SEHUN POV

Rasanya sudah terlalu lama aku terdiam dalam kesendirianku malam ini. Kesunyian malam hanya membuatku semakin merasa damai entah mengapa. Kehidupan belum sepenuhnya membaik, tapi tak seburuk sebelumnya. Memang tak banyak yang berubah, tapi setidaknya, keadaan membaik dan mungkin juga semakin baik.

Terutama hubunganku dan Luhan, kami sudah memutuskan untuk berdamai dan bahkan saling bicara. Meskipun terkadang rasa kesal masih jelas Luhan rasakan saat mata kami bertemu, tapi tetap saja, kesinisan Luhan perlahan pudar. Dia bisa saja melihatku seharian tanpa mengomel, atau makan satu meja tanpa mengeluarkan sumpah serapah.

Dan itu bagus karena kupikir Luhan sudah tidak membenciku sebesar dulu.

Sedangkan aku sudah lupa bagaimana cara membencinya. Kupikir, semua rasa kesalku padanya, rasa benciku karena masa lalu yang pekat, pudar begitu saja. Apalagi jika bukan karena pikiran yang terus tertanam di otakku bahwa Luhan sedang mengandung anakku, –anak kami.

Aku harus memperlakukan Luhan dengan baik, begitupula dengan calon anakku.

Walaupun aku tau Luhan masih membenciku dan juga membenci calon bayi kita, tapi mendengarnya ingin hidup sehat membuatku cukup lega. Dia mau mendengarku untuk pertama kali, menuruti permintaanku yang memintanya berhenti merokok sampai bayinya lahir. Awalnya aku tidak bisa mempercayai semua ini, tapi memang ini nyata.

Luhan, si keras kepala yang angkuh, mau menuruti perkataan orang yang paling dibencinya.

Ini sungguh luar bisa.

Tapi aku juga tau badai apa yang sudah menunggu kehidupan kami selanjutnya. Aku tau bencana apa yang akan menjemput saat bayi kami sudah lahir. Dan jujur saja, aku belum siap. Bahkan sampai kapanku, aku tidak akan pernah siap.

Ya, perceraian sialan itu.

Luhan memintaku untuk mengurus segala macam hal rumit tentang perceraian, bahkan memaksaku untuk tidak menuliskan namanya sebagai ibu dari anak kami, dan juga mengancam akan menyebarkan ke seluruh dunia bahwa pernikahan ini hanya main-main. Tapi, sampai saat ini, aku sama sekali tidak mengikuti apa yang dia mau. Bahkan, aku tak mau mengurus masalah perceraian.

Sampai kapanpun, aku tidak akan mau pisah dengan Luhan.

Bukannya dia yang pernah membuatku gila.

Dan mungkin Luhan akan melakukannya lagi.

"Sehun, kau belum tidur?" sebuah suara yang sudah sangat kukenal membuyarkan lamunanku. Aku memutar tubuh, mengalihkan pandangan dari lampu taman di depan mata, dan memandangi Luhan yang berdiri jauh di depanku.

Ia menggunakan kaus longgar yang terlihat terlalu besar di tubuh mungilnya. Dan seperti biasa, Luhan tidak pernah mau pakai celana saat di rumah. Perutnya yang membuncit sedikit menyembul dari balik kaus tipisnya. Ia menatapku dengan kerutan di kening, memperhatikanku yang mungkin terlihat seperti orang bodoh sekarang.

"Ah, aku sedang cari angin," sahutku, berusaha tidak terdengar dingin, tapi sepertinya aku gagal karena perubahan wajah Luhan menjadi masam setelah mendengarku bicara. "Kau butuh sesuatu?" tanyaku lagi ada jeda beberapa detik diantara kita.

Luhan menggelengkan kepala ringan, kemudian membalikkan tubuh dan berjalan masuk ke dalam rumah melalui pintu kaca besar. Aku tau dia menginginkan sesuatu, tapi Luhan tidak akan menjawab jika aku seolah memaksanya untuk bicara. Jadi, dalam diam, aku mengikutinya masuk. Membiarkan dia duduk di atas sofa dan menonton televisi, aku mengambil camilan dari dalam lemari es.

Kebiasaan Luhan di malam hari adalah nonton film lawas membosankan sambil makan camilan atau es krim. Dan ini sudah berlangsung sejak beberapa minggu yang lalu.

"Kau mau es krim?" seruku dari dapur, meliriknya sekilas dari balik pintu kulkas dan Luhan hanya mengangkat ibu jari kanannya. "Oke," jawabku lagi.

Aku berjalan ke arahnya dengan langkah panjang, menyerahkan satu kotak penuh es krim padanya. Ia membisikkan kata terima kasih dan kubiarkan Luhan tersenyum lebar sambil mulai menyendokkan es krim cokelat ke dalam mulutnya. Aku tidak tau apa semua orang hamil suka es krim, tapi selama itu tidak berbahaya, aku akan membiarkan Luhan makan apapun yang ia mau.

"Zitao sudah pulang?" tanyaku padanya saat film baru saja dimulai.

Luhan sedikit menggeser tubuhnya, mengisyaratkanku untuk duduk tanpa bicara, dan aku mengikuti apa yang ia mau.

"Kalau Zitao disini, aku tidak akan mencarimu," sahutnya malas.

Tanpa sadar aku tersenyum, sadar kalau Luhan sebenarnya butuh teman karena akhir-akhir ini dia sering menangis ketakutan. Entah mengapa, dia takut pada hal-hal yang sebenarnya tidak ada.

"Kupikir dia menginap lagi malam ini,"

Luhan mendengus cukup keras dan tanpa sadar aku berusaha membaca raut wajahnya yang masih masam. "Kupikir dia bosan denganku, Sehun,"

"Mengapa begitu?" sahutku cepat-cepat, aku harus bertingkah seolah-olah senang mendengar semua omong kosongnya daripada dia tidak menghiraukanku sama sekali.

Padahal aku tau, sejak awal Luhan terlalu terbawa perasaan. Dia selalu berpikir semua orang membencinya, atau orang-orang mulai bosan padanya. Dia menjadi telalu peka, dan kadang itu juga menyusahkan.

Ia mengangkat bahu sedikit, kepala menggeleng ringan.

"Zitao tidak bosan," tambahku dengan suara yang kubuat terdengar cukup menyenangkan. "Mungkin dia punya urusan lain Luhan. Kehidupan Zitao kan bukan hanya seputar ini saja,"

"Ya, tetap saja," ia mendebat, masih terdengar kesal. "Kyungsoo juga sibuk sekali," tambahnya.

"Wajar saja, sebentar lagi kan dia akan pergi ke luar negeri selama beberapa bulan. Jadi banyak hal yang harus disiapkan,"

Luhan tidak mendebat, tapi bibirnya masih sedikit mengerucut kesal. Jujur saja, Luhan tampak begitu lucu dengan semua sifat menyebalkannya. Bahkan Zitao yang sangat sabar menghadapi Luhan, akhir-akhir ini mengeluh juga.

Sifatnya bisa berubah-ubah setiap waktu dan itu membuat semua orang bingung.

"Sehun, sepertinya besok aku harus ke dokter kandungan lagi," ucapnya tiba-tiba setelah jeda yang panjang diantara kami.

Aku kembali menoleh kearahnya dengan cepat, dan tanpa sadar mataku membulat. "Ada masalah?" aku tak bisa mengendalikan suaraku yang terdengar melengking, dan itu membuat Luhan melihatku juga.

Ia menggeleng, tersenyum tipis, dan aku tak tau arti senyuman itu.

Dengan sebelah tangan, Luhan membelai perutnya yang membuncit dibalik selimut tebal. "Sebentar lagi kupikir sudah waktunya,"

Entah mengapa saat Luhan mengatakan hal itu, dan bahkan aku harus memeriksa raut wajahnya agar tidak salah dengar, aku merasa seperti sedang melihat orang normal. Ya, seolah aku sedang berbicara dengan seorang ibu normal yang ingin segera bertemu dengan calon anaknya. Dan, itu sama sekali bukan Luhan.

Disatu sisi aku merasa senang, ya tentu saja. Tapi disisi lain, kebingungan masih terus menggema.

"Kau takut?" tanyaku, tak tau harus mengatakan apa, tapi sepertinya hanya itu yang terlintas di otakku yang mendadak saja tak bisa digunakan untuk berpikir lebih jauh lagi.

"Ya, tentu saja," jawabnya cepat, tanpa memberi jeda. "Kudengar, banyak orang yang mati karena melahirkan,"

"Itu tidak benar," debatku, berusaha mematahkan argumennya.

"Ya, mungkin saja," ia terkekeh ringan dan aku semakin menganggap ada sesuatu yang aneh pada Luhan. Aku yakin sekali, hanya tidak tau itu apa. "Sudah sejauh mana persiapan perceraian kita?"

Oh, kau membahasnya lagi.

"Santai saja, tidak usah dipikirkan. Semua akan berjalan lancar," sahutku, berusaha tidak membahas hal ini. Jujur saja, di depan Luhan, aku bukan pembohong ulung.

"Itu bagus," ucapnya, gamang. Luhan kembali mengalihkan pandangannya kearah layar televisi sambil mulai lagi memasukkan es krim ke dalam mulut.

Sementara aku masih memandangi wajah piasnya dengan seksama. Seolah, sedetik waktu yang kupunya bersama Luhan sangat berharga sekarang.

Karena aku tak pernah tau kapan terakhir kali melihatnya.

Jika Luhan memutuskan untuk pergi, aku akan kehilangan dia selamanya.

Itu mimpi buruk.

.

.

"Sehun, aku takut," rengek Luhan sore itu.

Aku memandanginya dengan senyum mengembang di bibir, sementara jemari Luhan menggenggam erat tanganku. Dengan jelas, bisa kulihat selang infus menembus kulitnya yang tipis.

"Semua akan baik-baik saja," sahutku ringan.

Luhan tidak menjawab lagi, ia hanya mengatur napasnya yang mendadak saja terdengar berat. Ya, ini hari persalinan, sudah dua hari Luhan harus berbaring di rumah sakit karena kontraksinya tak kunjung reda. Dan sekarang, dokter akan melakukan pembedahan untuk mengeluarkan bayinya.

Jujur saja, ini kali pertama aku melihat Luhan ketakutan seperti ini.

Dan itu juga membuatku takut tanpa sadar.

Demi Luhan, aku melepaskan semua pekerjaanku selama dua hari terakhir ini, membiarkan Minseok mengomel tentang semua hal dan membiarkan pekerjaanku berantakan. Aku tak bisa membiarkan Luhan melewati ini sendirian karena bagaimanapun, ini juga akibat ulahku.

"Kalau aku tak berhasil melewati ini, apa yang akan kau lakukan?"

Apa yang kau bicarakan, Luhan.

Aku menggenggam erat tangannya yang tidak dipasangi selang infus, tersenyum lembut, dan mengusap kepalanya perlahan. Jika biasanya Luhan akan kesal dan menepis tanganku, tapi kali ini ia malah memejamkan mata dan kembali fokus mengatur napas.

"Kau akan baik-baik saja. Jangan pikirkan hal yang tidak-tidak," aku menambahkan, masih membelai wajahnya yang mulai berkeringat dingin. "Operasinya tidak akan berlangsung lama,"

Luhan sedikit mengerang sambil memegangi perutnya dengan sebelah tangan, ini sudah terjadi ratusan kali hari ini. "Ah, sial," rengeknya lagi.

"Kau akan baik-baik saja, satu jam lagi semuanya akan berakhir, Luhan," aku melirik jam sekilas dan sedikit menggerutu dalam hati karena detiknya seolah tidak bergerak sama sekali.

Sial.

"Lama sekali, Sehun,"

"Kita harus menunggu hingga kau stabil," balasku dengan suara yang sedikit keras dan Luhan membuka mata untuk menatapku bingung. "Aku tidak marah," cepat-cepat aku menjelaskan sebelum ia salah paham seperti yang sudah-sudah. "Aku hanya panik,"

"Harusnya aku yang panik," debatnya.

Aku tidak tau sejak kapan percakapan tidak penting ini dimulai, tapi kuharap ini tidak akan membuat Luhan semakin kesal.

"Pikirkan hal lain, oke?" kataku lagi, akhirnya setelah raut wajah Luhan kembali normal.

"Seperti apa?" balasnya, mulai terdengar kesal.

Aku menimang-nimang, mulai membayangkan ribuan kemungkinan yang ada di otak, kemudian hanya semakin bingung. "Nama apa yang cocok untuk bayi kita?" terdengar menggelikan saat aku mengatakan hal itu, tapi tak ada pilihan lain. Ini jauh lebih baik daripada harus membahas kematian dengan Luhan.

Luhan menatapku tanpa ekspresi dan aku mulai berpikir salah pilih topik pembicaraan.

Ia menggeleng ringan, pada akhirnya setelah diam yang cukup lama. "Kau yang pilih, aku tidak berminat memberi nama apapun,"

Wow, itu terdengar jahat sekali, Luhan.

"Oke, aku mulai berpikir lebih baik memberi nama dalam bahasa China. Bagaimana menurutmu?" aku berusaha menjaga agar suaraku tidak terdengar terlalu bersemangat, tapi sepertinya itu tidak berhasil.

Luhan mengernyit bingung. "Dia akan tinggal denganmu, disini. Kurasa nama dalam bahasa China akan terdengar asing,"

Ya, itu agar dia selalu terikat denganmu, Luhan.

Tunggu dulu, apa baru saja kau peduli dengan nama anak kita?

"Apa menurutmu yang bagus?" tanyaku lagi, berusaha mengalihkan perhatian Luhan dari rasa sakit yang sejak tadi ia rasakan. Dan juga berusaha menahan senyum yang muncul dari balik bibir.

Ia menggeleng ringan. "Aku tak punya ide apapun,"

"Kalau perempuan, Yujie?" aku meliriknya lagi, berusaha membaca raut wajah Luhan yang seolah membeku.

"Kalau bukan perempuan?"

Maksudmu laki-laki?

Aku sedikit tersenyum, tanpa sadar sejak tadi jemariku masih membelai rambutnya yang lembut. "Mungkin Ziyu. Itu terdengar bagus, kan?"

Luhan mendesah ringan, menyerah dengan ucapanku. "Terserah kau saja," balasnya acuh, kemudian kembali mengerang menahan sakit.

Dan aku tak tau harus berbuat apa sekarang.

.

.

"Apa maksudnya ruang ICU?" tanyaku gamang, setengah tidak percaya, setengah takut. "Bayinya harus masuk ruang ICU?"

Dokter paruh baya itu mengangguk lesu, baju biru khas ruang operasi terlihat lebih berantakan sekarang. Ia sedikit menundukkan kepala, kedua tangan menyatur di depan tubuhnya. Sekilas saja, semua orang tau dokter itu sedang gusar.

Dan itu hanya semakin membuatku menggila.

"Bayinya laki-laki, dan–," ia berhenti sebentar sebelum akhirnya menarik napas panjang. "–ada sedikit kelainan pada paru-parunya, jadi dia belum bisa bernapas tanpa alat bantu,"

Apa kau bilang?

Seolah ada petir yang menyambar kepalaku, aku tak bisa memikirkan hal lain. Otakku benar-benar tak bisa memikirkan apapun dan aku mengejang kaku, membeku di tempatku berdiri. Bisa kurasakan Zitao bergerak mendekat dan berdiri tepat di belakang tubuhku, jaga-jaga kalau mungkin aku tumbang.

"Kami akan berusaha, Tuan Oh. Tapi memang keadaannya belum stabil,"

Selanjutnya, kubiarkan Zitao berbicara dengan dokter itu sementara aku berusaha menemukan duniaku kembali.

Tanpa sadar, kaki melangkah menjauh menuju tempat dimana Luhan sedang berbaring di atas ranjang paska operasi. Dia sudah dipindahkan ke dalam kamar biasa beberapa jam yang lalu sementara beberapa dokter mungkin sedang berusaha menyelamatkan nyawa bayinya –bayi kami.

Perlahan, kubuka pintu kamar Luhan. Gadis itu berada disana, berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam rapat. Tanpa sadar, kaki melangkah mendekat dan mengusapkan jemari di atas kepalanya. Saat kulit kami bersentuhan, Luhan membuka mata.

Dan aku menarik tanganku menjauh, terkejut karenanya.

Luhan mengerang, membuka matanya sedikit, kemudian menutupnya kembali. Seolah sedang menahan sakit yang teramat, ia kembali meringis.

"Luhan, kau baik-baik saja?" tanyaku, kali ini benar-benar tak bisa mengendalikan rasa gugup.

Luhan mengerang lagi, menggelengkan kepala perlahan dan matanya terpejam erat. "Pusing, Sehun," jawabnya dengan suara nyaris habis.

"Akan kupanggilkan dokter,"

"Aku baik-baik saja," sahut Luhan, menarik tanganku dengan jemarinya yang bebas infus. "Mereka sudah memeriksaku,"

"Kau butuh sesuatu?"

"Dimana bayiku?"

Aku sedikit tersentak saat Luhan mengatakan hal itu. Fakta bahwa Luhan baru saja menyebut bayinya seperti itu, karena biasanya ia hanya akan memanggilnya janin.

"Sehun, dimana bayiku?" ulangnya lagi saat aku tidak menjawab pertanyaannya.

Aku memandangi wajah piasnya yang seolah menyerukan ribuan pertanyaan. Dan tidak ada satu penjelasan pun yang bisa kuberikan pada Luhan saat ini. Rasanya otakku memang sudah berhenti bekerja dan menjelaskan ini pada Luhan hanya membuat keadaan lebih buruk lagi.

"Dia ada di ruang bayi," oke, secara teknis aku tidak berbohong.

"Aku harus menyusuinya Sehun," Luhan bersikeras saat aku seolah tidak memberinya jawaban yang memuaskan.

Aku senang mendengarnya dan aku juga ingin kau melakukannya, Luhan.

Tapi keadaannya tidak seperti yang kuharapkan sekarang.

"Aku takut kau belum bisa melakukannya," aku berbisik dengan suara tipis.

Luhan membelalakkan mata padaku, kentara sekali dia sedang marah. "Apa maksudmu, Sehun?" aku tau ucapanku menyinggung perasaannya. "Bawa aku padanya, dia harus disusui setelah lahir,"

Oke, fakta pertama, aku bersyukur karena Luhan berniat untuk memberi susu pada bayi yang selama ini sangat ia benci. Dan fakta kedua, aku butuh cara untuk menjelaskan keadaan ini pada Luhan tanpa membuatnya histeris.

Meskipun Luhan membenci bayinya, bagaimanapun, ikatan ibu dan anak sangat kuat.

"Sehun, kenapa kau diam? Apa yang terjadi?" desaknya.

Mungkin menyadari perubahan raut wajahku sejak tadi, Luhan mencengkeramku kuat-kuat seolah berusaha menyadarku dari lamunan panjang.

Dan aku masih belum bisa berpikir jernih.

"Luhan, bayi kita laki-laki,"

"Ya, aku tau," debatnya, memotong ucapanku. "Dimana dia sekarang?"

Aku menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk bicara. "Aku takut kita belum bisa menemuinya,"

"Apa maksudmu belum bisa? Bicara dengan jelas, Oh Sehun," dan aku tau Luhan benar-benar marah saat mengatakan hal itu dengan suara yang terdengar seperti bentakan.

"Dia harus dirawat di ICU. Ada yang salah dengan paru-parunya, dan–," aku berhenti sebentar untuk mengambil napas karena mendadak saja udara di sekitar terasa sesak. "–saat ini dia butuh alat bantu untuk bernapas, Luhan,"

"Apa kau bilang?" ucapnya gamang seolah bicara sendiri.

Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sementara matanya membulat sempurna seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan. Biar kurasakan tubuhnya bergetar hebat, lalu detik berikutnya air mata berlomba-lomba turun dari mata.

"Luhan, please, jangan menangis," bisikku, berusaha menenangkannya, tapi itu tak berhasil karena tangisan Luhan semakin parah.

"Ini semua salahku," ucapnya ditengah isak tangis.

Tidak ada yang bisa kupahami dari perkataan Luhan ditengah tangisnya yang menggila. Jadi aku berusaha memeluknya, cukup hati-hati agar tak membuatnya merasa kesakitan. Kubiarkan Luhan menangis dalam pelukanku, kubiarkan sebelah tangannya mendekapku lebih dekat lagi.

Kupikir aku menangis juga, tapi tak bisa lagi merasakannya.

Luhan butuh pelukan, begitu pula denganku sebenarnya.

.

.

"Ini semua salahku kan Sehun?" entah berapa kali Luhan mengatakan hal itu dan aku seolah sudah jengah mendengarnya.

"Tidak ada yang menyalahkanmu,"

Luhan tidak menjawab, ia hanya menempelkan tangan pada kaca yang menjadi pembatas antara kami dan bayi mungil itu. Bayi laki-laki kami masih terlihat berwarna merah dan selang-selang terpasang di tubuhnya.

Sejak tadi aku mendorong kursi roda Luhan keluar dari kamar untuk melihat bayinya dari balik kaca tebal ruang ICU, Luhan sama sekali tak beranjak. Entah sudah berapa jam berlalu, tapi Luhan sama sekali tak bosan menatap bayinya dari balik kaca tebal. Dengan air mata yang sesekali jatuh membasahi pipinya, isakan tipis masih bisa kudengar dengan jelas.

"Luhan," aku kembali meremas pundaknya, berusaha menyadarkannya dari lamunan panjang. "Ayo kembali ke kamar, kau harus istirahat total,"

"Katakan apa yang sudah kulakukan, Sehun?" ia mengulangi ucapannya lagi dengan suara yang terdengar lemah, seolah-olah bicara sendiri dan nada bicaranya sama sekali tak ada bedanya dengan orang sekarat.

Aku duduk berlutut di depan kaki Luhan, kemudian menggeser kursi rodanya sedikit sehingga kami berhadapan. Luhan menundukkan wajahnya, berusaha membuat wajah kami sejajar. Aku tersenyum padanya, mengulurkan sebelah tangan untuk mengusap sisa air mata yang masih membasahi pipi tirusnya.

Ia memandangiku dengan tatapan nanar.

Untuk kali pertama dalam hidupku, bisa kulihat kesedihan yang teramat dashsyat dalam manik mata Luhan.

Ia tampak seperti mayat hidup dan wajahnya terlihat begitu menyedihkan. Luhan nyaris seperti orang yang kehilangan semangat hidup, bahkan rasanya ia sudah menangis selama beberapa jam tanpa berhenti sama sekali.

"Ini bukan salahmu, Luhan," aku berbisik cukup pelan, berusaha menenangkan Luhan, juga dalam hati menenangkan diri sendiri.

Sejak semua ini terjadi secara tiba-tiba, aku benar-benar tak bisa menentukan sikap. Tak bisa membuat diriku sendiri tenang, tak bisa berpikir jernih, dan seolah Luhan hanya memperburuk semuanya.

Melihat Luhan yang hancur seperti itu benar-benar bisa membuatku gila. Aku masih mencintainya sebesar itu, dan melihat orang yang kucintai seperti ini hanya semakin membuatku merasa bersalah. Tidak tau apa yang harus kusalahkan dari diriku, tapi yang jelas, ini bukan seratus persen karena Luhan.

Aku tidak tau harus mulai darimana untuk menyalahkan diri sendiri.

"Luhan, sayang, dengar. Aku tidak menyalahkanmu," bisikku dengan suara yang nyaris habis. Aku menggenggam tangan Luhan erat-erat, tapi berusaha sebisa mungkin tidak menganggu selang infusnya.

Ia menatapku dengan air mata berderai. Isakannya terdengar memilukan dan aku sebisa mungkin menahan diri agar tidak terhanyut dalam kesedihan Luhan juga.

"Kalau saja aku menjaganya dengan baik. Kalau saja aku tidak membencinya, Sehun. Kalau saja–,"

"Sudah, Luhan. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Itu tidak akan mengubah apapun," aku benar-benar tak tahan lagi melihat Luhan yang hancur seperti ini.

Luhan masih menatapku, berusaha mengendalikan isak tangisnya yang makin lama makin pudar. Suaranya nyaris habisa dan napasnya terdengar putus-putus.

"Kalau terjadi apa-apa dengan Ziyu," ia berhenti sebentar untuk mengambil napas panjang.

"Ziyu?" aku mengulangi ucapannya, bingung, tapi setengah tersenyum. Lega karena Luhan memberikan nama itu untuk bayi kami.

Ia mengangguk beberapa kali, mengusap air mata yang kembali turun dari matanya. "Kau ingin menamainya seperti itu, Sehun," bisiknya parau. "Kalau terjadi apa-apa dengan Ziyu, kupikir aku tak bisa lagi hidup,"

"Jangan bicara seperti itu, Luhan. Ziyu akan baik-baik saja, oke? Kita hanya harus mendoakan yang terbaik untuknya. Jangan pernah menyerah berharap,"

"Aku nyaris membunuhnya," ia kembali berbisik dengan suara yang sarat kesedihan. "Aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang bayi," kali ini, tangisnya kembali pecah. "Demi Tuhan dia hanya bayi mungil tidak berdosa dan aku hampir membunuhnya,"

"Tidak apa, Luhan. Itu masa lalu,"

Luhan berusaha menghentikan tangisnya lagi sementara aku menepuk-nepuk lengannya dengan lembut.

"Maafkan aku, Sehun," suaranya hampir tak terdengar. "Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal,"

Entah mengapa tanpa sadar aku tersenyum mendengar kalimat itu keluar dari bibir Luhan. Bahkan sekilas saja, aku tau Luhan sungguh-sungguh saat mengatakan hal itu. Penyesalannya benar-benar dari hati, dan aku memang bisa merasakannya.

Jika memang dengan cara ini Tuhan mengubah hati Luhan, mungkin setidaknya aku bisa bersyukur.

"Luhan, Ziyu akan baik-baik saja. Jangan menyalahkan diri sendiri terus, oke? Semua akan baik-baik saja, aku janji,"

Jemari tangan Luhan terulur ke depan dan aku memajukan wajah agar ia dapat menyentuh wajahku. Luhan tersenyum tipis, satu bulir air mata kembali membasahi pipinya. Ia mengusap pipiku dengan lembut dan tangannya terasa hangat di wajahku.

"Aku menyesal, Sehun. Kuharap kau mau memaafkan semua yang telah kulakukan padamu, pada bayi kita," ia menahan isakan, kemudian tersenyum lagi.

"Aku sudah memaafkanmu sejak awal,"

Ia terkekeh ringan, dan tanpa sadar air matanya kembali turun. "Kuharap kau bisa membatalkan berkas perceraiannya,"

Apa kau bilang?

Luhan.

"Luhan?" suaraku terdengar keras tapi aku tak peduli.

Luhan tersenyum lagi, mengusap pipiku dengan jarinya. "Ziyu butuh kedua orang tuanya dan aku tak mau kau menjadi orang tua tunggal,"

"Tunggu dulu," suaraku tercekat, dan aku mulai berpikir ini hanya mimpi indah –atau mimpi buruk. "Kau tidak pernah mencintaiku. Kau bahkan membenciku, Luhan. Bagaimana bisa?"

"Semua bisa berubah. Akupun juga sama. Daripada kehilanganmu dan Ziyu untuk selamanya, aku lebih memilih untuk belajar mencintaimu sepenuh hati, Sehun. Kuharap kau mau memberiku kesempatan untuk berubah," ia kembali tersenyum. Dan wajah cantik itu membuat hatiku bergetar.

"Ya, aku akan menunggumu untuk itu,"

Senyum Luhan kembali terukir di bibirnya. "Terima kasih, Sehun,"

"Tidak, aku yang seharusnya berterima kasih," aku membalas senyumnya. Dan entah mengapa kucondongkan tubuhku ke depan untuk mengecup dahi Luhan. Ia tersenyum malu, untuk kali pertama dalam hidupku melihat Luhan tersipu. "Sekarang, kau harus istirahat,"

"Aku tidak yakin akan meninggalkan Ziyu disini sendirian,"

"Dia tidak sendiri, Luhan," aku tersenyum padanya. "Ziyu akan baik-baik saja,"

Dan saat senyum Luhan kembali muncul pada wajah piasnya, aku tau sesuatu yang baik sedang terjadi.

Semoga saja.

.

.

TBC

.

.

Hai hai hai maaf ya Author menghilang sekian lama dari FF ini karena lagi sibuk-sibuknya RL hehehe.

Dan akhirnya, walaupun banyak diprotes, tapi tetep sih nulis pake sudut pandang orang pertama. Kenapa? Karena menurut Author kalau pake sudut pandang orang pertama itu jauh lebih dapet menggambarkan feelsnya. Dan karena disini perlu banget untuk menggambarkan perasaan-perasaan itu, jadi dibuatlah FF sudut pandang orang pertama.

Maaf ya kalau kurang berminat dan kurang berkenan.

Selain itu, sepertinya FF ini tidak akan lama lagi tamat dan semoga aja ceritanya tidak mengecewakan.

Semoga juga masih ada yang mau nungguin hehehe.

Untuk yang sudah membaca, menunggu, dan mereview, Author ucapkan banyak terima kasih. Semoga dapat diselesaikan dengan cepat ini FF.

Jangan lupa untuk mereview ya semua.

With love,

lolipopsehun