Irresponsible Shinobi

Disclaimer © Masashi Kishimoto

Warning: OOC, alur non-canon, Naruto Haki User, Master kontrol chakra, kata-kata kasar, sok suci ga usah baca, flamer silahkan flame! Bikin aku tambah semangat, dont like dont read you bitches!

"Bicara dengan karya. Fuck you flamer!"


Chapter 1:

Siang itu suasana Konoha cerah seperti biasa. Penuh tawa dan kebahagiaan di setiap penduduknya. Di gerbang Desa Konoha, dua orang Jounin berjaga sambil mengobrol ringan. Mereka membicarakan tentang Ujian Chunin yang akan dilaksanakan sebulan lagi, dimana desa Sunagakure juga akan ikut menyemarakan Ujian.

Obrolan mereka terhenti ketika dua orang berjalan ke arah Desa Konoha. Pria berambut putih panjang lancip-lancip dengan garis merah vertikal di bawah matanya. Di sampingnya anak 15 tahun berambut orange jabrik mengenakan baju hitam bergaris orange pada kancingnya dan celana putih selutut. Dua jounin itu segera berdiri dan menatap hormat si pria berambut putih itu.

"Senang anda kembali, Jiraiya-sama," kata salah seorang Jounin dengan hormat. Jounin kedua hanya menatap salah satu Sannin Konoha dengan pandangan kagum.

"Ya. Aku memiliki beberapa urusan di sini." jawab Jiraiya sambil menepuk pelan kepala anak di sampingnya.

"Berhenti menyentuhku dengan tangan kotormu itu Sannin Mesum," kata anak itu sengit. "Entah berapa kali kau melakukan kegiatan kotor dengan tangan busukmu itu. Aku tidak ingin ketularan."

"Menma-sama, kenapa kau berbicara seperti itu kepada Jiraiya-sama?" tanya Jounin penjaga dengan heran. "Terus kenapa rambutmu di cat orange?"

"Siapa kau? Bicara seolah kenal denganku? Dasar ninja busuk tak tahu adat," kata anak itu membuat wajah Jounin menjadi merah menahan marah.

"Abaikan dia," kata Jiraiya pada Jounin itu. "Ini bukan Menma, ini Naruto."

Jiraiya lalu berjalan memasuki Konoha bersama Naruto, meninggalkan Dua Jounin yang masih melongo kaget. Jiraiya dan Naruto berjalan menuju pusat desa, ke sebuah bangunan tinggi yang dikenal dengan Kantor Hokage.

Tiba-tiba Naruto berhenti, berjongkok di depan sebuah toko bahan makanan. Matanya memandang lekat setumpuk susu rasa strawberry di dalam toko. Jiraiya terpaksa ikut berhenti, memandang Naruto sebal.

"Apa lagi sekarang?"

"Belikan aku susu strawberry," kata Naruto sambil menunjuk ke dalam toko.

Jiraiya mendesal kesal. "Ayolah, kita akan menemui Hokage dulu." bujuknya.

"Tidak mau. Kau sudah memaksaku berjalan berpuluh-puluh kilometer," jawab Naruto. "Gula darahku juga sepertinya sudah turun, aku harus minum susu itu."

"Masalah susu bisa ditunda kan?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Karena aku bilang begitu," Naruto memandang Jiraiya mengancam. "Atau aku akan melaporkanmu karena telah membawaku ke sebuah klub, dimana aku dan seorang wanita cantik masuk ke sebuah kamar dan kau hanya tertawa senang sambil mabuk."

Jiraiya langsung pucat. "Oke, aku akan membelikanmu susu. Tapi jangan ucapkan hal itu di depan ayahmu."

"Oke."

'Ya ampun, aku tidak tahu aku seburuk itu ketika mabuk. Dan bocah sialan ini memanfaatkan itu untuk keuntungannya. Sialan!' batin Jiraiya kesal.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua berada di kantor Hokage, berdiri di depan Minato Namikaze yang sedang terkejut.

"N- Naruto.." ucapnya pelan, memandang anak berambut orange di depannya. "Apa kau benar Naruto?"

Naruto membuang asal-asalan kotak susu yang sudah habis lalu mengambil lagi dari kantong plastik besar di tangannya, "Aku tidak tahu mata Hokage sudah rabun. Sebaiknya kau mulai minum susu supaya sehat." katanya malas, lalu meminum susu strawberry di tangannya, "Susu memang minuman paling nikmat."

'Aku setuju, Naruto,' batin Jiraiya dengan pipi memerah. Jelas bukan susu di tangan Naruto yang dimaksud.

"Tapi bagaimana bisa? Kau menghilang 5 tahun lalu, kami bahkan tidak menemukan jejak sedikitpun," kata Minato masih tidak percaya anak sulungnya masih hidup. Dia merasa senang, tapi takut kalau ini hanyalah mimpi.

"Aku menghilang dan muncul sesukaku. Aku sudah besar." jawab Naruto santai.

'Beli susu saja masih minta kepadaku,' kata Jiraiya dalam hati kesal.

Minato akan bertanya lagi ketika Sannin mesum menginterupsinya. "Aku akan menjelaskan nanti, Minato," katanya dengan pandangan serius.

Minato tahu akan situasi, mengangguk pelan. "Jadi, Naruto. Apa kau sudah bisa menggunakan chakra?" tanyanya.

"Ya. Dia bisa," jawab Jiraiya. "Aku merekomendasikan dia diangkat menjadi Genin dan mengikuti ujian chuunin sebulan lagi. Rekomendasi dari Sannin tidak bisa ditolak kan?"

Minato mengangguk "Oke. Aku akan mengurus timmu," kata Minato, melihat tatapan Jiraiya yang penuh arti.

"Aku tidak butuh tim." kata Naruto yang sekarang duduk di jendela sambil minum susu, lagi. "Mereka merepotkan."

Minato memandang Jiraiya bingung. Sikap Naruto di luar perkiraannya. Awalnya ia pikir Naruto akan seperti Menma yang ceria. Tapi malah sebaliknya, ia bahkan belum melihat Naruto tersenyum.

Jiraiya mengangguk lagi.

Minato menghela napas dan memandang Naruto, "Baiklah. Kau sekarang Genin dan akan ikut Ujian Chunin sebulan dari sekarang. Apa kau keberatan, Naruto?"

Naruto berpikir sejenak, "Sebenarnya ada manga yang ingin kubeli. Aku juga sudah ketinggalan jump selama sebulan karena Sannin mesum tidak mengurusku dengan baik."

Minato memandang Naruto bingnung. "Apa kau minta uang saku? Kupikir tadi kau bilang sudah besar."

"Kau menelantarkan anakmu sendiri yang 5 tahun menghilang. Ayah macam apa kau. Sepertinya aku harus mencari ayah baru yang lebih baik,"

"Dia memang seperti itu." kata Jiraiya menenangkan saat melihat wajah Minato yang mematung dan pucat. Jelas terkejut dengan perkataan anaknya.

Setelah Minato memberi ikat kepala konoha dan uang saku pada Naruto lalu memberi tahu alamat rumahnya, Naruto melompat dari jendela, pergi entah kemana.

"Jadi bagaimana kau menemukan Naruto?" tanya Minato langsung ke inti pembicaraan.

Jiraiya tersenyum mendengar pertanyaan Minato. "Bersiaplah terkagum-kagum."

Flashback...

Jiraiya berjalan di puing-puing sebuah bangunan. Ia baru saja menyusup ke Kumogakure mengurus jaringan mata-matanya, dan ia menemukan sebuah desa yang luluh lantak. Bekas pertempuran dimana-mana, mayat-mayat bergelimpangan. Ini semua terlihat seperti sebuah pembantaian sepihak.

"Siapa kau?"

Jiraiya langsung berbalik, menatap remaja berambut orange dengan mata biru kelam yang menatapnya marah. Sialan, ia bahkan tidak menyadari ia di belakangnya.

"Ah, aku hanya dalam perjalanan pulang dari Kumogakure," kata Jiraiya sambil tersenyum. Ia merasakan sesuatu yang aneh dengan anak itu. Wajahnya terlihat familiar.

"Kau yang melakukan semua ini?" tanya anak itu lagi. Kemarahan sangat terasa dalam suaranya.

Jiraiya menggeleng, "Aku tidak tahu apa yang terjadi di sini nak,"

"Dasar pembohong!" ludah anak itu.

Tiba-tiba tubuh anak itu diselimuti api yang menjulang ke langit. Jiraiya menatapnya tertarik. Ia belum pernah melihat anak kecil mengendalikan elemen sehebat ini.

"Hikken!" Sebuah pukulan bola api besar melesat ke arah Jiraiya. Ia membulatkan mata terkejut.

"Earth Syle: Three Wall" Jiraiya dengan cepat menggerakan segel tangan, membuat tiga buah dinding tanah di depannya.

Jiraiya merasakan panas mendekat, dan retakan muncul di dinding tanahnya. Pukulan api itu menembus dinding tanah Jiraiya dan membakar tubuhnya. Mayat dan puing-puing di belakang Jiraiya ikut terbakar, berubah menjadi menjadi abu.

Anak kecil tersenyum puas. Tapi ia segera menundukan kepala ketika Jiraiya muncul di belakangnya, berusaha memukulnya. Ia melompat ke depan, menjaga jarak dari Sannin mesum.

"Aku baru ingat sekarang. Itulah kenapa wajahmu terlihat seperti Minato," kata Jiraiya sambil tersenyum senang melihat penemuannya. "Kau Naruto."

Mata Naruto melebar terkejut. Orang di depannya bahkan tahu masa lalunya. "Kau penguntit! Apa kau mengincarku untuk dibunuh!?." katanya marah.

Jiraiya bingung, Naruto bicara seolah dia adalah orang jahat yang suka berbuat mesum. "Hey, kau harus menenangkan dirimu nak," katanya.

Naruto tidak mendengarkannya. Ia mengangkat tangannya ke arah Jiraiya dan sebuah petir biru turun dari langit.

Jiraiya berusaha melompat, tapi ia tidak bisa menggerakan tubuhnya. 'Aku tidak bisa bergerak!' batinnya sebelum petir menyambar dirinya dengan kekuatan dahsyat.

Asap hitam memenuhi sekitar tubuh Jiraiya. Ia terbatuk pelan. Instingnya memberikan tanda bahaya, ia melihat Naruto sudah berdiri di depannya. Naruto meninju Jiraiya tepat di perutnya, membuat Jiraiya terpental menabrak pohon. Tapi tubuh Jiraiya menghilang dalam asap.

Naruto melihat Jiraiya di atasnya, membawa bola chakra berwarna biru.

"Rasengan!" Jiraiya menghantam tepat di tubuh Naruto, yang langsung menghilang dalam kepulan asap. 'Bunshin?' batin Jiraiya. Naruto sudah berada di atasnya. Kedua tangannya diselimuti oleh api yang besar.

"Enkai Hibashira." Dengan penuh tenaga, ia menghantamkan api itu ke bawah, membuat sebuah pilar api dengan Jiraiya di dalamnya. Api itu menyebar, membakar semua reruntuhan bangunan dan mayat di sekitarnya.

Naruto berdiri di tengah-tengah api itu, menatap bayangan besar di depannya. Sebuah katak besar menatapnya sambil menghisap cerutu. Di atas katak itu, Jiraiya menatapnya dengan wajah kesal.

"Kau bocah sialan. Aku ini Jiraiya, guru ayahmu itu!" kata Jiraiya kesal. Walaupun ia memanggil Gamabunta untuk melindunginya, tapi tangan kirinya sempat terkena sambaran api Naruto. Tak bisa ia percaya, anak itu sehebat ini.

Naruto yang akan menyerang dengan petir menghentikan aksinya. "Jiraiya?" katanya terkejut. Siapa sih yang tidak tahu Sannin mesum dari Konoha.

Jiraiya terlihat senang. "Kau akhirnya ingat. Aku ini sangat terkenal lho. Aku heran kau sampai tidak mengingatku." katanya.

"Kita memang tidak pernah bertemu." jawab Naruto datar.

"Oh? Benarkah? Tapi lupakan hal itu." ujar Sannin mesum. "Kenapa kau ada di sini? Kudengar kau menghilang beberapa tahun yang lalu."

Naruto mengabaikannya dan berjalan menuju hutan. Memasukan tangannya ke dalam saku. Api yang membakar daerah itu perlahan menghilang seiring kepergiannya.

"Hoy Naruto! Kenapa denganmu?" Jiraiya berjalan mengikutinya. Gamabunta menghilang menjadi kepulan asap.

"Jangan ikuti aku. Pergilah seolah kau tidak pernah bertemu denganku." jawab Naruto malas.

"Berhenti disitu, Naruto. Aku memiliki kewajiban untuk membawamu ke Konoha. Aku tidak tahan melihat wajah sedih Minato setiap aku kembali." kata Jiraiya. Ia sudah menemukan anak muridnya yang menghilang. Tidak ada jalan lain baginya kecuali pulang ke Konoha bersamanya.

Naruto menghentikan langkahnya. "Dia bersedih? Lucu sekali ketika dulu dia tidak pernah memandangku," mata Naruto menerawang, mengingat masa lalunya, "Aku bosan. Aku pergi. Aku belum ingin kembali."

"Asal kau tahu Naruto, Minato sangat bersedih ketika kau pergi. Bukan maksudnya juga untuk mengabaikanmu, ia hanya menaruh perhatian pada Menma yang memiliki Kyuubi di tubuhya." kata Jiraiya meyakinkannya, "Pulanglah sekarang. Konoha adalah tempatmu kembali."

Naruto memandang sekelilingnya, reruntuhan bangunan dan mayat gosong bergelimpangan di segala arah. Ia tidak tahu ini desa apa. Ia menghabiskan lima tahun ini berkeliling dunia. Bertemu gurunya, lalu berpetualang lagi. Awalnya ia jarang menemui desa yang sudah luluh lantak. Tapi belakangan ini ia sering melihat pemandangan ini.

Naruto muak melihat semua itu. Awalnya ia berniat mengubah tatanan dunia ini dengan menjadi Hokage, tapi ia tahu, Dunia ini sudah terlalu busuk. Tidak ada cara memperbaikinya selain dengan cara kasar. Tapi ia tidak ingin melakukannya. Tidak ketika tahu ia tak akan mampu melakukannya. Ia memejamkan mata sejenak, lalu berbalik.

Naruto mengangguk "Baiklah."

Flashback End

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya sebelum aku bertemu dengannya. Ia tak mau memberitahunya. Tapi dari pengamatanku, ia memiliki kontrol chakra yang sangat tinggi. Aku bahkan tidak pernah melihatnya menggunakan segel tangan." kata Jiraiya usai menceritakan pertemuannya dengan Naruto. "Tidak hanya itu, ia bahkan mampu mengontrol chakra dalam tubuh lawannya. Ia tidak hanya menghentikan, tapi membekukan chakraku hingga aku tidak bisa bergerak." kata Jiraiya seolah itu hal paling hebat di dunia.

Minato menatap Jiraiya tertarik. "Tanpa segel tangan sedikitpun? Bahkan Hokage Kedua yang memiliki kontrol chakra yang hebat masih memerlukan beberapa segel tangan."

Jiraiya mengangguk, lalu berkata, "Aku belum pernah melihat yang seperti ini, apalagi di usia anak-anak. Naruto melawan hukum Shinobi itu sendiri. Ia seperti, berbeda dari yang lainnya. Aku tidak tahu siapa yang mengajarinya, tapi kau lebih baik memberi perhatian lebih kepadanya." Ia tidak ingin Naruto pergi lagi karena masalah yang sama seperti masa lalu. Apalagi sampai menjadi musuh Konoha.

Pintu kantor terbuka dan empat orang masuk. Mereka adalah tim 7 yang berisi Kakashi, Menma, Sakura, dan Sasuke. Sepertinya mereka baru kembali dari misi.

"Aku melihat kotak susu strawberry kosong di sepanjang jalan kesini. Apa yang terjadi?" tanya anak berambut hitam jabrik, Menma.

Minato menatap anaknya itu dengan senyum bahagia. Banyak yang harus ia ceritakan pada mereka.


Naruto menyenderkan tubuhnya di bawah pohon sambil membaca manganya. Yukata merah bermotif kupu-kupunya sesekali bergoyang tetiup angin. Di kejauhan, Menma terlihat sedang berlatih suatu Ninjutsu.

Naruto sebenarnya lebih suka berada di kamarnya, membaca Manga sambil tiduran. Tapi ayahnya tidak membiarkannya bermalas-malasan. Kamarnya dipasang Fuuin yang membuat tidak ada seorangpun berada di dalam dari jam 8 pagi sampai jam 6 sore. Ia mendesah pelan. Hanya Fuuin yang menjadi kelemahannya. Soal hal lain, ia yakin sudah berada di atas Genin lain. Selain dalam hal semangat.

"Hey Naruto! Kenapa kau malah malas-malasan begitu? Ayo ikutlah berlatih!" teriak Menma sambil melambaikan tangan.

"Aku sudah cukup latihan. Diam dan jangan ganggu aku, kau kecoa kecil!"

Menma hanya menghela napas. Sudah satu minggu sejak Kakaknya kembali. Ia sudah terbiasa dengan mulut busuknya itu, dan kebiasaannya yang suka hal manis dan membaca manga.

"Kalau kau terus seperti itu, kau tidak akan lolos ujian chuunin. Lalu kau tidak akan dapat misi bagus, kau tidak punya uang, dan kau tidak bisa makan manis dan beli manga."

"Diam kau. Aku tidak akan kalah oleh sekumpulan bocah ingusan sepertimu."

"Kalau begitu, bertarunglah denganku!" kata Menma semangat. Ia belum melihat Naruto bertarung dan itu membuatnya penasaran seperti apa kekuatan kakaknya itu.

"Merepotkan. Aku tidak bertarung tanpa alasan." sergahnya. Ia kembali membaca manganya sambil berkata, "Kau diam. Jangan bicara, karena kau membuat kepalaku sakit."

Menma geleng-geleng kepala melihat itu. "Tapi targetku adalah mengalahkanmu, Gaara!" kata Menma sambil menyeringai.

Gaara? Naruto sedikit tertarik. "Maksudmu Gaara dari Suna itu?" tanya Naruto sambil meletakan manganya. Topik ini membuatnya tertarik.

"Kau tau dia?" kata Menma sambil mendekati kakaknya.

Naruto menggeram pelan. Sudah pasti dia tahu orang itu. Seorang anak dengan jiwa monster, dia tak akan melupakan pertemuan pertama dengannya. "Ya, dia kutu buas yang tak seharusnya ada di dunia."

"Hey! Aku tahu dia kejam, tapi kata-katamu lebih kejam!" geram Menma. Ia oke saja dengan sikap kurang ajar Gaara, tapi kakaknya tidak berhak berbicara Gaara tidak layak hidup.

"Oh ya? Aku ingin lihat apa kau masih berpikir begitu ketika sudah bertemu dengannya," kata Naruto. "Aku tahu kau punya ekor sembilan, tapi apa kau sudah bisa mengendalikannya?."

Naruto kembali membaca manganya, mengabaikan jawaban Menma.

To be Continued


31 Maret 2018

~~Megane was here. Good bye~~