The Wall

.

.

Park Chanyeol x Byun Baekhyun

Kyungsoo, Sehun, etc

.

.

Chapter I

.

.

.

.

.

Wall of Shame.

Tembok berlin-nya Peru. Dinding pemisah setinggi tiga meter dengan kawat berduri diatasnya itu berdiri sejak tahun 1980, membelah wilayah pinggiran kota Peru, La Casuarinas dan Vista Hermosa. Kedua wilayah dengan tingkat ekonomi yang berbeda, si kaya dan si miskin.

Berbekal alasan konyol berupa ketakutan masyarakat La Casuarinas akan kemungkinan warga Vista Hermosa menjarah harta mereka, dinding itu berdiri, menjadi pembatas bisu selama puluhan tahun.

Namun, tidak bagi Baekhyun.

Usia anak itu baru lima belas tahun. Ia tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Hidupnya ia habiskan di sebuah panti asuhan sederhana, El Orfanato de Michele.

Sesuai namanya, panti asuhan ini dimiliki oleh seorang wanita bernama Michele. Wanita yang menurut Baekhyun, adalah malaikat yang dijatuhkan Tuhan ke dunia. Dengan hati luar biasanya, ia rela melepaskan kekayaan dan diusir dari rumah, demi Baekhyun.

Michele menemukan Baekhyun kecil, yang saat itu masih merah, didalam kardus di jalan menuju bandara Incheon. Tidak ada petunjuk, hanya sebuah liontin berbentuk setengah hati yang tertulis 'Baekhyun'. Keberadaan Baekhyun jelas ditentang keluarga Michele di Peru. Wanita itu adalah seorang mahasiswa akhir di sekolah keperawatan. Keberadaannya di Korea Selatan semata hanya untuk studinya.

Buntut dari segalanya adalah pengusiran terhadap si malang Michele. Masih dengan hati yang luar biasa tabah, wanita itu membawa Baekhyun, tetap merawatnya. Ia bahkan bekerja keras sebagai pelayan dan office girl untuk mencukupi kebutuhan si bayi. Sampai akhirnya, mereka terdampar disini, di kota pinggiran ibukota, Vista Hermosa.

El orfanato de Michele pun bukan panti asuhan yang besar. Total, ada sepuluh anak, termasuk Baekhyun, yang berada dalam naungan tempat ini. Michele sendiri masih harus bekerja. Dengan sisa uang dan hasil kerja serabutannya, ia berhasil menyelesaikan studi perawatnya. Sejak tujuh tahun yang lalu ia bertugas di Clìnica Rehabilitacìon, membuatnya jarang pulang ke kediamannya. Baekhyun, yang tertua, bertindak sebagai 'ibu' pengganti bagi adik-adiknya, sambil terus menyelesaikan pendidikannya.

"Cecilia!" Baekhyun menghela nafas melihat telur masakannya yang gosong. "Cecilia, kemarilah! Bantu aku sebentar!"

Derap langkah pelan terdengar. Seorang anak perempuan berusia sembilan tahun menghampiri Baekhyun dengan setengah berlari. Mata besarnya memandang masakan gosong si kakak.

"Dios mío! (Demi Tuhan!)" Cecilia mendesah pelan. "Sebenarnya kau ingin memasak apa?"

Baekhyun tertawa kekanakan. Rambut coklatnya tertiup angin dari jendela dapur. "Aku melihat resep di televisi. Masakan Jepang. Omu.. O.."

"Omurice?"

"Ya!" Baekhyun sedikit berjingkrak, lalu mendelik ke Cecilia. "Kau mengetahuinya?"

Gadis itu memutar bola matanya kesal. "Ya sudah. Biar aku yang teruskan."

"Kau yang terbaik!" Baekhyun mundur, memberi ruang pada adiknya. "Omong-omong, dimana Diego?"

"Oh, andai aku tahu." Cecilia berdecak sambil mengiris bawang dan paprika. "Anak itu bahkan sudah pergi sejak matahari terbit."

"Tembok lagi?"

Cecilia mengangguk. "Apa lagi yang bisa dilakukannya? Aku bahkan ragu dia empat tahun lebih tua dariku. Sungguh kekanakan."

"Ck." Baekhyun menghela nafasnya. "Aku akan mencarinya. Mama akan pulang di jam makan siang. Aku titip yang lain."

"Tentu!"

.

.

.

Baekhyun tidak pernah membenci Diego. Anak itu bahkan lebih malang darinya. Ayahnya membunuh seorang pengusaha dan ditembak mati dirumah mereka. Michele menemukan anak itu di tempat pembuangan sampah, menangis karena lapar, delapan tahun yang lalu.

Sebenarnya, dia anak yang manis. Baekhyun tahu dia kerap memukul anak-anak yang mengatakan Baekhyun si kulit lobak putih. Baekhyun sudah paham. Dirinya memang berbeda. Kulitnya tidak se-eksotis orang kebanyakan. Matanya sipit, tanpa kelopak dan tidak sebesar yang lain. Michele bilang, dia berasal dari Korea Selatan. Itu sebabnya, wanita itu kerap berbicara bahasa korea dengannya, agar Baekhyun tidak melupakan kampung halamannya.

"Louis!"

Kaki kecil Baekhyun melangkah lebar-lebar. Seorang anak lelaki yang memangku koran di atas sepedanya tersenyum.

"Yo! BackHyan!"

"Hola." Baekhyun tersenyum begitu sampai di hadapannya. "Hari yang baik?"

"Sempurna!" Louis mengerling. "Kau terlihat bingung. Sudah membaca koran hari ini?"

"Aku tidak sempat." Baekhyun mendesah. "Kau melihat Diego?"

Louis mengibaskan tangannya. "Seharusnya aku tahu. Ya! Anak itu! Kau tahu? Dia dan teman-temannya berlari dan hampir membuatku jatuh. Aku tidak percaya!"

"Uh." Baekhyun meringis. "Maafkan dia."

Louis kembali tersenyum. "Dia ada di tembok. Mereka menemukan lubang di ujungnya. Aku tidak tahu apa urusan mereka di Casuarinas."

"Astaga." Baekhyun memijat pelipisnya sesaat. "Baiklah, aku akan kesana dulu. Gracias, Louis!"

.

.

.

Michele baru saja berjalan menuju rumah yang dirindukannya saat melihat sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumahnya. Beberapa tetangga mengintip, memandang ingin tahu, apa yang dilakukan pemilik mobil itu di panti asuhan kecil.

"Discúlpeme (Permisi)." Michele berusaha tersenyum saat menerobos kerumunan tetangga itu. Ia menarik kopernya ke dalam, melangkah lebih cepat. "Baekhyun! Diego! Cecilia!"

Seorang gadis, keluar dengan langkah riang. Matanya berbinar. "Mama!"

"Oh, anakku." Michele memeluk pundak si gadis dan mencium keningnya. Matanya mendelik kedalam ruangan. "Siapa di dalam?"

"Aku tidak tahu." Cecilia menggeleng. "Dia bicara bahasa inggris. Katanya ingin bertemu denganmu. Dia bilang dia dari Korea Selatan."

Michele tertegun sesaat. Wanita itu kemudian menatap Cecilia sambil tersenyum. "Masuklah dan jaga adik-adikmu. Mama akan menemuinya."

"Baiklah."

.

.

.

Louis benar tentang sebuah lubang. Lebar lubang itu dua meter, cukup untuk keluar masuk beberapa orang bertubuh kecil. Baekhyun menghela nafas. Kali ini, Diego akan mendapat hukuman. Anak itu benar-benar semakin nakal.

"Awas saja, ya."

Baekhyun pun berjongkok, lalu merangkak melewati lubang itu. Dalam sesaat, tubuhnya kini sudah berada di wilayah lain, wilayah dengan kesuburan ekonomi yang lebih baik dari wilayahnya. Baekhyun memandang sekitar. Casuarinas berbatasan langsung dengan ibukota. Rumah - rumah mereka seharga jutaan dollar. Bahkan dari ketinggian bukit kecil ini, Baekhyun bisa melihat betapa mewah kehidupan mereka.

"Ah. Diego."

Seakan disentak di hatinya, Baekhyun bergegas menuruni bukit. Langkahnya ia percepat dengan tangan yang sibuk membersihkan tanah di lengannya. Baekhyun mengedarkan pandangannya. Jalanan tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa mobil yang lewat. Sebagian besar dari mereka sepertinya di restoran, menikmati makan siang.

"Sst! Pelan-pelan!"

Langkah Baekhyun terhenti saat melewati sebuah gang kecil, dengan beberapa apartemen minimalis di sekitarnya. Matanya memicing, mencari tahu. Benar saja. Helaan nafas kasar keluar saat ia tahu suara tadi berasal dari sekelompok anak kecil yang kini sedang bergerombol di sisi sebuah mobil mewah. Baekhyun mempercepat langkahnya.

"Hei!" teriaknya.

Anak-anak itu mendongak, lalu menatap takut kehadiran Baekhyun. Satu diantara mereka, si rambut coklat ikal, melebarkan matanya, kelihatan lebih takut dari anak lainnya.

"Diego! Vete aquí! (Kemarilah)!"

Diego, anak ikal itu tergagap. Ia masih berdiri di tempatnya, saat beberapa anak lain mulai kabur, berlari dari Baekhyun. Ia menoleh takut, menimbang sikapnya.

Seorang anak lain kini menariknya. "Diego! Vamonos! (Ayo pergi)!"

Diego menelan ludahnya. Baekhyun semakin dekat kearahnya. Ia melirik teman di sampingnya yang mulai berlari. Tepat satu meter sebelum Baekhyun berhasil meraihnya, ia melangkah berbalik, meninggalkan tempat itu.

"Hei! Diego!" Baekhyun menghentakkan kakinya. "Hei!"

"Qué hiciste?! (Apa yang kau lakukan)?!"

Sebuah suara, berat, membuat Baekhyun mematung. Dengan gerakan lambat, ia menoleh. Matanya bertabrakan dengan tatapan tajam seorang pria asia yang tinggi dan luar biasa tampan. Baekhyun menelan ludah.

"A-a.."

"Ya!" Pria itu kembali berteriak. "Apa yang kau lakukan disini, bocah?!"

Baekhyun menahan nafasnya. "Aku.. Aku hanya mengejar adikku. Permisi."

Pria itu mengernyit, heran. Sedangkan, Baekhyun mulai melangkah, pergi dari tempatnya berdiri.

"Tunggu!"

Kali ini, Baekhyun berhenti, lalu menoleh. Pria yang tadi membentaknya kini berjalan cepat kearahnya. Wajahnya merah padam, sarat akan emosi. Tanpa kelembutan, ia menarik kasar tangan Baekhyun, membuat si mungil memekik.

"Lepaskan!"

"Lepaskan?" Pria tinggi itu terkekeh mengejek. "Jangan harap, lihatlah!"

Baekhyun limbung saat pria itu mendorongnya, tepat ke samping mobil mewah tadi. Matanya melebar. Disana, di beberapa bagian mobil itu, coretan-coretan kasar terlihat. Baekhyun menggelengkan kepalanya.

"Tidak.." Ia menatap si pria. "Aku tidak melakukan apapun! Aku bersumpah, Tuan!"

Pria itu mendengus. Menatap tajam wajah Baekhyun yang kini memelas. "Kau pikir aku percaya?! Lalu siapa yang melakukannya? Hantu?!"

"Aku tidak tahu!" Baekhyun hampir marah. Tapi, ia mengingat Diego dan teman-temannya tadi. Kepercayaan dirinya menurun. Pria dihadapannya menyeringai.

"Kenapa? Baru menyadari kesalahan?"

Baekhyun kembali menggeleng. "Bukan aku.. Aku bersumpah!"

"Baiklah." Pria itu mengangguk. "Kalau begitu, bayar saja! Cepat! Ganti rugi!"

Baekhyun menggigit bibirnya. "Aku.."

"Apa?"

"Aku tidak punya uang."

Lirihan kecil Baekhyun membuat pria tinggi itu berdecih. Ia berkacak pinggang, menatap tajam si mungil.

"Dengar, ya, bocah." Ia mencengkram lengan Baekhyun. "Kau merusak mobilku, lalu berkata tidak punya uang! Kau ini sebenarnya apa?!"

"Aku sudah bilang aku tidak melakukan itu!"

"Ya, ya. Baik!" Pria tinggi itu berkata tajam. "Mari kita buktikan di polisi!"

"Tidak." Baekhyun menggeleng, menahan lengan pria itu. "Tidak.. Kumohon.. Jangan polisi.. Aku.. Aku.."

"Apa?!"

"Aku.." Baekhyun menahan nafas. "Aku akan melakukan apapun! Benar! Tapi, kumohon jangan bawa aku ke polisi, Tuan."

Langkah pria tinggi itu terhenti. Nafasnya berhembus kasar. Ia menoleh, menatap wajah Baekhyun yang sudah merah, menahan tangis. Sekian detik, sebuah seringai terpatri di wajahnya.

"Bien (Baiklah)." Pria itu menyeringai. "Mari kita mulai pembayaran ganti rugi-mu."

.

.

.

Michele menaruh kedua tangannya diatas pangkuan, sambil memegang sebuah liontin berbentuk setengah hati yang persis dengan milik Baekhyun. Sebuah kata tertera disana. Hanya satu kata, sebuah marga, 'Byun'.

Wanita itu menghela nafas.

"Tapi, kau membuangnya."

Sebuah tangisan dari wanita disampingnya menjawab lirihan Michele. Wanita ini, seorang wanita dengan pakaian modis yang mungkin seusia dengannya, baru datang dari negaranya, Korea Selatan.

"Aku tahu." balasnya pelan. "Itu semua salahku, aku tahu, Michele. Aku benar-benar menyesal. Kumohon, pertemukan aku dengan putraku."

"Hyesun-ah.."

Hyesun—wanita itu—menggigit bibirnya. "Saat itu, aku sangat panik. Aku dan pacarku akan dijodohkan oleh masing-masing keluarga kami. Sementara, aku sedang hamil tua. Aku— aku sama sekali tidak tahu kalau aku dijodohkan dengan kekasihku juga."

Michele menatapnya prihatin. "Baekhyun kedinginan. Jika aku terlambat, mungkin dia sudah tidak bertahan."

"Aku tahu." Hyesun mengangguk. "Aku mencarinya keesokan harinya, tapi dia tidak dimana-mana. Aku terus mencarinya hingga belasan tahun. Sampai aku menemukannya, menemukan fotonya dengan liontin yang sama, di laman website panti asuhan ini."

Michele hanya terdiam. Hyesun bergerak. Dengan mata yang berair, ia berlutut, menggenggam tangan Michele.

"Hyesun-ah.." Michele bergerak tak nyaman. "Tidak perlu seperti ini.."

"Michele.." Hyesun berkata lirih. "Suamiku kecelakaan minggu lalu saat menjalani agendanya untuk mencari anak kami. Kumohon, dia benar-benar terpuruk. Kumohon izinkan aku membawa anakku, membawa Baekhyun.."

Hyesun mulai menangis lagi. Michele menghela nafas, menahan airmatanya.

"Aku mengerti." ucapnya. "Hanya saja, keputusan tetap ada pada Baekhyun. Kembalilah besok. Aku akan bicara padanya dulu malam ini."

Hyesun tersenyum, begitu lebar. Wanita itu berdiri dan memeluk Michele.

"Terima kasih.."

.

.

.

"Akh!"

Tubuh Baekhyun terlempar ke sebuah ranjang besar dalam ruangan yang remang. Pemuda itu mengusap pergelangan tangannya yang memerah. Ia menatap pria tinggi yang membawanya tadi.

"Apa yang kau mau?"

"Well." Pria tinggi itu menyeringai. "Kau bilang kau akan melakukan apapun."

"Tent—" Kata-kata Baekhyun tertelan dalam lidahnya. Ia bukan anak bodoh yang tidak tahu apa maksud pria di hadapannya. Si mungil itu berdiri, mencoba lari dari ruangan, sebelum sepasang tangan menahan pundaknya.

"Lepaskan!"

"Tidak akan!" Pria tinggi itu mencengkram keras lengannya. "Kau harus membayarnya, bocah!"

Dengan kasar, tubuh Baekhyun dihempas kembali ke atas ranjang. Kali ini, pria tinggi itu bergerak melepas ikat pinggangnya, dan mengikat kedua tangan Baekhyun di kepala ranjang. Baekhyun kembali meringis. Pergelangan tangannya kembali perih.

"Aku mohon! Aku akan menyicilnya! Kumo— tidak!"

Teriakan dan rontaan Baekhyun tidak membuat si pria tinggi berhenti menelanjangi tubuh kecilnya. Dinginnya suhu ruangan, membuat tubuh itu menggigil.

"Diamlah, bocah." Pria tinggi itu menelan ludah melihat kulit halus dan tanpa noda pemuda di bawahnya. "Kau memiliki kulit yang luar biasa."

"Tidak!" Baekhyun menggeliat. "Aku—umph!"

"Kau benar-benar berisik." Pria itu bergumam setelah menyumpal mulut Baekhyun dengan gulungan dasinya. "Cukup diam dan nikmatilah."

Baekhyun menangis. Ia benar-benar takut. Pria itu kini melepas kemeja dan celananya. Tubuh tegapnya bergerak menindih Baekhyun dan mulai menciumi leher si mungil.

"Mmh."

"Bahkan wangimu begitu menggoda."

Baekhyun kembali menggeleng, menolak semua ciuman itu. Tanpa peduli, pria tinggi itu semakin bergerak jauh. Bibir tebalnya kini sudah berada di dada Baekhyun, menghisap dan memberi tanda. Lidahnya sangat panas, menjilat perut dan pusar si pemuda.

"Tid—akh.. H-hentikan.."

Tubuh kecil Baekhyun berkeringat, basah di semua sisi. Matanya masih mengeluarkan airmata. Harga dirinya benar-benar hancur. Hatinya sangat sakit, melebihi sakit di pergelangan tangannya.

"Bueno." Pria tinggi itu bergumam, lalu berdiri, membuka celananya. "Mari mulai acara inti, sayang."

Baekhyun menahan nafasnya. Kakinya meronta saat si pria membuka pahanya, membuat daerah pribadinya terekspos. Mata pria itu menatap nyalang lubangnya, dan menyeringai sambil mempersiapkan kejantanannya.

"Jangan.. kumohon.. jangan.. AKH! SAKIT!"

Pria tinggi itu mendesah kurang ajar. Kejantanannya telah masuk secara paksa ke dalam lubang perjaka itu. Baekhyun menangis keras. Tubuh bagian bawahnya benar-benar sakit, bagai terbelah dua.

"Su-sudah.. akh.."

"Diam." Pria itu menyeringai dan mencengkram erat paha dalam Baekhyun. "Ini nikmat. Coño!"

Pergerakan pinggul si pria tinggi itu benar-benar melebihi batas. Baekhyun seolah dikejar puluhan orang, lelah dan lemas. Pinggulnya kebas, nyeri tiap si pria bergerak liar.

"To-tolong.."

"Ah. Luar biasa!"

Pandangan Baekhyun semakin buram saat spermanya menyembur. Tidak. Ia sama sekali tidak menikmatinya. Baekhyun merasa semakin lemas. Pria tinggi itu masih sangat perkasa. Ia bahkan memindahkan letak kaki Baekhyun, menaruhnya diatas bahu, membuat si mungil semakin terhentak atas pergerakannya.

"Sakit.."

Lirihan dan tangisan Baekhyun menjadi musik di siang itu. Dingin suhu ruangan tidak lagi terasa. Baekhyun merasa nafasnya semakin memendek, dia butuh oksigen. Maniknya mengerjap. Saat pria diatasnya menyemburkan benih ke dalam lubangnya, saat itu pula, kegelapan menjemput Baekhyun.

.

.

.

Saat tidak ada lagi cahaya yang masuk melalui ventilasi kamar itu, mata Baekhyun terbuka. Manik indah itu mengerjap, berusaha membiasakan diri dengan kegelapan yang menyergap. Ikatan pada pergelangannya telah lepas, luka disana semakin memerah. Tubuhnya benar-benar remuk.

Baekhyun tidak ingat secara mendetail. Ia jatuh pingsan siang tadi. Tapi, sakit yang luar biasa pada lubang dan tubuhnya membuat Baekhyun merasa pria itu tidak berhenti menyetubuhinya sekalipun ia pingsan. Pria mungil itu meringis.

"Aw.."

Dengan tenaga yang tersisa, ia bangkit dan mulai memakai pakaiannya. Ia menyalakan lampu nakas dan mengerjap sesaat, kaget dengan cahayanya. Beberapa menit berusaha, tubuhnya kini sudah tertutup, menyembunyikan beberapa kissmark yang memenuhi dada dan pahanya.

Hari itu, di malam yang gelap, Baekhyun berjalan sambil menangis. Ia berusaha menahan sakit di selangkangannya saat melewati lubang tembok dan kembali ke wilayahnya. tiba-tiba saja, dirinya merasa takut. Michele pasti mencarinya.

"BackHyun!"

Suara Louis. Derap langkah cepat menghampiri telinga Baekhyun sesaat setelah teriakan itu. Maniknya menatap si empu yang sedang menarik nafas lelah.

"Louis?"

"Kau baik-baik saja?"

Baekhyun menggigit bibirnya. "Aku.."

"Kau harus segera pulang." Louis menghela nafasnya. "Sesuatu terjadi tadi siang. Benar-benar heboh."

"Apa? Sesuatu?"

Louis mengangguk. "Ada orang kaya yang datang ke panti. Ia berbicara panjang dengan Michele. Gosip yang berkembang, dia berniat membeli tanah panti."

"Tidak bisa!" Baekhyun melebarkan matanya, mulai panik.

"Tentu saja tidak bisa." Louis menepuk bahunya. "Karena itu, pulanglah. Michele pasti membutuhkanmu."

Baekhyun mengangguk. "Terimakasih, Louis."

Dengan langkah cepat yang dipaksanya, Baekhyun mencoba berlari. Ia menyusuri jalan kecil dan tanpa sengaja menendang beberapa kucing liar. Lampu temaram dari panti membuat nafas Baekhyun kian memburu. Lelaki mungil itu mendorong pagar besi berkarat, menimbulkan bunyi nyaring yang membuat derap langkah dari dalam menyambutnya.

"Mama?"

"Astaga." Michele menghampiri Baekhyun dan memeluknya. "Kemana kau seharian ini?!"

"Maafkan aku." Baekhyun memeluk balik wanita itu dan mengelus punggungnya. "Aku baik-baik saja."

Michele mengangguk dalam pelukannya. Ia menepuk pundak Baekhyun. "Masuk dan mandilah. Lalu temui aku di kamar. Kita harus bicara."

.

.

.

"Kau terlihat senang."

Sebuah kekehan terdengar dari si pria tinggi berambut hitam itu. Ia melepas kacamata dan menyamankan punggung di kursi penumpang bisnis pesawat. Pria di sampingnya, si pirang berwajah datar, mengernyit tak mengerti.

"Kris." Si pria berambut hitam itu menoleh pada si pirang. "Aku menemukan hal baik di Peru."

Kris, si pirang itu terkekeh. "Dan apa yang menurut Park Chanyeol menarik untuk di sebut 'hal baik'?"

"Sesuatu yang.." Chanyeol menyeringai dan menjilat bibirnya. "...sensual."

.

.

.

Baekhyun memutar - mutar liontin miliknya dan sebuah liontin lain yang baru diberikan Michele. Sesekali, ia menyatukan dua liontin itu, membuatnya membentuk love dengan perak yang berkilau indah.

"Byun Baekhyun.."

Michele tersenyum. "Namamu."

Baekhyun menghela nafas pelan. Ia rasanya ingin menangis, tapi airmata itu sama sekali tidak keluar. Ia menatap Michele.

"Mama.." Matanya meredup. "Kau tahu aku tidak mau meninggalkan tempat ini."

Michele mengangguk. "Aku tahu. Tapi, keluargamu juga membutuhkanmu."

Baekhyun menimbang segalanya. Keluarga. Ya, ia selalu bermimpi memiliki keluarga. Ayah, ibu, atau saudara kandung. Baekhyun memejamkan matanya. Tiba-tiba saja bayangan pemerkosaan yang dialaminya menyeruak, menguasai pikirannya. Tangannya terkepal dan Dahinya berkerut gelisah. Michele menatapnya khawatir.

"Baekhyun?" Ia memegang dahi Baekhyun. "Suhu tubuhmu tinggi. Istirahatlah."

"Mama.." Baekhyun membuka matanya. "Aku.."

"Sudah, jangan dipikirkan dulu. Ayo, istirahat."

"Jika aku kembali ke Korea.." Baekhyun kembali berbicara, menatap wanita di hadapannya. "Apakah aku boleh tetap mengunjungi kalian?"

Michele menghela nafas dan tersenyum. "Tentu saja. Kami akan selalu menjadi rumahmu."

.

.

.

Dua minggu menjadi waktu dalam mempersiapkan segalanya. Uang Hyesun benar-benar berguna. Urusan Imigrasi dan Paspor mampu selesai dalam waktu singkat. Mengingat wanita itu, Baekhyun tidak bisa berhenti tersenyum. Wajah Hyesun begitu mirip dengannya. Mata jernih Baekhyun benar-benar menurun darinya. Di hari pertama mereka bertemu, ibu dan anak itu melepas rindu, dengan Baekhyun yang berakhir tidur di pangkuan Hyesun.

"Baekhyun."

Pria mungil itu mengerjap. Ia terlempar kembali dari lamunannya. Netranya memandang sekitar. Suasana sibuk bandara membuat dirinya sadar ia sudah selangkah lebih jauh untuk meninggalkan negara ini. Baekhyun meneguk ludahnya.

"Hei." Diego, si ikal tampan itu menghampirinya dengan kepala tertunduk. "Aku minta maaf. Soal yang waktu itu—"

"Kau harus berjanji padaku." Baekhyun berkata tegas. "Kau yang tertua saat ini. Jaga Cecilia dan yang lain. Berhenti bermain-main."

Diego mengangguk. Jemarinya sibuk memilin ujung kausnya. Ia mendongak menatap Baekhyun, berusaha mengatakan sesuatu tapi kembali di telannya.

"Aku— Sampai jumpa."

Diego berbalik dari hadapan Baekhyun. Pria mungil itu tersenyum. Dia tahu, Diego pasti sedang menahan tangis. Baekhyun baru saja akan menghela nafas saat sebuah pelukan erat menghantamnya. Selanjutnya, tangisan kecil terdengar di telinganya.

"Cecilia.."

"Baekhyun." Cecilia terus menangis. "Aku pasti akan merindukanmu."

Baekhyun tersenyum lebar. Ia mengelus punggung gadis itu. "Belajar dan sekolahlah dengan baik."

Cecilia mengangguk. Pelukannya semakin erat. Michele menghampiri mereka dengan tersenyum.

"Cecilia, sudahlah, kau membuat Baekhyun tidak bisa bernafas."

Dengan enggan, gadis itu melepas pelukannya. Ia mencium pipi Baekhyun dan beralih memeluk Michele. Wanita itu tersenyum sambil mengelus kepala Baekhyun.

"Hati-hatilah disana." Ia beralih menatap Hyesun yang sedari tadi tersenyum haru. "Aku mempercayakannya padamu, Hyesun-ah."

Hyesun mengangguk. "Tentu, Michele. Terimakasih telah menjaga Baekhyunie selama ini."

Michele mengangguk dengan senyum yang kian terpatri lebar di wajahnya. Baekhyun berjalan kearahnya dan memeluk wanita itu. Michele tertawa.

"Baekhyun, bayi kecilku. Baik-baik lah disana. Doa Mama selalu untukmu."

Baekhyun mengangguk, tanpa membalas. Ia cukup yakin, jika satu saja keluar dari bibirnya, airmata akan berlomba menuruni pipinya. Dada Baekhyun masih terasa sesak saat Hyesun merangkul pundaknya, mengajak pemuda itu masuk ke dalam.

"Sampai jumpa.."

Lambaian tangan Baekhyun adalah hal terakhir di hari itu. Di minggu yang panas, Byun Baekhyun mengawali harinya, meninggalkan beragam kenangan di Peru.

.

.

.

Chanyeol memotong daging dan mengirisnya dengan gerakan elegan. Di ruang makan itu, ayah dan ibunya turut makan, namun tidak ada satu pun kata terucap. Chanyeol mengunyah irisan daging yang dipotongnya.

"Chanyeol."

Chanyeol berdehem. "Ya?"

"Bagaimana dengan penawaran ayah tentang keluarga Jung?"

Chanyeol menaruh pisau dan garpunya. Ia menghela nafas kasar. Jika mengikuti ego, ia bisa saja membanting peralatan makan itu. Rasa hormat dan pedulinya pada orang tuanya yang beranjak lanjut usia, membuat ego itu tertelan dalam.

"Appa, kita sudah pernah membahas ini." ucap Chanyeol, pada akhirnya.

Tuan Park mengangguk dan meminum air putihnya. "Appa tahu, tapi demi tuhan, kau sudah dua puluh lima tahun, Chanyeol."

"Aku tidak suka wanita, kau tahu, Appa."

Di depannya, Tuan Park menghela nafas. Iya, dia tahu dan sangat paham. Putra satu-satunya, memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Chanyeol tidak pernah suka wanita. Ia dan istrinya paham. Selama ini, dia berusaha menjodohkan sang putra dengan wanita, berharap Chanyeol menyukai satu dari mereka.

"Kalau begitu," Kali ini, Nyonya Park ikut bicara. "Bawa lelaki pilihanmu kesini. Biarkan kami mengenalnya."

Tuan Park mengangguk. "Direksi perusahaan tidak akan pernah mengijinkanmu memuncaki perusahaan, jika kau belum menikah. Kita tidak bisa terus-terusan mengandalkan kakakmu. Dia seorang wanita yang berkeluarga."

Chanyeol menghela nafasnya. Ayahnya, kurang lebih, sangat benar. Park Yoora tidak bisa terus menerus menjabat sebagai Presdir, mengingat dia sudah sangat sibuk dengan statusnya sebagai istri dan ibu. Keponakan lucunya akan selalu terabaikan, dan percaya atau tidak, sekejam-kejamnya Chanyeol, keluarga adalah nomor satu untuknya.

"Aku akan membawanya. Beri aku waktu."

Nyonya Park tersenyum lebar. "Siapa dia, nak?"

"Rahasia."

.

.

.

Selama ini, Baekhyun hanya melihat rumah bak istana di drama atau sinema series yang ditontonnya. Tapi, sekarang, mata sipitnya dimanjakan dengan rumah mewah super luas yang berdiri kokoh di hadapannya. Hyesun memimpinnya masuk, melalui pintu eboni, menuju ruang tamu yang luas.

"Ini Byun Baekhyun, putraku yang selama ini hilang." Hyesun tersenyum di hadapan puluhan pelayan sambil menggandeng lengan Baekhyun. "Mulai sekarang, dia adalah tuan muda kalian."

"Selamat datang, Tuan Muda."

Baekhyun tersenyum kikuk. Bocah lima belas tahun itu meringis sambil mengusap tengkuknya. Ia benar-benar canggung. Seumur hidupnya, baru kali ini ada puluhan orang yang memanggilnya dengan panggilan kehormatan.

"Ah- dimana Tuan Besar?"

"Tuan besar baru saja menyelesaikan makannya, Nyonya." salah seorang pelayan menyahut. "Tapi beliau masih menolak meminum obatnya."

Hyesun menghela nafas, lalu tersenyum menatap Baekhyun. Wanita itu menggenggam tangan anaknya.

"Ayo, kita temui ayahmu."

Secara umum, Baekhyun sudah tahu apa yang terjadi pada ayahnya. Selama ini, beliau menyesali karena sempat membuangnya. Belakangan, ia bahkan kecelakaan saat menelusuri kabar keberadaannya di Busan. Baekhyun menghela nafas dan mengangguk.

Hyesun tersenyum. "Ayo."

Ibu dan anak itu melangkah pelan, meniti satu demi satu anak tangga menuju lantai dua. Degup jantung Baekhyun kian bertalu kencang. Saat mereka menyusuri koridor menuju sebuah kamar diujung, pemuda itu menjilat bibirnya, gugup.

"Sayang.."

Hyesun membuka pintu itu dan tersenyum, sambil terus menggandeng anaknya. Baekhyun tercekat. Jika pada awalnya ia ragu soal kebenaran Hyesun sebagai orang tuanya, walau wajah mereka begitu mirip, kali ini pemuda itu yakin, mereka benar-benar ayah dan ibu biologisnya. Pria paruh baya yang tengah duduk di kursi itu, benar-benar mirip dirinya. Mata sipit dan kulit super putih, juga bagaimana dahi itu berkerut heran, menatap penuh tanya sang istri yang menggandeng anak tak dikenalnya.

"Hyesun-ah. Siapa itu?"

Hyesun semakin tersenyum lebar. Ia menarik Baekhyun lebih dekat, dan membawanya ke hadapan pria itu. "Jaehyun-ah. Lihat ini, apa kau mengenalnya?"

Pria itu meneliti wajah Baekhyun. Pemuda itu masih menggigit bibirnya, menahan letupan untuk memeluk ayahnya. Wajah pucat itu perlahan memerah, senyum lebar mulai terpatri di bibir pecah-pecahnya.

"Baekhyun..?"

Baekhyun mengangguk. "Appa."

"Anakku.." Jaehyun mulai menangis dan menarik Baekhyun dalan pelukannya. "Baekhyun, anakku.. anakku.."

Hyesun menangis di tempatnya. Jaehyun memeluk Baekhyun kian erat, enggan melepaskan. Pemuda itu pun kini membalas pelukan Jaehyun, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang ayahnya.

"Hyesun, ambilkan obatku." Jaehyun tertawa lebar. "Aku ingin sembuh. Putraku kembali. Baekhyunie kita kembali."

Hyesun mengangguk semangat sambil menghapus airmatanya. "Tentu, sayang. Tentu."

.

.

.

Park Chanyeol dan Byun Baekhyun, dua orang dengan jalan takdir berbeda, dipertemukan dalam sebuah perjanjian demi orang yang mereka hormati. Intrik dan dendam serta sakit hati yang bermuara dari keduanya, membuat jalan kisah mereka terbungkus unik, dan menebalkan dinding diantara mereka.

Hanya perlu sebuah kesadaran dan ego rendah, untuk mereka menyadari, dinding itu harus dihancurkan.

.

.

.

.

.

To Be Continue or End?

.

.

.

.

.

*Author's Note*

Oke, ini ff baru yang (rencananya) saya jadikan pengganti Princess Destiny. Ga akan banyak chapter, dugaan sementara cuma sampai 16 chapter, karena gak akan se-kompleks PD masalahnya. Dan ini chapter satu yang puanjang. Ihihihi.

Dan sesuai yang saya janjikan, ini yaoi.

So, harus dilanjut atau selesai?

Regards,

Purf.