Unrequited Reminiscence

majority: yoonmin

by lonalunatic

.

.

summary: Suga merasa ingatannya tidak pantas kembali. Mereka sangat kelam. Hitam putih dan menyayat hatinya. Park Jimin sendiri rela melakukan apapun agar bisa kembali dalam ingatan seseorang.

.

note: yoonmin au. penulis menyebutkan umpatan dalam bahasa inggris dan indonesia juga konten dewasa yang sebaiknya tidak dibaca anak-anak.


Chapter 1: Matahari Sudah Kembali

.

.

8 Tahun Sebelumnya…

.

.

January 12nd, Orchard St. Singapore

.

.

Bunyi-bunyi mesin rumah sakit seperti selalu mewakili isi hati Seokjin. Mereka seolah hatinya yang berdenyut gugup dan untung saja tidak meledak karena rasa takut dan khawatir begitu menumpuk menjadi satu.

Sudah hari ke sepuluh. Tidak ada terlihat tanda-tanda hari yang cerah. Hujan terus-menerus tanpa henti seakan meledek Seokjin yang bersikeras dengan harapannya. Jalanan Orchard St selalu basah dan orang-orang melayu yang lewat selalu tampak muram. Well, mereka tidak suka hujan karena kebanyakan dari mereka adalah pedagang yang mengambil untung dari turis yang datang.

Seokjin melihat kedai eskrim Mr. Oh tampak sepi. Lelaki tua itu sibuk mondar-mandir merapikan meja dan tatanan kursi. Biasanya jika bosan di kantor, Seokjin akan mampir kesana menunggu Namjoon datang menjemputnya pulang. Mr. Oh bukan orang yang menyebalkan, beberapa kali dia menemani Seokjin mengobrol. Kebanyakan tentang perang dunia dan perang seperti Seokjin peduli, hanya saja dia menghargai lelaki tua itu dan ketika Namjoon datang Mr. Oh selalu membuatkan satu bucket gratis untuknya. Namjoon terkadang mengeryit tidak suka dengan rasa manis vanilla yang keterlaluan sampai akhirnya Seokjin yang menghabiskan semuanya.

Lelaki itu tersenyum tawar pada dirinya sendiri. Sudah berapa lama dia menunggu? mungkin lebih dari sebulan dia melupakan beberapa fakta tentang dirinya karena semua kejadian ini. Tidak berarti Seokjin tahu mengapa dia melakukannya. Hell, sedikit menyeramkan jika diingat apa yang sudah dia lakukan.

Seokjin menutup kembali tirai jendela dan mengalihkan pikirannya pada satu sosok yang kini terbaring dengan beberapa alat rumah sakit yang terpasang pada tubuhnya.

Satu tarikan nafas panjang kemudian Seokjin duduk di sampingnya.

"Namjoon bilang kau akan bangun saat matahari kembali dan sekarang masih hujan"

Tentu, tidak akan ada jawaban.

"Aku berharap kau akan mengerti ketika aku menjelaskan semuanya."

Seokjin bisa mendengar suara Namjoon dari lorong rumah sakit. Hampir semua dokter mengenal suaminya dan menyapanya setiap dia datang. Ayah Namjoon memiliki saham di rumah sakit ini dan dari yang Seokjin tahu, suaminya nanti yang akan mengambil alih proyek pembangunan di rumah sakit ini.

"Well, Mr. Kim kondisinya sudah membaik. kemungkinan dia akan sadar beberapa hari ke depan"

"Sir, kau berkata seperti itu juga kemarin jika aku tidak salah ingat"

"Aku tidak bisa menentukan kapan dia akan sadar tapi jika dilihat hasil medisnya sudah baik dan semua tergantung padanya"

Pintu terbuka dan Namjoon sudah tersenyum lebih dulu ke arahnya. Di tangannya ada dua bucket bunga. Mawar dan bakung. Dia meletakkan bakung putih di vas dan membawa satu buket lagi pada Seokjin.

"Untuk 'adik'mu dan untukmu" katanya mesra.

"Terima kasih Sayang" balas Seokjin sambil memberikan satu kecupan pada bibirnya. Seokjin menoleh pada seseorang yang melambaikan tangan ke arahnya. "Oh, Hai Paman Shin"

"Hai Tuan Seokjin. Hari belum cerah ya?" sapa dokter itu ramah.

"Belum tapi kulihat jarinya bergerak sedikit. apa dia bermimpi?"

"Orang yang sedang koma cenderung seperti hidup di dunia lainnya. Seperti kembali ke masa lalu dan hidup di sana"

Namjoon yang tidak begitu ingin mendengar celoteh dokter kesukaannya kemudian mengamit bahu Seokjin dan merangkulnya erat. "Kau sudah makan Sayang?"

"Sudah dan tiba-tiba saja aku ingin mampir ke kedai Mr. Oh"

"Kita akan kesana setelah medical check-up nanti. Dokter Shin bilang dia perlu sekali lagi CT Scan"

Seokjin mengangkat satu alisnya. "Kurasa kakinya sudah baik" katanya kurang begitu setuju.

"Ya, untuk memastikan kurasa"

.

.

.

Seokjin terlelap. entah untuk waktu yang berapa lama. Dia mengingat terakhir kali saat Dokter Shin datang dan melakukan check up rutin, Namjoon memintanya untuk beristirahat. Namjoon kini sudah terlelap disampingnya. Seperti biasa, jemarinya bertaut erat. Selalu seakan Namjoon tidak ingin kehilangannya. Seokjin sangat mencintai lelaki ini yang bahkan ketika dia memutuskan untuk melakukan semua proses penyembuhan lelaki itu, Namjoon tidak marah ataupun cemburu kepadanya. Meski bisa dibilang keputusannya adalah ide gila.

Seokjin perlahan melepas tautan jemari mereka untuk bangun dan berjalan ke arah ranjang dimana lelaki itu terbaring. Alat rumah sakit yang masih berbunyi terkadang seperti sudah tidak terdengar lagi karena Seokjin sudah biasa mendengarnya.

Namun ada yang berbeda dengan bunyinya kali ini. mereka terdengar begitu tenang dan mengalun lain dari biasanya. Seokjin mendekat.

Melihat lelaki itu bergerak membuka matanya dan bernafas seperti orang yang baru saja bangun tidur.

"Namjoonie, matahari sudah kembali" ucapnya dengan mata berair.

.

.

Mereka duduk dengan kikuk. Seokjin masih menyuapinya makan. Sesekali dia tersenyum ketika lelaki di sampingnya menatap penuh tanya. Namjoon belum datang. Suaminya menghabiskan waktu di kantor untuk urusan proyek pembangunan beberapa tempat. Ketika lelaki itu sadar, Namjoon memeluknya erat dan berucap selamat kepadanya. Seolah Seokjin baru saja melahirkan seorang anak di tengah pernikahan mereka.

Sewaktu lelaki itu bangun, tentu pertanyaan pertamanya adalah tentang siapa dirinya dan apa yang terjadi. Seokjin tidak menjelaskannya buru-buru. Dia meminta lelaki itu tenang dan membiarkan para medis memeriksanya. Sedikit mengejutkan Seokjin, lelaki itu menuruti kata-katanya dan bersikap seolah dia memang bagian dari keluarganya. Dia tidak berbicara, meminta apa yang dia inginkan dan itu bukan hal yang menyusahkan Seokjin.

Apa yang dikatakan Namjoon benar. Matahari sudah kembali. Banyak orang-orang melayu yang berjalan dengan wajah tidak begitu masam juga kedai eskrim Mr. Oh yang kembali ramai.

Satu suapan terakhir dan kemudian Seokjin menepuk tangannya.

"Yay! sudah selesai. kau makan dengan baik"

"Terima kasih" balas lelaki itu pelan.

"Aku tahu kau menungguku untuk mengatakannya dan Namjoon sengaja membiarkan aku bicara denganmu hari ini"

Dia mengangguk dan membiarkan Seokjin merapikan sisa makanan dan tempat makannya. Seokjin mencuci tangannya ketika selesai dan kembali duduk di samping lelaki itu.

"Well, apa kau mengingat sesuatu tentang dirimu?"

Dia menggeleng pelan. "Tidak sama sekali. Kupikir kau bukan orang Korea"

Seokjin tertawa lebar. Memang Seokjin sudah tidak seperti orang Korea. Gaya bicara nya sungguh sangat berbeda. Logatnya sudah berubah agak cina melayu dan bahasa koreanya sedikit minim. Kebanyakan dia berinteraksi dengan bahasa inggris bahkan bersama suaminya sendiri. "Aku tinggal di sini sudah lebih dari lima tahun bersama Namjoon. Kau akan bergabung dengan kita nanti"

Lelaki itu terdiam dan Seokjin buru-buru membuka mulutnya lagi "Jika kau mau tentu saja"

"Jadi.."

"Sebulan yang lalu aku menemukanmu terhanyut di sungai dan aku membawamu ke rumah sakit. Seminggu aku menunggu kehadiran keluarga atau rekanmu tapi tidak ada yang datang. Maka dari itu aku membawamu ke sini untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Kau sempat sadar beberapa kali, hanya seperti menggerakan jemari dan mengigau."

"Dimana kau menemukanku?" tanyanya lagi.

"Di sungai." Jawab Seokjin singkat karena dia lupa apa nama sungai itu.

Lalu lelaki itu terdiam lagi. Seokjin tersenyum dan mengenggam tangan lelaki itu seolah menenangkannya "Apa kepalamu sakit?"

"Tidak"

"Kau tidak perlu berusaha mengingat karena pada akhirnya semua akan datang kembali"

"Aku hanya tidak tahu apa yang harus kulakukan" balasnya pelan. Ya, Seokjin bisa melihat dengan jelas. Lelaki itu hilang arah. Bukan sesuatu yang baru ketika kau kehilangan ingatanmu dan tiba-tiba berada di rumah sakit. Seokjin bersyukur setidaknya lelaki ini bukan seseorang yang kuno yang bisa berteriak-teriak mengobrak-abrik isi kamar rumah sakit karena ingatannya tidak ada.

"Aku ingin menawarkan sesuatu padamu. Kau mau menjadi adikku? Kau akan tinggal bersamaku dan Namjoon"

Dia menoleh ke arah Seokjin, mencari tahu apakah pertanyaan itu tulus atau hanya tameng kejahatan. "Apa aku seorang yatim piatu?"

"Aku tidak tahu. Kau sepertinya terbawa jauh dari aliran sungai."

Pikirannya tampak kosong. Seokjin bisa melihat lelaki itu tampak bingung dengan pertanyaannya.

"Aku akan memulangkanmu ke Korea jika kau tidak mau."

"Siapa namaku?"

"Aku juga tidak tahu tapi aku sudah menyiapkan nama baru untukmu"

"Dan itu.."

"Suga. Kim Suga"

.

.


Raffles Places, today

.

.

Bulan Januari yang tidak disangka cerah. Matahari begitu bersinar meski cahayanya tidak bisa masuk ke dalam ruangan yang berada di lantai enam belas. Ruangan satu lantai itu begitu bersih. Ada beberapa berkas yang tersusun rapi di atas meja dengan beberapa pembatas di setiap bagiannya. Seperti sebuah buku yang ditandai agar mudah dibaca bagian pentingnya.

Lelaki itu duduk santai dengan sebuah tab di tangannya. Seorang wanita muda berdiri tidak jauh dari tempatnya dengan sebuah buku agenda juga mobile phone yang bisa dibawanya kemanapun.

"Sir, Mr. Chouw dari Hyflux Corp meminta persetujuan rapat pada hari senin depan" lapornya. Semenit yang lalu Suga memintanya untuk masuk ke dalam dan melaporkan semua pesan juga sambungan untuknya dari mitra kerja.

"Apa jadwalku hari itu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari tab-nya.

"Makan siang bersama Mr. CEO"

Dengan jawaban itu Suga menatap ke arah sekretarisnya. "Hanya itu?"

"Yeah dan akan kutambah satu lagi.."

Entah sejak kapan pintu ruangannya terbuka dan Seokjin sudah berada di sana. Ms. Fin, sekretarisnya buru-buru membungkuk memberi salam gaya khas orang korea yang sebenarnya tidak perlu dipakai namun Seokjin bersikeras akan mempertahankan budaya negaranya dimanapun dia berada.

"Jin? kau datang?" kata Suga tidak begitu heran karena bukan yang pertama kali Seokjin tiba-tiba ada di kantornya.

"Suga-yah, kau tahu bukan Namjoon tidak akan membiarkan aku pergi sendirian kemanapun?" kata Seokjin tanpa menjawab sapaan Suga ataupun sekretarisnya.

Suga menanggapi dengan malas "Apa lagi yang kau inginkan kali ini"

"Lihat! ada perusahaan Korea yang mengajak kita bekerja sama. Polaris Corp. mereka meminta kita mendesign gedung perpustakaan nasional" ucapnya lagi, kali ini sambil menunjukkan ipad-nya kepada Suga. Lelaki itu men-scan isi surat dengan cepat dan menarik nafas panjang.

"Lalu?"

"Aku berfikir untuk menyetujuinya dan kau akan ke Seoul untuk bertemu dengan mereka"

Suga mendelik sebal. Menaruh tab-nya di meja dan menatap Seokjin "Kau gila?"

"Ini untuk amal Suga"

"Jika suamimu tahu mungkin.."

"Oh justru Namjoon mendukungku kali ini" potong Seokjin lalu Suga tertawa miris.

"Kau menyuapnya dengan apa huh?"

"Kau tahu suamiku lemah jika aku menyebut kata 'amal' bukan?"

"Dia sama sintingnya sepertimu" umpat Suga. Seokjin tertawa lebar dan menoleh ke arah Ms. Fin

"Ms. Fin, his flight is on thursday. i need his schedule to be canceled for a week or two."

"Haven't say yes, are we?"

"I don't need your 'yes' Mr. Boring. Dinner at seven, be home soon Darling"

Sekali lagi Suga menarik nafas panjang "Jadi Ms. Fin.."

"Sir, penerbangan anda hari kamis. Anda akan tinggal di rumah sementara. di Seoul, Gangnam."

"Oh Tuhan, tidak lagi"

.

.

.

Selalu ada api, lembah, dan Sungai. Ketiganya membentuk sebuah layar terkembang dengan cerita di dalamnya. Api yang membakar seseorang kemudian lembah yang menjadi tempat terakhir bernafas sebelum jatuh ke sungai lalu seperti diarak kemanapun tak tahu arah. Satu teriakan yang selalu membuatnya tersadar semua itu mimpi.

Kim Suga kemudian berakhir penuh keringat di ranjangnya. Nafasnya memburu dan tangannya bergetar. semakin lama semuanya semakin jelas. awalnya mimpi itu hanya seperti frame yang membentuk kilasan cerita namun kini mereka berubah menjadi satu cerita panjang yang lengkap. Hitam putih dan selalu ada jeritan seseorang. seorang lelaki yang memanggil sebuah nama.

Malam ini di mimpinya dia melihat seseorang jatuh dan terbakar. Beberapa orang di sekeliling orang itu tertawa seiring lelaki yang terbakar itu menjerit kesakitan. Ada satu lelaki yang berlutut lemas. Menjerit hebat ketika api semakin membakar tubuh orang yang ada di depannya.

Suara gelak tawa semakin keras sebelum lelaki itu terjatuh pingsan dan orang yang terbakar jatuh ke dalam jurang lembah.

'Yoongi-yah.'

Dan nama itu yang selalu membuat Suga terbangun.

"Suga-yah, kau okay?"

Sudah tujuh tahun dan Seokjin seperti tahu Suga membutuhkan air putih setiap kali dia terbangun tiba-tiba. Seokjin duduk di sampingnya. menatap dengan cemas tanpa bisa membantu apapun.

"Apa masih orang dan cerita yang sama?" tanya Seokjin pelan.

Suga menaruh gelasnya di meja nakas dan tersenyum sedikit ke arah Seokjin agar lelaki itu tidak terlalu cemas "Yeah, kepalaku agak sakit"

"Apa ada nama baru selain 'Yoongi-yah'?"

"Tidak Jin. Kurasa aku akan tidur lagi saja"

Seokjin mengusap kepalanya dengan sayang. "Suga-yah, sudah tujuh tahun. Kurasa kau memang harus kembali."

"Aku tidak tahu Jin. Semuanya begitu kelam. Seperti kenangan buruk. Aku khawatir, aku tidak memerlukan semua ingatan itu"

"Yeah tapi kau tersiksa. Aku bisa merasakannya"

Suga tersenyum lagi "Sudah tujuh tahun, aku melewatinya dengan baik Jin"

"Dan kau siap jika kau harus melewati ini belasan tahun lagi?"

"Well.."

"Kembalilah dan jika kau menemukan jawaban yang aneh. Kau bisa selalu pulang padaku."

Suga mengangguk lemah. Genggaman tangan Seokjin padanya selalu hangat dan membuatnya berfikir apa yang dia telah lakukan di kehidupan sebelumnya hingga mendapatkan seorang Seokjin yang bisa menjadi seorang ibu juga hyung untuknya.

.

.

.


Seoul, Today..

Malam yang sama seperti malam malam sebelumnya. dimana kau tidak akan menemukan sesuatu yang menarik yang bisa kau lihat sepulang kerja. Seoul begitu buruk belakangan ini. Cuaca yang seharusnya sudah tidak begitu dingin menjadi lebih dingin dari biasanya. Terkadang hujan gerimis dan membuat segalanya semakin menyebalkan. Namun semua itu tidak ada apa-apanya ketika di dalam hidupmu kau tidak lagi menemukan sesuatu yang menarik. Seperti selalu hitam dan putih. Jalan-jalan yang lenggang dan kau di sana sendirian. menghabiskan waktu di dalam hidupmu untuk bertanya mengapa dan bagaimana. Seolah kau sendiri bisa menemukan jawabannya.

Hell, kau tidak bisa.

"Jimin-ie, baru pulang?"

Lelaki bernama Jimin itu berhenti berjalan. Di tikungan jalan ini ada sebuah toko bunga dan pemiliknya sangat ramah. Satu hal yang membuat Seoul tampak indah malam ini karena bunga-bunga dari toko Mrs. Song sangat bagus dan warnanya begitu mencerahkan hati seketika.

"Yeah Mrs. Song. perpustakaan hari ini sangat ramai"

"Kudengar perpustakaanmu akan dibangun"

Dia membalasnya dengan sebuah anggukan "Benar. Ada pihak donatur yang beramal dari Singapura"

"Wow! mereka pasti jatuh dari surga"

Jimin tertawa pelan "Kurasa. Mengingat sekarang sulit sekali mendapatkan uang. Mereka pasti sangat kaya"

"Kemana Taehyung? kau tidak bersamanya?"

"Taehyung sudah pulang lebih dulu. Kencan buta"

"Ah, lagi-lagi. semoga dia beruntung. Masuklah, sangat dingin"

"Terima kasih. Selamat Malam Mrs. Song"

Apartemennya tidak begitu mewah tapi menurut Jimin tidak ada yang lebih baik selain rooftop. Tidak langsung duduk, namun Jimin kini berdiri di balkonnya. Memandang ke arah Sungai Han yang bisa dia lihat. Mereka terlihat sangat kecil dan sudah sejak lama Jimin tidak bisa lagi melihat langit yang cerah. semuanya tertutup lembab dan hawa dingin di bulan Januari.

Pikirannya terbawa ke musim dingin beberapa tahun silam. Tersenyum kecil ketika mengingat bagaimana hidupnya saat itu.

drrtt

Kim Taehyung: Hey, kau sudah pulang? kencanku berhasil

Jimin tersenyum lebar. mengetik sesuatu di layar ponselnya.

Park Jimin: Wow. ku pastikan dia sama anehnya denganmu.

Kim Taehyung: Sialan. dia masih sekolah

Park Jimin: Ah, kau menipunya pasti.

Kim Taehyung: kuceritakan lagi nanti. Tidurlah dan jangan berdiri di balkon terlalu lama.

Taehyung seperti sedang ada di sini bersamanya. Lelaki itu satu-satunya yang tersisa. Satu-satunya orang yang kembali kepadanya dan menjadikannya teman.

Jimin menatap lurus sekali lagi ke arah Sungai Han. Ketika suatu saat nanti semua yang dia harapkan menjadi kenyataan, Jimin akan datang ke sana. Menebarkan begitu banyak bunga untuk merayakannya di sana.

.

.

.

Incheon International Airport

Meski bukan yang pertama kali ke sini, Suga tetap merasa Incheon selalu banyak berubah. Selalu seperti baru. Cuaca sangat dingin, berbeda dengan Singapura dan Suga merasa dia membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dirinya. Bandara ini tidak pernah sepi. Selalu ada banyak orang dengan urusannya yang seakan tidak pernah selesai. Sama seperti pertama kali Suga datang ke Korea, dia merasa sangat asing. Seperti memang sebelumnya dia tidak pernah ada di sini. Kini dia duduk di ruang tunggu. Hoseok pergi sebentar untuk membelikannya kopi hangat. Satu hal yang tidak pernah boleh terlewat. Ponselnya bunyi dan dia tersenyum sebal ke arah id caller yang ada di ponselnya.

"My baby, how was the flight?" sapa Seokjin dengan riang dan Suga mengernyit sebal.

"Stop it, will you?"

"Well, Hoseok terus berkata kalau kau cemberut selama penerbangan. Apa sudah merindukan aku?"

"Namjoon, apa dia ada?" tanya Suga tanpa menjawab pertanyaan Seokjin lebih dulu dan saat itu Seokjin seolah sengaja berteriak kepada suaminya yang entah sedang melakukan apa.

"Love, Suga wanna talk to you"

"Wait a minute" Suga bisa mendengar suara Namjoon dari kejauhan.

"Jadi, bagaimana Apartemennya? kau suka?" tanya Seokjin sembari menunggu suaminya datang.

"Tidak buruk."

"Katakan pada Hoseok untuk mengatur ulang kata sandi"

"Oh Tuhan, kau melupakannya lagi?"

"Hey, bagaimana? sudah sampai?"

Suga yakin kini Seokjin memilih opsi speaker agar dia bisa mendengar percakapannya dengan Namjoon.

"Yeah. Kirimkan padaku detail design dan rincian teknisnya juga orang-orang yang harus kutemui"

"Pemilik perpustakaan itu seorang guru menari. Kau bisa bertemu dengannya besok dan-"

"Maksudku pihak Polaris" potong Suga dengan cepat dan Suga yakin saat itu Namjoon pasti sedang menatap Seokjin dengan penuh tanya.

"Kau tidak ingin bertemu dengan pihak perpustakaan?" tanya Seokjin lembut.

"Tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya dalam tiga hari lalu kembali. Proyek kita di Pulau Sentosa belum selesai dan Pembangunan Hotel di dekat Garden by The.."

"Suga-yah kau tahu kenapa Seokjin ingin kau kembali ke Korea bukan?" dan pertanyaan Namjoon lebih terdengar seperti pernyataan yang tidak bisa dibantah.

"Aku sudah bilang. Aku tidak ingin kembali" jawab Suga pelan. Dia tahu Seokjin pasti tengah menahan diri untuk berteriak sekarang karena Namjoon pasti melarangnya.

"Seokjin sudah meminta Suran untuk mengambil alih semuanya. Kau bertahanlah di sana untuk mengurus cabang Netflix di Seoul sementara waktu"

Shit!

Suga mengumpat dalam hati dan jika dia tidak di ruang tunggu VIP mungkin dia sudah melempar ponselnya.

"So this is a trick." Sindirnya

Di seberang sana dia bisa mendengar pasangan sinting itu terbahak dengan begitu puas. "Enjoy it and you'll be healed. i promised" kata Namjoon lagi.

"Baby, im gonna miss you" tambah Seokjin dengan riang. Suga mendelik sebal.

"Kim Seokjin you little sh-"

"Goodbye darling"

Sambungan lalu terputus setelah Suga mendengar sebuah bunyi kecupan dari seberang sana. Dia menaruh ponselnya ke dalam kantong mantel lalu melirik jam di tangannya. Lelaki yang bernama Hoseok kemudian datang membawa satu cup Americano hangat.

"Dingin sekali huh?" ucapnya.

"Apa Seokjin sengaja memilih perpustakaan itu?"

"Tidak. Seokjin hanya ingin kau tidak lagi bisa beralasan karena ini amal."

Suga meneguk kopinya pelan-pelan "Dia bersikap seolah aku belum pernah kembali ke sini"

"Yeah, dia semakin mengkhawatirkan kesehatanmu. Kau hampir tidak tidur sepanjang malam akhir-akhir ini." Jelas Hoseok. Suga tampak tidak begitu senang dengan alasan Seokjin yang terdengar dibuat-buat.

"Dan membawaku kembali agar aku sembuh? kurasa itu bukan ide yang bagus"

"Kurasa kau harus mencarinya"

"Aku tidak tertarik"

Suga bangkit dari duduknya. Satu orang bodyguardnya sudah siap untuk berjalan mengawal. Dia menoleh sekali lagi ke arah Hoseok.

"Kurasa aku tidak membutuhkan masa laluku lagi"

.

.

.

"Jadi, siapa namanya?" tanya Jimin penasaran.

"Jeon Jungkook" jawab Taehyung malu-malu. Dia meneguk minumnya cepat agar tidak terlihat wajahnya merah.

"Wow, dimana dia tinggal?"

"Dia sedang liburan di sini dan sudah kembali ke Belanda kurasa"

Jimin menatap Taehyung dengan ragu. "Lalu, apa maksudmu dengan kencanmu berhasil?"

"Dia bilang dia akan mencariku ketika dia kembali ke sini"

"Bodoh dan kau percaya itu?" umpatnya sebal.

"Well, kenapa tidak? dia mengucapkan itu sungguh-sungguh"

"Kau-"

"Jangan khawatir Chim. Aku bisa melakukannya dengan baik. Ada baiknya kau memulai lagi. sudah berapa lama kau tidak berhubungan dengan seseorang?" potong Taehyung dan dia tahu kata-katanya kali ini akan menyudahi Jimin dari rasa khawatirnya yang berlebihan.

"Aku tidak tertarik Tae" dan jawaban itu seperti sudah diprediksi oleh Taehyung. Masih jawaban yang sama.

"Chim, apa kau masih.."

Dan entah apa yang ada di pikirannya kemudian Jimin menoleh ke arah kafe yang ada di seberang restoran tempatnya makan. Lelaki itu refleks bangkit dan berlari keluar. Taehyung menyusul dengan panik namun ini bukan yang pertama kalinya dia melihat Jimin begitu.

Lima blok. Jimin lari sepanjang lima blok entah mengejar apa hingga kemudian dia merasa kakinya hampir patah karena berlari. Lelaki itu terduduk lemah di pinggir jalan. Taehyung tidak lama kemudian datang, lelaki itu berlari tidak kalah cepat dan memeluk Jimin seketika.

"Park Jimin! Oh Tuhan!" ucapnya dengan cemas.

"Aku melihat Yoongi. Tae, Yoongi datang malam ini" Jimin meracau hebat dengan air matanya yang terus mengalir deras.

"Jimin-ah, kau mungkin salah lihat. Yoongi sudah tidak ada"

Jawaban Taehyung sungguh seperti tamparan keras untuknya meski itu bukan yang pertama kali dia dengar. Jimin tidak menjawab. Lelaki itu bangkit dan berjalan perlahan kembali ke restoran. Pikirannya mendadak kosong. Taehyung mengikutinya dari belakang. Mereka tidak bicara namun dipastikan Taehyung akan terus mengikutinya hingga dia sampai. Menjaga agar Jimin tidak lagi berbuat aneh seperti tadi.

Delapan tahun sudah Jimin menjadi orang sinting yang mengejar sosok seseorang. Seseorang yang selalu dianggap sudah mati namun hatinya mengelak. Yoongi masih hidup. Min Yoongi akan pulang suatu saat nanti.

Ketika Jimin sampai di depan restoran, dia menoleh ke arah Taehyung.

"Kau tidak akan percaya tapi.."

"Jimin-ah, bahkan bibi pemilik tempat ini berkata padaku kalau kau agak sinting karena selalu menangis ketika makan perut babi tapi aku tahu kau butuh waktu. Aku yakin kau akan sembuh. Aku percaya kau memang melihatnya tapi aku tidak percaya semua itu nyata. Kau perlu berlatih dan aku akan membantumu." Potong Taehyung dan lelaki itu menepuk bahu Jimin dengan penuh rasa khawatir.

"Aku.."

"Jangan khawatir Chim. Kau baik-baik saja. Ayo kita lanjutkan makan."

.

.

.

Pagi ini ada yang menarik dari Seoul. Matahari terbit dengan begitu berani. Hal yang jarang ditemui belakangan ini. Jimin menghabiskan waktu untuk berdiri di balkon setelah dia bangun tidur. Menghirup udara yang masih segar dan begitu Taehyung mengingatkannya lewat pesan teks, lelaki itu segera berlari ke kamar mandi.

Hari ini adalah hari yang besar.

Perpustakaan miliknya yang kecil akan direnovasi menjadi gedung yang lebih besar. Ada seorang donatur baik yang akan datang dan melihat perpustakaannya. Mereka akan mengeluarkan design gedung yang baru juga akan memindahkan semua buku untuk sementara.

Sebenarnya Jimin tidak meminta hal ini. Dia menyukai perpustakaan itu apa adanya sama seperti pertama kali memberikan kepadanya sebelum nenek itu meninggal dunia. Dia sudah berjanji akan merawatnya. Ada banyak orang yang datang dan menyumbangkan buku cerita juga buku sekolah. Sekarang buku-buku itu hampir tidak semuanya tertata karena kehabisan tempat. Jimin membuat beberapa rak baru dan itu juga sepertinya belum cukup.

Lalu suatu hari, ada seorang anak yang datang dan bermain di sana. Dia tampak senang sekali membaca dan berkenalan dengan anak yang lain. Jauh dari yang Jimin tahu, anak itu adalah puteri dari pemilik Polaris Corp. sebuah perusahaan konstruksi ternama di Korea Selatan. Ayah dari anak itu akan membantu Jimin untuk membangun dan mencarikan donatur dan disinilah Jimin sekarang. Dia berdiri dengan hati yang senang karena Mr. Lee sudah menemukan donatur yang akan membantunya merenovasi perpustakaannya.

Jimin bahkan sudah berkunjung ke makam dan memberitahu kabar baik itu secara langsung. Matanya berair banyak tapi dia bahagia karena kali ini dia merasa berhak untuk itu.

"Selamat Pagi Mr. Lee"

"Selamat Pagi Tuan Jimin. Kau tampak senang sekali"

"Tentu. Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung dengan donatur dari Singapore"

"Mr. Kim akan datang sebentar lagi. Aku sudah mengirimkan beberapa contoh design gedungnya. Satu design unik yang kau buat juga sudah aku kirimkan kepada pihak Netfix dan mereka akan membicarakan tentang itu hari ini"

"Terima kasih banyak Mr. Lee, aku sangat senang sekali"

"Ah sepertinya dia sudah datang"

Jimin menoleh keluar dan melihat sebuah porche berhenti di depan perpustakaannya. Seseorang keluar dari mobil lalu masuk ke dalam. Jimin dan Mr. Lee menyambutnya di depan pintu masuk. Mereka bersalaman erat. Orang itu sepertinya sudah mengenal Mr. Lee sejak lama. Lelaki itu langsung menyapa dalam bahasa yang akrab.

"Selamat datang di perpustakaan Jung." kata Jimin dengan senang

"Terima kasih. Anda pasti Mr. Park pemilik perpustakaan ini bukan?"

"Ya, sebenarnya aku pewaris perpustakaan ini"

"Aku sudah mendengar ceritanya dari Mr. Lee. Namaku Jung Hoseok. Asisten pribadi Mr. Kim. Hari ini Mr. Kim tidak bisa datang karena hari pertamanya kerja, dia ingin menghabiskan waktu untuk Netflik. Well, sedikit retro ya?"

"Seokjin belum berubah" ucap Mr. Lee dan Hoseok tertawa

"Suga yang datang dan memang anak itu sama saja seperti kakaknya"

"Suga? Wow, aku tidak menyangka dia tertarik dengan hal ini"

"Kau tidak akan percaya jika aku menceritakannya. Well, Mr. Park.."

"Panggil saja Jimin" potong Jimin singkat dan Hoseok tertawa lagi dengan ramah.

"Kalau begitu panggil saja aku Hoseok. Bisa kau ajak aku berkeliling?"

"Tentu"

.

.

.

Jimin bertemu dengan Taehyung di pagi hari. Mereka berjanji akan sarapan bersama sebelum berangkat. Taehyung mengajak Jimin ke tempat yang paling dia sukai dimana mereka menjual Ssamgyeottang yang sangat enak.

"Jadi kau belum bertemu dengan Mr. CEO dari Netflix?" tanya Taehyung sambil mengunyah makanannya penuh-penuh dalam mulut.

"Belum. Hoseok-ssi bilang hari ini adalah hari pertamanya jadi dia perlu mengurus beberapa hal di perusahaan"

"Kebanyakan orang kaya tidak setulus hati Jimin. Apa dia melakukan ini untuk pemilihan gubernur?"

Jimin tertawa lebar "Jangan berprasangka buruk. Aku tidak peduli dengan itu yang terpenting perpustakaan milik Nenek Jung akan dibangun. Dia pasti sangat senang"

Taehyung mengangkat bahu lalu mengalihkan pembicaraan "Kau ingat soal lomba menari untuk memperingati hari anak?"

"Yeah, dua minggu lagi"

"Siapa yang akan kau kirim?"

"Ms. Headmaster memintaku untuk mengajak Little Lily dari Grup Hiphop" jawab Jimin dengan santai dan saat itu Taehyung menaikkan alisnya.

"Little Lily? tapi mereka bukan spesialisasi dancer"

"Entahlah sepertinya Ms. Headmaster melihat ada bakat terpendam"

Kali ini Taehyung tertawa membayangkan apa yang akan menimpa Jimin nantinya."Fokusmu akan terbagi dua Jimin-ie"

"Aku lebih suka saat aku sibuk Tae. Dengan begitu aku tidak lagi berilusi"

Setelah terdiam sebentar, Taehyung menepuk bahu Jimin dengan empati "Kuharap kau segera menyelesaikan semua ini dan hidup lebih baik"

Jimin mengamini perkataan Taehyung. Menoleh ke jendela kafe dan berharap dia tidak lagi melakukan hal bodoh atau jika bisa, otaknya bisa sedikit lebih bekerja dengan benar hingga bisa membedakan ilusi dan kenyataan seperti yang selama ini Taehyung sudah katakan kepadanya.

.

.

.

"Hello Darling. Miss me already?"

Suga memutar bola matanya. "Aku sudah sampai"

"Ah, Jung Library. Dibuat tahun 1993 untuk memperingati kelahiran cucunya. Sangat manis bukan? Nenek Jung sudah meninggal dan-"

"Well, maksudku mengapa kau memilih bangunan ini?" potong Suga dengan cepat karena lelaki itu tidak menyukai drama.

"Proyek charity Suga-yah. Aku hanya merasa Mr. Lee dari Polaris menjabarkannya begitu baik hingga aku tertarik. Kau sudah masuk ke dalam?"

"Belum. Jung Library dibuka jam sembilan."

Di seberang sana Seokjin tertawa meledek. "Kau datang lebih cepat Tuan Tidak Ada Kerjaan"

"Jadi Mr. Lee Jinwoon kenalanmu akrab sekali dengan pemilik perpustakaan ini?" sambung Suga.

"Yeah. Jinwoon adalah teman kecilku. Anak gadisnya Little Lee yang sangat manis menyukai tempat ini"

"Kau yakin tidak ada alasan lain? beberapa orang memiliki rumor kau akan naik ke pencalonan gubernur tahun depan"

"Ya Tuhan dan kau bahkan sempat berfikir itu benar?" Seokjin berteriak kesal.

"Kau dan suamimu menyukai hal sinting. mana kutahu" ucap Suga santai.

"Menjadi orang kaya saja sudah membosankan apalagi menjadi orang kaya yang mengatur orang lain. tentu sangat jutaan kali menyebalkan"

"Lalu? aku tidak melihat tempat ini istimewa"

"Kubilang ini amal Suga-yah. Kenapa harus berfokus pada itu. Ini bukan tender pembangunan. ini charity project dari Netflix"

Suga terdiam sebentar dan Seokjin menunggu lelaki itu kembali bicara "Aku hanya.. Well, tempat ini sedikit membuat kepalaku sakit"

"Kau- Apa? kau baik-baik saja?"tanya Seokjin cemas.

"Wanginya tidak baru. Aku mengenal wangi ini. seperti sudah akrab"

"Oh Tuhan. Suga-yah apa aku harus pulang?"

"Tidak usah. Sudah ya, seseorang datang"

Suga menutup sambungan jarak jauhnya. Menaruh ponselnya kembali ke dalam kantong mantel dan berjalan ke arah barat perpustakaan dimana pintu masuk berada. Suga membaca pengumuman untuk pelamar pekerjaan yang di tempel di beberapa tempat. Sepertinya si pemilik perpustakaan ini terlalu senang dengan proyek pembangunan perpustakaan. Belum-belum dia sudah merekrut orang untuk bekerja di sini. Mungkin sudah tahu kalau gedung ini akan mempunyai dua sampai tiga lantai. Di sana juga ditempel pengumuman lomba menari untuk kelas tari di musim semi. Suga mengingat penjabaran Seokjin tentang pemilik perpustakaan ini. Lelaki bernama Park Jimin. Berumur sekitar tiga tahun lebih muda dari Seokjin yang mungkin adalah orang yang baru saja sampai dan berjalan ke arah pintu masuk. Suga berjalan ke arahnya. Lelaki itu sedang asik mengutak-atik pintu masuk seperti kuncinya sedikit macet hingga tidak sadar Suga mendekat ke arahnya dan ketika pintu itu berhasil terbuka lelaki itu tampak sangat lega. Suga menebak, ada kemungkinan pintu itu seharian tidak bisa terbuka dan perpustakaan harus tutup. Suga tetawa dalam hati.

Kemudian yang Suga tahu lelaki itu menoleh ke arahnya dengan senyuman di bibirnya perlahan lenyap.

Suga mengangguk memberi salam. Dia mengulurkan tangannya.

"Kau pasti Mr. Park pemilik perpustakaan ini. Namaku Kim Suga adik dari CEO Netflix Group."

Dan ada yang salah saat itu.

Suga menyadari benar karena lelaki di depannya membeku seperti di siram air dingin puluhan liter. Matanya sedikit berair namun tidak berhenti menatapnya.

"Mr. Park?"

Lelaki itu menghapus air matanya dengan cepat "Ah ya, panggil saja aku Jimin. Selamat datang Mr. Kim."

Kali ini Suga yakin senyuman Park Jimin agak berbeda dari beberapa saat yang lalu. Senyuman itu lebih seperti kebohongan atau tameng untuk menjaga air matanya agar tidak terjatuh.

'Jimin-ie, tolong aku untuk menjaga tempat ini. Yoongi akan pulang, dia akan datang kepadamu. Kau percaya apa kataku bukan?'

Matahari sudah kembali.

Jimin seharusnya tahu kalau orang yang berdiri di depannya bukan Min Yoongi. Namun perkataan Nenek Jung tampak sangat benar.

Dia akan datang seperti matahari yang kembali di musim semi.

Jimin menatapnya sekali lagi. Apakah semua hanya ilusi? apakah wajah Kim Suga sebenarnya tidak mirip dengan Yoongi dan semua ini terjadi karena kenangan Yoongi tidak bisa sekali saja meninggalkan dirinya.

Seolah menjawab pertanyaannya, Kim Suga kembali menoleh seakan memastikan Jimin baik-baik saja.

"Jimin-ssi, kau okay?"

Apa kau akan baik-baik saja ketika orang yang kau tunggu selama delapan tahun kini menjelma menjadi orang lain yang tidak mengenalmu.

Dia berdiri dan berjalan dengan benar. Seperti mimpiku selama ini.

Apakah itu kau?

Atau mungkin kutukan ini baru saja dimulai untukku Yoongi-yah.

.

.

.


To Be Continued..

Hai!

Ini akan menjadi Long chaptered fanfic.

Dan tentu, Min Yoongi dan Kim Suga adalah dua kepribadian yang berbeda.

Terima kasih sudah membaca. Comments are gold!