perfect places to steal kisses
[3]
choi hansol (vernon) x boo seungkwan (seungkwan)
yaoi, au, ooc, fluff, etc.
typo(s), gaje, etc.

let me finally kiss you

[]


Tidak pernah ada penyesalan bagi Hansol telah mengencani Seungkwan.

Dari awal ia melihat lelaki itu, ia tidak pernah berpikir untuk sampai pada masa ini. Dulu saat ia pertama kenal Seungkwan, ia adalah sosok yang ramai, sosok yang tidak bisa diam, dan ia suka mengeluh tentang berat badannya. Tapi ia juga punya suara yang bagus dan mampu membuat Hansol terpukau, terutama saat ia menyanyikan lagu-lagu barat jaman dulu, yang mana adalah kesukaan Hansol, it was freaking awesome, man!

Tapi tentu saja ia tidak bilang, 'kan mereka baru kenal seminggu.

Lalu mereka bertemu lagi di tempat penitipan anak. Hansol sedang menjemput adiknya, Hangyeol yang dengan cerewet membicarakan apa yang terjadi padanya hari ini ketika ia melihat Seungkwan berjongkok, mengelap pipi anak laki-laki yang belepotan coklat, sambil tersenyum. Awalnya Hansol ingin melewatinya saja, karena ia terlalu malu untuk menyapa—tapi Seungkwan keburu melihat dan memanggilnya.

"Hansol!"

Ia menoleh, menampakkan senyum terbaiknya. "Eh. Halo, Seungkwan."

Seungkwan tertawa melihatnya. "Ini Hangyeol, ya? Aku kenal anak ini! Ia teman baik Chan."

"Chan? Adikmu namanya Chan?" Hansol tersenyum melihat anak laki-laki itu, yang sekarang sedang menyapa Hangyeol dan mereka mengobrol dengan suara anak-anak yang lucu.

"Oh, ini bukan adikku. Ini sepupuku, setiap hari Sabtu ini aku bertugas menjemputnya. Namanya Lee Chan."

Tentu saja Hansol bekerja keras untuk mencari kata-kata yang cocok diucapkan pada gebetan yang tidak sengaja ditemuinya di tempat penitipan anak—sampai akhirnya Seungkwan pamit dan Hansol merasa senang sekali telah selangkah lebih dekat dengan lelaki bermarga Boo itu.

Ia tidak tahu kenapa ia semakin suka dengan Seungkwan. Apa karena ia ramah? Ia tidak keberatan makan apa saja? Ia tidak bertopeng? Ia sangat natural? Entahlah. Yang ia tahu, sebulan kemudian ia melakukan hal gila—mengajak Seungkwan pacaran.

Dan lebih gilanya lagi, Seungkwan menerimanya.


Hansol belum pernah pacaran sebelumnya.

Atau sudah? Tapi masa sekolah menengah pertama adalah masa-masa cinta monyet—Hansol dekat dengan seseorang tapi mereka memang tidak pacaran, dan sekarang ia pacaran dengan orang yang luar biasa.

Seungkwan itu memang manis, baik luar maupun dalamnya. Ketika pertama kali diajak main ke rumah keluarga Boo, Hansol setengah mati bingung mau membawakan apa. Akhirnya ia membeli sekeranjang buah-buah yang segar dan cantik, hanya untuk menerima reaksi dari Nyonya Boo yang tertawa, menepuk bahunya, "Sungguh, kau tidak perlu merasa sungkan saat datang ke sini, Nak. Lain kali tidak usah repot-repot."

Dan Hansol juga berkenalan dengan dua kakak perempuan Seungkwan (yang sama ramainya), Sojeong dan Jinseol, yang membicarakan tentang 'kenapa Seungkwan bisa dapat bule seperti ini!?' dan Hansol dengan rendah hati menjawab 'Noona, aku tidak bule', dan gadis-gadis itu cekikikan, merasa punya topik untuk disebarkan pada teman-teman bahwa mereka kenal seorang bule tampan, yang mirip Leonardo Dicaprio dan kebetulan pacar Seungkwan.

Dan karena Hansol datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan, ia harus menunggu Seungkwan mandi dulu. Jinseol dan Sojeong dengan senang hati membocorkan hal-hal tentang Seungkwan, seperti ia yang alergi tomat, ia yang suka sekali burger dan ubi manis, ia yang punya kebiasaan tidur buruk (Jinseol bilang Seungkwan suka mengigau), ia yang suka hujan musim gugur, ia yang begini, yang begitu.

"Tapi ia memang adik yang manis." kata Jinseol, pandangannya menerawang. "Daripada kami, ia lebih suka membantu Ibu, bersih-bersih dan menyapu, dan lain-lain. Sesungguhnya daripada orang-orang bilang ia beruntung mendapatkan bule tampan sepertimu, aku lebih suka ada yang bilang kau itu beruntung mendapatkan Seungkwan."

Hansol mengangguk-angguk setuju. "Ya, Noona, aku memang merasa beruntung."

"Hei, kalian membicarakan apa!?" jerit Seungkwan, keluar dari kamar mandi dan rambutnya masih basah walau ia sudah mengenakan baju yang bagus. Jinseol dan Sojeong tertawa-tawa dan kabur ke kamar masing-masing.


Hansol kenal orang-orang yang ramai seperti Seungkwan, Seokmin, dan Soonyoung. Tapi ia juga kenal orang-orang yang pendiam, seperti Wonwoo, Seungcheol, Junhui, dan Jihoon. Kalau Seungcheol sebenarnya juga ramai kalau sudah berkumpul, tapi untuk Jihoon, ia memang pendiam.

Tapi sependiam-pendiamnya Jihoon, ia masih bicara kalau berkumpul dengan Seungcheol dan Hansol. Sekarang mereka sedang makan bersama di kantin, membicarakan topik-topik menarik seperti (menurut Jihoon) solo-nya Peniel BTOB (Seungcheol dan Hansol mendengarkan dengan patuh).

"Eh, Hansol."

Hansol mendongak dari jjampong-nya yang menggugah selera. "Apa?"

"Kau itu belum pernah mencium Seungkwan, ya?"

"Uhuk!" malah Seungcheol yang batuk-batuk. Ia segera meminum air dan menyahut, "Jihoon, itu 'kan urusan mereka."

Jihoon menyeruput tehnya dengan santai. "Bukan maksudku menyampuri, tapi Seungkwan itu cerita padaku."

Hansol kembali memakan jjampong-nya. Tapi sebelum itu, ia berkata. "Cerita apa?"

"Ia bilang kau 'kan dari New York, dan bukankah orang barat itu suka hal-hal yang begitu? Ia bukannya suka yang begitu, tapi ia juga ingin dicium. Gadis-gadis di kelasnya rumit, mereka menggoda Seungkwan karena sampai sekarang belum pernah dicium—mereka saling bercerita karena tahu Seungkwan itu bottom-mu." cerita Jihoon.

Hansol batuk-batuk sebentar.

Seungcheol menyela. "Kalian sudah bersama berapa bulan?"

Hansol mengangkat tangannya, melebarkan telapak dan jemarinya. "Empat."

"Dan kau belum pernah menciumnya!?" akhirnya malah Seungcheol yang antusias—Jihoon menatapnya datar.

"Memang kau mencium Jeonghan-hyung kapan?" tanya Hansol, sudah menghabiskan makanannya dan ia bisa fokus dengan obrolan.

"Di hari pertama aku memintanya jadi pacarku." jawab Seungcheol.

"Uhuk," Jihoon sengaja batuk. "Sudah bisa diduga."

Hansol tersenyum kecil, "Kalau kau, Jihoon-hyung?"

"Hari ketujuhbelas kami bersama." jawab Jihoon.

Hansol bergeming, tidak tahu bagaimana mau bereaksi. Pembicaraan ini terlalu aneh, dan memangnya kenapa kalau Hansol dari New York? Tidak semua pemuda barat itu senang dengan begitu. Maksudnya begitu adalah begitu—lagipula Hansol juga sudah tinggal di Hongdae sejak kecil.

"Tapi jangan salahkan ia, Hansol. Mungkin ia hanya asal cerita saja." kata Jihoon—tehnya habis diseruput.

Bagi Hansol, entah Seungkwan asal cerita atau tidak, itu akan tetap jadi perkara karena hal itu sampai menganggu si pacar.

"Kalau mau cium itu, ya cium saja. Jangan pikirkan hal-hal lain. Kalau ia memang cinta, satu cium juga tidak akan salah, 'kan?"

Ya, Hansol setuju juga dengan kakak kelasnya itu, tapi Jihoon malah menyikutnya. "Ih, Seungcheol, jangan ajarkan yang tidak baik, dong."


Seungkwan bilang hari ini ia akan pulang terlambat karena harus membuat jurnal kelas. Ia bilang harusnya ini semua tugas Seokmin, tapi lelaki itu mangkir dari pekerjaannya selama tiga hari. Seungkwan yang tidak salah apa-apa jadi kena getahnya. Ia mengomel, tapi omelannya reda ketika Hansol bilang ia akan menemani sampai selesai.

Seungkwan masuk ke kelas lagi dan Hansol mengikuti dari belakang—lelaki itu duduk di kursinya, sementara di atas meja sudah terbuka jurnal kelas yang siap diisi. Hansol duduk di depannya.

"Boo, pinjam ponselmu."

"Hah?" Seungkwan mendongak lagi, padahal ia baru saja mau mulai menulis. Ia melepas bolpoinnya dan merogoh saku seragam musim gugurnya. "Buat apa?"

"Main game. Baterai ponselku habis, sih."

Seungkwan menyodorkan ponselnya. "Tapi cuma ada game detektif."

Hansol menggeleng. "Tidak apa-apa."

Menit-menit berikutnya diisi oleh Seungkwan yang mengisi jurnal sembari mengernyit bingung—mengutuk Seokmin sebentar, lalu fokus lagi pada pekerjaannya—sementara Hansol berkutat dengan apapun yang ada di game Seungkwan itu. Tiba-tiba di otaknya terputar pembicaraan dengan Jihoon dan Seungcheol.

Ia melirik Seungkwan.

Tapi yang dilirik sedang fokus. Seungkwan kalau sedang fokus itu tenang dan kalem, hampir bukan seperti Boo Seungkwan yang biasanya. Hansol tertawa dalam hati. Tidak mungkin ia bisa melakukannya sekarang.

Menyelesaikan tiga kasus di game, lalu Seungkwan berkata. "Sudah selesai,"

Hansol menatapnya. "Mau ke ruang guru?"

"Tentu saja." jawab Seungkwan, merapikan mejanya dan berdiri sembari menggantung tas di sebelah bahunya. Jurnalnya dibawa dengan rapi lalu ia melangkah keluar kelas—Hansol mengikuti lagi.

Ruang guru, seperti perkiraan Hansol sebelumnya, sudah tidak ada orang. Masih ada satu tas di meja guru olahraga—mungkin sedang mengecek apakah ruang olahraga indoor sudah dikunci atau belum. Ia mengenal guru olahraga itu dengan baik—dan mungkin kalau ia ketahuan melakukan hal itu, tidak apa-apa, 'kan?

Seungkwan sudah menaruh jurnal itu di meja wali kelasnya, mengomel sebentar tentang harusnya Seokmin yang melakukan semua ini. Ia mengeluh karena setelah ini ada les dan sekarang rasanya sudah letih.

Hansol menatap sekeliling sekilas, lalu pandangannya tertuju pada Seungkwan yang mendekat. Ia menggenggam sebelah bahu Seungkwan, lalu tanpa tedeng aling-aling, mencium Seungkwan dengan kecupan ringan di bibir tipisnya.

Tidak perlu sedetik untuk pembuluh darah bekerja di bawah permukaan kulit wajah Seungkwan—yang langsung memerah seperti air ditetesi pewarna, sementara matanya terbuka lebar dan ia seperti berhenti bernapas. Hansol tertawa kecil melihatnya, walau ia juga malu. Ekspresi Seungkwan yang ini benar-benar baru.

Choi Hansol baru saja mencium Boo Seungkwan di ruang guru.

end


harusnya ini sudah jadi sejak lama… tapi entahlah /cry.
yang penting udah jadi ya. maaf kalau nggak sesuai ekspektasi /cry.

tapi review-nya boleh dong, ya? :D