Simply Loving You From Seoul

Chapter 9

.

Air mata yang menetes di pipi lebam Hyesung langsung diseka kasar. Ia memalingkan wajahnya dari Junghyuk. Jantungnya berdebar lebih kencang, takut untuk menatap kekasihnya. Mendadak, rasa sakit kareka luka tergantikan oleh perasaan panik luar biasa.

"Hyesung, maaf. Aku terlalu emosi melihat luka itu," tutur Junghyuk. "Aku mendadak marah melihatnya karena aku khawatir padamu." Tangannya menangkup wajah hangat Hyesung, menyuruhnya untuk memandangnya.

"Hei… Hyesung, kau baik-baik saja?"

Getaran samar menjalari tubuh Hyesung. Ini kali pertamanya merasa takut karena orang lain sejak beberapa tahun. Junghyuk merasa bersalah. Ia memeluk Hyesung, mengelus punggung remaja itu. "Seharusnya aku tidak memaksamu seperti tadi. Maaf, sayang." Junghyung memberi kecupan pada bibir merah Hyesung.

Perasaan takut itu perlahan menghilang. Hyesung masih diam seribu bahasa, membuat Junghyuk kebingungan. Sang pengacara itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya di saat kekasihnya terkejut melihat sosoknya ketika marah.

Akhirnya, Hyesung berhasil mengendalikan dirinya kembali. "…aku tidak berani cerita padamu. Kenapa aku terluka."

Mata sendu Hyesung berhasil meluluhkan pertahanan mental Junghyuk. Otot-ototnya menegang, saraf-sarafnya bereaksi memberi sengatan kecil. Ia tersenyum tipis pada Hyesung yang masih dihadapannya. "Baiklah. Kuharap nanti kau akan menceritakannya padaku."

Junghyuk memutuskan untuk tidak bertanya. Lagipula, memberi jarak dan privasi di awal seperti ini jauh lebih baik daripada bertengkar. Ia tidak mau Hyesung justru semakin terluka dan berakhir putus. Sebaliknya, Hyesung lega karena Junghyuk tidak menuntut lebih jauh.

Ia sudah sangat bahagia pacarnya ada mengunjunginya sepagi ini, seusai ia begadang bekerja ketimbang pulang ke rumah. Dengan canggung, keduanya duduk di sofa ruang tengah. Junghyuk memecah keheningan dengan menawarkan diri untuk makan bersama.

"Mau sarapan? Aku mulai lapar."

Sejujurnya, Hyesung bukan tipe orang yang sarapan kecuali hari Minggu. Namun, ia mengiyakan saja. Sementara laki-laki itu mulai ke dapur dan menyiapkan sarapan, barulah Hyesung ingat bahwa ini hari Jumat.

Ia harus sekolah.

Jam 8 pagi, sementara Junghyuk ada di apartemennya.

Hyesung menggigit bibirnya. Bagaimana caranya agar Junghyuk pulang sebelum jam 7? Atau setidaknya mengelabui sang pengacara agar tidak ketahuan kalau ia seharusnya ke sekolah.

Ia menelepon Minwoo yang segera terlintas di pikirannya. Dering telepon diangkat di detik-detik terakhir. "Minwoo!" seru Hyesung setelah agak menjauh dari dapur.

"Heh?" mirip reaksi Hyesung tadi, suara Minwoo masih setengah sadar.

"Minwoo, tolong aku!" Hyesung kembali berteriak kecil saking paniknya.

Lee Minwoo yang setengah sadar membalas, "Tolong apa?" Ia melihat jam dari handphonenya, heran melihat pukul 05.27 AM di layar. "Sepagi ini kau menelepon… ada apa?"

"Aku harus ke sekolah jam 7 lewat agar tidak terlambat!"

"Ya, pergi saja. Kenapa, 'sih?" dengan cueknya, Minwoo membalas.

Shin Hyesung menghembuskan nafasnya panjang, menenangkan diri. "Tapi, Junghyuk hyung tiba-tiba datang. Aku takut dia akan di sini cukup lama!" lapor Hyesung pada sahabatnya.

Lee Minwoo masih belum mencerna. "Terus, apa hubungannya?" suaranya masih lemas di balik selimutnya.

"Ya, masalah, bodoh! Gimana aku merahasiakan padanya kalau aku harus ke sekolah? Dia pasti akan banyak bertanya, apalagi tadi aku lengah dia sudah lihat lukaku yang belum sembuh total!"

Lee Minwoo kemudian mengerang kesal. "Jadi, kamu mau aku lakukan apa..? Ini masih terlalu pagi buatku, bocah."

"Aku tahu, tapi cuma kamu yang bisa kuandalkan saat ini! Please, tolong aku! Bagaimana pun caranya menjaga rahasiaku!"

Sembari mendengarkan ocehan panik remaja itu, Minwoo akhirnya beranjak dari posisi tiduran menjadi duduk di atas ranjang. Minwoo memotong ucapan Hyesung, "Ya, ya, ya. Aku mengerti. Aku ke sana sekarang, bocah."

Mematikan telepon sepihak, otak Shin Hyesung bagaikan tali kaset yang kusut. Ia tidak tahu harus bagaimana kecuali meyakinkan dirinya bahwa Minwoo bisa menyelamatkannya.

Untuk sesaat.

Laki-laki yang membuat Hyesung mabuk cinta, salah tingkah dan bertindak di luar akal sehatnya justru terlihat semakin menggoda bagi Hyesung tatkala ia kembali ke dapur dan mendapati sang kekasih tengah memasak di dapurnya.

Hanya sekedar membuat sandwich berisi telur dadar, bacon, saos mayo dan sambal karena Hyesung sangat jarang memasak.

Sosok Mun Junghyuk selalu berhasil membuat remaja itu terangsang. Ia tergoda untuk mendekat, menempelkan tubuh mereka agar Hyesung bisa mencium aroma maskulin dari Junghyuk.

Mun Junghyuk kaget ketika Hyesung tiba-tiba menempel padanya. Pengacara itu tersenyum hangat. "Sabar, ya. Sedikit lagi."

Sambil manyun, Hyesung menawarkan, "Kau mau minum kopi?"

"Boleh juga. Kau mau membuatnya?"

Kini Hyesung agak lega setelah menawarkan diri membuatkan kopi. Ia bisa mengalihkan perhatian untuk sementara waktu. Hyesung mengambil dua cangkir, bubuk kopi, dan saringan kopi. Pekerjaannya sebagai peracik minuman ternyata sanagt berguna di saat-saat seperti ini.

Junghyuk baru saja selesai memanggang roti karena tidak ada toaster. Ia cukup terkejut melihat Hyesung yang membuat kopi secara manual. Selain di coffee shop, tidak ada diantara teman-temannya membuat kopi seperti di kafe.

"Di rumah pun, kau selalu meracik minuman sendiri selain alkohol, ya?"

Senyuman Hyesung sebagai jawaban "ya" pada Junghyuk cukup untuk membuat laki-laki itu semakin jatuh hati. Ia ingin memeluk, membelai dan mencumbu Hyesung segera. Jika saja Hyesung tidak terluka, mungkin Junghyuk akan menyerang Hyesung tanpa persetujuan Hyesung.

Hanya saja, Junghyuk sadar, dibalik pakaian yang dikenakan Hyesung, sisa luka lebam dan lecet itu masih perih dan menyakitkan. Usai meletakkan makanan di atas meja makan, Junghyuk memperhatikan betapa telaten kekasihnya membuat minuman.

Pandangan indah terpampang jelas dihadapannya. Sakit rasanya ia tidak bisa melindungi Hyesung dari orang yang melukainya. Lengan Hyesung yang membiru, merah lecet terlihat jelas ketika remaja itu menuangkan kopi ke cangkir. Junghyuk meringis sakit membayangkan ia harus bekerja dalam kondisi tubuh penuh luka.

Saat keduanya makan tanpa suara, canggung tak terpisahkan. Sunyi karena tak ada yang bersuara, Hyesung semakin merasa tegang. Pada akhirnya, ia memecah keheningan.

"Junghyuk hyung… sebenarnya, hyung benar kalau aku terluka karena dihajar," gumamnya.

Pendengaran Junghyuk yang sangat jelas menangkap setiap kata dari mulut mungil Hyesung. Ia membulatkan matanya karena tak menyangka Hyesung langsung membicarakannya. Padahal, tadi Hyesung mengelak.

"Kau tidak apa-apa menceritakannya padaku? Kupikir kau tidak suka aku menanyakannya." Nada khawatir dari mulut Junghyuk hanya membuat Hyesung tersenyum lebar.

"Memang, tapi rasanya hyung akan terus mempermasalahkan ini," Hyesung memperlihatkan lengan kanannya yang lebih parah. "Lagipula, hyung pernah melihat orang yang menghajarku."

Mengerutkan dahi, Junghyuk berpikir keras mencari jawaban. "Siapa? Aku mengenalnya?"

Hyesung hanya menyesap kopi. Menatap Junghyuk dengan kejahilannya. "Tidak."

"Lalu? Apa maksudmu?"

Sang remaja hanya ber"hmm" ria. "Coba ingat-ingat dari setiap pertemuan kita."

Junghyuk sebenarnya tidak sabaran. Ia kesal karena Hyesung bermain tarik ulur dengannya. Pada akhirnya, ia tetap mencoba mengingat hingga pada suatu peristiwa di mana mereka bertemu malam hari.

"Ah." Satu kata keluar dari mulut Junghyuk, Hyesung menahan tawanya. "Mereka mengeroyokmu lagi?!" Junghyuk menaikkan suaranya.

Gelengan dari Hyesung menambah kegeraman dari kekasihnya. "Hyesung-ah.. kau ini.." Melihat Junghyuk yang tidak sabaran, Hyesung menghentikan kejahilannya.

"Bukan mereka, tapi ketua geng. Hanya dia."

Rasa penasaran Junghyuk memuncak. Ia ingat mereka adalah rombongan remaja SMA karena masih mengenakan seragam sekolah. Hendak bertanya, pintu apartemen Hyesung dengan Minwoo yang menyerobot masuk.

"Oi, Pilkyo, kenapa menelepon pagi-pagi?"

Sosok Minwoo muncul tiba-tiba mengejutkan keduanya. Sementara Junghyuk kaget karena melihat orang yang tak dikenalnya masuk tanpa memencet bel, Hyesung justru kaget karena Minwoo benar-benar datang.

Senyum sumringah muncul di wajahnya. Hyesung berdiri dari kursi dan menyambut Minwoo masuk ke dalam.

"Kau datang!" Hyesung sempat merasa kelegaan luar biasa karena kehadiran Minwoo.

Sosok sahabat itu masih setengah sadar. Ia tidak benar-benar paham maksud ucapan Hyesung lewat telepon tadi hingga ia melihat sosok lain di meja makan. Laki-laki dengan kemeja dan celana bahan fit, berambut hitam pendek tengah duduk memandangnya heran.

Ia langsung paham. Dia yang namanya Mun Junghyuk. Laki-laki yang digilai oleh Hyesung saat ini.

Sambil menatap Hyesung penuh arti, Minwoo memberi senyum jahil seperti yang dilakukan Hyesung sebelumnya. "Ooohh." Dehaman panjang dan pikiran gila mulai memenuhi kepala Minwoo. Ia melihat antara reaksi Hyesung dan raut wajah Junghyuk bergantian.

Hyesung yang mengerti maksud Minwoo memukul lengan sahabatnya, membuat Minwoo meringis sakit dan menatapnya jengkel. "Kenapa aku dipukul, sih?"

Jari ramping Hyesung memberi tanda untuk diam dan matanya melotot penuh kewaspadaan.

Sang sahabat merangkap saudara itu berdeham, mengontrol emosinya. Ia langsung paham maksud Hyesung dari banyak pengalaman yang terjadi. Ia menghampiri laki-laki yang masih kebingungan itu dengan senyum sumringah.

"Hai, aku Lee Minwoo, saudara sejati Hyesung." Minwoo mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Dengan kaku, Junghyuk menjabat tangan Minwoo. "Mun Junghyuk."

Lee Minwoo duduk di hadapan Junghyuk, menyesap kopi Hyesung. Tindakan itu mengundang pukulan ke punggungnya. "Kenapa kau pukul aku lagi?!" seru Minwoo.

Hyesung menatap kesal. "Itu kopiku!"

"Punyaku tidak ada? Aku bahkan masih setengah bangun gara-gara kau menyuruhku datang sepagi ini," gerutu Minwoo.

Hyesung menghembuskan nafas kasar. "Tunggu. Kubuatkan."

Ketika Hyesung kembali ke dapur untuk membuatkan kopi, Minwoo segera mencondongkan tubuhnya kea rah Mun Junghyuk. Minwoo menahan tawa ketika melihat ekspresi kebingungan dari pacar Hyesung. Ia menatapi wajah Mun Junghyuk sembari berh"hmm" ria.

"Jadi kau pacar Hyesung?" Minwoo menopang dagunya.

Sang pengacara segera mengangguk. "Ya. Dan kau?"

Masih tersenyum, Minwoo menjawab, "Aku sahabatnya. Sudah seperti kakaknya." Minwoo merasa bangga ketika mengatakannya. "Hyesung banyak cerita padaku soal laki-laki yang sedang digilainya. Ternyata sosoknya seperti ini."

Junghyuk mengerjabkan matanya. "Dia cerita tentangku?"

Tentu saja, Minwoo membalas mantap, "Hampir setiap hari. Jujur, aku sampai bosan mendengar namamu. Tapi aku benar-benar penasaran bagaimana sosok aslinya. Untung kita bertemu."

Rasa lega dan senang muncul di mimic wajah Junghyuk. Ia agak canggung dan malu mendengarnya. Ternyata bagi Hyesung, dia orang yang berharga. Junghyuk mengusap tengkuknya malu.

"Jadi, kau sudah tahu banyak tentangku, ya?"

"Ya, begitulah. Omong-omong, aku punya salon di dekat sini. Mampir saja kalau kau mau bertemu atau mencoba servis layananku." Minwoo memberi kartu nama pada Junghyuk.

"Thanks. Kapan-kapan aku mampir," ujar Junghyuk sambil melihat kartu nama.

Minwoo ingat tujuannya dipanggil Hyesung. Ia harus membuat Junghyuk pulang sebelum jam tujuh pagi. Sambil berpikir, ia kembali bertanya-tanya, "Hei, apa yang membuatmu mau berpacaran dengan Hyesung?"

Junghyuk menaikkan alisnya. Ia mengubah arah pandangnya kearah Hyesung yang hampir selesai membuat kopi Minwoo. Sambil menopang satu sisi pipinya, ia memperhatikan sosok kekasihnya. "Bukankah dia sangat menawan?"

Minwoo melebarkan matanya tat kala ia memperhatikan bagaimana Junghyuk menatap Hyesung. Tatapannya melembut, senyumnya tulus, bahkan tidak ada keraguan dimatanya.

Wah, dia benar-benar jatuh cinta pada Pilkyo, batin Minwoo.

Hyesung kembali dengan secangkir kopi milik Minwoo. "Thanks," tutur Minwoo.

Melihat ke arah jam, Hyesung memelas pada Minwoo untuk pertolongan. Selesai eminum kopinya sedikit, Minwoo kembali memperhatikan Junghyuk yang matanya tak lepas dari Hyesung.

"Junghyuk, sebenarnya aku dan Hyesung harus pergi sebentar lagi. Hyesung harus mampir ke rumah orang tuanya sebelum ke event," ujar Minwoo.

Event? Hyesung melirik Minwoo heran.

"Daritadi penasaran, kenapa sepagi ini sudah pakai jas?"

Junghyuk membalas, "Sebenarnya habis kerja aku langsung ke sini."

"Habis kerja!? Sesubuh ini?!" seru Minwoo yang dianggukkan oleh Junghyuk. "Kalau begitu kau pulang saja. Toh, kami juga harus pergi."

Walau Hyesung kurang setuju cara Minwoo, ia tetap berpikir untuk menjaga rahasianya. "Kurasa begitu. Hyung juga harus istirahat, kan?" Hyesung mulai menimpali.

"Apa perlu kuantar? Aku membawa mobilku."

"Ah, tidak usah, nanti merepotkan. Lagipula, Hyesung ikut denganku," tolak Minwoo. "Orang tua Hyesung akan tidak suka kalau kami terlambat. Mereka sangat keras," Minwoo menyipitkan matannya dan menaikkan sisi bibirnya.

Cukup heran, Junghyuk melirik pacarnya yang hanya duduk manis di samping Minwoo. "Benar begitu?"

Hyesung menghela nafas berat. Tak disangkanya berbohong bisa sesulit ini. "Ya… Maaf, tapi aku harus pergi sebentar lagi."

Dalam hati mereka berdua, mereka sungguh berharap Junghyuk bisa pulang segera.

Beberapa saat berpikir, Junghyuk akhirnya memutuskan untuk pulang. "Baiklah, lebih baik aku pulang. Sepertinya kalian tidak mau diganggu oleh orang lain."

Hyesung dan Minwoo tersenyum senang dalam hati. "Maaf, hyung. Nanti kuhubungi lagi." Hyesung kembali berakting dengan tatapan menyesal. Ia mengantar Junghyuk sampai pintu keluar. "Tidak apa-apa. Tapi, tolong jaga dirimu baik-baik." Junghyuk tiba-tiba mengelus pipi Hyesung yang memar.

"Tadinya aku mau mengobati lukamu, tapi sepertinya tidak bisa."

Hyesung bisa merasakan libidonya naik. Sial, disaat seperti ini, dia malah menyesal. Menggigit bibir bawahnya, Hyesung membalas, "Hati-hati."

Junghyuk memeluk Hyesung perlahan agar tidak membuat Hyesung meringis sakit. Saat laki-laki itu akan keluar, Hyesung spontan memberi kecupan di bibir Junghyuk. Pengacara itu membulatkan matanya. Hyesung hanya melambai sambil tersenyum.

"Tch.. kau mengagetkanku." Junghyuk balik tersenyum. "Aku pergi dulu."

Ketika Junghyuk sudah tidak terlihat lagi, Minwoo bersiul, menggoda Hyesung. "Lihat siapa yang bermesraan sepagi ini." Tatapan jahilnya kembali. Ia bersandar pada dinding sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada.

"Minwoo hyung…"

Hyesung tahu kalau Minwoo sedang mempermainkannya. Tapi, ia memutuskan untuk diam saja. Toh, Minwoo yang membatunya menjaga rahasia.

"Aku mau siap-siap ke sekolah… Thanks sudah membantu."

Sang sahabat memberi posisi hormat dengan tiga jari. "As always. Toh, soal ke event itu tidak bohong."

Remaja itu membelalakkan matanya. "Hah? Event apa? Aku kan harus ke sekolah."

Minwoo tertawa. "Sehabis pulang sekolah, ada event fashin show dari designer favoritku. Aku mau mengajakmu sore ini. Hitung-hitung sebagai imbalan."

Hyesung berpikir. "Oke. Nanti kau jemput aku ya."

Minwoo mengiyakan. "Sudah, siap-siap ke sekolah gih."

-simply loving you from seoul-

Shin Hyesung tidak menyangka bahwa event fashion show yang dimaksud Minwoo diadakan di tempat semewah ini. Ia sempat menggerutu karena tidak mau ada di tempat umum. Penuh dengan kamera wartawan, Hyesung merasa canggung.

"Tenang saja Hyesung. Kita tidak perlu melewati para wartawan di sana."

Minwoo menarik tangan Hyesung. "Ikuti aku saja."

Remaja itu mengerutkan kening. Mereka melewati jalan belakang, memutari gedung hingga tiba di depan pintu ruang tunggu. Minwoo menunjukkan kartu VVIP yang dibawanya pada salah satu petugas. Ia membiarkan Hyesung dan Minwoo masuk.

"Darimana kartu VVIP itu? Kukira kau mau menonton fashion shownya," tutur Hyesung.

Minwoo menyengir. "Ada deh. Yang pasti, aku mau bertemu dengan designernya dulu."

Hyesung tidak percaya apa yang didengarnya. Minwoo benar-benar menemui designer itu. Ini juga pertama kalinya menghadiri acara seperti ini sampai ia merasa seperti orang bodoh. Diam membatu.

"Yesung-ssi, ini temanku, Hyesung." Minwoo tiba-tiba memperkenalkannya pada sang designer.

"Hai, aku Yesung, designer dari fashion show hari ini," ucapnya.

Hyesung menatap kagum pada sosok dihadapannya. Memakai kacamata dengan kaca kuning, aksesoris, jas dan mantel yang sepadan. Ia menjabat tangan sang designer.

Yesung, sang designer memperhatikan Hyesung dari atas kepala sampai kaki. "Sepertinya kau cocok untuk jadi fitting model. Badanmu proposional."

Minwoo tertawa ketika mendengar komentar fashion designer itu. "Sudah kuduga kau akan berkata demikian."

Namun, Hyesung tidak suka mendengarnya.

"Apa kau mau mencoba menjadi fitting modelku?" tawar Yesung.

Minwoo menatap penuh harap pada Hyesung seketika. "Wow, kau langsung ditawari pekerjaan?!"

Hyesung mendelik tajam ke Minwoo. Dengan halus, Hyesung menolak tawaran itu. 'Maaf, tapi saya tidak bisa."

"Begitu kah? Sayang sekali. Well, sebentar lagi acaranya dimulai. Kalian duduk di kursi depan ya, sudah kuberi nama."

"Terima kasih, Yesung. Usai acara, kita bicara lagi."

Yesung melambai. "Tentu. Datang saja ke ruang tunggu."

-o-

Hyesung bukanlah orang yang suka fashion seperti Minwoo, namun harus ia akui ia cukup menikmati event ini. Ia tidak tertidur seperti dulu. Minwoo juga sesekali mengajaknya bicara sehingga ia tidak terlalu bosan.

Sesuai janji, Minwoo kembali mengunjugi Yesung. Kali ini, mereka bicara panjang lebar yang tidak dimengerti Hyesung. Remaja itu hanya bermain dengan ponselnya sementara keduanya berbincang-bincang.

"sung—Hyesung!"

Remaja itu terkesiap mendengar namanya disebut. "Ya?"

"Aku dan Yesung mau makan malam. Kau ikut, ya. Sekalian nanti kuantar pulang."

Hyesung mengerutkan kening. "Hyung serius? Cuma makan malam, kan?"

"Iya, cuma makan malam." Yesung meyakinkan. "Tenang, kami tidak minum, Hyesung," Minwoo menambahkan.

Dengan pasrah, Hyesung mengikuti keduanya makan malam.

-o-

tbc