mendominasi, "Terimakasih, Uchiha-san."

Dan Sasuke tidak akan pernah tahu bahwa senyuman wanita Haruno tersebut mengandung arti bahwa ia tidak akan pernah kembali ke sini.

.

.

.

.

.

Sahabatnya saat ini mirip seperti pria yang baru saja dipecat dari pekerjaannya, dan merasa putus asa sehingga akan mengakhiri hidup dengan meminum bir sebanyak-banyaknya. Naruto tahu bahwa ia hanya mengkhayal, karena nyatanya Sasuke masihlah tetap menjadi pemimpin di perusahaannya, hanya saja keadaan pria tampan tersebut yang jauh dari kata pemimpin.

"Satu lagi."

Naruto menghela napas gusar, "Tidak Sasuke! Sudah cukup, kau sudah terlalu mabuk!" ucapnya seraya memberi kode pada sang bartender untuk berhenti memberi pria di sampingnya minuman beralkohol tingkat tinggi, ia memijat pelipisnya yang berkedut nyeri. Ia punya banyak pekerjaan di kedai ramennya, dan Sasuke dengan seenak hati menariknya menuju klub malam seperti saat sekarang ini, disaat Naruto harus memikirkan banyak hal ini itu, Sasuke sendiri asik dengan alkohol dan halusinasinya. "Kau akan tumbang sebentar lagi."

"Tidak aku tidak." Sasuke melipat tangannya di atas meja, suara dentuman musik yang menyala dengan kencang di segala penjuru ruangan seakan tak terdengar, pendengarannya seolah menuli, dan satu titik fokusnya saat ini adalah siluet merah muda yang menghilang sejak 2 minggu yang lalu. Wajahnya memerah karena pengaruh minuman yang ia teguk lebih dari sebanyak 2 botol, ini gila memang, tapi ia sudah terlalu frustasi. Wanita itu tidak lagi datang padanya, dan terlebih lagi Sasuke tidak tahu di mana wanita Haruno itu tinggal, Narutopun sama, hanya sepupu si pecinta ramen-lah yang tahu. Namun sayang, Karin tidak mau memberitahunya.

Kepalanya berputar, sayup-sayup ia bisa mendengar bahwa beberapa suara khas wanita mendekat padanya, wanita penghibur, terdengar jelas dari nada bicaranya yang kelewat seolah menggoda. Ia mendongak dan melihat 3 wanita nyaris tidak berpakaian mengelilinginya dan juga Naruto. Ia memang mabuk, tapi bukan berarti ia akan tergoda oleh bentuk tubuh terbuka seperti yang saat ini ia lihat. Sasuke hanya membutuhkan Sakura untuk membuat darahnya terasa mendidih, hanya wanita itu. "Uh... apa?"

Naruto menepuk keningnya, ia tersenyum kikuk pada ketiga wanita penghibur yang berada di sekitarnya. "Maaf, tapi kami tidak." Ia tertawa kaku, bayang-bayang Hinata sang istri yang tidak memberinya jatah bulanan lebih menyeramkan daripada ia harus melakukan seks dengan salah satu jalang di sini.

"Aw sayang jangan takut." Wanita berambut biru laut tertawa menggoda, "Kami hanya akan menemanimu."

"Sampah." Ketiganya, termasuk Naruto menatap pria raven yang terlihat sangat berantakan saat ini dengan tatapan terkejut, Sasuke berdiri dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana, memandang jijik kepada 3 wanita berpakaian nyaris telanjang di depannya. "Hei jalang, kau dengar? Dasar sampah."

"Sasuke!" Naruto sontak berdiri dan menarik Sasuke untuk keluar dari klub setelah menaruh beberapa lembar uang di atas meja, sahabatnya mabuk berat dan ia yakin sebentar lagi Sasuke akan mengoceh segala sesuatu yang hanya akan menyakiti hati yang mendengarnya. Tapi lain halnya dengan Naruto, ia sudah terbiasa, dan mungkin hanya dirinyalah yang terbiasa akan kepribadian Sasuke yang berubah saat pria itu sedang berada di bawah pengaruh alkohol.

Sasuke terus meracau selama perjalanan menuju parkiran, sedangkan Naruto hanya mampu memutar kedua manik biru langitnya bosan. Apapun yang pria ini ucapkan adalah hal yang tidak penting sama sekali, dan ia meruntuki Sasuke dalam versi mabuk yang sangat menyebalkan. Hingga pria raven itu berhenti melangkah, dan menutup bibirnya dengan punggung tangan, oh Naruto sangat mengerti. Sasuke akan mengeluarkan isi perutnya.

"Oh shit! Sasuke, aku bersumpah akan mencabut bulu kakimu jika kau sudah sadar!" geramnya seraya menepuk-tepuk punggung Sasuke, sedangkan tangannya yang lain meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Menunggu sambungan terhubung, sampai akhirnya suara seorang wanita khas bangun tidur terdengar dari dalam ponselnya. "Mata empat! Kau yang harus bertanggung jawab atas sahabatku! Sialan, aku jadi repot karena ini!"

Karin yang berada di seberang sana melotot, "Apa maksudmu?! Dan, apa salahku?!" jawabnya tak kalah keras.

Naruto menghela napas cukup panjang, kemudian beralih menatap Sasuke yang menyandarkan dirinya pada tiang listrik, pria itu telah selesai dengan acara membuang isi perutnya, dan saat ini Sasuke terlihat sedikit lebih baik. Hanya sedikit. Ia yakin Sasuke akan tumbang dalam hitungan menit. "Sasuke gila karena wanita itu."

Tidak ada jawaban, Karin sendiri terdiam cukup terkejut. Sasuke, pria yang ia tunjukkan pada Sakura. Ia akhirnya mengerti, "Oke, tunggu sebentar, bisa kau jelaskan?"

Raut wajah Naruto berubah menjadi lebih serius, pria yang sudah resmi menikah sejak 5 bulan yang lalu itu mendengus menahan kesal, "Besok, temui aku di kedai. Jam dua dan jangan terlambat."

.

.

.

.

.

Lagi-lagi, ia hanya mampu menatap langit-langit kamarnya yang ditempeli stiker. Kepalanya terasa berat, dan apapun yang ia lihat saat ini seolah terbelah menjadi dua. Sakura bangkit bersandar pada sandaran ranjang, mengambil sehelai tisu dan kembali membersihkan hidungnya yang telah memerah, ia demam, bagus sekali. Hanya karena menyentuh telapak tangan pria itu dapat berdampak buruk bagi tubuhnya, tubuh seorang wanita yang mengalami androfobia.

Ia beralih melirik beberapa macam obat yang tergeletak di atas meja, obat-obat itu hampir habis dan panas tubuhnya belum mereda. Kedua orang tuanya berada jauh dari tempatnya, Karin satu-satunya teman terdekat saat ini sedang sibuk mendesain beberapa pakaian untuk direkomendasikan pada sang ibu, teman pria? Jangan bercanda, Sakura bisa saja kembali demam tinggi seperti sekarang jika kembali berhubungan dengan pria.

Tenggorokannya gatal dan Sakura yakin sesaat lagi akan terdengar suara yang mengerikan dari mulutnya, isi lemari makanannya kosong sedangkan perutnya berteriak memohon segera diisi. Sempurna. Keningnya ditempeli plester penurun panas, dan kedua matanya sedikit memerah, oh ia sungguh menderita seorang diri di sini. Sampai sebuah suara bel pertanda seseorang berada di depan pintu berbunyi cukup nyaring, Sakura mendesah lega, ia cukup yakin bahwa itu adalah Karin. Karena hanya wanita itulah yang mengetahui di mana tempat ia tinggal.

Sakura berdiri, setelah sebelumnya melewati kaca yang dipasang di dekat pintu, penampilannya buruk, sangat buruk, tetapi siapa yang perduli? Ini hanya Karin, dia sudah biasa melihat Sakura dengan penampilan tidak mandi 2 hari sekalipun. Ia memutar kenop pintu utama di apartemennya, dan membuka pintu tersebut. "Karin ka—"

Emeraldnya membulat, itu bukan Karin melainkan seorang pria dengan stelan kaos putih berbentuk v di bagian leher dan sedikit kelonggaran di tubuhnya, serta celana hitam. Kedua oniks di depan sana juga ikut membulat saat melihat penampilannya. Shit! Seharusnya Sakura berganti baju tadi. Lihatlah, celana pendek berwarna abu serta atasan piyama berkancing dengan corak teddy bear lengan pendek, oh jangan lupakan 2 kancing teratasnya yang sengaja Sakura buka karena ia sempat kepanasan di dalam kamarnya. Double shit!

"Kau..." Sasuke menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, berusaha untuk tidak menatap belahan dada wanita di hadapannya yang terbuka, panas tubuhnya kembali meningkat, ini sungguh di luar dugaannya. "...Sebaiknya—"

Pintu apartemen dibanting dengan kencang dari dalam, membuat Sasuke menutup kelopak matanya sejenak ketika merasakan angin berhembus tepat saat pintu di depannya tertutup. Ia menghela napas lega, setidaknya ia tidak melihat Sakura berlama-lama dengan pakaian nyaris menampilkan bagian atas dada tadi. Sasuke mengusap permukaan kulit wajahnya, mendapat kejutan mendadak seperti itu mau tak mau membuat ia harus ekstra menahan diri untuk tidak menarik Sakura ke dalam kamar, dan... dan... Tidak Uchiha, kau tidak segila itu.

Sakura bersandar pada pintu utama, sesegera mungkin membenarkan kembali letak kancing bajunya, ini gila, pria itu nyaris melihat bra yang ia pakai. Dan untuk apa pria itu mendatangi kediamannya?! Kemudian yang terpenting adalah... dari mana dia tahu Sakura tinggal di sini? Ini gawat, pria itu berbahaya dan benar-benar tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ia memejamkan kelopak matanya sesaat, berpikir bagaimana dan apa yang harus ia lakukan di hadapan pria itu, bagaimana... bagaimana. Sial, sakit kepalanya kembali datang, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.

Pernapasannya memberat, Sakura memegangi kepala belakangnya yang kembali terasa seperti dipukul dengan sesuatu benda tumpul tak kasat mata. Ia membuka kembali matanya, melihat benda-benda di dalam apartemennya terbelah menjadi dua, bagaimana ini? Di luar ada seorang pria yang menunggu pintu terbuka, sedangkan ia di sini sedikit kesusahan untuk menstabilkan kondisi tubuhnya. Sakura berdiri penuh, berusaha untuk tidak terlihat baik-baik saja meski sangat mustahil. Membuka pintu apartemen dan mendapati pria yang sama masih berdiri di tempat yang sama.

Sebelah alis Sasuke terangkat, bohong jika ia tidak bisa membedakan mana seseorang yang sepenuhnya dalam kondisi baik, dan seseorang yang sedang dalam kondisi kurang sehat. Sakura, wanita itu berkeringat, wajahnya memerah dan ia yakin itu bukan rona merah karena menahan malu, melainkan demam, dan oh jangan lupakan plester penurun panas yang terpasang di kening wanita itu. "Kau... sakit?" tanyanya, yeah meskipun tanpa bertanyapun ia sudah tahu jawabannya.

Sakura mengangguk kecil, sedikit menjalan mundur untuk mempersilahkan Sasuke masuk. "Begitulah, silahkan mas—ahachi!" Ia refleks menutup bibirnya dengan telapak tangan, tersenyum kecil seraya terkekeh. "Maaf."

Sasuke terdiam, ia tidak tahu apa yang wanita ini lakukan, dalam kondisi fisik seperti ini Sakura hanya mengenakan celana dan atasan berlengan pendek. Oniksnya menggelap, "Kau harus diobati." ucapnya seraya melangkah masuk, menduduki salah satu sofa di sana setelah Sakura memberi kode agar ia duduk.

"Yeah, aku sudah menghabiskan beberapa obat dan kau tahu hasilnya." jawab Sakura, berniat melangkah menuju dapur jika saja Sasuke tidak memanggilnya. "Sebentar, aku akan membuatkanmu sesuatu."

"Tidak." Sasuke berdiri, hendak mendekat ke arah Sakura, tetapi melihat wanita itu melangkah mundur setiap ia mendekat, Sasuke berhenti dan menghela napas pelan. "Duduk, dan biarkan aku yang menggunakan dapurmu."

Sakura menelan salivanya gugup, pria itu terlihat sungguh-sungguh tapi ia ingat sesuatu. "Persediaan bahan makananku sedang kosong, kau tidak bisa membuat sesuatu yang aneh-aneh di sini." Ia menutup bibirnya dengan tangan kanan, sedetik kemudian terbatuk karena tenggorokannya yang terlampau gatal. "Sangat tidak sopan jika aku membiarkan tamuku bekerja." lanjutnya dengan suara parau, ah sial kondisi fisiknya sangat tidak mendukung saat ini.

Sasuke menggidikkan bahunya, dan tersenyum kecil. "Tidak masalah." dan berjalan menuju dapur, melewati Sakura yang berdiri cukup jauh darinya. Meski dalam keadaan tak sehat, wanita itu tetap berusaha untuk menjaga jarak dengannya, atau mungkin dengan semua pria di luar sana. Oniksnya meneliti dapur kecil yang kini berada di hadapannya, kemudian berpindah untuk melihat lemari es dan sudah ia duga bahwa di dalam sana tidak terdapat satupun bahan makanan. Sasuke mendesah kecil, dan kembali ke ruang tamu, mendapati Sakura yang duduk bersandar dengan kedua mata yang terpejam. "Aku akan keluar sebentar."

Ia kembali membuka mata, melihat Sasuke membuka pintu dan hendak keluar. "Tunggu, kau akan pulang, sekarang?"

"Hanya sebentar."

Sakura mendesah cukup panjang, perasaan lega bercampur bingung kini memenuhi pikirannya. Lega karena pria itu pergi, dan bingung ke mana pria itu akan pergi. Pasalnya, pria itu baru saja sampai ke sini dan akan kembali pergi, apa orang sibuk selalu seperti itu? Entahlah. Bukan berarti Sakura ingin pria itu di sini, oke baiklah, ia memang ingin ditemani, tapi bukan oleh lawan jenis. Bukan.

Ia menghela napas, sebelum mencari posisi nyaman untuk berbaring di atas sofa. "Semoga dia tidak kembali ke sini."

.

.

.

.

.

Bubur di dalam mangkuk itu masih terlihat mengepul menghasilkan uap halus, di sampingnya terdapat beberapa obat dengan merek ternama yang dapat diuji kualitasnya. Sakura mengedarkan pandangannya, kemudian berdiri dan berjalan ke segala penjuru sudut apartemennya. Ia tidak ada di sini, pria itu tidak ada di sini. Sakura memasuki dapur, dan melihat beberapa perabotan alat dapurnya yang masih basah di samping wastafel pencuci piring, pertanda bahwa mereka baru digunakan beberapa menit yang lalu. Lalu ke mana perginya Sasuke?

Ia memijat pelipisnya pelan, pria itu sangat aneh, dengan seenak hati datang dan pergi memasuki apartemennya tanpa permisi. Lain kali, ingatkan Sakura untuk selalu mengunci apartemennya. Ia kembali duduk di atas sofa ruang tamu, memandangi bubur yang terlihat lezat itu mau tak mau membuatnya menggigit bibir, ia kelaparan, tapi bagaimana jika di dalam bubur itu tercampur sebuah obat tidur atau bahkan racun? Ah tidak.

Perutnya berbunyi. Sakura menutup kedua matanya dengan telapak tangan. "Berdoa saja." gumamnya, kemudian perlahan menyendok bubur tersebut dan memakannya, sebuah senyuman senang terpatri di wajahnya. "Enak."

Ah, ia lupa untuk berterimakasih pada Sasuke, atas makanan dan juga obat demam yang pria itu belikan untuknya. Lain kali jika bertemu lagi, ia harus benar-benar berterimakasih dan meminta maaf atas apa yang ia lakukan saat di kantor 2 minggu lalu. Ya, lain kali jika mereka bertemu lagi, tapi sepertinya mustahil.

Ponselnya bergetar sekali, seseorang mengirimkan pesan padanya, baiklah ia yakin bahwa ini Karin, pasti Karin.

'Maaf jika makanannya tidak enak, aku... hanya pernah membuatnya sekali. Dan juga obat, habiskan jika kau memang ingin sembuh. Ini nomorku, jika membutuhkan sesuatu katakan saja, dan jangan menyusahkan diri sendiri.'

Sasuke.

Ia melotot, ini Sasuke? Tunggu, dari mana pria itu tahu nomor ponselnya?! Apa... apa yang terjadi saat ia tertidur? Sakura menepuk keningnya sendiri merasa bodoh, ia menaruh ponselnya di atas meja dekat ia tidur, dan Sakura tidak menggunakan kata sandi untuk ponselnya, tentu saja Sasuke akan mudah membuka ponselnya dan melihat nomornya. Ia mendecih pelan dan mengetikkan sesuatu untuk membalas.

'Dasar tidak sopan, kau menyebalkan.'

Tak lama, Sakura tersenyum tipis, pria itu pria yang baik, dia bahkan tidak membangunkan Sakura hanya untuk sekedar berpamitan dan memilih mengirim pesan singkat, atau mungkin Sakura yang terlalu nyenyak tidur di atas sofa? Dan sepertinya tidak masalah jika ia mencoba untuk menerapi fobianya pada Sasuke, kemudian bisa saja ia menaruh hati pada... pria itu.

Uhuk!

"Air, air, aku butuh air."

.

.

.

.

.

'Dasar tidak sopan, kau menyebalkan.'

Sasuke tersenyum kecil melihat balasan si merah muda, hatinya menghangat hanya karena membayangkan bagaimana ekspresi jengkel wanita itu saat ini. Oh ia memang sangat tidak sopan karena membuka ponsel Sakura dan menggunakan dapurnya tanpa permisi, tapi jika begini ia tidak akan bisa membuatkan Sakura makanan ataupun memiliki nomor ponselnya. Ini kemajuan, hubungan di antara keduanya tidak secanggung seperti saat mereka pertama kali bertemu, dan ia berharap seiring berjalannya waktu, fobia Sakura akan berkurang. Ia juga sepertinya harus berterimakasih pada Naruto karena telah mendesak Karin untuk memberi alamat tempat tinggal Sakura.

Ia bertompang dagu dengan sebelah tangan, menatap layar komputer di ruang kerjanya dalam diam. Bayangan saat Sakura tertidur tiba-tiba terlintas, ia ingat bagaimana halusnya helaian rambut merah muda tersebut saat ia sentuh, bagaimana sempurnanya bentuk wajah Haruno Sakura dari dekat meskipun warna kulitnya sedikit pucat dari biasanya, karena wanita itu sedang kurang sehat. Nekat, ia mengelus pipi yang sedikit berisi itu tadi, beruntung Sakura sedang tertidur sehingga wanita itu tidak meloncat dari tempatnya.

Sasuke telah jatuh terlalu jauh ke dalam pesona Sakura. Bahkan hanya karena posisi tidur wanita itu tadi sore, sukses membuatnya berdebar. Sakura tidak mengganti celana pendeknya sehingga kaki jenjang itu terlihat jelas oleh penglihatannya, piyama longgar yang Sakura kenakan juga sedikit tertarik ke atas sehingga memperlihatkan sedikit perut rata wanita tersebut. Berulang kali Sasuke menelan salivanya untuk mengurangi ketegangan di salah satu organ tubuhnya, tapi tak berhasil. Wanita itu menakjubkan.

Sasuke tersenyum lebih lebar, dan beralih kembali pada layar ponselnya, mengetikkan suatu pesan balasan untuk wanita yang kini memenuhi pikirannya.

'Terimakasih, itu suatu pujian untukku.'

Namun sepertinya, ini tetap tidak akan berjalan dengan mudah. Ditambah lagi, Sasuke belum mengetahui apa alasan Sakura hingga wanita itu sampai mengalami androfobia, dan ia masih belum berani untuk mengatakan masalahnya pada si merah muda.


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Karena berjuang dalam keterbatasan...

...tidak semudah seperti yang dibayangkan."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


A/N:

*Androfobia : fobia unik yang dialami oleh wanita terhadap lawan jenis. Bukan berarti menyukai sesama jenis, wanita yang mengalami androfobia hanya takut pada kaum pria. Sering kali bereaksi dengan gejala degup jantung menjadi kencang, keringat mengalir deras, demam, sulit bernapas. Gejala akan muncul jika wanita itu berhadapan dengan pria manapun, termasuk tukang pos dll yang sebenarnya tidak berbahaya. [Sr: gugel]

Woa, woa, woa, aku buat MC lagi. Kali ini tema dan isinya lebih banyak ke quotes quotes-an /ngok HAHAHAHHAHAA /CRAI. Mau nanges baca tulisan sendiri, ancor badai. Alur kecepetan? Gaje? Absrak? *oh yes* rumit? Alay? Bodo amat /nak. Maaf ya manteman, sebenernya aku ingin bahas banyak di sini, tapi kayaknya gaakan muat ;( oke pertama, maaf karena aku sebentar lagi mau UKK buat ke kelas 12 *yeay* jadi beberapa MC yang lain dipending dahulu *senyom biutipul*

Kedua, karena aku juga ga begitu ngerti tentang androfobia, masalah Sasuke itu apa—pernah baca sih di web gejala masalah Sasu itu apa di sini, tapi kayaknya bukan itu deh haha /apaan, jadi ini ngasal dot com, alias cuma mengandalkan imajinasi lebay alay ahk geleuh pokoknya. Kalau ada kesalahan kasih tau ya, typo dan semacamnya, da aku teh masih belajar ;( dan sumpah males baca ulang :")) yakin da pasti ada typo /maksa/ dan abaikan juga judul ya, aku kesulitan cari judul yang klop buat fic ini :")

Spesial thanks to pemilik quote quote di atas yang saya pinjam dan edit edit dikit, ngehe. Saya lupa sumber sumbernya.—

Makasih udah baca :*

Give me your, opinion please? Thank you!^^