STUPID

Author

Macchi~

Rate

T

Cast

Seventeen member

Pairing

Jeongcheol/Soonhoon

Warning(s)

BL

Summary

"Aku rela dikenang sebagai pria brengsek agar kau cepat melupakanku." -Choi Seungcheol-

"Aku membencimu, Choi Seungcheol." -Yoon Jeonghan-


Chapter 8

Jeonghan keluar dari ruangan dosennya sambil menenteng tasnya di bahu kanan, buku musik di tangan kiri, dan ponselnya di tangan kanan. Ia mengetik pesan untuk Jihoon, mengatakan kalau ia sudah selesai bertemu dengan dosen. Setelah itu ia mengirim pesan yang sama pada Soonyoung. Jeonghan heran, diantara kedua orang itu tidak ada yang membalas pesannya. Jeonghan pun pergi ke kantin, untuk menunggu Jihoon dan Soonyoung.

Jeonghan duduk di salah satu kursi kosong di kantin, tasnya ia letakkan diatas meja bersama dengan buku musik yang ia pegang dan ponselnya ia letakkan diatas buku tersebut. Ia menghela nafas, tangannya sibuk mengecek ponselnya, padahal kedua orang itu (Jihoon dan Soonyoung) sama sekali tidak membalas pesannya. Jeonghan pun akhirnya memilih menyibukkan diri dengan tugas yang belum selesai dirampung olehnya.

.

.

Soonyoung benar-benar berusaha mempersingkat waktu latihannya hari ini. Ia sedang tidak mood melatih ataupun latihan. Setelah 2 jam latihan, Soonyoung mengakhiri latihan dance hari ini. Beberapa anggota klub dance ada yang pergi dari ruang latihan, dan sisanya masih berada di ruang latihan. Soonyoung sendiri masih ingin lama-lama di ruang latihan, duduk bersandar pada kaca dengan botol air minum yang isinya tinggal setengah ditangannya. Tak jauh dari tempatnya, Jun duduk sambil menelepon seseorang, tapi tak lama Jun tampaknya memutus sambungan telepon itu, kemudian merangkak menghampiri Soonyoung yang diam.

"Soonyoung-ah!" panggil Jun yang sekarang duduk bersila dihadapan Soonyoung.

"Apa?" tanya Soonyoung dengan wajah malas.

"Kau ingat tidak soal taruhan yang aku ceritakan?"

Soonyoung mengangguk.

"Kurasa aku akan kalah." cicit Jun.

"Wow akhirnya dewa taruhan Wen Junhui kalah dalam taruhan." sindir Soonyoung.

Jun mengangguk, "Temanku yang aku ceritakan itu katanya akan menyatakan perasaannya hari ini. Sekarang."

"Lalu?"

"Yah siapa sih yang bisa menolak pesona temanku itu? Aku yakin targetnya menerima dia."

Terbesit rasa penasaran pada Soonyoung.

"Hei, temanmu yang kau ceritakan itu siapa dia?" tanya Soonyoung.

"Kau penasaran, ya? Tapi jawab aku dulu." kata Jun. "Kau kenal pemuda manis bernama Lee Jihoon, tidak?"

Soonyoung mengerutkan dahi, kedua alisnya bertaut tapi kemudian ia mengangguk mengiyakan. Tentu saja kenal, toh ia sendiri suka pada pemuda manis Lee Jihoon itu.

"Kau kenal? Jadi si Lee Jihoon itu temanmu?" tanya Jun.

"Ada apa sih sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba tanya soal Jihoon?"

"Temanku yang aku ceritakan, targetnya adalah Lee Jihoon." kata Jun.

Soonyoung mendelik marah pada Jun. Bagaimana tidak, teman satu klubnya ini menjadikan Jihoon alat taruhan.

"Kau.." Soonyoung mulai marah dan kedua tangannya tanpa sadar sudah ia kepal kuat. "KAU MENGGUNAKAN JIHOON SEBAGAI TARUHAN?!"

Jun mundur menghindari Soonyoung yang marah, "Hei...hei tenang, bro!" seru Jun.

"Katakan siapa temanmu itu, Wen Junhui!"

Jun diam sesaat, kemudian ia menjawab Soonyoung,

"Ch-Choi Seu-Seungcheol." jawab Jun terbata, agak takut pada Soonyoung yang marah.

Soonyoung membulatkan matanya, kemudian tanpa sadar ia berlari keluar dari ruang latihan, melupakan tasnya yang masih disana. Soonyoung tidak memikirkan apa-apa lagi kecuali Jihoon.

Sambil berlari, Soonyoung menghubungi ponsel Jihoon, tapi tak ada jawaban. Soonyoung pun beralih menghubungi Jeonghan. Beruntung Jeonghan cepat menjawab panggilannya.

"Halo, Soonyoung? Kau dimana sekarang?"

"Hyung! Hyung!" seru Soonyoung.

"Hei kenapa? Ada apa?"

"Hyung tau dimana Jihoon?"

"Ada apa dengan Jihoon?"

"Hyung cepat jawab! Aku sedang buru-buru!"

"Di-dia di ruang musik."

Kemudian Soonyoung memutus sambungan teleponnya dengan Jeonghan, dan berlari menuju ruang musik yang ada di ujung koridor gedung utama.

Sementara di lain pihak, Jeonghan mengerutkan dahi ketika sambungan teleponnya di putus begitu saja oleh Soonyoung. Tiba-tiba menelepon lalu memutus begitu saja. Jeonghan kemudian meletakkan kembali ponselnya diatas meja. Buku musiknya sudah ia masukkan kedalam tas dan sekarang yang perlu ia ketahui adalah dimana Soonyoung dan Jihoon.

Jeonghan sedang sibuk mengaduk ice lemon tea miliknya dengan sedotan ketika ia tak sengaja menangkap sosok Soonyoung berlari di koridor menuju gedung utama, atau ia bisa bilang kalau Soonyoung berlari menuju ruang musik, mengetahui tadi anak itu menanyakan dimana Jihoon.

Jeonghan pun bergegas mengikuti Soonyoung yang berlari.

"Kenapa dia gusar sekali?" gumam Jeonghan dalam hati.

.

.

"Jihoon-ah, aku..." perkataan Seungcheol terputus. "..aku menyukaimu."

Jihoon yang masih menatap Seungcheol tersentak tentu saja karena pengakuan tiba-tiba yang diutarakan Seungcheol. Jihoon diam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa atau merespon bagaimana. Seungcheol sendiri tampak menunggu apa yang akan dikatakan Jihoon.

"Hyung, aku juga menyukaimu..." kata Jihoon. "Tapi hanya sebagai teman. Ah tidak, aku menyukaimu sebagai kakakku."

Seungcheol tidak menjawab Jihoon. Ia menunggu Jihoon bicara lagi, seakan perkataan Jihoon tadi menggantung.

"Tapi untuk lebih dari itu kurasa aku-"

BRAAK!

Perkataan Jihoon terputus akibat pintu ruang musik yang dibuka dengan kasar. Sosok Soonyoung berdiri di depan pintu terengah-engah, tapi Jihoon bisa lihat kalau pemuda itu marah. Apalagi ketika matanya bertemu dengan Seungcheol.

Soonyoung berjalan dengan gusar mendekati Seungcheol. Kemudian ia menarik kerah jaket Seungcheol dan mendekatkan tubuh Seungcheol hingga wajah mereka benar-benar dekat satu sama lain.

"BRENGSEK!" seru Soonyoung. "KAU...KAU MENGGUNAKAN JIHOON SEBAGAI TARUHAN?!"

Seungcheol menatap Soonyoung yang marah, "Kau iya kau mau apa?" katanya menantang.

"SIALAN!"

Soonyoung langsung memberikan pukulan telak di wajah Seungcheol hingga pemuda itu jatuh membentur badan piano. Sudut bibirnya robek mengeluarkan darah. Jihoon ingin melerai mereka, tapi kakinya seperti tertancap di lantai dan tidak bisa berjalan. Ketika Soonyoung hendak memukul lagi Seungcheol, kepalan tangan Soonyoung yang sudah diangkat tertahan. Soonyoung menoleh kebelakang, sosok Jeonghan menahan tangannya di udara.

"Hyung lepaskan tanganku!" seru Soonyoung.

Tapi Jeonghan tidak menjawab dan juga tidak melepas tangan Soonyoung. Jeonghan menarik Soonyoung untuk menjauh dari Seungcheol lalu menarik paksa anak itu keluar dari ruang musik.

Beberapa saat setelah Jeonghan dan Soonyoung pergi dari ruang musik, Jihoon menghampiri Seungcheol yang masih terduduk di lantai, memegangi sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

"Ikut aku." kata Jihoon pada Seungcheol.

.

.

Jeonghan membawa Soonyoung ke taman belakang. Soonyoung masih emosi karena kejadian tadi, sementara Jeonghan menghela nafas kasar karena kesal.

Jeonghan tahu ada yang tidak beres. Bukan, ada sesuatu yang ia tidak tahu.

"Katakan padaku." kata Jeonghan. "Katakan ada apa ini?"

Soonyoung tidak langsung menjawab pertanyaan Jeonghan. Bukan, lebih tepatnya Soonyoung bingung harus menjelaskan bagaimana pada Jeonghan. Tapi agaknya Jeonghan sedikit tidak sabaran. Jeonghan membalikkan badannya lalu menatap Soonyoung tajam.

"Jawab aku, Kwon Soonyoung!" seru Jeonghan.

Soonyoung menghela nafas panjang sebelum menjawab Jeonghan, "Choi Seungcheol menjadikan Jihoon sebagai taruhan dengan teman-temannya." jawab Soonyoung seadanya. "Teman satu klubku, Jun, mengatakannya padaku."

"Jadi," Jeonghan mulai bicara. "Seungcheol menjadikan Jihoon sebagai taruhan?"

Soonyoung mengangguk mengiyakan, karena memang itulah yang terjadi. Jeonghan mengacak rambutnya frustasi, menyesal karena tidak tahu apa yang terjadi pada sahabatnya sendiri.

"Hyung harusnya jangan mencegahku menghajar si brengsek itu." gumam Soonyoung.

Jeonghan menatap Soonyoung tajam, "Dan melihatmu berakhir di skors? Kau mau begitu?"

"Paling tidak aku puas menghajarnya."

Jeonghan tidak menjawab. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri yang entah sudah melayang kemana.

Di lain tempat, tepatnya di ruang kesehatan, Seungcheol duduk di tepi salah satu ranjang dengan Jihoon yang berdiri disamping ranjang tersebut. Mereka berhadapan. Tapi tidak ada yang bicara. Tangan Jihoon sibuk mengobati ujung bibir Seungcheol yang robek dan terus mengeluarkan darah, dan Seungcheol sendiri hanya bisa meringis sakit ketika Jihoon mengobatinya.

Jihoon tidak berlama-lama mengobati Seungcheol. Ketika selesai, Jihoon kembali membereskan obat merah dan kapas, mengembalikannya kedalam kotak obat dan meletakkannya diatas meja. Kemudian Jihoon menatap Seungcheol yang menunduk.

"Hyung berhutang penjelasan padaku." kata Jihoon.

Seungcheol menaikkan kepalanya, menatap Jihoon.

"Maaf," ucap Seungcheol terputus. "Seharusnya aku memang tidak melakukan hal itu dari awal. Yah, maksudku menjadikanmu taruhan."

Jihoon menghela nafas kemudian kembali bicara, "Ada alasan khusus kenapa aku dijadikan taruhan?"

Seungcheol menggeleng.

"Kukira ada alasan khusus." katanya. "Lalu, kalau alasan hyung menyukaiku? Apakah ada alasan khusus?"

Seungcheol tersenyum, "Banyak." jawabnya.

Mungkin jawaban itu seharusnya sudah cukup, tapi bagi Jihoon jawaban Seungcheol menggantung, jadi Jihoon hanya diam saja, menunggu Seungcheol kembali bicara.

"Aku memang menyukaimu," kata Seungcheol terputus. "Tapi-"

"Tapi tidak benar-benar menyukaiku." Jihoon memotong ucapan Seungcheol. "Hanya sekadar tertarik mungkin? Kurasa aku benar."

Seungcheol hanya menyunggingkan sebuah senyum kecil kearah Jihoon.

"Kenapa?" tanya Jihoon. "Em..maksudku kenapa hyung harus menyukaiku?"

"Kau penasaran?"

Jihoon diam sejenak, menatap Seungcheol yang juga menatapnya seakan menunggu Jihoon menjawab.

"Kalau hyung tidak mau cerita, kurasa aku tidak harus penasaran." kata Jihoon.

"Hei, kurasa aku tahu kenapa Jeonghan suka berteman denganmu, Lee Jihoon."

.

.

Jeonghan berlari kecil menghampiri Jihoon yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Jeonghan memegang kedua lengan atas Jihoon dan menatapnya dengan tatapan khawatir, dan Jihoon mengerti kenapa.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jeonghan.

"Tentu saja aku baik." jawab Jihoon santai.

Soonyoung yang mengekor Jeonghan berdiri tak jauh dari mereka berdua. Perhatian Jihoon teralih kepada Soonyoung yang berdiri mematung tidak melakukan apa-apa disana. Kemudian dengan gerakan lambat, Jihoon melepas kedua tangan Jeonghan yang masih erat memegang lengannya.

"Hyung, bisa tolong temani Seungcheol hyung?" Jihoon bertanya pada Jeonghan sambil menatap manik pemuda itu.

Terkejut? Jelas. Jeonghan sangat terkejut ketika Jihoon meminta tolong Jeonghan untuk menemani Seungcheol di ruang kesehatan. Jeonghan sempat menolak karena ia tidak mau bertemu dengan Seungcheol, tapi Jihoon meyakinkan Jeonghan untuk masuk kesana dan bertemu dengan Seungcheol. Kalaupun Jeonghan tidak mau bicara, ia hanya perlu duduk disana dan diam.

"Aku harus bicara dengan Soonyoung." kata Jihoon seraya berjalan menghampiri Soonyoung yang menatapnya bingung.

Jeonghan diam. Kemudian setelah menganggukkan kepala kearah Jeonghan, Jihoon menarik tangan Soonyoung agar mengikutinya.

Hari itu sudah sangat sore dan kampus sudah hampir sepi, hanya tersisa beberapa mahasiswa yang masih lalu lalang di koridor dan kantin. Jihoon membawa Soonyoung ke sebuah kelas yang sudah kosong kemudian berdiri di depan kelas, berhadapan.

"Ada apa?" Soonyoung lebih dulu bicara.

Jihoon belum menjawab dan masih menatap Soonyoung tepat dimata, membuat Soonyoung meneguk air liurnya, salah tingkah. Kelas yang sepi dan hanya ada mereka berdua, membuat Soonyoung takut kalau suara jantungnya yang berdetak cepat tak beraturan ini bisa terdengar oleh Jihoon.

Jantung Soonyoung semakin cepat berdetak ketika Jihoon melangkah mendekati Soonyoung. Jarak mereka sekarang bisa dihitung dengan tangan. Mungkin tiga jengkal tangan Soonyoung.

"Kenapa?" Jihoon akhirnya bicara, tapi bukan jawaban dari pertanyaan Soonyoung sebelumnya, melainkan sebuah pertanyaan lagi.

Soonyoung menaikkan alisnya, tidak mengerti.

"Kenapa kau tiba-tiba datang kesana dan memukul Seungcheol hyung?"

Tubuh Soonyoung menegang. Tangannya tak sadar terkepal. Soonyoung tak habis pikir, setelah apa yang terjadi tadi dan kenyataan kalau Jihoon dijadikan taruhan oleh Seungcheol, Jihoon masih sempat bicara soal Seungcheol di depan Soonyoung.

"Jawab aku, Kwon Soonyoung." suara Jihoon terdengar pelan, tapi cukup untuk di dengar Soonyoung karena mereka hanya berdua di sebuah kelas kosong.

"Karena aku harus." jawab Soonyoung setelah menghela nafas panjang, menutupi emosinya.

"Kenapa?"

Soonyoung diam tidak mau menjawab pertanyaan Jihoon. Tidak mungkin kan Soonyoung bilang alasannya kesana dan memukul Seungcheol dengan membabi buta adalah karena ia menyukai Jihoon. Bisa malu Soonyoung.

Tapi tampaknya Jihoon terlalu penasaran. Jihoon terus mengintimidasi Soonyoung dengan menatapnya terus.

Jihoon menghela nafas panjang. Soonyoung harusnya bisa menjawab pertanyaan Jihoon yang amat sangat singkat itu sejak tadi, tanpa Jihoon harus mengintimidasi Soonyoung agar bicara. Tapi pemuda di depannya ini tidak mau menjawabnya. Dan dengan amat terpaksa Jihoon harus menebaknya.

"Biar aku tebak." kata Jihoon setelah sekian menit hanya menatap Soonyoung yang menunduk.

Soonyoung mengangkat kepalanya, menatap Jihoon, menunggu apa yang akan Jihoon katakan.

"Kau menyukaiku, kan?" Terdengar seperti pertanyaan, tapi itulah yang ada di benak Jihoon sejak tadi. Hanya itu alasan satu-satunya yang bisa Jihoon pikirkan.

Soonyoung membeku ditempat. Bingung bagaimana Jihoon bisa tahu. Tebakan yang tepat sasaran, karena Soonyoung tidak mengelak atau berdalih. Jihoon mengembangkan sebuah senyum, yang lebih mirip seringaian.

"Sepertinya aku benar." ujar Jihoon. "Iya, kan?"

Soonyoung telak. Tidak bisa mengelak atau berdalih karena tubuhnya benar-benar merespon Jihoon dengan baik. Ia salah tingkah. Matanya yang tadinya terfokus pada Jihoon, langsung melirik kemana-mana, asal tidak bersitatap dengan mata Jihoon.

"Tidak apa-apa." kata Jihoon. "Mengaku saja. Kau seperti pencuri yang tertangkap basah tapi tidak mau ketahuan."

Soonyoung menghela nafas berat. Sangat berat.

"Baik aku mengaku." kata Soonyoung. "Aku kesana dan memukul Choi Seungcheol karena aku menyukaimu. Aku tidak mau dan tidak suka kau dipermainkan oleh Seungcheol. Aku tidak tahan ketika aku mendengar kau dijadikan taruhan oleh Seungcheol dan teman-temannya. Bahkan aku tadi nyaris memukul Jun juga di ruang latihan."

Jauh dari ekspetasi Soonyoung yang mengira Jihoon akan marah, Jihoon justru terkekeh dan lama kelamaan menjadi tertawa lepas. Soonyoung jelas menatap Jihoon heran.

Ketika tawa Jihoon mulai mereda, Jihoon kembali bicara karena ia melihat ekspresi wajah Soonyoung yang sudah kebingungan.

"Aku sudah tahu." begitu kata Jihoon membuat Soonyoung mengerutkan dahi.

"Ta-tahu apa?" tanya Soonyoung.

"Aku tahu kau menyukaiku. Jeonghan hyung yang cerita, tapi karena aku tidak suka mengakuinya jadi aku diam saja."

Soonyoung melongo mendengar perkataan Jihoon.

"Ka-kau benar-benar sudah tahu itu?" tanya Soonyoung.

Jihoon mengangguk sambil menahan tawanya. Sementara Soonyoung sudah menunduk karena malu. Mungkin wajahnya sudah memerah seperti tomat sekarang.

"Hei, tidak apa-apa tidak perlu malu." kata Jihoon. "Kau jangan seperti orang yang ketahuan mencuri begitu."

Soonyoung kembali mengangkat kepalanya dan menatap Jihoon. Tapi ekspresi wajahnya berubah menjadi lucu membuat Jihoon tidak tahan untuk tertawa.

"Hei! Jangan tertawa!" seru Soonyoung.

"Baiklah baiklah maaf." kata Jihoon seraya meredakan tawanya.

"Aku memang menyukaimu sudah lama. Sejak pertama kali kita bertemu." Soonyoung kembali bicara ketika tawa Jihoon sudah berhenti.

Jihoon hanya diam mendengarkan Soonyoung. Wajahnya kembali datar, tapi sebenarnya ia sedang menutupi degupan keras di jantungnya. Jujur saja, Jihoon jadi gugup sekarang.

"Dulu aku pikir aku tidak akan pernah bisa dekat denganmu karena kau itu orang yang tertutup. Tapi ternyata kau berteman dengan Jeonghan hyung. Jadi lewat Jeonghan hyung aku mencoba mendekatimu." kata Soonyoung lagi.

Jihoon masih tidak merespon perkataan Soonyoung, membuat Soonyoung kembali melanjutkan,

"Tapi karena kau selalu kesal tiap aku menemuimu, aku jadi berpikir kalau kau bisa saja tidak menyukaiku."

"Kata siapa aku tidak menyukaimu?" tanya Jihoon.

"Eh?"

"Ya, maksudku aku tidak membencimu." jawab Jihoon. "Aku hanya tidak suka kau berisik. Habis tiap kau dekat-dekat aku, kau jadi 10x lebih berisik. Aku risih."

Soonyoung menatap Jihoon sambil mengerjapkan matanya membuat Jihoon tidak tahan untuk mencubit kedua pipi Soonyoung.

"Kalau kau bisa tidak berisik ketika dekat-dekat aku, mungkin aku akan suka padamu. Dari sudut manapun kau itu tampan. Hanya saja mulutmu tidak bisa diam." kata Jihoon sambil terus mencubit kedua pipi Soonyoung.

Di menit berikutnya, sebuah senyuman muncul di wajah Soonyoung.

"Kau bilang kau bisa suka padaku jika aku tidak berisik lagi?" tanya Soonyoung.

"Paling tidak jangan bicara berlebihan dengan suara keras. Itu saja." jawab Jihoon.

"Baiklah, Jihoon-ah, aku akan menjadi pria yang paling tenang untukmu." kata Soonyoung.

Jihoon menyipitkan matanya dan menatap Soonyoung tajam, "Hentikan, Soonyoung!" seru Jihoon. "Itu menjijikkan."

Kemudian Jihoon berjalan keluar dari kelas mendahului Soonyoung dengan Soonyoung yang mengekori Jihoon dibelakang.

.

.

Jeonghan memang akhirnya masuk ke ruang kesehatan. Ia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Seungcheol. Ia memperhatikan wajah Seungcheol yang tengah tidur lelap di ranjang ruang kesehatan, tak habis pikir apa yang sudah dilakukan oleh Seungcheol pada sahabatnya.

"Kenapa kau jahat sekali?" tanya Jeonghan bicara sendiri.

"Apa tidak cukup sudah menyakitiku dulu? Atau kau belum puas, jadi kau menyakiti temanku juga?"

Jeonghan menghela nafas kemudian menempelkan dahinya pada tepi ranjang tempat Seungcheol tidur. Ia memejamkan mata, ingin mengistirahatkan pikirannya yang kalut karena kejadian hari ini.

Rencananya bersantai minum kopi sore ini, hancur seketika.

Tiba-tiba sebuah tangan terangkat keatas kepala Jeonghan lalu mengelus surai hitam itu, membuat Jeonghan tersentak karena terkejut. Ia menegakkan kembali tubuhnya dan menatap orang yang mengelus kepalanya. Choi Seungcheol sudah bangun dari tidurnya dan menatap Jeonghan.

"Lama tak jumpa." itu ucapan Seungcheol yang pertama setelah tidak bertemu dengan Jeonghan selama 3 tahun.

"Ya."

Jeonghan meruntuki dirinya sendiri setelah menjawab Seungcheol. Padahal ia sudah mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak bicara pada Seungcheol. Ya ampun, otak dan hatinya benar-benar tidak sejalan.

"Tanpa aku tanya pun kurasa kabarmu baik." ujar Seungcheol.

Jeonghan tidak menjawab, hanya melirik sesekali kearah Seungcheol.

"Jihoon bilang padaku kalau aku berhutang penjelasan padamu." kata Seungcheol seraya merubah posisinya menjadi duduk.

"Tidak perlu." kata Jeonghan.

Seungcheol tersenyum tipis, ia mengerti, sangat mengerti kalau Jeonghan masih marah padanya. Ah tidak. Mungkin Jeonghan membencinya. Apalagi setelah kejadian hari ini.

"Apa adil kalau aku sudah cerita banyak pada temanmu, tapi kau sendiri tidak tahu apa-apa." kata Seungcheol. "Maksudku, paling tidak kau tidak mendengarnya dari orang lain."

Jeonghan mendelik kearah Seungcheol, "Lalu kenapa aku tidak mendapatkan penjelasan itu sejak dulu?"

"Karena aku menyayangimu."

Jeonghan menatap Seungcheol tajam. Benar-benar ucapan yang tidak bisa dipercaya.

"Jangan bicara omong kosong, Choi Seungcheol." sindir Jeonghan sambil menyunggingkan seringaian.

"Terserah kau mau menganggap perasaanku adalah omong kosong atau bukan," ucapan Seungcheol tertahan. "Tapi aku sungguh-sungguh." sambungnya.

"Dan kurasa aku harus menjelaskannya padamu." kata Seungcheol lagi.

"Kenapa? Kenapa sekarang?" tanya Jeonghan.

"Karena kau sudah bahagia." jawab Seungcheol singkat.

"Kata siapa?"

"Jihoon."

Jeonghan menghela nafas. Ia memang tampak bahagia. Ya. Hanya tampak luarnya saja. Jeonghan tidak mau menampakkan apa yang ia rasakan di dalam pada orang lain. Jadi, mungkin Jihoon menganggap kalau dia bahagia.

"Kata Jihoon, kau sudah bahagia. Jadi kalaupun aku baru menceritakan semuanya padamu sekarang, itu tidak berpengaruh apa-apa." kata Seungcheol.

Jeonghan menyeringai seakan menyindir Seungcheol.

"Mungkin itu yang diketahui Jihoon." sambung Seungcheol yang dibalas tatapan tajam dari Jeonghan.

Seungcheol terkekeh melihat Jeonghan, "Aku mengenalmu selama 4 tahun, Yoon Jeonghan." katanya. "Bukan sifatmu untuk menampakkan apa yang kau rasakan pada orang lain. Bahkan akupun jadi ikut jadi begitu karena bersama denganmu."

Jeonghan tercengang. Bahkan Seungcheol masih ingat bagaimana sifatnya yang padahal bisa saja Seungcheol lupakan. Sebegitu membekaskah ia dalam diri Seungcheol?

"Aku juga kadang bertanya, apakah kau sudah benar-benar bahagia selama 3 tahun aku pergi? Apakah kau sudah bertemu dengan orang lain? Apakah aku sudah kau lupakan?"

Jeonghan menunduk mendengar ucapan Seungcheol. Ia sungguh ingin menangis sekarang. Untuk sejenak ia ingin mengeluarkan semua beban yang ia simpan dalam hatinya. Ia ingin mengeluarkan semuanya.

Apakah ia sudah benar-benar bahagia sekarang? Tidak, Jeonghan belum benar-benar bahagia.

Apakah ia sudah bertemu dengan orang lain? Tidak, Jeonghan belum bisa membuka hatinya lagi untuk orang lain. Jeonghan mengakui itu.

Apakah Seungcheol sudah ia lupakan? Tidak, Jeonghan sama sekali tidak bisa melupakan Seungcheol. Bahkan sedikitpun tidak bisa.

Tanpa sadar, air mata Jeonghan lolos begitu saja mengalir ke wajahnya. Seungcheol sedikit terkejut melihat Jeonghan tiba-tiba menangis. Dengan cepat Seungcheol memegang kedua sisi wajah Jeonghan dengan tangannya lalu menghapus air mata Jeonghan dengan kedua ibu jarinya.

"Jangan menangis." kata Seungcheol dengan suara pelan nyaris berbisik. "Jangan keluarkan air matamu lagi karena aku."

Jeonghan menatap Seungcheol dengan mata yang penuh dengan air mata. Ditatapnya kedua manik Seungcheol yang menatapnya cemas. Jujur, Jeonghan merindukannya.

"Katakan padaku." kata Jeonghan. "Kenapa dulu kau meninggalkanku?"

Tangan Seungcheol turun dari wajah Jeonghan. Ia diam sesaat untuk sekadar menarik nafas lalu mengeluarkannya dengan perlahan.

"Aku akan menceritakan semuanya." kata Seungcheol. "Asal kau berhenti menangis."

Seungcheol tidak tahan melihat Jeonghan menangis. Apalagi itu karenanya. Seungcheol tidak mau lagi Jeonghan menangis karena dirinya. Sudah banyak air mata Jeonghan tumpah karena dirinya.

Jeonghan susah payah menahan air matanya kembali turun. Tapi kemudian ia berhenti menangis. Lalu Jeonghan menatap Seungcheol, seakan minta Seungcheol untuk segera menceritakannya.

Jeonghan sudah siap menerima apa yang akan diceritakan Seungcheol. Baik atau buruk.

Seungcheol menghela nafas sebelum bicara, "Aku meninggalkanmu dulu karena aku merasa tidak pernah membuatmu bahagia," Seungcheol mulai bicara. "Maksudku, aku merasa kau selalu terlibat masalah ketika bersamaku."

Jeonghan menautkan alisnya, kenapa Seungcheol bisa berpikiran seperti itu kalau Jeonghan sendiri saja tidak.

"Bahkan Ayahmu pernah bilang padaku untuk memutuskan hubunganku denganmu. Ayahmu bilang kau tidak lagi fokus belajar sejak berhubungan denganku. Dan aku tidak mau jadi pembawa hal buruk untukmu. Aku perhatikan juga dulu kau selalu memaksa untuk bisa terus ikut denganku kemanapun aku pergi. Padahal aku sudah melarangmu, dan bilang kau harus belajar karena aku merasa harus membuktikan pada Ayahmu kalau aku bukan pembawa hal buruk untukmu, tapi kau yang keras kepala tidak bisa dilarang," Seungcheol diam sejenak. Ia melirik kearah Jeonghan yang mulai menatap dirinya kosong tapi telinganya mendengarkan dengan seksama.

Seungcheol melanjutkan, "Puncaknya adalah ketika aku tak sengaja melihatmu berdebat dengan Ayahmu karena masalah nilai rapormu yang turun. Aku diam-diam mendengarkan kalian berdebat dan tak sengaja juga aku mendengar Ayahmu menyebut namaku, mengatakan kalau aku hanya membawa pengaruh yang buruk padamu. Aku tahu kau membelaku, tapi yang membuatku tidak tahan adalah setelah debat dengan Ayahmu, kau menangis diam-diam disana, sendirian. Sejak itu aku merasa aku harus menjauhimu demi dirimu sendiri. Aku sengaja pergi dengan orang lain agar kau sendiri yang memutuskan hubungan kita berdua."

"Kau tahu Jeonghan, aku rela dikenang sebagai pria brengsek agar kau cepat melupakanku." Seungcheol mengakhiri ceritanya dan kembali menatap Jeonghan.

Jeonghan juga kembali menatap Seungcheol, kali ini matanya kembali berkaca-kaca, bersiap mengeluarkan air mata.

"Aku membencimu, Choi Seungcheol." kata Jeonghan berusaha menahan air matanya keluar.

Seungcheol tersenyum tipis, "Kau memang harusnya membenciku."

Pertahanan Jeonghan runtuh. Ia kembali menangis, kali ini lebih keras. Ia menangis terisak-isak dihadapan Seungcheol.

"Kenapa?! Harusnya kau tidak meninggalkan aku! Kau jahat Seungcheol! Jahat! Jahat!" seru Jeonghan ditengah tangisnya sambil memukul dada Seungcheol.

Seungcheol menahan tangan Jeonghan yang masih memukul dadanya kemudian menggenggamnya erat. Jeonghan menatapnya.

"Aku memang jahat." kata Seungcheol. "Dan aku tidak tahu apakah aku pantas mendapatkan maaf darimu."

Jeonghan menggeleng, "Harusnya aku yang minta maaf." kata Jeonghan. "Aku egois. Aku tidak pernah memikirkan perasaanmu. Aku hanya peduli pada..pada-"

Belum selesai Jeonghan bicara, Seungcheol sudah merengkuhnya dalam pelukan.

"Kau tidak pernah salah, Yoon Jeonghan." kata Seungcheol tepat di telinga Jeonghan. "Kau tidak perlu minta maaf atas apapun."

Jeonghan tidak menjawab tapi tidak juga menghentikan tangisannya. Ia semakin terisak ketika Seungcheol semakin mempererat pelukannya pada Jeonghan, menyalurkan segala kerinduannya pada Jeonghan.

Lama mereka dalam posisi memeluk satu sama lain, setelah Jeonghan benar-benar berhenti menangis, Seungcheol melepaskan pelukannya pada Jeonghan.

"Jangan menangis lagi." kata Seungcheol.

Jeonghan menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka diam. Baik Jeonghan maupun Seungcheol tidak bicara apapun. Mereka hanya saling menatap satu sama lain seakan mereka sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

"Seungcheol-ah," Jeonghan lebih dulu bicara, memanggil nama Seungcheol seperti dulu ia memanggilnya.

"Kau masih mencintaiku?"

Seungcheol tentu saja mengangguk. Tidak pernah sedikitpun Seungcheol menghilangkan perasaan itu, bahkan setelah mereka berpisah 3 tahun lalu. Selama ini ia berusaha melupakan Jeonghan dengan beberapa kali berkencan dengan orang lain. Bahkan ia tidak keberatan selalu di cap sebagai playboy. Dan usaha terakhirnya adalah dengan si mungil Jihoon, tapi tetap saja gagal. Seungcheol memang hanya bisa jatuh pada sosok Yoon Jeonghan. Dan itu tidak pernah berubah sampai sekarang.

"Apa ada harapan kita kembali bersama?" tanya Jeonghan penuh harap.

Seungcheol menatap Jeonghan ragu. Ia tidak pernah berpikir untuk kembali bersama Jeonghan walaupun ia mau. Ia tidak tahu apakah Ayah Jeonghan masih memiliki pemikiran yang sama seperti dulu atau tidak dan ia tidak tahu apakah sekarang ia sudah bisa membahagiakan Jeonghan atau tidak. Seungcheol terlalu takut untuk mencoba lagi karena tidak mau semuanya berakhir sama.

Jeonghan menunduk. Melihat Seungcheol yang tidak menjawab pertanyaannya, Jeonghan rasa memang tidak akan ada harapan mereka kembali lagi seperti dulu. Ia saja terlalu berharap.

"Anggap aku pengecut karena aku terlalu takut jika kita kembali bersama, semuanya akan berakhir seperti dulu. Tapi aku akan mencobanya." kata Seungcheol. "Jadilah kekasihku lagi, Yoon Jeonghan."

Jeonghan tidak bisa lebih bahagia dari ini. Dengan bahagia ia memeluk erat tubuh Seungcheol. Benar-benar erat, seakan takut jika ia lepas, maka Seungcheol akan meninggalkannya lagi. Sementara Seungcheol, ia membalas pelukan Jeonghan sambil sesekali menepuk punggung Jeonghan.

Hari itu mereka adalah dua orang yang pernah berpisah karena kebodohan dan keegoisan mereka sendiri. Yang sekarang kembali dipertemukan, seakan takdir ikut andil dalam cerita mereka atau karena mereka tahu sejauh apapun mereka, hati mereka tetap tahu dimana tempatnya kembali.

~END~

.

.

.

AKHIRNYA FF INI SELESAI JUGA!

terima kasih buat para readers semuanya yang sudah mereview, follow, favorite ff ini

Maaf kalo review kalian gak ada yang aku balas, tapi aku selalu baca review kalian berkali-kali buat penyemangat aku.

semoga kalian puas sama akhir dari ff ini :")

JEONGMAL GAMSAHABNIDA YEOREOBUN!