Unrequited Reminiscence

majority: YoonMin

by pepperblush

.

.

summary: Suga merasa ingatannya tidak pantas kembali. Mereka sangat kelam. Hitam putih dan menyayat hatinya. Park Jimin sendiri rela melakukan apapun agar bisa kembali dalam ingatan seseorang.

.

note: yoonmin au. penulis menyebutkan umpatan dalam bahasa inggris dan indonesia juga konten dewasa yang sebaiknya tidak dibaca anak-anak.


Chapter 15: Berlari dan Tenggelam

-I quote this title chapter from a song by Maliq and D'essential-

.

.

.

Provinsi Kyeonggi, hari ini.

Selain dingin dan angin yang bertiup lebih kencang dari biasanya, tidak ada yang spesial hari ini. Mungkin bagi Jimin—untuk genggaman tangan Yoongi pada jemarinya atau syal yang Yoongi lilitkan ke lehernya ketika mereka keluar dari mobil—semua itu spesial. Yoongi membimbingnya berjalan melalui bukit-bukit pemakaman. Rumput-rumput hampir semuanya sudah cokelat dan kering. Semenjak mereka sampai, Yoongi hanya tersenyum lembut sambil memasangkan syal sebelum menggandeng tangan Jimin dan mulai berjalan pelan-pelan. Yoongi bilang hari ini dia ingin mengunjungi Nenek Jung. Setelah semalam keduanya hanya berdiri kikuk tanpa tahu harus bagaimana. Kalau dipikir, mereka seperti orang yang baru saja mengenal. Seperti memulai semuanya dari awal lagi. Jimin tidak mengerti mengapa wajahnya masih saja memerah setiap kali Yoongi menatapnya. Dia juga tidak tahu mengapa jantungnya berdegup begitu kencang hanya karena Yoongi tidur di sampingnya sepanjang malam padahal itu bukan hal yang pertama kali untuknya.

Mereka belum berbicara banyak. Setelah Jimin pulang, Yoongi mengajaknya makan malam. Seokjin dan Namjoon sepertinya sudah menangkap kalau keduanya lebih baik menghabiskan waktu tanpa mereka. Pasangan itu pergi menonton film di bioskop. Mereka tidak pulang sampai pagi dan ketika mereka pulang, Namjoon melihatnya dengan tatapan aneh seolah menggodanya. Yoongi menatapnya sebal.

Tidak ada yang terjadi malam itu. Jimin hanya makan sedikit, selebihnya mereka berdua hanya saling menatap dan tersenyum kaku lalu kembali menunduk dan menatap makanan masing-masing. Setelah setengah jam hanya berlalu seperti itu, akhirnya Yoongi mengajak Jimin untuk kembali ke kamar.

Mereka berdiri dalam jarak dan rasanya begitu aneh. Seperti dua orang yang baru bertemu setelah belasan tahun tidak bersua. Jimin bersyukur, Yoongi tahu benar isi hatinya. Lelaki itu mengenggam tangan Jimin sebelum menuntunnya ke ranjang dan meminta Jimin untuk berbaring seperti biasa. Jimin menuruti. Dengan perasaan kacau balau, dia berusaha menutupi degup jantungnya begitu keras. Yoongi ada di sampingnya, keduanya berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Pelan-pelan Jimin mencuri pandang ke arah Yoongi dan kaget begitu melihat Yoongi yang juga sedang menatap ke arahnya. Yoongi terkekeh melihat wajah Jimin yang kembali memerah. Dengan satu gerakan, dia meraih Jimin agar berada di pelukannya. Keduanya tidak bicara apa-apa. Hanya membiarkan waktu menenggelamkan mereka dalam tidur yang tenang. Awalnya, Jimin begitu malu ketika Yoongi mendekapnya. Dia tidak ingin Yoongi tahu kalau degup jantungnya begitu keras karena semua itu memalukan tapi ternyata degupan jantung Yoongi sama kerasnya. Semua itu membuat Jimin tersenyum dan mulai menenangkan hatinya.

Aku dan Yoongi. Kita berdua sekarang. Bahkan detak jantungnya seiring denganku. Aku dan Yoongi.

Tidak ada yang Jimin inginkan selain menyebut nama itu begitu banyak dalam hatinya sampai dia terbangun besok pagi.

.

.

Mereka sampai di depan pusara Nenek Jung. Yoongi melepaskan genggaman tangannya karena saat itu keduanya harus memberikan salam. Jimin meletakkan satu buket bunga yang dia bawa sejak tadi. Ada beberapa buket bunga lain di sekelilingnya. Mereka sudah hampir layu termakan angin musim dingin. Jimin bertanya-tanya dalam hati apakah selain dirinya ada orang yang datang dan mengunjungi makan Nenek Jung? Setahu dia, hanya Taehyung yang biasanya datang dan itupun satu bulan sekali.

Yoongi menunduk dan mengucapkan doa dalam hati. Jimin diam-diam memejamkan matanya. Berterima kasih pada Tuhan atau Dewa apapun yang bisa mendengarnya hari ini. Dia bersyukur Yoongi ada di sebelahnya. Dia bersyukur, semua jalan yang dia lalui membawanya sampai di hari ini dimana dia bisa berkata pada Nenek Jung kalau semua yang dikatakan nenek sudah menjadi kenyataan. Perlahan Yoongi duduk di depan gundukan pusara Nenek Jung.

"Setelah aku mengingat semuanya, aku sering datang kesini menemui nenek. Kadang Hoseok menemaniku, kadang juga aku hanya sendiri. Kemarin Seokjin dan Namjoon yang datang kesini. Mereka hanya berdua. Aku berjanji pada nenek untuk membawamu saat aku sudah memberitahumu semuanya." ucap Yoongi pelan. Suaranya hampir hilang ditelan angin. Jimin mengangguk pelan lalu ikut duduk di depan pusara Nenek Jung.

Yoongi menatapnya lembut. "Aku melihat bunga-bunga yang kau taruh di sini. Kau pasti sering datang."

"Aku datang setiap minggu. Kadang Taehyung menemaniku. Itu sudah lama sekali. Sebelum aku pergi ke Singapura, aku juga menyempatkan datang."

Ada raut kesedihan di wajah Yoongi dan Jimin sebetulnya tidak berharap kata-katanya membuat Yoongi begitu. "Aku—"

"Aku pasti sudah banyak menyusahkanmu Jiminie."

Jimin tersenyum dan mengusap tangan Yoongi. "Kalau dipikir, aku yang sudah banyak menyusahkanmu. Saat kau datang, aku merasa seperti sedang dicemooh oleh waktu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan aku terus-terusan ada di sekelilingmu tanpa bisa diatur. Aku bahkan mengikutimu kemana-mana." lirihnya.

"Sepertinya itu semua karena aku juga memperhatikanmu karena ada sesuatu yang menarikku padamu."

Keduanya saling menatap sebelum tersenyum satu sama lain.

"Y-yoongi.."

"Hmm?"

"Nenek selalu bilang kalau kau akan kembali. Harapanku untuk hidup lebih baik sudah lama hilang tapi aku selalu percaya pada nenek. Bahkan saat Taehyung bilang semua itu tidak mungkin."

"Aku juga tidak percaya Jiminie. Ketika aku mengingat semuanya, aku merasa begitu bodoh karena aku sudah membenci diriku sendiri. Aku juga banyak menyakitimu tapi aku bersyukur kau masih ada di sampingku. Aku bersyukur, kau orang pertama yang aku lihat saat aku terbangun."

Jimin tersenyum lagi. "Aku tidak ingin kemana-mana."

Yoongi bangkit dan mengamit lengan Jimin agar mengikutinya. Mereka berdua kembali berdiri menghadap ke arah Nenek Jung. "Nenek, semoga nenek ada di tempat yang paling hangat sekarang. Aku dan Jiminie akan kembali lagi nanti. Aku akan membawakan nenek bunga lebih banyak." ucap Yoongi dengan tenang. Dia menoleh ke arah Jimin seakan memberi Jimin waktu untuk mengatakan sesuatu.

"Nenek, aku sangat senang. Matahari sudah kembali."

Yoongi tersenyum lebar dan meraih Jimin meninggalkan pusara Nenek Jung. Mereka sampai di gundukan lain yang ada di dekat pusara Nenek Jung. Yoongi menghela nafas berat ketika lagi-lagi membaca nama yang ada di kepala pusara.

"Y-yoongi." panggil Jimin pelan dan saat itu Yoongi menoleh ke arahnya.

"Nenek tidak ingin tubuhmu dikremasi. Mereka membuat wajahmu tidak begitu terlihat."

Yoongi mengangguk. Sambil menendang gundukan pusara dengan kakinya. "Aku sudah tidak sabar untuk membongkar semua ini."

.

.

Mereka berdua duduk di sebuah kafe yang terdekat dari daerah pemakaman. Yoongi membawakan Jimin satu cangkir caramel macchiato hangat lengkap dengan beberapa potong kukis di satu piring kecil.

"Sebenarnya, aku ingin memberitahumu semua ini setelah aku sudah berhasil menangkap Song Jino dan membuatnya dipenjara seumur hidup."

Jimin terdiam. Ketika nama itu disebut, dia seperti kembali lagi ke masa lalu dan itu hal terakhir yang dia inginkan. Yoongi menggenggam jemarinya erat.

"Aku sudah berusaha menyelesaikan semua ini sendirian. Aku mengira Taehyung, Seokjin, dan Namjoon saja sudah bisa membantuku tapi mereka membutuhkanmu juga karena kau kerabatku yang paling dekat dan kau ada di saat semua itu terjadi. Kau juga ada saat pemakamanku berlangsung. Kau bisa menjadi saksi kunci. Awalnya aku pikir kau tidak perlu tahu semua itu karena itu akan membuatmu mengingat semua kejadian itu lagi."

"Apa—apa orang itu sudah tertangkap?" tanya Jimin pelan.

"Belum. Dia sedang bersembunyi di suatu tempat. Seperti biasa karena ayahnya mempunyai jabatan di kepolisian, jadi dia bisa lolos dengan mudah tapi aku sudah menyewa seorang detektif dan kalaupun itu kurang, Seokjin akan memanggil detektif kenalannya di Singapura. Orang itu pasti tertangkap dan selama dia belum tertangkap aku harus mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya agar semuanya sudah siap dan dia tidak bisa lagi lari dari semua kesalahannya. Aku juga akan menjebloskan ayahnya ke penjara jika—"

"Yoongi, ayahnya begitu menyayangi dia."

"Yeah. Dan kau hampir mati karena anak kesayangannya. Jiminie, setidaknya dia perlu dipecat karena dia sudah bekerja sama memanipulasi kematianku."

"Kau benar. Aku begitu bodoh." Jimin berucap lirih.

"Hey, jangan bicara begitu. Setelah semuanya selesai, aku berjanji padamu kita akan kembali ke Dokter Ken dan kau akan mulai terapi di sana. Kau mau kan?"

Jimin mengangguk. "Aku sudah pernah kesana."

"Hoseok sudah bercerita padaku. Kita akan mencobanya lagi sampai kau benar-benar sembuh."

Lelaki itu tersenyum ke arah Yoongi sebelum menyeruput minumannya.

Langit sudah hampir sore ketika mereka meninggalkan Kyeonggi. Sepanjang perjalanan mereka hanya mendengarkan lagu yang diputar oleh radio.

"Hey, Jiminie"

Jimin menoleh. "Hm?"

"Kau mau menginap di rumah Nenek?"

.

.

Yoongi memberhentikan mobilnya di tempat yang lebih luas sebelum blok rumah Nenek Jung. Mereka berdua berjalan bersebelahan menyusuri satu blok rumah. Sebelum sampai, mereka sempat mampir di sebuah swalayan untuk membeli sikat gigi dan baju untuk tidur. Jimin menyempatkan untuk membeli beberapa bahan makanan untuk mereka sarapan besok pagi. Yoongi juga sudah menghubungi Seokjin. Kakak lelakinya meminta agar mereka pulang sebelum Jungkook datang dari bandara dan Yoongi mengiyakan.

Mereka berhenti di depan rumah Mrs. Han. Jimin melepaskan genggaman tangan Yoongi untuk mengetuk pintu. Tidak berapa lama, Mrs. Han membukakan pintu untuk mereka.

"Jiminie? Wah kebetulan sekali. Ada apa—"

Ucapan Mrs. Han terpotong saat dia melirik ke arah orang yang berdiri tidak jauh dari mereka. Tentu, dia masih mengingat siapa lelaki yang berdiri tidak jauh dari mereka. Mrs. Han tersenyum lebar.

"Tuan ini yang kemarin datang dari Singapura bukan?"

"Iya benar Bi. Aku ingin meminjam kunci rumah nenek malam ini. Kami akan menginap." Kata Jimin dan saat itu Mrs. Han tersenyum penuh arti.

"Jadi, benar Tuan ini kekasihmu Jiminie?" tanya Mrs. Han setengah berbisik.

Jimin tersenyum malu sebelum mengangguk pelan.

"Kalau begitu, tunggu sebentar aku akan mengambil kuncinya."

Mrs. Han menghilang ke dalam rumahnya. Yoongi mendekat dan menatap Jimin dengan ragu. "Kalian membicarakan aku?"

"Bibi hanya bertanya 'kau siapa?'"

"Dan?"

"Aku tidak memberitahunya."

"Kenapa?"

"Nanti saja setelah semuanya selesai. Bibi Han akan kaget dan pasti semua tetangga akan tahu besoknya."

Yoongi terkekeh setelah mendengar penjelasan Jimin. Tidak lama kemudian Mrs. Han datang membawakan kunci dan satu kotak kimchi untuk mereka. Keduanya berterima kasih sebelum beranjak ke rumah Nenek Jung.

.

.

Dingin.

Penghangat ruangan tidak dinyalakan saat mereka masuk. Yoongi masuk ke dalam lebih dulu untuk menyalakan penghangat sementara Jimin masih berdiri di depan pintu masuk. Sudah lama sekali semenjak dia datang kesini. Wangi ruangan dan tata letaknya tidak ada yang berubah. Begitu selesai menyalakan penghangat, Yoongi kembali ke ruangan paling depan dan menemukan Jimin masih berdiri di depan pintu.

"Masuklah Jiminie. Nanti kau kedinginan."

Jimin tersenyum tipis.

Hatinya kembali berdegup. Seakan dia bisa melihat Park Jimin dan Min Yoongi kecil sedang bermain bersama di ruang tamu. Mereka sedang melukis bersama-sama. Jimin sesekali mengintip hasil pekerjaan Yoongi dan diam-diam membandingkan dengan miliknya. Yoongi akan tertawa jika dia ketahuan mengintip dan memuji milik Jimin yang tidak kalah bagus. Di situ Jimin akan merasa senang dan kembali menggambar.

Matanya berair.

Oh Tuhan, seandainya Jimin bisa kembali ke saat itu. Dia ingin merubah semuanya menjadi lebih baik.

"Jiminie? Hey.."

Jimin tidak tahu sejak kapan Yoongi ada di depannya. Lelaki itu menatapnya dengan dalam. "Yoongi, aku hanya—"

"Aku tahu. Bagaimana kalau kita ke kamarku?" ajak Yoongi sambil menggandeng lengan Jimin dan membawanya naik ke lantai dua.

Dia membuka pintu kamarnya pelan-pelan dan saat itu genggaman tangan Jimin padanya semakin erat seakan Jimin begitu takut Yoongi akan melepaskan tangannya.

Yoongi mendudukkan Jimin di atas ranjangnya mereka berdua duduk berdampingan.

Yoongi tersenyum.

"Ranjang ini dulunya sangat besar ya? apa kita masih bisa tidur bersama di sini?"

Jimin tidak menjawab karena saat itu Jimin hanya menunduk.

Yoongi beringsut bangun lalu berjongkok di hadapan Jimin. Lelaki itu menangkupkan tangannya pada wajah Jimin.

"Jiminie, Hey—"

"Maafkan aku Yoongi." hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Jimin selain isakannya.

"Jiminie, jangan menangis lagi kumohon."

"Aku sudah banyak sekali menyakitimu dan merusak persahabatan kita. Aku sangat malu ada bersamamu begini. Aku sudah mengemis agar aku bisa ada di sampingmu. Aku masuk ke hidupmu lagi dan membuatmu susah."

Yoongi terdiam dan membiarkan Jimin mengeluarkan semua yang ada di hatinya selama ini. Dia mengenggam jemari Jimin dengan erat seolah memberi Jimin kekuatan untuk bicara.

"Malam itu dari semua malam yang sudah aku lewati bersamamu. Di setiap kali ayahku mabuk dan menyiksa ibuku juga aku, kamar ini adalah kamar yang paling aku sayangi karena ada kau dan Nenek Jung. Hanya kalian berdua yang begitu menyayangiku di dunia ini. Yoongi aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tahu perasaanku ini sangat aneh. Aku merasa kau bukan lagi temanku. Aku merasa kita berdua lebih dari itu. Aku memimpikanmu setiap malam kita bersama. Aku bermimpi kau menyentuhku sepanjang malam hingga aku begitu malu menatapmu. Aku tidak ingin kau salah paham. Aku tidak ingin kau terluka tapi aku tahu aku lebih tidak ingin terluka karena kau tidak merasakan hal yang sama. Aku pergi malam itu setelah aku menangisimu dan menciummu. Aku berubah karena aku tidak ingin kau tahu kalau aku mencintaimu. Aku ingin membuat Song Jino meluapkan semuanya padaku tapi karena kau terus-terusan ada di dekatku akhirnya kau tetap jadi sasarannya. Semua itu menyiksaku Yoongi. Aku— aku benar-benar ingin mati saat aku tahu kau tenggelam. Aku ingin ikut denganmu. Aku begitu malu pada Nenek karena Nenek Jung begitu baik padaku. Nenek bahkan tidak menyalahkanku sama sekali. Setelah aku tidak ada, aku membaca buku catatanmu yang ada di laci. Aku baru sadar kalau kau juga mencintaiku. Aku merasa bodoh. Aku ingin membuat semuanya kembali seperti semula. Aku ingin kau tetap ada di sini. Aku ingin memelukmu Yoongi. Aku ingin bersamamu. Aku hampir membunuh diriku sendiri kalau tidak Nenek Jung dan Taehyung menolongku. Nenek selalu percaya kau akan datang. Nenek tahu kau belum meninggal. Hanya saja nenek merasa kau terlalu lama kembali. Nenek sakit karena setiap malam merindukanmu. Nenek selalu baik di depanku tapi Nenek selalu menangisimu diam-diam. Aku— saat aku bertemu lagi denganmu. Aku tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan selain membuatmu ada di sisiku. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi Yoongi. Aku mencintaimu. Jangan tinggalkan aku lagi. Sampai hari ini aku tidak pernah berani kembali ke sini karena aku bisa melihat kita bermain bersama. Aku juga melihatmu menangis sendirian. Aku melihat diriku menangisimu. Aku melihat Nenek Jung juga menangisimu. Jangan tinggalkan aku lagi Yoongi. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Yoongi tidak menjawab. Dia menarik Jimin ke dalam pelukannya. Membiarkan air matanya juga mengalir deras di sana.

"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi Jiminie. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Oh Tuhan, maafkan aku Sayang."

Yoongi melepas pelukannya dan memberikan satu ciuman panjang di bibir Jimin.

"Jangan menangis lagi Jiminie. Berjanjilah kita akan memulai semua ini dari awal lagi."

Jimin mengangguk pelan dan kembali meraih Yoongi ke dalam pelukannya.

"Terima kasih kau sudah kembali Yoongi. Terima kasih kau sudah mencintaiku Kim Suga." bisik Jimin serak.

Yoongi mengusap punggung Jimin dan membisikkan hal yang sama. "Terima kasih kau sudah menungguku Jiminie. Terima kasih kau sudah mencintai Kim Suga."

.

.

.

Keduanya tidur dalam satu dekapan erat. Di ranjang yang kini terlihat lebih kecil. Jimin menenggelamkan kepalanya di bahu Yoongi dan memeluk Yoongi seperti tanaman rambat yang tidak bisa lepas. Mereka bicara banyak malam tadi dengan Jimin yang pelan-pelan sudah bisa berhenti menangis. Yoongi membawanya mengingat masa lalu tanpa membuat Jimin merasa bersalah. Mereka membahas semuanya sampai tidak ada lagi pembatas yang menghalangi mereka hingga akhirnya Jimin tertidur dalam pelukan Yoongi.

Saat terbangun, Yoongi mengusap rambut Jimin yang menutupi wajahnya. Mengecupi bibir Jimin dengan lembut sampai lelaki di sampingnya terbangun. Matanya masih sembab dan Yoongi dengan gemas mengecup kelopak mata Jimin berulang-ulang hingga Jimin merasa malu sendiri dan menutup wajahnya dengan selimut.

Tentu saja Yoongi akan menarik selimutnya dan menggantikan semua itu dengan ciuman hangatnya. Ciuman yang kemudian berubah menjadi pagutan hingga Jimin menarik Yoongi agar lelaki menciumnya lebih dalam. Yoongi memasukkan lidahnya dan saat itu Jimin mengerang lemah. Kedua tubuh yang saling bertaut bergerak mencari friksi satu sama lain. Yoongi mendesah saat Jimin menggesek bagian bawah tubuhnya hingga sekarang yang ada dalam dirinya hanya hasrat untuk membuat Jimin menyebut namanya dalam erangan dibawah kungkungannya.

"Oh—Yoongi."

Satu kali.

Yoongi akan membuat Jimin menyebut namanya tanpa henti hari ini sampai hanya namanya yang bisa keluar dari bibir Jimin.

Yoongi melepas semua baju Jimin tanpa memikirkan dimana dia melemparkan mereka. Yoongi menyusuri tubuh Jimin dengan bibirnya. Mengecupi leher Jimin sebelum menghisapnya kuat-kuat. Mengulum pucuk dadanya hingga Jimin menarik rambutnya dengan frustasi.

"Yoongi.."

Saat itu Yoongi berhenti untuk membuka sisa bajunya dan celana Jimin sambil melemparnya ke sembarang arah. Jimin menatapnya dengan lemah. Bibirnya sudah basah dan bengkak. Lehernya memerah karena Yoongi sedikit menggigitnya.

Yoongi mengusap wajah Jimin dengan lembut. Mengecup hidungnya dan terkekeh pelan.

"Bagaimana kalau ranjang ini hancur nantinya?" ledeknya. Jimin memukul lengan Yoongi dengan sebal.

"Kau masih bisa bercanda sekarang?"

Yoongi tertawa lagi. "Ah ya, Jiminie sudah tidak sabar."

"Yoongi, kumohon."

Yoongi tidak menjawab lagi. Dia kembali memagut bibir Jimin dengan penuh-penuh sambil mengangkat satu kaki Jimin agar kedua milik mereka bersentuhan. Jimin kembali mengerang. Tangannya sudah tidak tahu arah mengacak-acak rambut Yoongi hingga Yoongi berhenti dan menatapnya sesaat.

"Aku mencintaimu Jiminie."

Jimin tersenyum lemah. Jemarinya mengusap wajah Yoongi dengan lembut. "Aku juga mencintaimu Yoongi-yah."

Yoongi kembali menurunkan ciumannya. Menghisap lidah Jimin dan bermain dengan dadanya. Hingga dia sampai pada milik Jimin dan mengulumnya. Miliknya begitu keras dan sudah mengeluarkan cairan pre-cum. Yoongi mengecupi miliknya sebelum turun lagi ke bawah. Jimin bersumpah dia mendesah begitu keras saat Yoongi mengecupi pusatnya dan memasukkan lidahnya di sana.

"Yoongi-yah— Ahs—"

"Jiminie aku tidak membawa lube." ucap Yoongi sedikit menyesal.

"Aku membawanya di dalam tasku."

Yoongi menatap tidak percaya lalu terkekeh ketika dia bangkit dan menemukan botol lube di dalam tas Jimin.

"Kau sungguh—"

"Aku tahu aku akan membutuhkannya." jawab Jimin tanpa menatap langsung ke arah Yoongi. Dia menarik lengan Yoongi agar Yoongi segera meneruskan percintaan mereka.

Yoongi melumuri jarinya dengan lube sebelum memasukkan ke dalam pusat Jimin.

"Lihat aku Jiminie."

Dan Jimin tidak bisa mengelak lagi. Dia menatap Yoongi yang kini juga menatapnya dengan dalam. Jemarinya mulai membuka jalan dan mencari titik di dalam prostatnya. Jimin mendesah saat Yoongi menambah satu jari di dalam.

"Look at you Baby. You're so good for me."

"Y-yoongi-ah—oh!"

Jimin mengerang saat jemari Yoongi menumbuk prostatnya dan saat itu juga Yoongi menarik jarinya keluar, dengan cepat dia melumuri miliknya yang sudah mengeras dengan lube. Yoongi mengecup bibir Jimin.

"Kau sudah memimpikan aku?"

"Hmm—"

"Apa kau juga bermimpi saat kita bercinta? Kau memimpikan soal ini di mimpi basahmu?" bisik Yoongi dengan suara beratnya sambil mengangkat kaki Jimin agar bertaut ke pinggulnya. Yoongi memasukkan miliknya ke dalam pusat Jimin dengan satu gerakan sekaligus.

"Yoongi—aah!" erang Jimin sambil meraih bahu Yoongi dan kuat-kuat menahan tubuhnya di sana.

Yoongi menumbuk pusat Jimin kuat-kuat. Seakan dia tidak memberikan waktu untuk Jimin berhenti menyebut namanya.

"Katakan apa kau memimpikan penyatuan kita begini? Kau ingin aku menumbukmu begini? Jiminie—"

"Ahh— Yoongi— h-hanya kau yang ada di mimpiku."

Yoongi terus bergerak dengan Jimin yang tidak pernah berhenti mengerang menyebut namanya. Hingga Yoongi merasa dirinya semakin dekat.

"Baby, you're so good around me. Oh God— Jiminie—"

"Y-yoongi— j-jangan berhenti."

Yoongi mengulum bibir Jimin kuat-kuat. "Come for me Baby. Come for me."

Dan saat itu Jimin sampai pada klimaksnya bersamaan dengan Yoongi yang mengigit lehernya kuat-kuat hingga dia juga menyemburkan cairannya di dalam pusat Jimin. Jimin mendesah pada rasa hangat yang mulai memenuhinya. Yoongi terkulai lemas di atas tubuh Jimin dengan benihnya yang masih keluar di dalam pusat Jimin. Sesaat dia hanya mengecupi bekas gigitannya yang sedikit membuat leher Jimin membiru.

"Yoongi—" panggil Jimin pelan setelah beberapa menit.

"Jiminie, jangan pernah berkata soal mimpi basahmu lagi ya. Aku bisa gila." ucap Yoongi dengan nada menyesal.

Jimin terkekeh dan meraih tubuh Yoongi untuk mencium lelaki itu penuh-penuh di bibirnya.

"Oh Yoongi kau sudah membuatnya menjadi nyata."

.

.

.

Keduanya kembali tertidur sesaat setelah Yoongi membersihkan tubuh mereka. Yoongi menggendong Jimin ke kamar mandi dan mengusap tubuh Jimin dengan air hangat. Membersihkan sisa cum-nya sampai benar-benar bersih sebelum mereka kembali tidur. Hingga saat Yoongi terbangun lagi, Jimin sudah tidak ada di sampingnya.

Yoongi mengambil sepotong baju dari dalam tas dan memakainya sebelum turun ke dapur. Dia mendengar suara orang memasak. Jimin sedang berdiri di konter dapur hanya dengan mengenakan kemeja Yoongi yang kebesaran. Mungkin dia sedang memasak sesuatu karena semalam Jimin belanja beberapa bahan masakan.

Yoongi mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggang Jimin. Yoongi mengecup pundak Jimin dengan lembut.

"Aku ingat Nenek pernah membuatkan sup ini." kata Yoongi sambil memperhatikan Jimin yang sedang mengaduk masakannya. Dia berdiri di belakang Jimin dengan dagunya yang menempel pada bahu Jimin.

Jimin mengangguk. "Nenek mengajarkanku cara membuatnya. Sewaktu kau— uhm—"

"Tidak apa-apa, Jiminie."

Jimin seketika mematikan kompor dan berbalik menatap Yoongi yang kini ada di depannya hampir tidak berjarak. Perlahan Jimin mengangkat jemarinya dan mengusap wajah Yoongi dengan lembut.

"Yoongi.." panggilnya hampir tidak bersuara. Yoongi tersenyum lebar dan mengamit jemari Jimin di wajahnya. Yoongi mengecup jemari Jimin dengan lembut. Matanya tidak pernah lepas dari mata Jimin. Menatapnya begitu teduh seperti Jimin selalu bersamanya selama dia hidup. Seperti Yoongi tidak pernah pergi. Sungguh tidak ada yang berubah sama sekali.

Jimin membuat namanya begitu indah ketika dia menyebutnya dengan lembut dan pelan seakan dia begitu takut Yoongi akan menghilang di detik setelah dia mengedipkan matanya. Betapa Yoongi mencintai Jimin. Dia tidak mempunyai ide seberapa banyak tapi satu hal yang pasti, Yoongi ingin selalu bersamanya.

Yoongi menghapus jarak keduanya. Dia memberikan sebuah kecupan pada bibir Jimin beberapa kali sebelum memagutnya dengan lembut.

Jemari Yoongi mulai turun ke bawah dan memainkan pucuk dada Jimin.

"Yoongi, kau tidak ingin makan dulu?"

"Iya. Kita akan makan setelah ini." jawab Yoongi sambil membawa Jimin ke sofa terdekat. Dia mendudukan Jimin di atas pangkuannya.

"Siapa yang menyuruhmu memakai kemeja ini? Kau tidak tahu ya fantasi seorang pria bagaimana?" kata Yoongi sedikit dibuat kesal.

Jimin menatap Yoongi dengan heran. "Aku—"

"Kau membuatku gila Park Jimin. Kau penyebab kematianku nanti." bisik Yoongi di telinga Jimin.

Jimin tidak menjawab lagi. Dia hanya menuruti semua permainan Yoongi. Yoongi melepaskan kancing kemejanya satu per satu dan mulai mengulum dadanya kuat-kuat. Jimin mengigit bibirnya. Ya Tuhan, kenapa Yoongi justru yang membuatnya seperti orang gila sekarang.

"Yoongi—"

"I'll make you feel good Baby. I promise. I'll make you forget your name."

Jimin tidak tahu kenapa Yoongi terdengar begitu seksi saat dia membisikkan kata-kata di telinganya memakai bahasa inggris.

Yoongi membuka celana panjangnya juga boxer yang Jimin kenakan. Dia bisa merasakan milik Yoongi sudah mengeras dan bergesekkan dengan miliknya.

"Ah— Y-yoongi—"

Dengan satu gerakan Yoongi membaringkan tubuh Jimin di atas sofa dan memasukkan miliknya ke dalam pusat Jimin.

Jimin menjerit dengan hebat. Yoongi tidak lagi menyiapkan pusatnya karena Yoongi tahu, penyatuan mereka beberapa jam yang lalu masih membekas. Pusatnya masih sedikit perih dan sekarang Jimin merasa kembali penuh.

"Ahh—"

Yoongi menumbuk pusatnya tanpa henti dengan gerakan yang lebih cepat. Jimin meraih pundak Yoongi dan tidak tahu mungkin jarinya sudah mencakar punggung Yoongi hingga memerah. Jimin tidak tahu. Dia hanya ingin meluapkan gairahnya di sana. Perasaan begitu penuh dan begitu nikmat saat Yoongi bergerak begitu cepat menyentuh prostatnya. Ini semua membuatnya gila.

"Yoongi— Yoongi—"

"Jiminie— Oh Jiminie— kau membuatku gila."

Keduanya sampai bersamaan. Yoongi kembali mengerang dan melepaskan cairannya di dalam pusat Jimin begitu juga dengan Jimin, cairannya menyembur diantara tubuh keduanya tanpa Yoongi menyentuh miliknya sedikitpun.

"Yoongi—" panggil Jimin lemah.

"Kau baik-baik saja Sayang?"

Oh pemandangan ini begitu menyesatkan Yoongi. Jimin yang rambutnya berantakan dengan bibir bengkak sedikit terbuka. Tubuhnya yang penuh dengan tanda kemerahan juga kemeja putihnya yang kini sudah tercampur keringat dan cairan mereka berdua.

Yoongi belum pernah merasa Jimin dengan sempurna menyelesaikan semua fantasinya.

.

.

.

Jika setelah itu kalian berfikir mereka akan meneruskan pekerjaan di dapur maka kalian salah. Yoongi membawa Jimin ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya tapi tubuh keduanya kembali bertaut di bawah guyuran air shower. Mereka kembali bercinta hingga Jimin tidak mempunyai sisa energi lagi untuk meladeni hasrat Yoongi. Jimin tertidur pulas setelah Yoongi mengganti bajunya. Yoongi memeluknya erat sampai Jimin benar-benar terlelap lalu dia ke dapur dan melanjutkan masakan Jimin yang tertunda.

Dua jam kemudian Jimin kembali bangun dan Yoongi menyambutnya dengan ciuman hangat. Keduanya makan dalam diam sambil sesekali Jimin melirik Yoongi.

Yoongi terkekeh.

"Kenapa kau menatapku begitu Jiminie?" tanya Yoongi.

"Kau berbeda sekali."

"Aku?"

"Iya. Yoongi yang aku kenal tidak begini. Kim Suga juga tidak begini."

"Aku tidak ingin menjadi dua orang itu lagi. Aku ingin menjadi diriku yang baru. Aku ingin menunjukkan padamu kalau aku begitu mencintaimu. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi."

Jimin terdiam. Rasa haru mulai melingkupinya. Yoongi menaruh sumpitnya dan mengenggam jemari Jimin.

"Kau juga mau kan menjadi Jiminie yang begitu mencintaiku? Kau mau kan menceritakan semuanya padaku. Kau senang, kau sedih, kau marah, kau bahagia, kau mau kan?"

Jimin mengangguk perlahan.

"Kalau begitu kebahagiaanku sudah lengkap."

Keduanya tidak bicara lagi. Mereka menyelesaikan makan dan setelah itu menonton acara TV di ruang tengah di tempat mereka bercinta tadi. Jimin berada di rangkulan Yoongi dengan baju hangatnya yang tebal. Dia tidak pernah merasa hidupnya begitu lengkap begini. Dia sangat bahagia.

"Yoongi." panggil Jimin pelan.

Yoongi menoleh dan menatapnya lembut. "Hmm?"

"Aku bahagia."

Yoongi terkekeh. "Aku juga bahagia Jiminie."

Lelaki itu mengecup tangan Jimin dengan lembut sebelum merangkulnya lebih erat. Yoongi juga mengecup keningnya.

Jimin ingat hal ini. Belasan tahun lalu mereka sering menonton acara kartun berdua. Dengan Yoongi duduk di sampingnya dan terkadang merangkulnya tanpa sadar.

Semua itu terulang sampai hari ini.

Hanya saja kali ini Jimin tahu dia tidak mempunyai keraguan lain. Dia mencintai Yoongi dan Yoongi mencintainya. Semua itu sudah cukup.

Semoga Nenek Jung merasakan kebahagiaan yang sama. Semoga Tuhan sudah menjawab semua doa Nenek Jung.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Incheon International Airport, hari ini.

Jungkook sebenarnya tidak suka cuaca dingin tapi dia lebih memilih musim dingin dibanding berada di iklim tropis. Begitu tinggal di Singapura, dia hampir selalu mempunyai masalah kulit yang sedikit lebih merah terkena sinar matahari. Singapura sering lebih panas dari biasanya dan tiba-tiba saja hujan turun. Semua itu sangat menyebalkan.

Jungkook memeriksa aplikasi cuaca yang ada di ponselnya. Empat derajat. Wow. Dia mengangkat kakinya sekali dua kali sambil menunggu gilirannya untuk melewati bagian imigrasi.

Lebih dari rasa dingin ini, rasanya lega bisa kembali ke Seoul. Mencintai Seoul sangat mudah. Seperti ada magnet yang menariknya kuat. Dia ingin kembali lagi dan lagi atau mungkin mengulang semua yang pernah dia lakukan di Seoul. Jika bisa Jungkook ingin bertemu dengan orang itu yang selama ini dia cari, yang selama ini ada di pikirannya.

Sayang sekali, rasanya takdir begitu jauh untuknya. Dia sama sekali tidak tahu harus bagaimana mencari orang itu tanpa sepengetahuan Seokjin dan Namjoon.

Bicara tentang pasangan itu, Jungkook melihat Seokjin dan Namjoon saat dia baru keluar dari pintu kedatangan. Seokjin yang mengangkat sebuah kertas bertuliskan 'Sepupu yang Menyebalkan'. Jungkook tertawa dan berjalan lebih cepat ke arah mereka.

Mereka bertiga berpelukan. Namjoon melepas kaca mata hitamnya dan meraih trolly yang dibawa Jungkook. Sementara Seokjin masih memeluknya dengan erat.

"Akhirnya kau datang. Kau tidak lupa mengunci rumah kan?"

Jungkook memutar bola matanya sebal. "Dengan pertanyaan itu, aku anggap semuanya baik-baik saja di sini. Mana Suga Hyung?"

"Oh, jangan bicarakan soal Suga. Mereka berdua seperti pasangan yang baru saja pulang bulan madu. Menjijikkan."

"Kalian berdua juga seperti itu setiap hari, jadi sekarang penyiksaanku bertambah."

Namjoon terkekeh. Dia mengusap kepala Jungkook dengan sayang. "Mereka hanya melakukan itu di kamar dan oh! Mungkin di dapur. Aku pernah melihat mereka di dapur tapi itu hanya karena mereka berfikir aku belum bangun. Jadi kau tidak perlu bangun terlalu pagi."

"Come on Hyung!" gerutu Jungkook.

Namjoon tertawa lagi. "Kau harus memaklumi mereka. Jimin baru saja tahu kalau Suga sudah mengingat masa lalunya."

"Pasti dia sangat senang ya?"

"Dia sempat pergi dari rumah karena terguncang tapi untung saja Taehyung membawanya pulang."

Jungkook terdiam. "Taehyung?"

"Oh God darlin, I haven't told him about Taehyung. You know sweetie, Taehyung is Jimin's and Suga's best know what, he almost date Hoseokie."

"Hampir?"

"Tinggal menunggu waktu saja. Mereka sangat serasi. Kau harus mendukung mereka ya. Malam nanti, mereka akan datang untuk makan bersama."

Jungkook mengangguk. Ada bagian dari hatinya yang mengganjal begitu nama Taehyung disebut namun sebelah hatinya berfikir pasti ada banyak nama Taehyung di dunia ini. Semua itu hanya kebetulan.

Yeah. Tentu saja dia salah.

.

.

.

Ketika sampai di rumah, Suga dan Jimin sudah berdiri di depan rumah untuk menyambutnya. Jungkook membuka pintu mobil dan buru-buru berjalan ke arah mereka untuk berpelukan. Suga mengusap punggungnya lembut.

"Akhirnya kau sampai di sini Jungkookie." Katanya senang. Well, semenjak ingatannya kembali Suga menjadi orang yang lebih mudah tersenyum. Sepanjang Jungkook hidup bersama Suga, sepupu angkatnya itu lebih mirip kakek-kakek tua yang suka menggerutu dan menggumam sendiri. Memang perlu waktu banyak untuk menghadapi kebiasaan Suga tapi, Jungkook tidak pernah memungkiri kalau Suga orang yang sangat perhatian. Di balik semua sikap dinginnya, Jungkook tahu Suga sangat menyayanginya. Sekarang di samping Suga sudah ada seseorang yang berdiri begitu manis menatapnya. Park Jimin sepertinya memang ditakdirkan untuk Suga. Di segala keadaan lelaki itu akan tetap berdiri seakan dia tidak pernah terluka. Diam-diam Jungkook ingin mencintai seseorang seperti Jimin mencintai Suga. Tanpa alasan yang jelas semua perjuangan Jimin membuatnya tertegun di beberapa waktu.

"Jungkook-ssi, apa kabar?" sapanya riang.

Jungkook tidak ragu untuk memeluk Jimin dan mengusap punggungnya lembut. "Aku senang sekali bisa bertemu Jiminie Hyung lagi."

"Huh? J-jiminie Hyung?" ucap Jimin tidak percaya. Jungkook mengangguk.

"Seokjin Hyung bilang mulai sekarang aku harus memanggilmu dengan sopan. Aku juga ingin kau berbicara denganku seperti biasa Hyung."

Jimin menoleh ke arah Seokjin. Senyumnya terkembang lebar dan Seokjin mengangguk kepadanya. "Tentu. Terima kasih. Aku sangat senang."

"Akhirnya anak ini sudah tahu cara berkata sopan?" sindir Suga.

"And you're not helping at all Mr. Boring."

"Dingin. Ayo masuk ke dalam saja." usul Namjoon sambil menggiring Seokjin masuk ke dalam. Suga mengikutinya sambil merangkul pinggul Jimin agar ikut bersamanya. Jungkook tersisa sendirian di depan pintu bersama kopernya.

"Aish, kalian memang jahat sekali padaku." gerutunya kesal. Dari dalam dia bisa mendengar Namjoon dan Suga sedang tertawa bersama.

Jungkook senang.

Sekarang keluarga ini terasa lebih lengkap.

Iya, dia benar-benar menyayangi keluarganya yang tersisa.

.

.

.

"Jadi bagaimana kuliahmu?" tanya Jimin sambil mengupas beberapa buah untuk disajikan di meja makan.

"Nilaiku bagus tapi aku mengejar semua sks-ku di awal semester. aku mengikuti beberapa kelas tambahan supaya aku tidak tertinggal nantinya."

"Lalu apa rencanamu di sini?" tambah Seokjin. Di konter dapur bagian lain Seokjin sedang menumis japchae sambil sesekali mencicipi masakannya.

"Aku ingin kursus design grafis tambahan juga belajar fotografi. Hyung tahu kan aku suka fotografi."

"Itu bagus tapi ingat itu hanya untuk hobi saja." kata Seokjin mengingatkan.

"Iya. Aku melakukannya untuk senang-senang saja. Aku senang kok."

"Memangnya Jungkookie ingin bekerja dimana nantinya?"

Jungkook terkekeh. "Tentu di Netflix Hyung. Aku hanya ingin bekerja di sana sebagai balasan untuk—"

"Jungkookie, kita tidak membicarakan itu lagi ya. Aku tidak ingin semua ini membebanimu. Jalani saja. Aku memang tidak suka kalau kau tidak bekerja di Netflix. Aku bisa mengawasimu dan mengajarkanmu sekaligus."

Jungkook mengangguk pelan. "Iya Hyung. Maaf."

Seokjin mendekat dan mengusap kepala Jungkook dengan lembut. "Lupakan yang sudah berlalu dan anggap saja kau memang bagian dari keluarga kita. Setuju?"

Dia mengangguk lagi. "Iya Hyung."

Jungkook tahu Jimin tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Mungkin lain kali Jungkook akan memberitahu Jimin lebih banyak. Saat ini Jimin sedang tersenyum lebar meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia selalu bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Ah ya, jam berapa Hoseok Hyung akan datang?" tanya Jungkook.

"Sebentar lagi. Mungkin dia menjemput Taehyung sebelum datang." jawab Seokjin.

"Oh iya, aku belum pernah bertemu dengan Taehyung ini. Jin Hyung bilang dia temanmu ya?"

Jimin mengangguk. "Iya. Dia temanku dari dulu. Namanya Kim Taehyung. Aku belum bercerita kalau kau akan datang tapi nanti pasti aku kenalkan padamu."

Kim Taehyung.

Nama itu sudah agak buram seperti cermin yang tidak pernah dibersihkan tapi ketika nama itu disebut Jungkook masih bisa merasakannya. Malam pertama mereka. Suara desahannya yang mengalun di tengah malam. Ciuman lembut yang berubah menjadi cumbuan penuh hasrat. Jungkook tidak ingin wajah panasnya ketahuan. Lagipula, nama Kim Taehyung ada begitu banyak di dunia ini iya kan?

TING TONG

"Itu pasti Hoseok Hyung. Aku ingin memberi kejutan. Biar aku yang membuka pintu."

Jimin tertawa lebar dan mengiyakan. Jungkook berjalan ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar dengan satu gerakan. Dia melihat raut wajah Hoseok yang terkaget-kaget. Jungkok tertawa lebar.

Dia tidak melihat bagaimana Hoseok langsung menariknya ke dalam pelukan. Dia tidak tahu apa yang terjadi karena dunianya mendadak tidak bersuara saat dia menoleh ke arah satu orang yang berdiri di samping Hoseok.

Apa pertemuan ini lebih dari kencan buta satu malam untukmu? Kalau iya, aku ingin bertemu lagi denganmu besok, lusa, dan seterusnya. Apa kau mau? kembali lagi ke sini dan melakukannya lagi dengan nama yang baru. Bercinta.

Hari itu Jungkook mengangguk dan mengecup bibir Taehyung dengan lembut. Dia ingin pulang. Setiap hari dia ingin pulang ke Seoul dan berkata kalau hari ini, esok, dan seterusnya dia tidak akan pernah pergi dari Taehyung.

Sekarang keduanya berdiri dalam jarak dengan tangan Hoseok menggandeng Taehyung. Jungkook tahu saat itu juga, dia sudah kehilangan banyak hal.

"Jungkookie, ini Taehyung. Kim Taehyung. Taehyungie, ini Jungkook. Dia sepupu Seokjin."

Taehyung menunduk memberi salam. Jungkook membalasnya.

"Aku tidak tahu kalau Seokjin Hyung mempunyai sepupu di Singapura."

"Aku lupa menceritakannya padamu. Jungkook sedang liburan kan di sini?"

"Iya Hyung. Aku mengambil cuti."

"Wah, senangnya. Mana yang lain?"

"Di dapur. Mereka di dapur."

.

.

.

Jungkook merasa seperti ada di luar lingkaran. Seperti hanya dunianya saja yang masih berhenti sementara yang lain terus berputar. Mereka berjalan kesana kemari. Mereka tertawa dan bicara ini itu tapi Jungkook merasa hanya dunianya yang diam di tempat. Dia bahkan tidak bisa berkata apapun. Lidahnya kelu. Setidaknya dia ingin menyapa Taehyung. Menanyakan kabarnya dan menjelaskan semuanya. Bukankah itu yang selama ini dia inginkan. Kenapa setelah bertemu Taehyung dia malah sama sekali tidak bisa berkata apa-apa.

Jungkook mencuci wajahnya dengan air dingin. Rasanya hampir beku dan semoga membawa akal sehatnya kembali.

Satu helaan nafas kemudian Jungkook menatap wajahnya di cermin.

Bagaimana mengatakannya?

Bagaimana caranya tiba-tiba datang lagi di hidup seseorang yang mungkin sudah melupakannya dan menjelaskan begitu saja semua yang terjadi padanya.

Apa Taehyung menunggunya dan apa Taehyung sudah melupakannya.

Apa semua ini sudah tidak ada artinya lagi.

Jungkook tidak tahu.

Dia menutup pintu toilet pelan-pelan tanpa tahu di depannya sudah ada seseorang yang berdiri.

"Oh, Tae— maksudku Taehyung Hyung." kata Jungkook gugup.

"Aku juga ingin memakai toilet kalau kau sudah selesai." kata Taehyung pelan. Jungkook mengangguk dan menyingkirkan dirinya dari pintu.

"A-aku sudah selesai."

Taehyung tidak menjawabnya. Lelaki itu melangkah masuk. Ketika dia akan menutup pintu, Jungkook berbalik dan menahannya.

"Tae, maafkan aku. Ada banyak hal yang terjadi. Aku tidak bisa menghubungimu. Aku—"

"Aku juga tidak menghubungimu Kook. Aku lupa dimana menyimpan nomormu dan kau tidak perlu meminta maaf karena aku juga sudah melupakan semua itu." ucapnya pelan sambil menutup pintu toilet.

Lihat.

Mungkin ini yang Jimin rasakan saat Suga tidak mengingatnya atau mungkin lebih buruk.

Jungkook tiba-tiba merasa dia sangat konyol. Ternyata semua perkataan Taehyung memiliki batas waktu. Dia mengira mungkin Taehyung akan menanyakan janjinya. Dia mengira mungkin Taehyung menunggunya karena Jungkook sama sekali tidak melupakan Taehyung. Jungkook mengingatnya setiap hari. Jungkook ingin bersamanya. Jungkook ingin kembali dan Jungkook tidak ingin memenuhi kepalanya dengan pertanyaan mengapa karena Jungkook tahu semua yang sudah lewat dari batas waktu tidak lagi pantas dipertanyakan.

Dunianya masih berhenti.

Hanya Taehyung dan kenangan masa lalu mereka yang terus berputar-putar di kepalanya.

Apa ini mimpi?

Karena Taehyung yang ada di kepalanya bukan yang baru saja dia temui.

.

.

.

.


To Be Continue—

Halooo halooo

pertama-tama aku mau info kalau aku ganti uname jadi Pepperblush. temen-temen bisa temuin aku juga di wattpad. untuk sementara baru ada cerita KookV di sana. aku ngerasa lebih nyaman dengan uname ku yang sekarang. biasalah masala jati diri kadang suka nongol di saat yang terlambat tapi yawdalah yaaaa wkwkwk

yang kedua seperti biasa ya maaf aku terlambat update dan terima kasih sudah menunggu.

yang ketiga, iyap kita masuk ke trianglenya Taekook sama Hoseok. Akhirnya bagaimana biar nanti temen-temen tebak sendiri ya ehehehehe

ceritanya masih lumayan panjang sih tapi buat yoonminnya mungkin porsinya agak kurang dikit. beberapa waktu nanti aku bakal nyeritain dari sisinya Jungkook. tetep tungguin ceritanya yaa.

Selamat membaca.

Sampai jumpa lagi.