Nightwish: Treasure
—o0o—
Disclaimer: Cerita ini milik saya, semua karakter Inuyasha milik Rumiko Takahashi, saya hanya meminjam nama mereka. Saya tidak mengambil keuntungan dari penulisan cerita ini, tulisan ini hanya sebagai hiburan semata.
Warn! Typo(s) ‖ gaje ‖ ide yang mainstream ‖ OOC ‖ AU ‖ diksi tidak tepat ‖ dll.
Author : Emma Griselda ‖ Cast : Inuyasha, Sesshomaru, Kagome, and Kikyo
Lenght: chaptered ‖ Rating : PG-17 [Rated Can Change Anytime!] ‖ Genre : drama, romance, hurt, comfort
—o0o—
Aku terdiam. Aku lelah setelah pertempuran yang habis kami lalui. Aku duduk sendiri dengan menahan rasa sakit pada tubuhku akibat pertempuran tadi. Pertempuran besar yang melibatkan Naraku, Inuyasha, dan Sesshomaru yang sangat menentukan hidup dan matinya seseorang yang Inuyasha cinta selama ini bahkan aku pun tak bisa menggantikan sosok wanita itu dalam hidupnya, Kikyo. Hari sudah mulai gelap, mereka semua sibuk dalam menyelamatkan Kikyo, tapi tidak dengan diriku yang sibuk menahan rasa sakit yang mendera tubuh mungilku. Rambutku yang sudah tak rapi seperti biasanya saja aku abaikan, rasa sakitnya lebih parah daripada saat nyeri datang bulan.
"Kagome, kau tak apa?" Sippo bertanya padaku dengan nada ceria.
"Kagome-sama, kau tak apa?" Miroku menimpali.
"Kagome, kau sungguh tak apa? Kau terlihat pucat setelah pertempuran tadi." Sango memgang pundakku untuk meyakinkan bahwa aku benar-benar tidak apa.
Aku hanya mengangguk. Aku tak sanggup menjawab mereka. Jika aku membuka mulutku dan berbicara mereka akan tahu bahwa aku sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Aku sedang dalam keadaan sakit —sakit hati dan fisik.
"Kau yakin? Kau tadi bahkan dihempaskan oleh Inuyasha begitu saja." Sango terlihat begitu khawatir.
Kumohon jangan bahas insiden tadi. Insiden itu sungguh aku tak ingin mengingatnya. Baru kali ini aku mengalaminya saat sedang bertempur dengan musuh. Dalam keadaan sadar, Inuyasha menghempaskan aku sejauh yang ia bisa hingga tubuh mungilku menghantam sebuh pohon yang cukup besar. Ia berkata padaku saat itu bahwa kehadiranku hanya bisa mengganggunya dalam melawan Naraku. Padahal aku hanya ingin membantunya untuk menyelamatkan Kikyo yang terlihat terluka dengan menggunakan panah suciku. Jika Inuyasha saat itu dalam keadaan wujud aslinya —siluman untuk bertahan hidup— dan ia menghempaskanku, aku bisa memakluminya. Tapi, bagaimana bisa ia melemparkanku sejauh itu? Jika aku membantu Kikyo, apakah ia akan kusakiti? Tidak. Pikiranku tidak sedangkal itu.
Aku mengatur napasku supaya suaraku tetap sama dan tidak memperlihatkan rasa sakit yang sedang menderaku. Aku sudah merasa dalam keadaan yang stabil.
"Emm. Aku tak apa. Kalian duluan saja, aku menunggu Inuyasha." Aku tersenyum penuh kepalsuan untuk menutupi rasa sakit.
"Baiklah. Kami duluan. Inuyasha berada di belakang dengan Sesshomaru."
Mereka bertiga pergi meninggalkanku. Setidaknya aku bisa mengelabui mereka atas rasa sakit ini. Dari kejauhan aku bisa melihat Inuyasha sedang membopong Kikyo dalam pelukan hangat jubah tikusnya itu. Warna merah jubah tikusnya semakin terlihat nyata —semakin dekat. Aku bisa melihat sorot matanya yang begitu merindukan sosok wanita yang berada dalam dekapannya. Ia bahkan mengabaikanku yang sedang duduk sendiri di jalan setapak ini.
"Ayo Kagome!" Serunya padaku tanpa menatapku sedikit pun. Ia hanya sibuk memperhatikan Kikyo.
Sebegitu pentingnyakah seorang Kikyo untuknya? Hingga ia mengabaikanku bahkan saat berada di dekatnya. Apakah ia tidak ingin meminta maaf padaku setelah kejadian tadi? Apakah ia tidak merasa menyesal atas itu? Aku bangkit dan berdiri mematung melihatnya yang semakin berjalan jauh dengan membopong Kikyo itu.
Tes.. Tes.. Tes..
Hujan turun dalam gelap. Mataku berkaca-kaca. Bagaimana bisa langit begitu perhatian padaku? Bagaimana ia mengerti suasana hatiku yang sedang tidak bagus? Dengan ini, aku bisa mengelabui mereka lagi. Aku bisa menumpahkan air mataku tanpa khawatir pertanyaan apalagi yang akan mereka tanyakan padaku. Aku juga tidak perlu khawatir dengan alasan yang harus kuutarakan pada mereka nantinya. Buiran air mataku mulai membasahi pipiku yang berperang dengan hujan.
Aku masih tetap terdiam mematung melihatnya pergi. Entah kenapa, untuk sesaat aku tidak ingin menyusulnya. Untuk apa aku harus mengikutinya jika Kikyo sudah berada di sampingnya? Bukankah Kikyo juga mampu melihat pecahan shikon no tama? Itu berarti Inuyasha sudah tidak membutuhkanku lagi. Aku tak perlu menyusulnya.
Aku mengerang kesakitan. Perutku terasa begitu sakit. Bahkan saat seperti ini pun, Inuyasha tidak berbalik dan melihat ke arahku. Aku basah kuyup, menggigil dan menahan sakit pada perutku yang terluka akibat luka yang dibuat oleh Inuyasha tadi. Aku juga tidak tahu apakah ia sengaja melakukannya atu tidak.
Apakah hujan berhenti? Mengapa tidak ada air hujan yang membasahi tubuhku lagi? aku memperhatikan dengan seksama. Hujan belum berhenti, tapi mengapa aku tidak kehujanan? Aku bahkan tidak membuka payung. Orang yang aku harapkan kini sudah pergi dan aku tak melihatnya. Ia tidak akan datang padaku hanya karena keadaan sepele seperti ini.
"Kau tak apa?" tanya seseorang dengan suara khas yang terdengar dingin, Sesshomaru.
Aku mendongak dan kulihat tangannya direntangkan ke samping untuk melindungiku dari hujan. Baju kimono dan balero putih itu sedikit tertiup angin begitu pula rambut panjangku. Aku hanya diam dan menatapnya. Tatapanku nanar.
Tangannya yang terentang itu tiba-tiba menggapai tubuh mungilku. Tanpa harus kukatakan padanya, ia tahu apa yang aku maksud. Dia lebih pandai daripada Inuyasha. Kini aku berada dalam pelukannya yang hangat dan tangisanku pecah. Ia memelukku dengan sangat nyaman.
"Berhenti menangis." Perintahnya padaku.
Aku hanya mendongak dan tatapan kami saling beradu. Tatapannya yang tadinya dingin menjadi lebih hangat. Melihatku yang masih terisak dia menghapus air mataku dan membelai wajahku. Aku terdiam. Dia menatapku untuk waktu yang lumayan lama dan tatapannya penuh arti. Aku tak mampu menafsirkan apa maksud dari tatapannya itu. Tanpa sebuah aba-aba darinya, maupun persetujuanku. Dia langsung membopongku dalam pelukan hangatnya.
"Kau terlihat pucat. Kau sedang tidak dalam keadaan sehat. Kau harus mengobati lukamu dulu." Ucapnya sambil berjalan.
Aku hanya mampu menatapnya dalam diamku. Ia hanya menatapku sekilas dan ia berjalan sambil membopongku. Kukalungkan tanganku pada lehernya dan kurasakan tubuhku ikut bergoyang seiring dengan irama ia berjalan. Kini aku memahaminya, bahwa Sesshomaru walaupun dari luar ia terlihat dingin dan kejam, sesungguhnya ia memiliki hati yang sangat hangat.