April, 2010
Begitu lulus sekolah, keduanya sepakat untuk tinggal berdua. Orang tua Yuta yang dulu sempat dipindahtugaskan ke Seoul sudah saatnya kembali ke Jepang meski pemuda itu memilih tinggal melanjutkan studi di Korea. Hal itu dianggap sebagai kesempatan sebagai kedua sejoli itu untuk memulai kehidupan mereka berdua, dalam artian sebagai pasangan.
Sementara Yuta memilih masuk ke perguruan tinggi, Taeyong memilih langsung untuk bekerja begitu lulus sekolah karena tidak ingin membebani keluarganya dengan biaya kuliah.
Sungguh, Yuta begitu kagum karena Taeyong berhasil diterima di sebuah perusahaan padahal pemuda itu sendiri menyelesaikan pendidikannya hanya sampai sekolah menengah atas. Meski hanya perusahaan kecil yang baru saja merintis, tetap saja mendapat pekerjaan kantoran hanya dengan ijazah sekolah sangatlah hebat, terutama di metropolitan seperti Seoul di mana mencari pekerjaan dengan mengajukan ijazah sarjana saja sangat sulit. Maka dari itu Yuta sangat bangga dan bersyukur memiliki kekasih yang dapat diandalkan seperti Taeyong.
Yuta yakin ia tidak akan pernah menyesal untuk memutuskan tinggal bersama Taeyong.
.
.
Amending
aspartam
NCT © SM Ent.
Contains typo(s), Extremely OOC, AU, Implisit Smut, Violence, BxB, MESSY Timeline, Too long and boring, Slight pairings you might don't like.
Taeyong x Yuta fic, I've warned you.
a/n: Semuanya (kecuali WinKun) di sini seumuran dan jadi kelahiran 1991.
.
.
September, 2016
Mungkin sudah lebih dua tahun sejak Yuta tinggal bersama Johnny, kekasih dari sahabatnya, Hansol. Hansol tak pernah keberatan jika sahabat dan pacarnya tinggal di satu flat apartement yang sama―justru ia yang mengusulkan untuk keduanya tinggal bersama. Hansol percaya jika Johnny tidak akan bermain di belakangnya. Johnny memang memiliki tampang pria nakal yang suka bermain-main. Nyatanya, Johnny sudah berkali-kali berhasil membuktikan bahwa ia hanya setia pada Hansol.
Johnny itu pria populer. Penggemar dari lelaki sekeren Johnny mana mungkin menyerah hanya karena pria keturunan Amerika itu punya pacar? Tak cuma sekali dua kali ada seorang perempuan maupun laki-laki yang rela didominasi olehnya menawarkan diri untuk jadi selingkuhan Johnny. Tapi tak satupun digubris pria jangkung itu. Karena ia sudah punya Hansol, dan memiliki Hansol itu sudah sangat lebih dari cukup.
Tidak cuma percaya pada Johnny, dengan adanya Yuta di flat milik kekasihnya, Hansol punya motivasi lebih untuk terus mendatangi tempat Johnny meski tempat kerja dan apartement miliknya sendiri sangat jauh dari tempat Johnny. Walaupun pada akhirnya, justru Yuta yang menjadi obat nyamuk di antara sepasang kekasih itu atau yang lebih parah lagi, Yuta perlu memutar musik keras-keras lewat headphone-nya agar desahan-desahan yang membuat dirinya terasa mengenaskan tidak terdengar.
Satu lagi alasan Hansol tak pernah merasa khawatir Yuta tinggal bersama kekasihnya, karena Hansol lebih dari mengerti bahwa Yuta sudah trauma menjalani sebuah hubungan dalam artian romantis.
.
.
April, 2010
"Mulai sekarang kau harus terbiasa untuk bersih-bersih."
Kalimat Taeyong membuat Yuta yang tadinya sibuk mengeluarkan barang pindahan dari kardusnya menoleh dengan alis saling bertaut. Tersinggung, lebih tepatnya karena Taeyong menyindir kebiasaan Yuta yang pemalas. "Kenapa begitu?" tanya Yuta dengan nada sebal, tentu saja.
Pertanyaan itu tentu saja membuat Taeyong mendengus. Buat apa sih, anak itu perlu bertanya segala?, pikir pemuda tampan itu. "Ayolah, Yuta. Jika aku mulai bekerja, aku tak punya waktu untuk bersih-bersih." Sembari menata barang pindahan yang sudah dikeluarkan Yuta, Taeyong menggeleng-geleng heran.
Yuta terkekeh membuat Taeyong meliriknya makin heran. "Aku tahu posisiku di sini, Taeyongie." Yuta melepas barang-barang yang tadi ada di tangannya. Ia berjalan menuju Taeyong dan tanpa berkata apa-apa langsung melingkarkan tangannya di leher Taeyong. "Aku akan melakukan apapun yang bisa membuat kau merasa tak terbebani karena tinggal bersamaku."
Taeyong memandang Yuta sejenak sebelum berhenti menghiraukan barang-barang pindahan yang masih perlu ditata. "Apapun?" Taeyong menuntut penekanan.
"Apapun."
.
.
Mei, 2010
"Apa dasiku sudah rapi?"
Yuta memutar bola matanya kesal. Belum lewat sepuluh menit, Taeyong sudah menanyakan lima pertanyaan yang sama. Artinya, setidaknya Taeyong bertanya tiap dua menit sekali. Yuta yang sibuk menyiapkan bekal―dia memaksa, katanya sengaja agar Taeyong semangat bekerja―berusaha tidak menggubrisnya. Tapi saat merasa Taeyong membuka mulut lagi, Yuta segera menyela sebelum pemuda itu bertanya kembali. "Berhenti mengkhawatirkan dasimu, lebih baik kau minum kopi itu." Yuta membungkus kotak bekalnya dengan sebuah kain. Persis dengan yang ibunya lakukan saat ia masih sekolah dasar.
Taeyong menghela napas. "Yuta, aku gugup."
Yuta menghampiri Taeyong sambil menyerahkan bekal buatannya. "Tidak ada orang yang tidak gugup di hari pertama kerjanya. Aku tahu kau bisa melakukannya." Yuta tersenyum di akhir kalimatnya.
Senyuman yang membuat Taeyong merasa lebih tenang meski sedikit. Secara refleks membuat Taeyong turut melengkungkan bibirnya tipis. "Kalau begitu aku berangkat." Taeyong menyeruput sisa kopi dalam cangkir sebelum bergegas pergi.
Yuta mengantarnya sampai ke depan, menemani Taeyong memasang sepatunya. "Lee Taeyong! Fighting!" Yuta mengepalkan kedua tangannya menyemangati Taeyong.
Sedangkan yang disemangati tak bisa menahan kekehan karena tingkah kekasihnya yang menggemaskan. "Aku pergi dulu." Taeyong menyempatkan diri untuk mendaratkan sebuah kecupan di pipi Yuta sebelum melambaikan tangannya pergi.
Setelah Taeyong menghilang dari balik pintu, Yuta tersenyum lebar sendiri memikirkan apa yang barusan ia lakukan dengan Taeyong pagi ini. Rasanya mereka benar-benar seperti sudah berumahtangga sekarang.
.
.
Mei, 2010
Pengalaman pertama Yuta adalah bersama Taeyong di musim panas tahun kedua sekolah menengah atas mereka. Saat itu kedua orang tua Taeyong berkunjung ke rumah kakak perempuan Taeyong yang sudah menikah, membuat pemuda tampan itu menjadi penjaga rumah seorang diri. Lalu Yuta dengan senang hati menawarkan diri menemani. Entah bagaimana, mereka berakhir saling menjadi bercumbu satu sama lain.
Taeyong selalu memperlakukan Yuta dengan lembut bahkan sejak kali pertama mereka. Selalu. Yang kadang membuat Yuta menjadi seperti orang paling berharga di dunia dan kadang membuat Yuta bosan dan perlu memprovokasi Taeyong sedikit―jangan lupa Yuta itu orang yang menyukai tantangan.
Kalau mengingat-ingat bagaimana ia menggoda kekasihnya, Yuta tidak bisa tidak menahan tawa kecil untuk lolos dari bibirnya.
Taeyong yang baru pulang kerjapun hanya bisa heran. "Kau kenapa?" tanyanya.
"Tidak ada. Hanya mengingat-ingat wajah merahmu saat kugoda," celetuk Yuta ringan tanpa beban.
Taeyong memicingkan matanya. "Jangan membuat dirimu terkesan mendominasiku. Di ranjang aku yang membuat wajahmu merah."
Berbeda dengan Taeyong, mata Yuta melotot. "Siapa yang tidak merah jika prostatmu distimulasi?! Kau juga sama merahnya tuh saat aku bermain dengan―"
"Ssh, Yuta-kun. Kalau kau rindu dengan adik-ku, tinggal bilang."
Lantas Yuta melempar Taeyong dengan bantal yang ada di dekatnya. Taeyong hanya terbahak. Orang bilang dia invidu yang dingin, tapi sebenarnya hanya bingung bagaimana mengungkapkan pikirannya. Saat bersama Yuta, semua terasa nyaman. Taeyong dapat mengutarakan semua yang ia ingin katakan. Termasuk kalimat-kalimat cheesy maupun vulgar.
Hanya saja, Taeyong yang seperti itu tidak baik untuk jantung. Yuta selalu merasakan darahnya berdesir hebat setiap melihat Taeyong yang ekspresif; because he's so damn attractive and that is a fcking problem. Ditambah jika Taeyong sudah seperti itu, biasanya akan diikuti dengan sentuhan-sentuhan tertentu di mana biasanya hanya Yuta yang berinisiatif memulai. Jika Taeyong yang memulai, Yuta rasanya hanya bisa pasrah membiarkan Taeyong berbuat sesuka hati padanya.
Tentu saja, Yuta sendiri sangat menyukainya. Sebenarnya bohong jika ia hanya pasrah. Ia sesungguhnya jauh lebih antusias daripada Taeyong sendiri. Berada di bawah dominasi Lee Taeyong itu nikmat dunia.
Karena pria itu begitu posesif, protektif, lembut, dan bergairah di saat yang bersamaan.
Yuta tak akan protes jika tangan Taeyong sudah bergerak naik turun pada pahanya seperti saat ini. Ia bahkan membuka kakinya semakin lebar, berharap tangan Taeyong juga bergerak ke bagian dalam pahanya, lebih atas lagi kalau bisa pada bagian selangkangannya sekalian. Tetapi Taeyong tampaknya sedang dalam mood bermain lambat kali ini. Yang ia lakukan hanya bermain dengan paha Yuta sambil menyesapi aroma kekasihnya.
Yuta sedikit jengah. Dengan sengaja ia menaikkan kaosnya sehingga memamerkan perut dan dadanya sebelum naik ke pangkuan Taeyong.
"Apa yang kau lakukan, Yuta-kun?" tanya Taeyong pura-pura polos sembari berusaha keras menahan kekehannya.
Yuta memutar bola matanya kesal sebelum dengan sengaja mencium bibir Taeyong panas. Menggunakan lidahnya untuk menggoda Taeyong sedang tangannya menekan tengkuk Taeyong memperdalam pagutan mereka.
Taeyong menyeringai. Yuta yang tidak sabaran itu salah satu favoritnya. "Yukkuri, yukkuri. Pelan-pelan," desis Taeyong saat ia memberi jarak antara bibirnya dan milik Yuta meski di detik berikutnya ia kembali meraup bibir plum kesukaannya. Tangannya yang tadi hanya berminat dengan paha Yuta bergerak naik menuju bokong milik Yuta.
Sejak tangan Taeyong bertemu dengan bokongnya, Yuta tidak berhenti mendesahkan nama Taeyong meski sesekali teredam oleh ciuman mereka. Berisik, seperti gadis-gadis negara Yuta berasal di video dewasa yang ia tonton saat remaja. Tapi Taeyong pribadi menyukai itu. Suara Yuta selalu ampuh membuat libidonya naik. Terutama ketika ia sengaja bermain dengan titik sensitif Yuta, maka pemuda yang entah sejak kapan sudah di bawahnya itu akan menaikkan nada suaranya beberapa oktaf dan itu terdengar lucu sekaligus sensual di pendengaran Taeyong.
Namun bagaimanapun juga favorit Taeyong tetap suara Yuta yang memohon untuk segera dimanjakan atau dimasuki. Ditambah wajah memohon Yuta yang merupakan pemandangan paling erotis yang pernah Taeyong lihat seumur hidup.
Jauh lebih favorit lagi, ketika Yuta bahkan sudah kehabisan suara saat ia datang karena milik Taeyong yang terus menghampiri titik manisnya. Wajah kenikmatan Yuta memberinya kepuasan tersendiri.
.
.
Agustus, 2013
Memasuki kelas, Yuta langsung menghampiri tempat duduk kosong di sebelah Hansol. Wajahnya tertekuk, terlihat jelas ia baru mengalami hal buruk.
Hansol adalah sahabat terbaik yang Yuta punya. Tanpa diberitahu, ia sudah paham apa yang terjadi pada Yuta. Atau mungkin sebenarnya tak perlu menjadi Hansol untuk mengerti bahwa Yuta dalam kondisi tidak baik.
Yuta mengenakan baju turtle neck lengan panjang di bulan agustus yang merupakan puncak musim panas. Jelas sekali ada yang ia sembunyikan pada tubuhnya. Matanya sembab berair. Yuta itu pria kuat yang jarang menangis, tapi jika matanya sampai bengkak begitu, artinya hal buruk telah terjadi. Terakhir, Yuta berkali-kali mengganti posisi duduknya. Ia bergerak tidak nyaman di atas kursinya. Seperti sesuatu mengganjal pada bokongnya.
Dalam sekali lihat, Hansol sudah menyimpulkan. Yuta dihajar habis-habisan oleh Taeyong. Bukan dengan cara yang manis, tetapi kasar dan memaksa. Hansol tahu, karena ini bukan kali pertama ia melihat Yuta dalam keadaan yang sama. Sesungguhnya Hansol sudah terlalu sering melihat Yuta datang ke kampus dalam keadaan demikian.
"Yuta, kurasa sudah saatnya kau mengakhiri hubunganmu dengan pria itu."
Mendengar pernyataan Hansol, Yuta langsung mendongak menatap sahabatnya tidak percaya. "Berhenti menyarankanku untuk meninggalkan Taeyong, Hansol." Yuta membalas dingin, karena sebenarnya Hansol sudah menyarankan hal yang sama berkali-kali.
Hansol memutar bola matanya kesal. "Ayolah, Yuta. Apa yang kau harapkan darinya? Dia sudah menyakitimu terlalu banyak."
"Aku dan Taeyong saling mencintai."
Hansol mendekatkan kepalanya pada Yuta, menatap sahabatnya sangat serius. "Apa kau yakin orang yang selalu menyiksamu itu orang yang mencintaimu? Katakan padaku, Yuta! Kapan terakhir kali Taeyong memagut bibirmu dengan lembut?"
Yuta tidak menjawab. Nyatanya dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Taeyong menciumnya tanpa nafsu, tanpa paksaan, tanpa gigitan.
.
.
Maret, 2016
Tinggal bersama Johnny membuat Yuta juga akrab dengan teman-teman anak sulung Seo itu. Misalnya ada Doyoung yang fisiknya mengingatkan Yuta pada kelinci. Juga ada Ten, pemuda asal Thailand yang selalu membawa tawa bersamanya. Pada dasarnya Yuta adalah orang yang mudah bergaul. Ten dan Doyoung juga adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Jadi tak jarang jika Johnny pergi bersama Hansol meninggalkan Yuta sendirian di rumah, Ten atau Doyoung akan menemaninya. Atau jika Yuta merasa sudah menjadi obat nyamuk pasangan yang lebih mirip twin tower itu, ia akan kabur ke tempat Doyoung maupun Ten.
"Yuta, kau tidak ada proyek baru?" Ten bertanya sambil terus-terusan mengganti saluran televisi karena acara pada pukul dua siang hari memang tidak ada yang menyenangkan.
Yuta yang sedang mencuci piring―titah Johnny sebelum pemuda tinggi itu pergi bekerja―membuang napasnya kasar. "Ya, Chittapon! Kalau ada, aku tidak akan mencuci piring seperti seorang pembantu saat ini." Yuta mengerinyit melihat saus bersisa di atas piring. Siapa sih yang menaruh banyak saus tapi tidak dihabiskan? Padahal dirinya sendirilah orangnya.
"Siapa tahu kau sudah menerima suatu tawaran proyek tapi belum mulai mengerjakannya?" Ten mengangkat bahu. "Kalau begitu besok kau juga menganggur, kan? Temani aku menonton Zootopia! Doyoung selalu menolak saat kuajak. Sejak berkencan dengan Jung Jaehyun itu dia jadi suka sibuk sendiri, huh!"
Yuta terkekeh mendengar kalimat terakhir Ten. Ten dan Doyoung memang sahabat sehidup semati walau dari luar mereka tampak seperti air dan minyak. Mendengar Ten yang sebal ditinggal Doyoung yang baru punya pacar itu terdengar seperti seseorang yang sedang cemburu. "Ide bagus. Aku juga sudah lama tidak menonton." Ya, walaupun Yuta enggan membahas bagian Doyoung karena Ten akan berceloteh panjang lebar setelahnya.
Ten lantas melempar remote televisi, membalikkan badannya menghadap Yuta yang sedang mencuci piring―ruang televisi dan dapur tidak punya sekat, omong-omong. "Berarti sudah diputuskan!"
.
.
Desember, 2010
Malam natal selalu Yuta habiskan bersama Taeyong sebelum saat hari natalnya mereka berkumpul dengan keluarga masing-masing. Tetapi tahun ini berbeda, karena ia dan Taeyong akan menjalani natal berdua. Malamnya dan harinya. Yuta sangat bersemangat dengan natal pertamanya yang ia rayakan bersama Taeyong sejak mereka tinggal berdua. Ia sudah membeli kue di toko langganannya. Sebenarnya ia ingin membuatnya sendiri, tapi Taeyong akan marah jika ia ketahuan merusak dapur. Yuta bukannya tidak bisa memasak, namun memanggang kue levelnya terlalu tinggi untuk seorang pemalas seperti Yuta.
Pukul delapan malam, harusnya Taeyong sedang dalam perjalanan pulang dari tempat kerja. Karenanya, Yuta mulai menata meja. Mempersiapkan hal segalanya. Duduk manis di sofa menonton televisi yang penuh dengan acara bernuansa natal.
Tapi sampai ia tak sengaja terlelap di ruang tv pun, Taeyong belum pulang.
.
Taeyong membenci atasannya lebih dari apapun yang ada di dunia ini. Ada banyak alasan, tapi untuk hari ini karena pria paruh baya itu memforsir kerjanya. Ia harus lembur di malam natal. Mengerjakan pekerjaan untuk deadline yang tidak masuk akal. Begitu sibuknya ia sampai tidak sempat memberitahu Yuta akan keterlambatannya pulang. Taeyong tidak dapat berkonsentrasi karena merasa bersalah pada Yuta membuat perkerjaannya semakin lambat. Taeyong bahkan mengerang frustasi mengetahui pekerjaannya selesai saat hari sudah berganti. Padahal atasan sialan yang yang memberinya pekerjaan ini sudah pulang semenjak tadi dengan alasan misa natal. Taeyong ingin mengumpat.
Cepat-cepat ia bergegas pulang. Namun secepat apapun ia berlari, secepat apapun ia meminta taksi untuk melaju, pada akhirnya ia hanya bisa mengecup lembut bibir seorang Yuta yang sudah terlelap sebagai perayaan natal mereka sebelum menggendong kekasihnya ke tempat tidur yang lebih nyaman.
.
.
Januari, 2011
Taeyong pulang dengan membanting pintu membuat Yuta yang sedang mencuci piring kaget luar biasa―sebenarnya ia bahkan menjatuhkan gelas, beruntung hanya gelas plastik. Yuta membilas tangannya sekilas sebelum menghampiri Taeyong yang sudah membuang asal tas kerjanya. Yuta semakin heran, karena tidak biasanya Taeyong dengan sengaja memberantaki ruangan meski hanya sekedar tas yang tergeletak asal.
"Okaeri, Taeyong?" sambut Yuta terdengar ragu. Biasanya Taeyong selalu suka saat Yuta menyambutnya seperti itu―Yuta dan budayannya adalah perpaduan yang kawaii. Tapi entah mengapa, bahkan Yuta sendiri ragu untuk mendekat saat melihat keadaan kekasihnya saat ini.
Benar saja. Taeyong tidak menggubris sambutannya. Hanya duduk frustasi sambil meremat rambutnya.
Yuta menimbang-nimbang apakah ia harus menghibur Taeyong atau membiarkan pria itu sendirian lebih dulu. "Aku akan kembali mencuci piring. Kalau kau butuh sesuatu katakan saja." Pada akhirnya Yuta memilih membiarkan Taeyong mendapat waktunya sendiri. Lagipula Yuta bisa kena marah kalau Taeyong tahu ia belum selesai membersihkan dapur yang seharusnya ia kerjakan sejak sore tadi.
"Kau seharusnya peka." Tetapi Taeyong dengan suara dinginnya menghentikan langkah Yuta.
"Maaf?" Yuta berbalik.
"Tidakkah kau lihat aku sedang frsutasi di sini? Seharusnya kau bawakan aku segelas air dingin dan hibur aku."
Yuta mengerjap matanya. "Kukira kau butuh waktu sendiri. Jadi, aku―"
"Nakamoto Yuta, aku sedang lelah. Jangan membantahku!"
Lelah? Halo, Yuta adalah seorang mahasiswa teknik mesin yang terkenal dengan senioritas dan pratikum yang ketat. Belum lagi tugas besar yang selalu hadir di penghujung semester. Yuta juga lelah tapi tak pernah mengeluhkannya di depan Taeyong yang sudah bekerja. Yuta jadi dongkol sendiri. Mungkin tak pernah mendengar Taeyong mengeluh sebelumnya, bentakan Taeyong jadi terdengar menyebalkan. "Jangan kekanakan, Lee. Dinginkan pikiranmu dulu," balas Yuta sambil kembali bergerak menuju dapur. Kali ini tujuannya bukan cucian yang perlu diurus tapi lemari pendingin untuk segelas air yang diminta Taeyong.
BRAK!
Kemudian Taeyong lagi-lagi mengagetkan Yuta. Kali ini karena Taeyong tiba-tiba membanting meja sebelum kembali menjambak rambutnya sendiri frustasi.
Yuta berlari kecil menghampiri Taeyong tanpa sempat mengambilkan kekasihnya segelas air. "Taeyong-ah, kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Kau masih bertanya?!" Taeyong membalas dengan sebuah teriakan nyaring.
Lalu itu adalah ketiga kalinya Taeyong mengagetkan Yuta. Yuta selama ini memang selalu takut pada Taeyong yang sedang marah. Tapi kali ini Taeyong jauh lebih dingin, jauh lebih menakutkan. Ia sampai tidak mampu berkedip begitu terkejutnya. Sedikit, ia menyiratkan ekspresi takut dalam tatapannya.
Taeyong yang memperhatikan Yuta, perlahan napasnya mulai lebih tenang. Air mukanya mulai melembut. Detik berikutnya ia langsung memeluk Yuta. "Astaga. Maafkan aku!" seru Taeyong penuh penyesalan.
Taeyong sendiri tak menyangka akan datang hari di mana emosi menguasai pikirannya sampai ia membentak orang yang paling ia sayangi di dunia ini. Taeyong mengeratkan pelukannya mengingat apa yang terjadi hari ini. Apa yang membuatnya sampai berteriak di depan muka Yuta. Taeyong merasakan usapan halus pada punggungnya, ia tahu itu bentuk usaha Yuta untuk menenangkannya.
Lalu Taeyong menangis dibuatnya.
"Ssh, Taeyong. Ada apa? Ceritakan padaku," ucap Yuta lembut sambil masih setia mengusap punggung Taeyong.
Isak Taeyong semakin menjadi. Tetapi ia hanya terus meminta maaf tanpa menceritakan masalahnya.
Bahkan terus begitu, di hari-hari berikutnya. Sampai usapan di punggung tidak lagi dapat meredakan emosi Taeyong.
.
.
September, 2012
"Kau terlihat buruk." Hansol berkomentar begitu Yuta menjatuhkan bokongnya ke sofa tamu apartemen Hansol. Pria tinggi itu pun melenggang ke dapur mengambil minuman untuk pria yang mendengus akibat komentar yang ia lontarkan barusan. Sebenarnya Hansol tak pernah menyuguhkan minuman jika Yuta berkunjung karena lelaki Jepang itu akan mengambilnya sendiri tanpa dipersilakan. Tapi karena hari ini Yuta tampak terlalu lesu, bahkan pancaran matanya mati, Hansol tak punya pilihan lain. Hansol kembali dengan sebotol besar jus jeruk dan dua gelas kosong. Menuangnya ke salah satu gelas lalu memberinya pada Yuta. Membiarkan temannya menyesap minuman itu sebelum ia tanyai macam-macam.
"Jadi?" tanya Hansol setelah merasa waktunya cukup tepat.
Yuta tidak langsung menjawab. Ia masih merasa ragu.
Hansol tidak memaksa. Membiarkan sahabatnya mempersiapkan hati lebih dulu.
"Taeyong berlaku kasar padaku," tutur Yuta pada akhirnya. Meski begitu ia masih ragu, lihat saja sekarang ia menggigit bibirnya.
Sedang Hansol hanya bisa mendengus. Ia sudah sangat menebaknya. Memang apalagi yang bisa menyebabkan Yuta berjalan terseok, sensitif dengan sentuhan kecil, mengaduh kesakitan saat tak sengaja menyenggol perutnya, suara parau tiba-tiba padahal temannya sedang tidak flu, atau yang paling parah mata sembab yang Yuta sembunyikan di balik poni panjangnya? Tak jarang Yuta membolos kuliah dan Hansol kira alasannya karena kondisi Yuta terlalu buruk untuk keluar dari apartemennya. Kira-kira Yuta sudah begitu sejak awal tahun. Awal tahun dan sekarang sudah musim gugur! Hansol memang tak pernah mengungkitnya karena tidak enak pada Yuta. Ia menunggu temannya bercerita lebih dulu, dan sekarang saat itu baru tiba.
"Dia memukulku. Juga menendangku." Yuta lanjut bercerita.
Tapi jika dipikir-pikir, Yuta sampai tidak bercerita selama itu, Hansol tidak bisa tidak heran. Yuta terlalu menyayangi kekasihnya yang bahkan menendang dan memukulnya.
"Dia sering pulang sambil marah-marah padahal tidak mabuk."
Hansol masih diam mendengarkan.
"Merancau tentang pekerjaannya yang berat lalu melampiaskan rasa stresnya padaku."
Tangan Hansol mulai mengelus punggung Yuta, berharap bisa memberi kekuatan pada sahabatnya lewat sana.
"Dia sudah merusak barang beberapa kali."
Kali ini, Hansol memilih untuk mulai berbicara. "Apa hanya itu, yang ia lakukan padamu?"
Yuta pun mendongak menatap Hansol nanar.
.
.
Maret, 2014
Taeyong sedang bersiap pergi bekerja. Ia menyesap kopinya seperti pagi-pagi yang biasanya. Yuta sendiri juga terlihat sedang bersiap pergi ke suatu tempat. Taeyong melihat sesuatu yang tidak biasa, memutuskan untuk bertanya. "Mau ke mana? Kau sudah selesai sidang. Sudah tidak ada urusan ke kampus."
Yuta mendengus. "Jangan ngawur. Selesai sidang tidak lantas semua urusanku selesai," balas Yuta agak kurang ramah.
Taeyong mendelik. "Tapi kuyakin urusanmu kampusmu tidak perlu sepagi ini."
"Memang. Tapi aku akan ke tempat Hansol dulu sebelum ke kampus. Ada beberapa hal yang aku perlukan dengannya."
"Hansol lagi?" Intonasi Taeyong sangat dingin. Sesungguhnya Yuta benci jika suara Taeyong sudah seperti ini. Kalau mengingat apa yang terjadi belakangan, nada Taeyong yang seperti ini sama dengan pertanda buruk.
Yuta menghirup napas dalam-dalam sebelum membalikkan badannya menghadap Taeyong. "Lagi?" Ia menatap lurus pada Taeyong. "Maksudmu dengan lagi?"
Taeyong membuang napas kasar. "Kau terlalu sering mendatangi pria Busan itu. Apa yang kau lakukan bersamanya?"
Yuta memutar bola matanya malas. "Banyak, tapi tak satupun di antaranya perlu kau khawatirkan."
Taeyong menatap Yuta tajam. Ia meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong. Ia berdiri tanpa berkata apa-apa. Mengambil tas kerjanya dan bergegas menuju pintu depan untuk memasang sepatu. Yuta menjadi heran. Kenapa Taeyong hanya diam saja, padahal biasanya dia selalu membalas kata-kata Yuta jika ia sudah dalam mode dinginnya itu. Selesai dengan sepatunya, Taeyong mengambil kedua kunci pintu depan.
Tunggu, keduanya?
"Kau tidak boleh keluar hari ini," tukas Taeyong sebelum akhirnya menutup pintu dari luar serta menguncinya.
"Tunggu, apa?!" Yuta lantas berteriak melengking. Berusaha membuka pintu dari dalam. Melirik ke tempat biasa mereka menaruh kunci, tidak ada apa-apa di sana. "Taeyong buka pintunya!" Yuta menggedor daun pintu beberapa kali tapi tak ada sahutan dari luar.
Ya, Tuhan. Jangan bilang kalau ia dikurung di apartemennya sendiri.
.
.
April, 2014
Taeyong baru kembali dari tempat kerjanya sambil memijat pelipisnya yang pening. Saat membuka pintu apartemennya, ia menemukan keadaan gelap gulita. Yuta lupa menyalakan lampu? Tidak biasanya. "Yuta!" panggil Taeyong sambil menyalakan lampu. Ia tidak suka gelap. Ada hal-hal yang membuatnya selalu merasa naik darah tiap melihat kegelapan. Darahnya sudah naik akibat gelap, dan sekarang panggilannya tak ada yang menyahut. Sungguh, ia sudah bersiap untuk mengamuk sekarang. "Yuta!" Sekali lagi Taeyong meneriakkan nama Yuta namun masih sama, nihil tanpa respon. Merasa heran, Taeyong mengelilingi apartemen mereka. Mencari Yuta di setiap ruangan. Dapur, kamar mandi, kamar mereka, beranda. Ia tak menemukan sosok Yuta di mana pun. Terlebih, entah hanya perasaannya atau bukan, ia merasa tidak melihat barang-barang milik Yuta pada tempatnya biasa berada. Memang kapan Yuta memindahkan barang-barang itu?
Geram, Taeyong mengambil ponselnya. Dengan cepat menghubungi Yuta. Nada sambung terdengar, namun begitu teleponnya tersambung ia malah mendengar nada dering dari kamar mereka.
Taeyong tertegun. Perlahan ia memasuki kamarnya, mencari sumber suara. Ia menemukan ponsel milik Yuta berdering di atas meja nakas. Taeyong memutuskan telepon sebelum mengambil ponsel milik Yuta. Kenapa Yuta tidak membawa ponselnya? Tidak biasanya karena Taeyong yakin kebiasaan Yuta yang tak bisa lepas dari gadget belum berubah.
Taeyong berniat memainkan ponsel milik Yuta, mencari tahu ke mana anak itu pergi. Siapa tahu ia sedang berjanji pergi dengan seseorang dan jejak chat mereka masih tertinggal. Tapi belum Taeyong membuka aplikasi apapun, matanya dibuat membulat lebar oleh homescreen yang Yuta pasang.
Sebuah tulisan tangan milik Yuta sendiri. Isinya membuat Taeyong spontan membanting ponsel milik Yuta ke dinding. Berteriak frustasi sebelum memberantaki kamarnya sendiri.
.
.
Jangan cari aku, aku tidak akan kembali. Selamat tinggal, Taeyong.
- Yuta.
.
.
TBC
A/n: Proudly present fic baru di saat masih ngutang sekian multichap fic dan belum ada yang ditamatin /dor. Dan inilah dia fic hasil dari hasrat(?) ingin menyiksa Yuta /WOI. Ujung-ujungnya kekerasannya juga implisit aja karena saya ga tega bikin Taeyong jadi orang tegaan TvT Free tamvar kok.
Niatnya mau jadiin oneshoot sepanjang apapun hasilnya dan ternyata saya memang butuh motivasi lebih buat lanjut fic ini *sighs* Anyway, ini cuma twoshoot, kok.
Thanks for reading :*
PS. WinKunnya ada chapter depan kok :(