Nightwish: Treasure

Chapter 9

FINAL CHAPTER


Disclaimer: Cerita ini milik saya, semua karakter Inuyasha milik Rumiko Takahashi, saya hanya meminjam nama mereka. Saya tidak mengambil keuntungan dari penulisan cerita ini, tulisan ini hanya sebagai hiburan semata.

Warn! Typo(s) OOC AU diksi tidak tepat dll.

Author : Emma Griselda ‖ Editor : Sky Yuu Rating : T


Tangisanku menganak sungai, tangisan yang tak bisa kubendung lagi. Aku merasa sebagian dari diriku hilang begitu saja seperti sudah tak ada motivasi untuk melanjutkan kehidupanku. Aku tahu mama, ojii-san, dan juga Sōta pasti mengkhawatirkanku. Akan tetapi, aku merasa ada sesuatu yang terasa hilang.

Aku duduk terdiam di dalam sumur pemakan tulang yang ada di kuil kecil dekat rumah untuk beberapa waktu lamanya. Aku hanya bisa menangis untuk waktu yang lama dengan membenamkan kepalaku pada kakiku yang kutekuk. Berharap bahwa sumur pemakan tulang ini akan terhubung kembali ke era feodal. Namun, sepertinya harapanku tak akan terwujud.

Aku mulai merasakan kesemutan pada kakiku. Aku bangkit dari posisiku, dan menaiki tangga yang menggantung di dinding sumur pemakan tulang secara perlahan. Ketika kepalaku mulai menyembul keluar dari sumur yang biasanya kugunakan untuk kembali era feodal, cahaya bulan menyinariku dengan terang. Hal itu langsung mengingatkanku pada tanda lahir yang dimiliki oleh Sesshōmaru yang terletak tepat di tengah dahinya.

Aku berjalan ke arah pintu yang kuil ini. Kubuka pintu perlahan, hembusan angin mulai menyambutku kembali setelah kepergianku sebulan yang lalu. Waktu itu aku berkata pada mama bahwa aku hanya akan pergi sebentar saja, menolak tawaran mama tentang bekal yang akan diberikannya padaku untuk dinikmati di era feodal. Nyatanya, aku pergi untuk waktu yang cukup lama. Aku berjalan menuju rumah yang lampunya masih menyala, mungkin mereka masih makan malam.

Ingatanku akan Sesshōmaru masih melekat dengan jelas di kepalaku. Beberapa waktu yang lalu aku berdebat dengannya hanya karena masalah sepele, ia pergi dan membuatku khawatir, ia tak mau bicara jujur padaku. Aku menghembuskan napas berat, langkahku untuk memasuki rumah pun terasa berat juga.

Srekkk

Aku menggeser pintu rumah dan berseru, "Tadaima!"

Suaraku tidak terdengar bahagia, namun terdengar menyedihkan. Mama menghambur padaku, memberikan pelukan hangatnya untukku yang sedikit kedingingan.

"Okaeri, Kagome!" ia menyambutku antusias, "Kau berkata pada mama waktu itu kalau kau pergi sebentar, tapi mama punya firasat bahwa kau akan pergi untuk beberapa waktu." Mama melepaskan pelukannya, dan tersenyum lebar untukku.

"Gomen, mama. Ada masalah, waktu di sana," jawabku sedikit tidak bersemangat.

"Hm," mama mengangguk, "kau mau makan terlebih dahulu, atau mandi dahulu baru makan, atau langsung istirahat?"

"Aku akan istirahat saja, Ma. Aku lelah." Aku langsung menaiki tangga menuju kamar kesayanganku. Kamar yang sudah tak kujamah untuk beberapa waktu lamanya, yang sering kurindukan selain keluarga. Namun, semenjak aku bersama Sesshōmaru rasanya aku jarang merindukan ranjang dikamarku.

Sesshōmaru.

Lagi, dan lagi, Sesshōmaru.

Kenapa semuanya selalu berujung pada Sesshōmaru?

Aku hanya bisa mendesah, membuka pintu kamar dan segera menguncinya sebelum aku berniat merebahkan tubuhku yang nampaknya sudah mulai merindukan ranjang yang ada di kamarku. Aku menatap cermin yang memantulkan sosokku. Betapa lusuhnya wajahku? Begitu menyedihkan! Aku tak bisa membayangkan ketika Sesshōmaru melihat ekspresi wajahku semacam ini.

Kurebahkan tubuhku pada kasur yang memanggil-manggil namaku, berniat untuk membelaiku dalam kehangatan. Pikiranku kembali tertuju pada Sesshōmaru. Apakah saat ini ia mencariku? Apakah ia akan marah padaku? Apa yang akan dilakukannya jika ia tahu bahwa aku tak ada di sana karena ulah Kikyō? Akankah ia berkelahi melawan Kikyō? Atau malah ia akan berkelahi dengan Inuyasha lagi, karena Inuyasha tidak akan membiarkan siapa pun melukai wanita kesayangannya, Kikyō.

Seperti biasanya, besok aku harus melakukan kegiatanku di era modern seperti sebelum aku terdampar di era feodal. Aku harus pergi ke kampus setelah beberapa waktu aku absen dari perkuliahan. Sejujurnya aku merasa malas untuk pergi ke kampus, bahkan aku merasa malas untuk melakukan segala hal untuk beberapa waktu ke depan. Aku menatap langit-langit kamarku membayangkan sosok Sesshōmaru . Apa aku begitu merindukannya?

o0o—

Sudah hampir seminggu aku berada di duniaku, menjalani rutinitas keseharianku sebagai mahasiswa yang terus mengejar ketertinggalannya. Namun, selama perkuliahan berlangsung aku tak bisa berpikir dengan jernih, pikiranku hanya tertuju padanya. Apa yang dikatakan oleh dosenku saat kegiatan perkuliahan hanya masuk ke dalam telinga kanan dan keluar dari telinga sebelah kiri, semacam dongeng yang sering diceritakan oleh ojii-san.

Aku bersyukur mempunyai teman yang baik, ia bersedia meminjamkan catatan miliknya untukku. Untuk menyingkat waktu saat aku meminjamnya, aku seringkali mem-fotocopy-nya dan mempelajari semua yang tertinggal. Siang ini aku memutuskan untuk pulang setelah perkuliahan berakhir, entah kenapa aku ingin pulang secepatnya, tidak seperti biasanya yang selalu pergi bersama teman-teman untuk mengisi kekosongan yang kurasakan. Namun, saat melewati kantin perlahan, aku melihat sosok yang begitu kurindukan. Sesshōmaru. Dengan mantel hangat berwarna gelap, rambut panjangnya terayun dengan bebas mengikuti gerakan badannya, serta syal yang melingkar di lehernya. Ia pergi menuju perpustakaan. Niat awalku yang ingin segera sampai ke rumah, harus kutunda beberapa saat karenanya. Kuikuti sosok itu di belakangnya, saat aku merasa tidak banyak orang yang ada di sekitar kita, kuberanikan diri untuk memegang tangannya seraya berseru, "Sesshōmaru!"

Ia menoleh padaku dengan tatapan bingung, ia membuka syal yang menutupi sebagian wajahnya dengan perlahan. Ketika syal tidak lagi menutupi sebagian wajahnya, aku baru menyadari bahwa itu bukan Sesshōmaru walaupun ia terlihat sangat mirip dengannya. Aku segera membungkukkan badan dan meminta maaf karena salah mengenali orang. Tak berselang lama, laki-laki yang tadinya kupikir adalah Sesshōmaru itu pergi, air mataku berlinang dengan mudahnya dan aku terduduk begitu saja, dan menangis seperti biasanya saat aku benar-benar mengingat sosoknya.

Badanku terasa sedikit hangat, mungkin aku kelelahan. Kupercepat langkah kakiku agar segera sampai di rumah dan bisa beristirahat. Kunaiki satu per satu anak tangga yang menuju rumah, walaupun melelahkan aku terus memacu kakiku agar segera sampai di rumah. Namun, saat aku berada di bawah pohon keramat yang berdiri kokoh di halaman rumah, aku malah berhenti. Diam mematung menghadap pohon dengan menundukkan kepala, menikmati semilirnya angin yang terasa berbeda. Seolah setiap tiupan angin yang berhembus, aku dapat merasakan suasana di sana. Dan entah kenapa tiba-tiba air mataku membasahi pipiku yang terasa kering. Apakah ini karena aku begitu merindukan Sesshōmaru? Begitukah?

Setelah makan malam kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar, tiada sepatah kata pun keluar dari bibirku saat makan malam. Aku tahu semuanya pasti sedang mengkhawatirkanku, tapi aku tak tahu harus bercerita pada siapa tentang apa yang kurasakan. Mama? Mama tidak begitu mengerti tentang Seshhōmaru, aku pernah menceritakan tentangnya untuk beberapa kali, tapi tidak sebanyak aku menceritakan mengenai Inuyasha padanya. Jika aku menceritakannya pada mama, bagaimana kalau beliau tambah khawatir tentang hubunganku dengan Sesshōmaru? Sepertinya memang lebih baik untuk tidak bercerita pada siapa pun, bahkan pada mama sekalipun. Akan kuceritakan semuanya pada mama jika waktu yang tepat itu datang. Kurebahkan tubuhku pada kasur dan memejamkan mataku yang mulai terasa terasa berat, dalam hitungan detik aku sudah terbawa ke alam mimpi.

Badanku yang sedikit meriang membuatku menjadi tidak nyaman untuk tidur di malam hari. Kumiringkan badanku ke kiri pada awalnya, saat aku merasa mulai tidak nyaman dengan posisi tersebut, kuubah posisiku menjadi miring ke kanan. Namun, aku merasa ada sesuatu yang ada di kananku, sesuatu yang terasa seperti seseorang sedang berbaring di sampingku. Apakah mama menyusulku tidur karena mengetahuiku yang sedang sakit? Kubuka mataku perlahan untuk memastikan apa yang sebenarnya ada di samping kananku. Aku hanya terdiam memandang sosok yang berada di sampingku.

Sesshōmaru? Tidak mungkin dia berada di sampingku. Itu pasti ilusiku saja karena sangat merindukannya setelah hampir dua bulan tidak bertemu dengannya. Aku yakin itu, pasti karena aku begitu merindukannya. Tidak mungkin dia berada di sini, hanya Inuyasha yang mampu meewati sumur pemakan tulang dan masuk ke zamanku, bahkan Shippo, Sango maupun Miroku tidak bisa masuk ke dalamnya untuk menembus waktu. Bagaimana mungkin dia bisa?

Mustahil. Hanya satu kata itu yang terlintas di kepalaku.

Aku bangkit, duduk sejenak dan mengamati sosok yang masih tertidur di ranjangku, sosok yang begitu mirip dengan Sesshōmaru. Bahkan aku mampu mendengar suara napasnya yang memecah keheningan malam di antara dentingan jarum jam. Aku beranjak untuk pergi ke kamar mandi, dengan malas aku melangkahkan kakiku untuk pergi ke kamar mandi. Kubasuh wajahku berulang kali, seolah mengatakan pada diriku sendiri melalui air yang kubasuh pada wajahku bahwa semua yang kulihat barusan hanya sebuah ilusiku karena merindukannya, diam menghadap cermin yang menampilkan wajah pucatku, dengan posisi tangan yang menyangga sebagian tubuhku, aku terus memandang wajahku yang begitu menyedihkan. Benar-benar menyedihkan! Dulu saat aku jatuh cinta pada Inuyasha, tidak pernah semenyedihkan ini keadaanku. Keadaanku saat ini benar-benar menyedihkan hanya karena begitu merindukan Sesshōmaru. Setelah selesai, kubuka pintu kamar mandi, berjalan beberapa langkah dari kamar mandi, lebih tepatnya berjarak tiga langkah dari ranjangku. Kulihat ranjang itu kosong, ranjang yang kukira ada sosok pria yang begitu kurindukan. Itu hanya ilusiku saja. Ilusi. Kututup wajahku dengan kedua tanganku dan aku menangis tersedu-sedu hanya karena melihat sosok yang mirip dengan Sesshōmaru berbaring di sampingku.

Sampai seperti itukah aku saat begitu merindukan sosoknya?

Dengan terisak, aku masih menyebut namanya dalam tangisku. Sesshōmaru.

Grep.

Aku merasakan seseorang memelukku dari belakang bahkan aku tidak mendengar langkah kakinya dan tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dengan erat. Aku menghentikan tangisku walaupun masih dalam terisak, semakin aku terisak dalam diam, seseorang yang memelukku dari belakang semakin mengeratkan pelukannya seolah berkata bahwa dia begitu merindukanku dan tidak ingin kehilanganku. Haruskah sampai seperti ini?

"Bahkan sekarang aku berhalusinasi bahwa ia sedang memelukku," ucapku sesunggukan.

"Jangan menangis, Kagome." Aku mendengar suaranya bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya yang menggelitik leherku. Apakah ini nyata? Tidak! ini pasti hanya sebuah ilusi.

"Aku bahkan mendengar suara khasnya," ujarku semakin terisak.

"Ini bukanlah mimpi. Ini nyata, Kagome." Aku kembali mendengar suara khas Sesshōmaru yang kurindukan. Apakah ini benar nyata? Ia membalikkan badanku dan membuatku berhadapan langsung dengannya.

"Apakah ini nyata?" tanyaku tak percaya dengan yang kulihat.

Dia mengangguk pelan, "Ini aku, Kagome," ucapnya pelan. Kuangkat tanganku untuk menelusuri detail wajahnya yang sungguh kurindukan. Aku bisa merasakannya, aku bisa menjelajahi detail wajahnya dan surai silvernya.

"Ini benar, memang Sesshōmaru."

"Kau terlihat menyedihkan," ucapnya berusaha melepaskan pelukan eratku dan ia mencoba untuk mendekatkan wajahnya ke wajahku, membisikkan kata-kata yang begitu kunantikan selama dua bulan belakangan ini, "aku merindukanmu, Kagome."

Aku mengangguk mengiyakan apa yang ia katakan padaku. Hanya bisa menatapnya dengan segala kerinduan yang tersimpan lama. Terlalu lama aku tenggelam pada pada pikiranku sendiri hingga aku merasakan deru napas yang menyapu wajahku. Memperpendek jarak di antara kami dan memberitahuku jika dia merasakan hal yang sama melalui sapuan lembut yang diberikannya pada bibirku. Mengecap setiap sudut ruang kosong hingga udara di sekitarku menipis. Tanpa kusadari air mata mulai menganak sungai.

"Apa aku melukaimu?"

Deru napas kami saling bersahutan. Apa dia mengkhawatirkanku? Aku hanya menggeleng tak mampu bersuara. Rasa rindu yang selama ini mengisi hatiku perlahan terangkat bersamaan air mata yang tak mau berhenti. Aku berusaha tersenyum menandakan aku baik-baik saja, saat dia mengusap air mata yang mengalir. Tetap saja, air mata ini terus mengalir, secara diam-diam membawa pergi rasa sesak yang berdiam begitu lama di sudut-sudut ruang hatiku.

"Aku merindukanmu, sangat." Begitu lama hingga segelintir kalimat mampu kuucapkan padanya.

"Aku tahu. Maafkan aku datang terlambat."

Aku baru menyadari hal itu, bagaimana ia bisa masuk ke duniaku? Hanya Inuyasha yang bisa menembus waktu dengan melalui sumur pemakan tulang.

"Bagaimana kau bisa datang kemari?"

Ia diam, tidak menjawab pertanyaanku. Ia tersenyum saat menatapku dengan lekat. Aku tak tahu apa maksudnya itu, dan tiba-tiba saja ia menggendongku dengan lengan kokohnya menuju ranjang. Merebahkan tubuhku perlahan di kasur, sedangkan aku masih duduk menatapnya yang memposisikan dirinya untuk tidur di ranjang.

"Kau tidak ingin tidur?" tanyanya, aku masih menatapnya dengan lekat dengan tatapan penuh dengan tanda tanya. Tanpa aba-aba darinya, ia langsung menarik lenganku hingga membuatku terjatuh dan tidur di sampingnya. Ia merentangkan tangannya, seolah mengajakku untuk berbaring di lengannya.

"Tidurlah, aku akan menceritakanya. Anggap saja sebagai dongeng penghantar tidur." Ia memiringkan tubuhnya, tatapannya mengajakku untuk berbaring. Entah apa yang merasukiku, aku patuh begitu saja saat ia mengatakan hal tersebut. Aku berbaring di sampingnya, dan berhadapan dengannya. Sambil terus mengamati wajahnya yang kurindukan dua bulan belakangan ini, tanganku kembali menjelajah wajahnya.

Aku tersenyum, "Ceritakanlah, aku akan mendengarkannya."

"Tenang, aku tidak akan pernah pergi darimu," ucapnya mengawali 'dongeng' yang ia sebut tadi, "aku merebut shikon no tama milikmu yang kau berikan pada Kikyō. Sejujurnya, tanpa pecahan itu, selama ini aku tetap bisa masuk ke mari."

"Apa maksudmu kau bisa tetap masuk ke mari?" tanyaku penasaran

"Selama ini aku bisa masuk kemari, tanpa sepengetahuanmu, aku sering kemari untuk melihatmu."

"Bohong!"

"Tidak! Bahkan aku berani bertaruh bahwa saat kau melihat Inuyasha dan Kikyō berciuman pertama kali, kau bertengkar dengannya dan memutuskan untuk pulang, kau hanya tidur di ranjang dengan wajah yang menyedihkan."

"Tapi lebih menyedihkan dua bulan ini," sahutku untuk mengklarifikasinya.

"Aku tahu."

"Lalu, bagaimana dengan Kikyō saat kau merebut shikon no tama yang ada padanya? Dia tidak menolak saat kau memintanya?"

"Tentu saja dia menolaknya. Tapi, aku mengancamnya dengan mengatakan aku akan membunuh Inuyasha."

"Kau gila!"

"Lebih gila dia! Dia bahkan berani mengusirmu!"

Aku terdiam dan menundukkan kepalaku. Apa yang dikatakan oleh Sesshōmaru ada benarnya, dia dengan berani mengusirku layaknya aku tidak pantas untuk hidup di sana!

"Jangan pernah pergi lagi tanpa seizinku!"

"Hm," gumamku singkat dan aku mencuri satu ciuman darinya. Ciuman singkat yang kuberikan padanya sebelum aku benar-benar tidur dalam lengannya.

"Aku takut kau besok pergi saat aku sedang kuliah," ujarku ketakutan, aku tak ingin dia pergi begitu saja dan kebahagiaan yang kurasakan dalam waktu singkat ini sirna.

"Tidak akan!"

"Benar?"

"Hn. Aku besok akan berada di sini."

"Bagaimana dengan mama, ojii-san, dan juga Sōta jika mengetahuimu? Aku belum menceritakan semuanya pada mereka terutama hubungan kita."

"Itulah tujuanku. Sekarang tidurlah!" perintahnya dengan memberikan ciuman singkat di keningku.

o0o—

Setelah pertemuanku dengan Sesshōmaru semalam, aku merasa jika jiwaku yang hilang, kini perlahan kembali. Setelah perkuliahan hari ini usai, kuputuskan untuk berbelanja di supermarket untuk membeli kebutuhan yang kuperlukan saat berada di era feodal dan bekal yang akan kubawa ke sana. Dengan membawa belanjaan yang banyak, aku mempercepat jalanku agar segera sampai di rumah. Aku ingin segera bertemu dengan Sesshōmaru. Sesampainya di rumah, aku merasa bahagia mungkin rasa tidak sabarku untuk bertemu dengan Sesshōmaru dan melihat bagaimana reaksi keluargaku saat aku menceritakan tentangnya.

"Tadaima!" ujarku riang sambil membuka pintu dan melepaskan sepatu yang kukenakan.

Pandanganku teralihkan pada pemandangan yang tidak biasa kulihat sebelumnya. Aku belum pernah melihat ojii-san bercengkerama dengan asyik pada orang yang baru dikenalnya. Tapi apa ini? Ojii-san bercengkerama dengan asyiknya bersama Sesshōmaru tanpa aku ketahui topik apa yang mereka bahas, yang jelas saat aku datang dengan melepas sepatu, kala kepalaku menyembul dari balik pintu, mereka mengalihkan pandangannya padaku. Dan aku? Tentu saja, aku tersenyum melihat keduanya bisa akrab dengan waktu yang singkat.

Aku memilih masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap melakukan perjalanan di era feodal bersama Sesshōmaru. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku, kualihkan pandanganku pada orang yang baru saja mengetuk pintu.

Mama. Ia datang dengan dua tas bekal yang lumayan besar di kedua tangannya. Aku memamerkan senyum lebarku padanya, dan mama masuk ke dalam kamar, meletakkan bekal tersebut di meja yang tak jauh dari ranjang.

"Biarkan mama membantumu," ucap mama menawarkan bantuannya.

"Arigatō mama," jawabku pelan.

"Siapa Sesshōmaru itu?" tanya mama sambil terus memasukkan barang yang baru kubeli ke dalam tas.

"Dia kakak Inuyasha yang pernah aku ceritakan pada mama waktu itu."

"Ah, yang waktu itu," respon mama dengan mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti, "dia terlihat lebih dewasa dan tampan."

Aku tersenyum mendengar pujian yang mama berikan untuk Sesshōmaru, "Syukurlah."

"Mama tidak pernah melihat ojii-san berbicara seintens itu pada laki-laki yang bermain ke rumah. Kakek selalu adu mulut dengan Inuyasha dan beliau terlihat tidak menyukai temanmu yang bernama Hōjō. Akan tetapi, kali ini berbeda. Aku harap kau belajar dewasa dari Sesshōmaru. Mama rasa, dia pasangan yang sangat baik untukmu. Jangan membuat dirimu menyesal, Kagome."

Aku terkejut dengan apa yang baru saja dilontarkan oleh mama yang menyebutkan kata 'pasangan' saat menyebut nama Sesshōmaru yang ditujukan padaku, "Dari mana mama tahu?" tanyaku penuh selidik, namun aku tersenyum lebar dan menahan tawa.

Mama tersenyum, "Mama juga pernah muda, Sayang."

Aku tersenyum dalam diam, memasukkan semua barang yang kurasa bakal dibutuhkan saat berada di era feodal. Saat kurasa semua keperluan sudah masuk ke dalam ransel, kugendong ransel tersebut dan mama membantuku membawa bekal yang berukuran besar di kedua tangannya, menuju ruang tamu. Saat aku turun, Sesshōmaru menatapku lekat dan ia beranjak dari duduknya. Begitu pula dengan kakek. Aku berpamitan pada mereka untuk kembali pergi ke era feodal yang sudah menjadi rutinitasku. Kakek berpesan padaku agar aku tak membuat permintaan yang salah pada shikon no tama.

Selama di perjalanan melewati waktu untuk kembali ke era feodal, aku bertanya pada Sesshōmaru. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang kudapat ini bersama Sesshōmaru, melakukan semuanya seolah-olah hari terakhir kami bersama.

"Apa yang kau bahas dengan ojii-san?"

"Tidak ada," jawabnya.

"Bohong."

"Kau begitu ingin tahu apa yang kami bahas?"

Aku mengangguk.

"Kenapa?"

"Aku ingin memahamimu lebih dalam," ujarku.

Dia tersenyum mendengar jawabanku.

"Selama ini, ojii-san tidak pernah akrab dengan mudah pada orang yang baru dikenalnya terlebih laki-laki. Kau tahu? Ojii-san selalu beradu mulut dengan Inuyasha bahkan kakek pernah mengusir secara halus pada temanku yang bernama Hōjō saat ia menjengukku waktu itu."

"Benarkah?"

"Hm. Aku bersyukur kau bisa beradaptasi dengan mudah pada kakek."

Sesshōmaru kembali tersenyum manis dan sampailah kami di era feodal. Aku bisa merasakan udara yang terasa lebih sejuk dari eraku. Sesshōmaru memilih untuk keluar dari sumur terlebih dahulu dengan membawa semua barang dan bekalku, kemudian selang beberapa detik ia mengulurkan tangannya padaku untuk membantuku keluar dari sumur pemakan tulang yang sudah dua bulan ini tidak aku lalui.

Udara sejuk di siang hari sungguh terasa berbeda saat berada di era feodal. Sesshōmaru bersikeras untuk membawa semua barang yang kubawa untuk menuju ke kediaman Nenek Kaede. Apakah mereka sedang berada di rumah? Atau mereka berada di luar untuk memburu shikon no tama dan mencari jejak Naraku? Aku sudah lama tidak berada di sini, jadi aku tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di sini. Tadi pagi sebelum aku berangkat kuliah, saat aku sedang merias diri, Sesshōmaru menemaniku dan menceritakan semua yang terjadi di sini dengan detail tanpa pengecualian. Sosok yang biasanya begitu hemat dalam hal berbicara, kini mulai berubah saat bersamaku. Apakah tidak apa jika aku membuatnya seperti itu?

Sesshōmaru mengatakan bahwa Inuyasha dan rombongan kecilnya terus mencari keberadaan shikon no tama dan tentunya keberadaan Naraku. Saat kami sampai di kediaman Nenek Kaede, Sesshōmaru memilih untuk tidak ikut masuk ke dalam. Ia memilih untuk menungguku di luar, walaupun ada Rin di dalam bersama Jaken. Kubuka pintu yang menjadi penghalangku untuk memasuki rumah Nenek Kaede, dengan senyuman yang lebar semuanya menyambutku. Semua orang berada di dalam, termasuk Inuyasha dan juga Kikyō. Kami bercengkerama untuk waktu yang lumayan lama, melepas rasa rindu satu sama lain, menceritakan ini dan itu. Aku dapat melihat kebahagiaan di setiap wajah yang ada. Setelah beberapa waktu yang lama kuhabiskan bersama rombongan yang sudah kuanggap melebihi dari sekedar keluarga tersebut, aku baru teringat bahwa Sesshōmaru menungguku diluar. Kukatakan pada mereka aku harus pergi ke suatu tempat, karena sebelumnya Sesshōmaru telah mengatakan akan mengajakku ke suatu tempat yang belum pernah kukunjungi. Mereka menanyaiku kemana aku pergi, bersama siapa dan untuk urusan apa padaku, aku tahu mereka perhatian padaku, mungkin aku terlihat egois hanya dengan memberikan senyuman lebarku sebagai jawaban pada mereka yang sudah mengkhawatirkanku. Aku tidak ingin menceritakan semuanya secara detail pada mereka, kurasa belum waktu yang tepat dan aku harus meminta izin dari Sesshōmaru untuk menceritakan semuanya itu.

"Maaf," kataku pelan pada Sesshōmaru.

"Hn. Ayo!" ajaknya dengan mengulurkan tangannya untuk kuraih. Kuraih tangan kokohnya itu. Dalam hitungan detik, dia sudah membawaku terbang layaknya seekor kupu-kupu yang terbang dengan indah. Aku tidak tahu kemana ia akan membawaku pergi. Ia bahkan tidak memberikanku setidaknya bocoran ke mana tempat yang kita tuju, aku tidak mempunyai bayangan sama sekali mengenai tempat tujuan itu. Kami membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai di tempat tujuan itu.

Sesampainya di tempat 'tujuan' yang Sesshōmaru maksud, kamu membutuhkan waktu untuk menaiki tangga yang tidak bisa dikatakan rendah itu. Tempat itu terlihat seperti sebuah istana yang megah, banyak penjaga dan pengawal istana yang berlalu lalang ke sana kemari, dan satu hal yang membuatnya terlihat lebih indah adalah istana ini berada di atas awan!

Ini bukan mimpi, 'kan? Aku sedang tidak bermimpi, 'kan? Kuedarkan mataku untuk melihat kemegahan yang dimiliki oleh istana ini. Aku tak tahu harus mengungkapkan kemegahan istana ini dengan apa, yang jelas semuanya nampak luar biasa.

"Sesshōmaru, bagaimana bisa kau tidak pernah menceritakan tempat seindah ini? Ini begitu menakjubkan," ujarku dengan takjub melihat istana yang berada di atas awan sambil menatap wajah Sesshōmaru yang terlihat serius. Aku tidak tahu kenapa ia malah memasang wajah serius kala berada di tempat menakjubkan seperti ini.

"Kau benar-benar datang di hari yang kau tentukan, Sesshōmaru," ucap seseorang dengan nada merendahkan, tidak kalah dengan apa yang pernah Sesshōmaru lakukan dulu. Kualihkan pandanganku sepenuhnya pada wanita itu. Nampaknya dia seorang daiyōkai, sama seperti dengan Sesshōmaru.

"Hn, karena kau begitu memaksaku, haha-ue."

Apa? Haha-ue? Wanita itu adalah ibunya Sesshōmaru?

Kutatap lekat sosok wanita yang berdiri dengan angkuhnya. Dengan baju berbulu yang dipakainya, ia memang nampak lebih berkelas dan benar-benar terlihat seorang daiyōkai kelas atas. Namun, tak hanya berhenti di situ saja. Ia memakai riasan yang benar-benar cocok dengan warna kulitnya dan memadukannya dengan gaya rambut yang sederhana, tapi terlihat sangat berkelas untuk ukuran daiyōkai.

Tak berselang lama, datanglah sosok daiyōkai lain berjalan ke arah sosok yang Sesshōmaru panggil dengan sebutan "haha-ue" tadi, sosok yang benar-benar terlihat tidak asing untukku. Bukankah dia seorang daiyōkai yang mengunjungi kami saat aku hampir tenggelam kala itu karena rasa cemburu. Aku mengakuinya, kala itu memang benar apa yang dikatakan oleh Sesshōmaru bahwa aku cemburu. Namun, aku begitu malu untuk mengakui bahwa aku cemburu. Aku juga mengakui bahwa daiyōkai yang bernama Kimiko itu memang cantik dan menawan, lebih baik daripada aku. Aku bisa menebak ini, Ibu Sesshōmaru menginginkan anaknya menikah dengan daiyōkai bernama Kimiko, tapi aku rasa Sesshōmaru tidak menyukainya dan lebih memilihku? Bagaimana bisa aku percaya diri begitu tinggi dengan dugaanku?

Tatapan Ibu Sesshōmaru benar-benar mengamatiku secara detail dari ujung kaki hingga ujung kepala, kemudian mengalihkan pandangannya pada Kimiko. Dia membandingkan diriku dengan Kimiko lewat fisik yang kumiliki. Kumenoleh pada Sesshōmaru yang hanya diam mematung dengan menggenggam erat tanganku, memberikan tatapan yang mengantuk pada ulah ibunya yang ditunjukkan di hadapannya langsung. Ia terlihat begitu muak dengan apa yang telah dilakukan oleh ibunya.

"Ayo!" ajak Ibu Sesshōmaru tanpa kuketahui ke mana ia membawaku bersama dengan Sesshōmaru dan juga Kimiko.

Aku hanya patuh dengan apa yang dikatakan olehnya dengan posisi tangan yang masih digenggam erat oleh Sesshōmaru. Hanya butuh waktu mungkin sekitar lima menit untuk memasuki sebuah ruangan yang terlihat megah itu. Bagiku, ruangan ini terlihat sama dengan Balairung Utama istana ini, tapi melihat dari dekorasi yang ada, ruangan ini terlihat seperti ruangan pribadi atau semacam ruangan keluarga. Entahlah, mungkin tebakanku salah.

"Inikah wanita yang kau bilang waktu itu?" tanyanya pada Sesshōmaru yang semakin mengeratkan genggamannya pada jemariku.

"Hn."

Ibu Sesshōmaru tersenyum, lebih terlihat seperti sebuah senyuman untuk merendahkan orang lain. "Seleramu benar-benar aneh." Ujarnya dengan menatap tajam diriku yang berdiri tepat di samping Sesshōmaru, anak kesayangannya, "kau sekarang tak jauh berbeda dengan ayahmu. Sama-sama jatuh cinta pada wanita rendahan."

"Hentikan!" tatapan mata Sesshōmaru terlihat berbeda dengan apa yang ia tunjukkan tadi, tatapannya kini terlihat seperti ia benar-benar marah. Ia menarik lenganku, mengajakku untuk pergi meninggalkan ruangan yang belum lama kami masuki.

"Dasar bodoh!"

"Sikap burukku kudapatkan darimu. Bukankah begitu?"

Sesshōmaru menantang ibunya.

"Sesshōmaru ..." panggilku, mencoba untuk meredamkan amarahnya. Aku tidak ingin ia bertengkar dengan ibunya hanya karena diriku yang dihina oleh ibunya. Apa yang telah dikatakan oleh ibunya ada benarnya, tidak ada salahnya sama sekali. Aku adalah wanita rendahan.

"Kurang ajar! Kau tidak akan pernah ada tanpa aku!" teriaknya.

"Karena itu, jika aku seperti ini jangan terkejut. Semuanya kudapatkan darimu dan juga ayah."

"Apa?! Hanya demi wanita rendahan, kau ..."

Sesshōmaru tidak menggubris apa yang dikatakan oleh ibunya dan langsung menarik lenganku, mengajakku pergi dari istana milik ibunya, aku bahkan tidak tahu kemana ia akan mengajakku pergi.

o0o—

Sejujurnya aku marah dengan apa yang dikatakan oleh ibu Sesshōmaru, ia benar-benar merendahkan diriku. Namun, apa yang dikatakan olehnya juga tidak salah bahwa aku begitu rendah dibandingkan dengan Kimiko, sosok yang begitu sempurna untuk mendampingi Sesshōmaru. Akan tetapi, kali ini yang lebih penting adalah hubungan anak dan ibu yang dimiliki oleh Sesshōmaru dengan ibunya. Tentang diriku kini tidak begitu penting sekarang, jika aku begitu mementingkan diriku dan marah dengan apa yang dikatakan oleh ibunya, aku hanya akan menyia-nyiakan waktu kebersamaan kami untuk kesekian kalinya dan akan memperlihatkan betapa egoisnya aku?

Sesshōmaru menukik dengan hati-hati di sebuah bukit yang indah yang lokasinya tidak jauh dari desa yang dihuni oleh Nenek Kaede. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya setelah apa yang terjadi di istana milik ibunya. Aku tahu, ia pasti tak enak hati untuk mengatakan apa pun yang berkaitan dengan kejadian tadi padaku. Mungkin banyak pikiran yang bergelung hebat di kepalanya yang ingin ia sampaikan padaku dengan pas, aku memilih diam dan duduk menghadap sebuah pemandangan yang terbentang indah di depan, kanvas yang diciptakan oleh kami-sama memang begitu menakjubkan. Sesshōmaru memilih untuk berdiri di belakangku, ia terus memperhatikanku dalam diam. Tak ada suara yang tercipta di antara kami untuk beberapa waktu lamanya, seolah kami bersekongkol untuk tidak membahasnya setelah apa yang terjadi.

"Sesshōmaru ..." panggilku akhirnya. Aku membenci keadaan di mana kami sama-sama memilih untuk diam, hanya suara burung yang terdengar. Ia masih mengalihkan pandangannya ke depan, memperhatikan burung yang terbang dengan bebas di depan, aku tidak tahu pasti apa yang dilihatnya.

"Sesshōmaru ..." panggilku kembali. Kumohon jawablah, jangan saling berdiam seperti ini, ini terlalu menyeramkan.

"Hn," jawabnya dengan gumaman khasnya.

"Apa yang terjadi tadi lupakanlah, kau tak seharusnya seperti itu pada ibumu. Bagaimana pun juga apa yang kau katakan pada ibumu sungguh keterlaluan, kau tak seharusnya seperti itu padanya. Apa yang dikatakannya tidak ada salahnya," ucapku panjang lebar mengenai perilakunya. Aku tahu tidak seharusnya aku menasihatinya, karena dia lebih tahu apa yang baik dan buruk untuk dirinya. Namun, setelah melihat apa yang terjadi antara ibu dan anak itu, kurasa aku harus membahasnya.

"Aku tidak suka dia merendahkanmu."

"Apa yang dikatakan ibumu mengenai diriku tidak ada salahnya. Yang dia inginkan hanyalah kebaikan untuk dirimu, aku tahu maksud ibumu pasti baik untukmu, tidak ada seorang ibu yang berharap keburukan untuk anaknya. Tidak ada."

"Dia terlalu merendahkan orang lain, aku tak suka bagaimana cara ia merendahkanmu di hadapan Kimiko."

Aku tersenyum, "Kau ingat? Dulu kau juga seperti itu padaku, merendahkanku tanpa alasan yang jelas. Namun, perlahan kau berubah. Kurasa ibumu juga begitu, ada alasan yang membuatnya seperti itu."

"Berhentilah untuk membuatnya terlihat baik, Kagome. Aku tidak menyukainya."

"Aku tidak berkata seperti itu, aku hanya mengatakan apa yang pernah kualami. Sesshōmaru, sebaiknya kau meminta maaf pada ibumu, tak baik jika seperti itu. Meminta maaflah sebelum kau menyesal, hm?"

Tidak ada jawab darinya. Suasana kembali hening seperti sedia kala sebelum ada percakapan ini. Sepertinya aku salah telah membahasnya. Aku tidak tahu lagi harus seprti apa menyikapinya, ini terlihat seperti anak kecil yang marah ketika tidak diberikan mainan yang begitu diinginkannya.

"Sesshōmaru, kau tahu ini terlihat kekanak-kanakan sekali. Kau malah marah saat aku menegurmu agar kau bersikap lebih sopan pada ibumu, apa yang aku lakukan salah saat menegurmu? Aku bahkan tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh ibumu tentangku. Aku berbohong jika tidak memikirkan apa yang dilakukan ibumu, aku memikirkannya. Tapi, apa yang dikatakannya tentang diriku tidak ada yang salah, ia benar! Dibandingkan dengan Kimiko, aku ..."

"Berhenti membahas wanita lain!" sahutnya dengan nada marah, dan dalam waktu yang bersamaan ia sudah berada di hadapanku.

"Aku tidak suka kau merendah, berhentilah seperti itu!" ucapnya dengan mengalihkan pandangannya ke samping.

"Kagome-chan!" teriak seseorang dari arah sampingku dengan riang.

"Hm, Sango-chan!" sapaku tak kalah riang darinya, ia datang bersama dengan Kikyō yang membawa busur, tanpa adanya Miroku dan juga Inuyasha.

"Kau ke mana saja, Kagome?" tanyanya penuh selidik.

"Aku hanya keliling di sekitar desa saja. Bagaimana denganmu? Kau mau kemana?"

"Tidak ke mana-mana, hanya berniat mencari sayur untuk makan malam nanti," jawab Kikyō dengan nada sedikit ketus.

"Mencari sayur dengan membawa busur dan anak panah?" tanyaku dengan nada menyindir yang sarkastik.

Bukannya menjawab apa yang kutanyakan, ia malah memberikan pandangan yang tajam ke arahku, "Kau sendiri apa yang kau lakukan dengan Sesshōmaru?"

"Kau tak perlu ikut campur!" sahut Sesshōmaru tak kalah ketus dengan Kikyō, aku hanya bisa menatap keduanya yang sepertinya akan memulai pertengkaran. Apa semuanya hanya akan berujung pada pertengkaran?

"Sango-chan, di mana Miroku-sama dan juga Inuyasha?" tanyaku untuk meredam suasana tegang yang tercipta.

"Mereka berada di belakang sepertinya sambil mengobrol," jawab Sango dengan mengumbar senyum manisnya.

Aku berjalan mendekat ke arah Kikyō sampai jarak yang tersisa di antara kami pun terpangkas, Sesshōmaru menoleh kala mendapati diriku yang sudah berada di hadapan Kikyō. Kuulurkan tangan kananku pada Kikyō, meminta sesuatu yang harusnya menjadi milikku untuk sementara. Karena selama ini bukannya ia menyucikan benda yang kupasrahkan padanya —shikon no tama, ia malah semakin menodainya.

"Apa?" tanyanya dengan nada ketus.

"Tak perlu kukatakan pun, kau seharusnya tahu," jawabku tak kalah ketus. Sesshōmaru mengamati kami dari jarak yang tidak terlalu jauh.

"Aku tidak mengerti dengan maksudmu. Apa yang sebenarnya yang kau inginkan?"

Aku memberikan pandangan tajam padanya, "Apa aku perlu mengatakannya dengan keras? Selama ini aku sudah terlalu sabar saat aku mengetahui bahwa kau malah menodainya sedikit demi sedikit pecahan yang kupasrahkan padamu."

"Jadi, yang kau maksud itu shikon no tama?"

"Hm, kau tidak terlalu bodoh untuk itu, Kikyō. Kau sudah tahu sejak awal apa yang kuminta. Kau hanya berpura-pura polos."

"Kagome ..." panggil Inuyasha pelan, saat mengetahui diriku berhadapan langsung dengan orang yang dikasihinya.

Kuabaikan panggilan Inuyasha padaku, "bisa kau berikan padaku? Sepertinya aku telah membuat keputusan yang salah dengan memberikannya padamu, bahkan jika Sesshōmaru tidak memintanya dengan paksa, kau pasti tidak akan memberikan pecahan itu."

"Pecahan? Apa maksudmu?" tanya Inuyasha dengan mengalihkan pandangannya padaku dan tak lama kemudian beralih pada Kikyō.

"Kenapa kau tidak tanya padanya?" sahutku dengan tersenyum.

"Kikyō, apa maksudnya?" tanya Inuyasha kebingungan.

Miroku yang baru saja datang langsung bergegas mendekat ke arah Sango, dan berbisik, bertanya pada Sango apa yang sebenarnya terjadi saat ia belum sampai di sini, dengan hati-hati Sango menceritakan semuanya dengan detail.

"Kau tidak berniat mengembalikannya padaku?" tanyaku pada Kikyō.

"Mengembalikan apa?" tanya Inuyasha masih kebingungan, "Kagome, bisa kau jelaskan padaku?"

"Kau akan menyesal saat mendengarnya," jawabku.

"Aku tidak peduli. Menyesal atau tidaknya, biar aku yang putuskan. Kau tinggal menceritakannya padaku. Bisakah?"

"Baiklah, jika itu maumu."

Kikyō hanya diam tidak berkutik. Dia tidak berani mengatakan sepatah kata pun dari bibir manisnya. Aku rasa, acuh dan diamku padanya sudah cukup. Aku harus lebih tegas pada Kikyō semenjak kejadian waktu itu yang membuatku tidak bisa bertemu dengan Sesshōmaru untuk beberapa waktu, aku tidak peduli lagi jika orang berkata bahwa aku reinkarnasi Kikyō yang egois.

"Selama ini, dia memiliki shikon no tama. Sebuah shikon no tama yang dibawanya itu utuh, sebuah bola empat arwah yang kau inginkan lima puluh tahun yang lalu. Dan sebelum aku kembali ke duniaku beberapa waktu yang lalu, aku sempat memberikannya shikon no tama milikku, hasil dari kita mengumpulkan bersama," terangku.

"Sebentar, jadi maksudmu shikon no tama itu ada dua? Begitukah Kagome-chan?" tanya Sango mencoba mencerna apa yang kukatakan.

"Ya. Kikyō telah membuat permintaan pada shikon no tama yang dibawanya selama ini, aku tidak tahu apa yang dimintanya. Yang kutahu, setelah kuberikan shikon no tama yang selama ini kubawa, ia menodainya perlahan-lahan."

"Berhentilah menjadi orang yang seolah mengerti keadaanku!" teriak Kikyō pada akhirnya tanpa memandang siapa pun kecuali diriku.

"Apa kau lupa bahwa kau pernah bercerita padaku tentang hal itu? Tentang alasanmu memakai shikon no tama yang diinginkan Inuyasha lima puluh tahun yang lalu?"

"Apa?!" tanyanya dengan wajah yang melongo, kebingungan seolah kedoknya baru saja terbongkar di hadapan orang yang dia sayangi.

"Kau tidak perlu lagi berpura-pura seperti itu," jawab Inuyasha dengan nada dingin, "aku tahu Kagome tidak akan pernah berbohong padaku," lanjut Inuyasha dengan mengalihkan pandangan tajamnya pada Kikyō.

"Kau meragukanku setelah selama ini?" jawab Kikyō berdecak tak percaya

"Hm. Lagipula, lima puluh tahun yang lalu, kaulah yang menyegelku, apa kau kira aku lupa hanya karena aku mencintaimu?"

"Aku melakukan itu demi kebaikanmu," jawab Kikyō memelas.

"Kebaikanku?" Inuyasha berjalan mendekat ke arah Kikyō, "kalau begitu sekarang putuskan, ini kulakukan demi kebaikanmu dan kebaikan kita. Kau pilih tetap bersamaku atau shikon no tama?"

Tanpa memberikan jeda untuk menjawab pertanyaan tersebut, Inuyasha langsung memilih untuk meninggalkan tempat itu tanpa menggubris apa yang dikatakan oleh Kikyō. Dalam hitungan detik, Inuyasha sudah berjalan cukup jauh meninggalkan kami dan Kikyō berjalan mendekat ke arahku, menyalahkanku bahwa semua ini ulahku.

"Semua ini karenamu!"

"Aku? Kaulah yang memulainya lima puluh tahun yang lalu! Jangan mencoba untuk menghindar dari kesalahanmu dengan melemparnya pada orang lain. Belajarlah untuk bertanggung jawab!"

"Apa?!"

"Jika lima puluh tahun yang lalu kau tidak menyegel Inuyasha, apa kau pikir dia akan menjadi seperti ini?"

"Kau lancang sekali!" gertaknya dengan melayangkan tangan kanannya, mencoba untuk menamparku. Dengan sigap, kutangkap tangannya sebelum sampai menyentuh wajahku. Sayup-sayup saat aku memegang tangan Kikyō, aku mendengar geraman Inuyasha yang semakin lama semakin mendekat.

Kulepaskan tangan Kikyō, membalikkan badan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tak butuh waktu lama, gesekan antar pedang yang dimiliki Sesshōmaru dan Inuyasha mulai terdengar, jeritan Kikyō pun terdengar kala shikon no tama yang kukuh untuk dimilikinya direbut oleh Naraku dalam waktu yang singkat, Naraku kini memiliki dua shikon no tama. Mata Inuyasha berubah warna menjadi merah, gerakannya menjadi lebih ganas. Ia berubah menjadi bentuk siluman! Tak hanya Sesshōmaru saja yang berperang, kami mulai membantunya saat Inuyasha mulai membabi buta seperti sedang kerasukan. Aku mulai merasakan kehadiran Naraku dan jiwa Inuyasha yang dilahap oleh sisi gelap shikon no tama. Kikyō bingung mencari cara untuk mengembalikan Inuyasha seperti sedia kala saat Inuyasha yang berubah ke dalam wujud siluman itu mulai menyerangku.

SREKKK

Kain yang menutupi lenganku akhirnya robek dengan mudah kala tangan Inuyasha yang memiliki kuku tajam terayun padaku. Bau anyir mulai tercium pada luka lenganku yang robek cukup panjang dan dalam, di saat yang bersamaan dengan diriku yang mulai limbung, aku mendengar teriakan Sesshōmaru dari arah belakangku dengan mengayunkan pedangnya.

"SUDAH KUBILANG UNTUK TIDAK MELUKAI WANITAKU!" teriaknya dengan lantang, ia marah. Aku bisa merasakan semua orang yang ada di situ kaget saat Sesshōmaru meneriakiku dengan panggilan "wanitaku". Dalam keadaan setengah sadar, kupaksakan diriku untuk menyebutkan kata "OSUWARI", tak berselang lama terdengar suara bedebam pada tanah dan semuanya menjadi gelap.

o0o—

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, yang jelas saat aku mulai membuka mataku perlahan, semua orang sudah berkumpul di tempatku berbaring. Bahkan Sesshōmaru berada di dekatku sambil terus menggengam erat tanganku. Hanya ada satu pikiran yang terlintas padaku, apakah aku akan mati hanya karena luka sayatan yang dibuat oleh Inuyasha? Ketika kucoba untuk duduk, semua orang bingung bagaimana membantuku duduk termasuk Kikyō yang tadinya marah padaku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terbaring akibat luka itu, yang jelas kini tidak lagi kurasakan sakit pada lenganku. Walaupun begitu, aku melihat Inuyasha terus melontarkan permintaan maafnya padaku. Aku mencoba menghentikan tingkah Inuyasha yang terus mengatakan maafnya padaku dengan memberikan senyuman dan mengatakan padanya bahwa aku benar-benar tidak apa-apa.

Tidak percaya dengan apa yang kukatakan sekaligus khawatir, Sesshōmaru bertanya padaku, "Bagaimana? Apa yang kau rasakan? Katakan padaku," ucapnya khawatir, aku tak tahu harus menanggapinya bagaimana, aku takjub melihatnya khawatir seperti ini, selain itu aku tak menyangka bahwa dia akan mengungkapkan hubungan kami saat itu.

Aku hanya mengangguk dengan memberikan senyuman, "Sudah berapa lama aku terbaring di sini?"

"Tiga hari," jawab Sango ramah.

"Tiga hari?! Kukira baru beberapa jam," jawabku terkejut.

"Kau hanya terbangun untuk beberapa waktu yang singkat, bahkan kami harus membuka mulutmu dengan paksa untuk memberikanmu obat. Kurasa lukanya sudah kering," jawab Sango panjang lebar, "biar aku mengeceknya," lanjutnya dengan mendekat ke arahku.

Sango membuka perban yang melilit lenganku dengan sangat pelan dan hati-hati. Layaknya seorang ibu yang mengobati luka anaknya, ia sambil meniup pelan sambil terus membuka perban hingga memperlihatkan kulitku yang sedikit pucat, dan terlihatlah dedaunan yang kurasa itu obat tradisional buatannya.

"Lukanya sudah mengering," ucapnya dengan senyuman mengembang yang menghiasi wajah cantiknya dan pandangan yang ramah, "aku mencoba untuk mempraktikkan ilmu yang kau ajarkan padaku untuk mengobati orang yang terluka, dan aku membuatkan obat-obatan tradisional yang kutahu."

"Arigatō, Sango-chan," jawabku dengan pelan.

"Bagaimana dengan Naraku?" tanyaku mengedarkan pandangan pada semuanya.

"Kemarin kita berhasil mengalahkannya. Berkat Sesshōmaru yang melukai tubuhnya dengan Bakusaiga, kurasa ia tidak pergi jauh dari sini." Miroku mencoba menyampaikan hasil analisisnya singkat, Shippo yang dari tadi duduk di pangkuannya pun ikut menyimaknya.

Kualihkan pandanganku pada Sesshōmaru yang berada di sampingku. Dalam posisi duduk, ia memejamkan matanya dalam diam.

"Ada apa?" tanya Sesshōmaru dengan membuka matanya.

Aku menggelengkan kepala dan di saat yang bersamaan, kulihat ia mengalihkan tatapan matanya yang tajam ke arah samping, dan tak lama kemudian ia beranjak.

"Ada apa?" tanyaku padanya panik, di saat yang sama, Inuyasha ikut bangkit.

"Aku bisa merasakannya," sahut Inuyasha.

"Aura kuat ini ..." aku diam sejenak, merasakan kembali aura yang terpancar dengan jelas, "apa kau juga merasakannya, Miroku-sama?"

"Hm, ini kuat sekali. Sudah pasti ini Naraku. Ini bisa membahayakan warga."

"Kita harus menyelamatkan warga," ujarku bangkit perlahan.

"Biar aku saja yang menangani para warga, setidaknya aku bisa melindunginya." Sahut Nenek Kaede bersemangat.

"Jaken, Rin," panggil Sesshōmaru.

"Hai, Sesshōmaru-sama," jawab keduanya kompak.

"Ikutlah Nenek Kaede," perintah Sesshōmaru pada keduanya. Hanya dengan memberikan anggukan saja, mereka berlari mengikuti kemana perginya Nenek Kaede.

"Kau juga," perintah Sesshōmaru, mengalihkan pandangannya padaku.

"Aku? Tidak. Aku akan ikut denganmu, aku akan membantumu," jawabku dengan mengotot.

"Kau terluka."

"Aku baik-baik saja, Sango pun juga mengatakan bahwa lukanya sudah mengering."

Ia menatapku dengan tajam, tatapannya begitu khawatir tentangku, "beradalah di sampingku."

"Hm." Aku mengangguk mantap, mengikuti perkataannya.

Setelah keluar dari kediaman Nenek Kaede, kami terbang menuju tempat yang kami yakini bahwa sosok Naraku bersembunyi di situ. Namun, aroma auranya yang busuk tercium dengan mudah, apakah ia sengaja melakukan ini untuk sebuah jebakan atau ini lagi-lagi sebuah pengalih perhatian seperti yang biasa ia lakukan. Saat jarak yang tercipta semakin terputus dan menjadi semakin dekat, sosok tubuh Naraku yang menyerupai sebuah gumpalan daging berbentuk bola tengah melayang di udara. Setelah Sesshōmaru membuka jalan untuk memasuki tubuh Naraku yang menjijikkan, perang pun dimulai.

Naraku dengan tawa yang membahana, ia membanggakan dirinya yang memiliki kekuatan penuh karena memiliki dua pecahan shikon no tama itu pada kami, mengejek kami yang hanya datang dengan sebuah harapan. Tak suka mendengar apa yang dilontarkan oleh Naraku, Inuyasha menghujaninya dengan kekuatan andalannya serta jurus yang ada pada pedang Tessaiga yang sakti itu, namun tubuh Naraku kembali beregenerasi. Kikyō yang mencoba memanah untuk menyucikan shikon no tama yang berada di genggaman Naraku pun terus digagalkan oleh Naraku. Gerakan gesit Sango dan Miroku pun juga tampaknya terus membuat tubuh Naraku terus beregenerasi. Aku menyiapkan anak panah untuk kubidikkan padanya, berupaya agar anak panahku tepat sasaran. Pada akhirnya Naraku mengatakan bahwa sasarannya adalah desa yang dihuni oleh Nenek Kaede, semuanya bermula di desa. Dugaanku benar bahwa ini hanyalah pengalih perhatian. Sebelum semuanya terlambat, kami memutuskan untuk keluar dari tubuhnya.

Ketika kami baru menjejakkan kaki di tanah desa, semuanya kembali sibuk untuk memerangi Naraku dan mengalahkan dua pecahan shikon no tama, saat aku tak berada di dekat Sesshōmaru, aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku, dan kurasakan sebuah pedang menyayat tubuhku bagian belakang. Aku terduduk lemas karena kaget, mataku terbelalak. Namun, sensasi yang aneh benar-benar kurasakan. Aku merasakan sebuah pedang telah menebas tubuhku bagian belakang, namun tak kurasakan sedikit pun tetesan darah yang keluar dari tubuhku. Inuyasha yang melihat kejadian yang kualami itu pun tanpa berpikir panjang, ia langsung memberikan serangan Meido Zangetsuha pada Byakuya, mengirim musuh ke alam lain.

"Kagome, kau tak apa?" tanyanya khawatir dengan memberikan uluran tangannya itu, sebuah serangan yang ia berikan pada Byakuya pun berhasil, aku bangkit dengan bertopang pada uluran tangannya, kualihkan pandanganku pada Kikyō yang terlihat marah saat aku meraih tangan Inuyasha.

"Aku tak apa." Aku tersenyum. Kulihat Sesshōmaru juga memberikan pandangan khawatir padaku.

Semuanya kembali fokus pada Naraku, dan inilah kesempatanku untuk melesatkan anak panah pada shikon no tama yang telah menyatu dengan tubuh Naraku. Aku akan membidiknya dengan keyakinan, aku yakin anak panahku akan menembusnya. Anak panah itu menghilang tertelan shoki yang mengelilingi tubuh Naraku. Cahaya shoki yang mengelilingi tubuhnya dan beberapa yang sempat berjatuhan itu pun menghilang setelah tersucikan oleh kekuatanku. Kualihkan pandanganku pada Sesshōmaru yang berdiri dengan bertumpu pada pedangnya, nampak kesakitan.

Apakah ia terluka? Aura ini penyucian ini, bukankah ... kualihkan pandanganku pada Kikyō yang terlihat terengah-engah dan senyuman yang tidak bisa kuartikan menghiasi wajah cantiknya. Apakah ini ulahmu? Kenapa kau melakukannya? Kenapa harus Sesshōmaru jika kau membenciku? Setidaknya arahkan padaku, bukan padanya. Kenapa? Air mataku yang berada di pelupuk mata terjatuh, kututup mataku sejenak, mengumpulkan kekuatan spiritual yang kupunya, saat kedua mataku terbuka saat itulah kulihat tubuh Kikyō yang tergeletak di samping Inuyasha. Inuyasha yang kaget, hanya mencoba untuk membangunkannya. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi padanya, yang kupedulikan saat ini adalah Sesshōmaru. Aku mencoba berlari sekuat tenaga untuk menghampiri Sesshōmaru yang tampaknya terluka, ia hanya bertumpu pada pedangnya untuk membuat tubuhnya kembali tegak berdiri. Dengan penuh derai air mata, kubantu Sesshōmaru yang terlihat terluka itu untuk berdiri dengan bersandar pada tubuhku. Ia memberikan senyuman singkat untukku, seolah memberitahukan bahwa ia baik-baik saja. Namun, aku tak yakin dengan apa yang dirasakannya, dari tatapan matanya bisa sedikit kurasakan bahwa ia benar-benar kesakitan.

Tubuh Naraku perlahan menghilang setelah anak panah yang kubidikkan padanya itu tepat mengenai dua shikon no tama. Sebuah cahaya berwarna merah muda keunguan ikut memudar dan akhirnya berwarna putih seutuhnya, kembali suci. Miroku segera membuka penutup telapak tangannya dan kutukan lubang angin itu kini benar-benar lenyap. Inuyasha terlihat bersedih atas apa yang dialami oleh Kikyō. Aku kembali merasakan sensasi aneh, layaknya angin dengan kekuatan besar mencoba menyedotku untuk masuk ke dalamnya. Tubuh mungilku yang tak kuasa menahan itu semua, perlahan-lahan masuk ke dalamnya.

"Sesshōmaru!" teriakku ketakutan, sebelum tubuhku benar-benar ditelan oleh dunia dengan sensasi aneh. Sebuah sensasi yang sama kurasakan saat tubuhku ditebas oleh Byakuya dengan pedang. Mungkinkah ... ini Meido?

Aku tersedot masuk ke dalam sebuah ruang yang gelap. Tak ada cahaya untuk penerangan sama sekali. Dan aku sendiri, saat kubalikkan badanku, kulihat sebuah anak panah yang menancap pada dua shikon no tama.

"Kagome, kau akan terus di sini." Terdengar suara yang tak kutahu itu siapa. Tak kulihat orang di sini.

"Tapi, aku tadi berada di desa dan aku berdiri di samping Sesshōmaru!" bantahku.

"Apa kau ingin kembali ke duniamu? Kalau begitu, memohonlah pada shikon no tama bahwa kau ingin kembali ke duniamu. Kalau tidak, kau akan selamanya berada di kegelapan ini."

Ruangan gelap ini benar-benar menakutkan. Aku tak mau berada di sini sendirian. Ini benar-benar lebih menakutkan dari apa pun. Aku tak mau berada di sini selamanya!

"Mama! Jii-chan! Sōta!" teriakku dengan lantang, sambil mengedarkan ke segala arah.

"Tidak ada siapa pun."

"Sesshōmaru! Inuyasha! Miroku-sama! Sango-chan! Shippo-chan!" teriakku kembali, air mataku mulai membasahi pipiku.

"Takkan ada yang datang!"

"Tidak mungkin." Air mataku tak bisa kubendung lagi. Kututup wajahku dengan kedua tanganku, "Sesshōmaru ..." panggilku ketakutan, berharap hanya dengan menyebut namanya, aku menjadi tidak ketakutan.

"Kau bukan orang yang seharusnya berada di zaman perang. Pulanglah! Pulanglah ke tempatmu yang seharusnya kau berada."

Mendengar itu, kubuka kedua tanganku perlahan dengan tatapan mengarah pada shikon no tama yang menancap pada anak panah milikku, "Jika aku memohon ingin pulang, apa aku bisa pulang?"

Dua shikon no tama kulihat berdenyut dengan hebat.

"Bukannya kau menginginkan sesuatu? Apa kau memilih kesendirian abadi di kegelapan ini?"

Aku diam dan menundukkan kepala. Aku tidak ingin berada di kegelapan ini sendirian. Aku takut. Aku ingin pulang. Aku ingin berada di samping Sesshōmaru. Aku ingin pergi dari sini. Aku benar-benar putus asa. Aku ...

"Kagome! Apa kau mendengarku? Kagome ..." teriak Sesshōmaru. Aku yakin ini Sesshōmaru.

"Sesshōmaru ..."

"Kagome ..." teriak Sesshōmaru kembali.

"Aku mendengar suara Sesshōmaru."

"Jangan membuat keinginan apapun. Tunggu aku sampai tiba di sana!" teriak Sesshōmaru lantang dan sedikit serak.

"Sesshōmaru, apa kau di sana?" tanyaku dengan berteriak tak kalah lantang.

Shikon no tama kembali berdenyut kuat, "Apa kau ingin bertemu Sesshōmaru? Jawab aku, Kagome! Apa kau ingin bertemu dengannya?"

"Naraku dan Kikyō membuat permohonan sederhana pada shikon no tama, namun shikon no tama takkan mengabulkan permohonan yang sebenarnya," gumamku lirih.

"Jujur saja pada hatimu. Kau ingin bertemu dengan Sesshōmaru. Kau hanya perlu memohon untuk itu.

"Apa itu keputusan yang benar?" tanyaku ragu. Aku teringat akan pesan kakek untuk membuat permohonan yang benar, bukan permohonan yang sepele dan konyol.

"Sesshōmaru akan datang untuk menyelamatkanku," batinku yakin dengan menutup kedua mataku, "aku tidak akan membuat permohonan," lanjutku dan shikon no tama kembali berdenyut untuk kesekian kalinya.

"Aku yakin Sessshōmaru datang untuk menyelamatkanku."

Ini akan baik-baik saja. Aku percaya padamu, Sesshōmaru ...

Tak butuh waktu yang lama, sosok yang ingin kutemui saat ini benar-benar nyata berada di hadapanku. Sesshōmaru datang untukku dengan memegang pedang Tessaiga yang kuyakin melukai tangannya, tapi nampaknya ia tidak lagi peduli dengan rasa sakit yang dirasakannya.

"Kagome ..." panggilnya lirih kala melihatku.

"Sesshōmaru ..." air mata yang kubendung di pelupuk mata akhirnya tumpah kala kusebut namanya, dan sosoknya benar-benar nyata berada di hadapanku.

Lengannya yang satunya menarik tubuhku untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya, sebuah ciuman hangat dan lembut selembut sutra ia berikan padaku untuk waktu yang cukup lama. Rasa bahagia, sedih, takut, saat ini bercampur aduk.

Ini bukan ilusi.

Sesshōmaru ...

Aku merindukanmu.

"Shikon no tama ... sekarang aku akan mengatakan permohonanku," ucapku dalam pelukan hangat Sesshōmaru, shikon no tama bersinar lebih terang dan berdenyut dengan kuat.

Kalau Sessōmaru tidak datang untukku, aku pasti dikalahkan oleh ketakutan dan kegelapan. Dan aku tak bisa menemukan jawaban yang benar. Tapi, sekarang Sesshōmaru berada di sisiku. Aku sudah tak takut apapun.

"Shikon no tama ... Menghilanglah!" kuucapkan permohonanku, dua bola shikon no tama perlahan mulai retak bersamaan, "Selamanya!" lanjutku.

Dua bola itu pecah bersamaan, cahaya yang terasa sangat damai menyinari diriku dan juga Sesshōmaru.

"Akhirnya berakhir sudah."

"Hn."

Pedang Tessaiga yang dipegang dari tadi oleh Sesshōmaru akhirnya kini terlepas. Tangannya melepuh seperti luka bakar yang sangat parah, dan ia mengabaikan rasa sakit itu demi menyelamatkanku. Air mataku tumpah kembali melihat dirinya benar-benar kesakitan demi diriku. Tubuhnya yang gagah perlahan bertumpu pada Pedang Tessaiga yang tadinya ia lepas, kini ia raih kembali dan ia gunakan sebagai tumpuan bersamaan dengan Tenseiga.

"Sesshōmaru ..." panggilku dengan terisak.

Bukannya menjawab, ia hanya memberikan senyumannya padaku. Tubuhnya yang kuat itu, akhirnya mulai rubuh dan jatuh ke dalam pangkuanku. Kugenggam tangannya, berharap rasa sakit yang ia rasakan dapat juga kurasakan dan aku bisa ikut meredakan rasa sakit yang ditanggungnya. Cahaya menyilaukan menyeret tubuh kami ke dalamnya, dan aku terisak menangisi Sesshōmaru yang kesakitan dalam pangkuanku. Hingga akhirnya kurasakan tubuhku bertumbu pada tanah.

Mungkinkah ... ini sumur di kuil rumahku?

Sesshōmaru menggenggam sebelah tanganku dengan erat, sedangkan tangannya yang satunya membelai pipiku yang sudah basah oleh air mata, mencoba mengusapnya pelan.

"Kau tahu kan ..." ucapnya dengan terbata-bata, kugelengkan kepalaku, mencoba menepis kemungkinan terburuk yang akan terjadi, "bahwa aku akan selalu mencintaimu."

Aku hanya mengangguk dan tangisanku semakin menjadi.

"Kenapa menangis? Kau tahu betapa bahagianya diriku saat aku mengetahui bahwa kau juga mencintai diriku ... jika aku bisa memutar waktu, aku ingin mengulangi semuanya. Aku ingin mengenalmu lebih awal, agar aku bisa melindungimu.

"Kumohon jangan katakan apapun ..."

"Bahkan dalam mimpi pun aku merindukanmu, Kagome. Aku ... aku ... aku akan menjagamu dari langit," ucapnya dengan tersenyum meski sempat terbata-bata, tangisanku semakin terisak. Kudengar derap langkah kaki yang semakin mendekat ke arah kami.

"Tidak! kumohon jangan katakan itu!" teriakku dengan menjerit.

Sesshōmaru hanya tersenyum. Tangan kokohnya yang membelai pipiku perlahan jatuh tak berdaya. Mataku terbelalak melihat itu semua.

Tidak mungkin! Tidak mungkin!

Kudekatkan wajahku pada hidungnya, mencoba mendengar deru napasnya yang memburu. Tapi, aku sama sekali tak mendengarnya. Kualihkan tanganku pada denyut nadinya hingga kuletakkan wajahku pada dadany untuk sekedar mendengar detak jantuknya. Namun, semuanya sama saja.

"Kumohon, bukalah matamu!" jeritku dengan suara yang serak, "berhentilah bercanda denganku!" lanjutku.

"Sesshōmaru!"

Tangisanku semakin menjadi dan isakanku terdengar semakin menyedihkan.

"Kumohon! Buka matamu! Ini tidak mungkin! Sesshōmaru! Jangan bercanda!" teriakku dengan keras.

"Ini tidak mungkin! Sesshōmaru ..."

Cahaya berwarna magenta terlihat tepat di hadapanku. Perlahan-lahan layaknya abu yang dihempaskan oleh angin, berterbangan, dan kulihat tubuh Sesshōmaru menghilang perlahan bersamaan dengan cahaya itu. Cahaya yang menghilang perlahan bak kunang-kunang yang ingin terbang tinggi menjangkau sang rembulan.

"Sesshōmaru! Kumohon ..." jeritku dengan memeluk tubuhku sendiri, seolah mengumpulkan aroma dan cahaya yang dapat kutangkap dengan kedua tanganku dari cahaya tubuh Sesshōmaru yang menghilang terbawa pergi.

"Kagome ... apa yang ter ..." ucap mama, beliau tak melanjutkan apa yang dikatakannya kala melihatku duduk bersimpuh dengan memeluk tubuhku sendiri penuh dengan deraian air mata.

"Sesshōmaru ..." panggilku dengan tersedu-sedu, "kumohon kembalilah ... ini tidak mungkin terjadi!"

"Sesshōmaru!" teriakku entah untuk keberapa kalinya.

Ada satu fakta yang tak bisa kupungkiri bahwa aku harus meyakini bahwa itu nyata, bahwa tubuh kekasihku, Sesshōmaru, sudah tak berdetak. Bahwa kekasihku sudah tiada, ia ... sudah tak bernyawa. Sesshōmaru meninggal tepat di pangkuanku.

o0o—

Setelah perang besar melawan Naraku yang merenggut nyawa kekasihku, tidak terasa kejadian tiga tahun lalu sudah berlalu begitu cepat. Hari ini adalah hari yang dinanti-nantikan para mahasiswa yang telah selesai menimba ilmu di universitas. Yap, hari ini adalah hari kelulusanku. Jujur, walaupun pada awalnya terasa berat setelah kehilangan Sesshōmaru, aku berusaha dengan keras untuk bisa bangkit, semuanya kulakukan demi keluargaku, demi pendidikanku, demi masa depanku. Aku yakin jika memang aku ditakdirkan dengannya, aku pasti bertemu dengannya lagi walaupun sangat singkat.

Upacara kelulusan sudah menyambutku. Tak jarang orang-orang satu keluarga turut hadir dalam acara kelulusan ini, membawa bunga, boneka, ataupun kado kelulusan lainnya untuk kami yang baru saja lulus mendapat gelar pendidikan secara resmi. Begitu pula keluargaku, mereka semua hadir untuk ikut merayakannya dengan membawa bunga sebagai hadiah kecil-kecilan untukku. Satu ritual yang tidak boleh terlupakan adalah momen untuk berfoto bersama. Setelah puas mengambil foto bersama, keluargaku memberi keleluasaan untukku bersama teman-temanku. Sejujurnya, hal yang paling kuharapkan adalah kehadiran Sesshōmaru di acara kelulusanku. Aku tahu itu mustahil, tapi tidak ada salahnya kan untuk memiliki harapan?

"Kagome ..." panggil seseorang. Aku menoleh ke segala arah untuk melihat siapa orang yang memanggilku.

Tidak ada. Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang mendapat ucapan kelulusan dari orang yang dia sayang dengan memanggilnya "Kagome" juga, sama sepertiku. Aku tidak tahu wanita itu berasal dari nama keluarga apa, atau mungkin wanita itu adalah ilusiku tentang harapanku? Mungkinkah?

Aku benar-benar iri melihat teman-temanku yang datang bersama dengan kekasihnya atau bahkan calon suaminya. Aku kini tak bisa seperti itu, kekasihku ... kutundukkan kepalaku, mengingat Sesshōmaru, Inuyasha, Sango, miroku, Shippo, Nenek Kaede yang terasa begitu dekat layaknya keluarga, namun di sisi lain semua itu terasa seperti ilusiku yang tidak pernah kunjung berakhir.

Sesshōmaru ... dia hanyalah ilusiku. Layaknya oasis khayalan yang tiba-tiba muncul dalam kehidupanku yang kering. Tapi, aku bersyukur pernah mengenalnya. Aku tidak menyesal. Berkat itu, hidupku menjadi lebih menarik walapun itu hanya untuk sejenak. Kuangkat wajahku menghadap matahari siang yang kian lama terasa menyengat. Pancarannya mengingatkanku pada bagaimana pertemuanku dengan Sesshōmaru, bagaimana sikapku padanya, begitu pula bagaimana sikapnya terhadapku, yang lambat laun semuanya berubah menjadi rasa cinta yang tak pernah terbayangkan. Hingga akhirnya aku merasa takut untuk kehilangan dirinya, aku ingin selalu bersamanya. Apakah ini egois?

Tes ... tes ...

Air mataku mulai turun membasahi pipiku, dan aku baru menyadari air mataku telah menganak sungai ketika mengenai jemari tanganku. Kenapa aku menangis? Apa aku begitu merindukannya?

"Huh?" kuusap air mataku dengan kasar.

"Kagome, kau menangis?" teriak Yuka dari kejauhan mendekat ke arahku, "Kenapa kau menangis di hari yang sebahagia ini?" lanjutnya.

"Tidak, hanya karena silau saja," sanggahku cepat karena aku tidak ingin membuatnya khawatir.

Maafkan aku Yuka, aku tidak bisa berkata jujur padamu bahwa aku merindukannya. Merindukan sosoknya. Aku merindukan Sesshōmaru.

"Kagome, kau telah mengalami banyak hal berat selama kuliah ini," ucapnya dan menarikku ke dalam pelukannya.

Air mata yang dari tadi sudah dengan susah payah kutahan, akhirnya pecah. Aku menangis terisak dalam pelukan hangat Yuka. Erika dan Ayumi tak bisa hadir dalam acara kelulusan kami, karena mereka sudah lulus terlebih dahulu dan kini mereka sedang melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri.

"Ya, menangislah sampai puas," ucapnya mencoba untuk menenangkanku.

Setelah membutuhkan waktu beberapa lama aku menangis dalam pelukan Yuka, kami harus berpisah karena Yuka harus segera terbang menuju USA. Dia juga memilih untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Hanya tersisa aku yang berada di Tokyo, semua sahabatku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.

Aku berhasil menenangkan diriku setelah tidak ada orang di sisiku. Wajahku menjadi bengkak setelah menangis untuk waktu yang lumayan lama. Kututup wajahku dengan kedua tanganku, air mataku kini benar-benar tak bisa kubendung lagi, malah semakin menjadi. Aku benar-benar merindukanmu, Sesshōmaru.

"Menangis?" tanya seseorang dari arah belakang.

Aku mendengar seseorang bertanya padaku dari belakang, suara itu ... aku tidak salah dengar, 'kan? Kubalikkan badanku untuk melihat sosok orang yang bertanya padaku. Aku berdiri mematung saat melihat sosok yang kuharapkan hadir berada tepat di hadapanku dengan mengenakan setelan jas dan mengenakan mantel hangat serta rambut yang rapi, tidak lagi panjang.

Benarkah ini Sesshōmaru? Tidak mungkin. Bagaimana bisa moko-moko, pedang, suikan, hakama, serta armor yang biasa dipakai tidak ada? Di mana pedang itu? Namun, tanda lahir di wajahnya tidak hilang. Benarkah ini nyata? Ini bukan ilusiku, 'kan? Aku masih berdiri dan mataku mulai nanar kembali.

"Kenapa malah menangis? Ini kan hari yang menyenangkan," ucapnya dengan tersenyum, "kau tidak ingin memelukku? Kau tidak rindu padaku? Biasanya kau jika tidak melihatku untuk waktu yang lama kemudian bertemu denganku, kau langsung menghambur dan memeluk—"

Grep

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku menghambur ke dalam pelukan sosok yang kurindukan untuk membuktikan bahwa itu nyata, bukan ilusiku semata dan tentu saja untuk membuktikan bahwa aku tidak salah orang. Bukan untuk pertama kalinya aku salah orang saat benar-benar merindukan Sesshōmaru, hanya karena melihat seseorang yang berpawakan dan memiliki rambut yang sama.

"Sesshōmaru ..." panggilku pelan, nyaris tidak terdengar saat kami sedang berpelukan. Tangisku pecah dalam pelukan hangatnya yang benar-benar kurindukan selama kurang lebih tiga tahun ini.

Ia membalas pelukanku dengan mengeratkan pelukannya padaku untuk beberapa waktu yang lama, kemudian melepaskan pelukanku perlahan, membelai wajahku yang sudah kacau karena tangisan konyolku. Ia menghapus air mataku dengan sangat pelan, takut bahwa tangannya akan melukai wajahku.

"Sesshōmaru?" tanyaku mengulang sambil menjelajahi setiap detail wajahnya dengan kedua tanganku, dan air mataku kembali jatuh.

"Ya, ini aku. Ini aku, Sesshōmaru."

Sesshōmaru menarikku ke dalam pelukan hangatnya kembali, tahu bahwa aku begitu merindukannya sampai aku benar-benar seperti orang gila, tersesat.

"Maafkan aku. Apa aku datang terlambat?" tanya Sesshōmaru di sela pelukan kami.

Aku menganggukkan kepalaku, "kau tahu bagaimana menyedihkan diriku saat aku tak bersamamu?"

"Hn, maafkan aku." Sesshōmaru mengecup kepalaku berulang kali.

"Bagaimana kau bisa datang? Apa yang sebenarnya terjadi saat perang itu? Aku mengira kau sudah meninggal karena jantungmu tak berdetak kau tahu?"

"Setelah perang itu, aku dan Inuyasha terlempar ke duniamu tanpa kutahu alasannya. Semua atribut yang ada pada diri kami hilang begitu saja, termasuk pedang kebanggaanku." Ia tersenyum.

"Lalu tiga tahun ini kau ke mana saja?"

"Kami tinggal di rumah seorang profesor yang kebetulan melakukan penelitian mengenai sengoku jidai. Dia tak memiliki anak, hingga akhirnya mengadopsi kami. Selama itu pula aku belajar untuk beradaptasi dengan duniamu dan aku terus mencarimu, sampai datanglah aku di hari ini."

"Jangan pernah pergi lagi," pintaku padanya.

"Tidak akan," jawabnya dengan memberikan senyumannya, dan tanpa memberiku aba-aba ia mendaratkan ciumannya yang lembut padaku untuk waktu yang lama hingga semua orang yang masih berada di sini, mengalihkan pandangannya pada kami yang bermesaraan di publik.

"Semua orang memperhatikan kita," ucapku dengan melepaskan ciuman.

"Bukan kita, tapi kau."

"Kenapa aku?" tanyaku polos.

"Maukah kau menikah denganku?" tanyanya dengan mengangkat tangan kanannya, sebuah kalung dengan liontin bergambar bunga tergantung tepat di hadapanku.

Aku takjub melihat liontin yang tergambar dengan indah sebagai liontin yang ditunjukkannya padaku. Aku tidak pernah menemui liontin bergambar bunga seperti itu.

"Edelweiss," bisiknya padaku. Ia menurunkan tangannya, membuka pengait kalung itu dengan kedua tangannya, setelah pengait itu terbuka, ia memasangkan kalung tersebut di leherku.

"Lambang cinta abadi," sahutku menimpali, "tapi di bagian putiknya terdapat bulan," lanjutku dengan mendongakkan kepalaku padanya.

"Hn, maukah kau menikah denganku?" tanyanya mengulang, ia menatap mataku dengan intens seperti tak mau kehilangan diriku lagi.

"Ya," jawabku mantap dan menghambur ke dalam pelukan hangatnya. Ia memberikan ciumannya sambil mengangkat tubuhku dengan membuat gerakan berputar karena bahagia. Saat itulah aku melihat keluargaku berada di sampingku dan juga tak lama kemudian Inuyasha berada di samping keluargaku turut mengumbar senyum bahagia.


—THE END—


A/N : sebelumnya, saya minta maaf karena baru sekarang ini sempat untuk mempublikasikan tulisan ini setelah beberapa bulan lamanya. Saya akan mengatakan semua uneg-uneg saya dalam catatan ini. Saya juga ingin mengatakan alasan kenapa saya begitu lama mempublikasikan ini, walaupun terdengar seperti sebuah alasan saja tapi ini memang kenyataan yang benar-benar terjadi dan saya alami. Pertama, saya tidak bisa mempublikasikan sejak akhir bulan Maret karena saya mengalami writer's block. Seperti kalian ketahui, tidak ada penulis mana pun yang berharap mengalami keadaan ini, padahal ide sudah ada sejak saya menulis chapter 2. Kedua, laptopku sakit untuk waktu yang lama. Ketika saya membawanya ke tempat servis, petugasnya mengatakan ia sedang mencarikan perangkat keras yang dibutuhkan, baiklah karena saya tidak mengerti banget dengan hal semacam itu, saya menunggu. Hingga akhirnya, sebelum saya pulang kampung, saya memutuskan untuk memindahkannya di tempat servis satunya yang direkomendasikan oleh teman. Saya terlambat :") kalian tahu, dalam waktu satu hari, laptopku alhamdulillah sudah kembali sehat dan ketika saya mendapat kabar itu, saya tengah berada di perjalanan mudik (katakanlah sudah dekat dari rumah). Ketiga, karena saya sedang magang. Jujur, saya sudah mahasiswa tingkat akhir, mungkin jika kalian tanya semester berapa? Ini terdengar seperti kata tabu, hahaha saya semester tujuh yang mulai bergelut dengan skripsi. Saya magang di bandung sekitar satu bulan, dan saya sungguh tidak sempat untuk menyentuh tulisan yang terasa seperti hutang ini karena tugas magang yang begitu menguras tenaga dan pikiran. Hingga akhirnya, saat aku berada di titik jenuhku, aku melampiaskan pada kebiasaanku —menulis. Bahkan, kalian tahu? Laptopku juga sempat sakit sedikit saat kugunakan untuk magang ㅠ.ㅠ walaupun itu benar-benar terdengar seperti kumpulan alasan, saya harap dapat memakluminya, bahkan saya sudah menuliskan status kepenulisan saya di profil, yang awalnya hanya "SEMI-HIATUS" kini berubah menjadi "HIATUS", berharap kalian memahami saya, tapi sepertinya kalian belum membacanya :")

Saya sekarang berada pada tingkat yang menggebu-gebu untuk menulis, tapi di sisi lain saya takut jika terlalu sering menggunakan laptop kesayanganku untuk menulis, saya takut ia sakit lagi padahal perjuangan menulis skripsi baru saja dimulai. Saat ada beberapa pembaca yang secara tidak langsung menagih, saya merasakan apa yang kalian rasakan, tapi saya hanya bisa diam karena tidak bisa melakukan apa-apa ketika berada dalam keadaan writer's block maupun ketika laptop sakit, yang jelas saya juga sedih. Saya juga bahagia karena berpikir 'apa cerita yang kuanggap tidak menarik dan konyol ini begitu dinantikan? Hingga banyak yang bertanya pada saya kapan dilanjut'. Hingga akhirnya kesempatan untuk nulis kembali datang, akhirnya setelah pulang magang saya melewati hambatan seperti acara bersama idola, acara kampus, dan urusan kampus lainnya, saya memutuskan untuk lembur dalam satu malam yang akhirnya selesai hingga pukul setengah dua dini hari. Saya juga membuat daftar tulisanku yang harus menjadi prioritas utama terlebih lagi hutang, dan tulisan ini menempati urutan pertama. Kini saya sedang berusaha keras untuk menyelesaikan tulisan saya yang belum selesai, terlebih yang masuk ke dalam daftar prioritas utama sebelum saya menulis cerita lain yang rasanya tidak bisa diam dalam imajinasi liar saya. Walaupun saya dalam status "HIATUS" saya akan tetap menulis, dan mengusahakan semua tulisan bisa tetap diposting untuk tiap bulannya, tapi saya tetap memprioritaskan kuliah saya daripada ini, ini hanyalah semacam "katarsis" —penyucian jiwa yang didapat seseorang lewat menulis/membaca atau kata lainnya kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan batin dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis— saya saat sedang suntuk, bosan, berada dalam titik jenuh.

Ada beberapa adegan bahkan line yang sengaja saya ambil dari anime aslinya, drama korea "You Who Come From The Star" (2014) dan webtoon "Cheese in The Trap" dengan tujuan tertentu dan saya tidak akan berpura-pura mengatakan bahwa saya merupakan pembuatnya. Saya juga minta maaf jika ending cerita ini yang kurang berkesan, kurang greget, ataupun tidak sesuai ekspektasi bahkan alur yang terkesan dipaksa. Oke, saya cerita lagi wkwk awalnya ending untuk cerita ini berbeda jauh dengan ini. Pada awalnya, akhir dari cerita ini tidak berbeda jauh dengan anime aslinya, Kagome kembali ke era feodal, dia akhirnya menikah dengan Sesshōmaru setelah mendapat persetujuan dari Inukimi. Namun, beberapa hari sebelum saya lembur nulis ending ini, saya secara mendadak mendapatkan ide twist ini, ide yang terasa menggebu-gebu dan memaksa saya untuk harus ditulis dan dijadikan ending cerita ini. Saya bingung, jelas. Saya memutuskan untuk menghubungi Mbak Ratna —seorang kakak tingkat yang rasanya sudah seperti saudara sendiri, sekaligus rasanya seperti mentor. Ia seringkali mengadu keluh kesahku tentang apapun, terlebih tentang dunia tulis menulis. Tak jarang ia memberikanku ide atau masukan ide. Tapi, karena ia tak kunjung membalas pesanku, saya dengan sangat terpaksa harus curhat ke kak Ame (Taisho no Miko) soal akhir cerita ini, tapi ini sudah berbeda dengan apa yang saya ceritakan waktu itu ke kak Ame, sudah saya lakukan perubahan.

Ini curhatan saya terakhir mengenai "Nightwish: Treasure" (mungkin) wkwk yang jelas "Nightwish: Treasure" tidak akan pernah ada jika saya tidak mendengarkan salah lagu yang menjadi OST drama korea "Six Flying Dragons" yang tayang tahun 2016 silam. Nightwish: Treasure tercipta setelah saya mendengarkan berulang kali OST drama korea tersebut (karena ceritanya saya gagal move on dari drama korea yang memiliki total episode sebanyak lima puluh itu) yang berjudul I Guess Its You yang dinyanyikan oleh Kim Bo Kyung. Pada awalnya tulisan ini, pemeran utamanya adalah artis korea yang saya idolakan, dan setelah saya menonton ulang Inuyasha, entah kenapa saya jadi jatuh cinta sama sosok Sesshōmaru wkwk awalnya saya sempat ragu nulis ini karena melihat tulisan kak Ame yang bagus banget dalam penyampaiannya, salut banget yang jelas sama kak Ame *peluk kak Ame* setelah dimotivasi sama mbak Ratna akhirnya saya publish ini di sini. Rencana awal sih ini hanyalah sebuah OS dengan ending yang terbuka wkwk tapi karena beberapa komentar yang secara tidak langsung meminta sebuah lanjutan kisah ini, akhirnya saya putuskan untuk dijadikan berchapter. Saya enjoy pada awalnya, tapi saya juga pernah berada di titik tertentu yang membuat saya jenuh dengan cerita ini dan sempet terbersit keinginan untuk tidak dilanjut, sampai akhirnya saya kembali memikirkan para pembaca yang sudah lama menantikan kelanjutannya, akhirnya saya lanjut kembali. Sejahat-jahatnya saya sebagai seorang author, saya tidak ingin menggantung perasaan seseorang, saya juga mengerti apa yang dirasakan oleh setiap pembaca kok. Jadi saya akan tetap lanjut, walaupun lama. Contohnya "Nightwish: Treasure" ini. Saya tidak ingin mempunyai hutang pada para pembaca, jadi saya selalu mengusahakan untuk tetap bisa nulis. Semua tulisan saya, akan saya lanjut, saya tidak ingin berhenti nulis di tengah jalan, karena menulis juga kegemaran saya. Saya hanya meminta pengertian pembaca tentang saya, tentang kehidupan saya di dunia nyata, pendidikan saya, masa depan saya untuk sejenak, walaupun jauh di lubuk hati yang terdalam kalian pengen cerita tulisan saya cepet dilanjut. Saya mohon pengertiannya ya, sekali lagi saya sudah mahasiswa tingkat akhir :")

Dalam penulisan ini, ada beberapa lagu yang setia menemani nulis dari awal chapter hingga ending sampai editing. Saya akan menuliskan lagu-lagu apa saja, mungkin kalian juga pernah mendengar lagu tersebut dan bisa merasakan apa yang saya rasakan. Berikut lagu-lagu yang sudah setia menemani untuk menulis dari awal hingga akhir hingga tahap editing juga.

I Guess Its You – Kim Bo Kyung (OST Six Flying Dragons)

逢いたくていま – D-LITE (versi over)

逢いたくていま – MISIA (OST Dr. Jin) (versi asli)

涙 - GENERATIONS from EXILE TRIBE

Do As Infinity – Fukai Mori (OST Inuyasha)

あなたに逢いたくて – Kim Jeong Hoon (versi cover)

あなたに逢いたくて – Matsuda Seiko (versi asli)

Yang jelas saya senang sekali saat tulisan ini akhirnya selesai. Bahkan saat nulis final ending ini pun saya sampai menangis haha mungkin terdengar konyol sih, tapi itu sungguh terjadi. Mungkin terbawa perasaan karena ada adegan yang membuat saya sedih hingga menitikkan air mata, di sisi lain menangis karena bahagia akhirnya selesai juga :") wah terlalu panjang ya uneg-uneg saya, maafkan XDTerima kasih buat semua yang sudah fav, follow, dan review :") Semoga kalian tidak mengalami titik kejenuhan saat membaca tulisan saya hehe xD Sampai berjumpa dengan saya di tulisan saya yang lainnya ya!

Salam hangat,

Emma Griselda

Surakarta, 9 September 2017