Halfway To The Grave

(Sang Pemburu Vampir)


Original Story

Novel Halfway To The Grave by Jeaniene Frost

.

.

Saya bukanlah pengarang aslinya. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya jika ada yang tidak berkenan Novel ini saya jadikan versi chanbaek.

Selamat membaca~

Muahh :)


Byun Baekhyun perempuan berdarah separuh vampir separuh manusia yang pemarah dan bermasalah dengan orangtua.

Park Chanyeol si vampir kuno seksi sekaligus pembunuh bayaran yang sudah berusia ratusan tahun.

Di tengah-tengah pertarungan antara perasaan dan akal sehatnya.

Sanggupkah Phonix meluluhkan hati Bek?

.

.

BAB 1

.

.

Tubuhku kaku saat cahaya merah dan biru bersinar di belakangku, karena tidak mungkin aku bisa menjelaskan apa yang ada di bagian belakang mobilku. Aku menepikan mobilku, menahan napasku saat Sherif datang ke samping jendelaku.

"Hai. Apa ada yang salah?" nada suaraku terdengar tidak bersalah sementara di dalam hati aku terus berdoa agar tidak ada yang tidak biasa dengan mataku. Kendalikan dirimu. Kau tahu apa yang terjadi jika kau sedang marah.

"Lampu belakangmu pecah. Tolong perlihatkan SIM dan STNK."

Sial. Itulah yang terjadi jika ada beban di bak belakang mobil trukku. Pada saat itu, kecepatanlah yang penting, bukan kemulusan body mobil.

Aku memberikan SIM asliku, bukan yang palsu. Polisi itu mengarahkan senternya secara bergantian ke SIM dan wajahku.

"Byun Baekhyun. Kau putri Byun Taeyeon, ya? Dari Perkebunan Ceri Byun?"

"Iya, Sir." Sopan dan santai, seolah aku tidak sedang menghadapi masalah besar.

"Nah, Baekhyun, sekarang sudah hampir pukul empat pagi. Kenapa kau berada di luar selarut ini?"

Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya tentang kegiatanku, kecuali bila aku memang ingin mencari masalah. Atau ingin mendekam di balik terali besi.

"Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk berkeliling."

Yang membuatku takut, polisi itu berjalan ke bagian bak trukku dan mengarahkan senternya ke sana.

"Apa yang ada di belakang sini?"

Oh, bukan sesuatu yang tidak biasa. Hanya mayat yang tersembunyi di balik beberapa karung dan sebilah kampak.

"Karung-karung berisi ceri dari perkebunan kakekku."

Jika jantungku bisa berdetak lebih keras lagi, pasti membuat polisi itu tuli.

"Benarkah?" dengan cahaya senternya polisi itu mengintip ke balik terpal plastik. "Salah satunya bocor."

"Jangan khawatir." Suaraku terdengar hampir melengking. "Memang selalu saja ada yang bocor. Itu sebabnya aku membawanya dengan truk tua ini. Ceri-ceri itu akan meninggalkan noda merah di bagian bawah bak."

Kelegaan besar menyapuku ketika polisi itu menghentikan penyelidikannya dan kembali ke samping jendelaku.

"Dan kau berkeliling selarut ini karena kau tidak bisa tidur?" Mulut polisi itu melengkung curiga. Tatapannya beralih ke tank top-ku yang ketat dan rambutku yang acak-acakan. "Kau pkir aku akan percaya?"

Kecurigaan polisi itu terbaca jelas dan aku nyaris saja kehilangan ketenangan diriku. Polisi itu berpikir aku keluar untuk tidur entah dengan siapa. Tuduhan yang tak terucapkan terasa di antara kami. Kelakuanmu sama seperti ibumu, ya? Tidak mudah untuk hidup sebagai anak haram di kota kecil, orang-orang cenderung meremehkanmu. Di zaman seperti sekarang, kau mungkin menganggap itu bukan masalah, tapi di Licking Falls, Ohio, ada standar berbeda. Penduduknya masih berpikiran kuno.

Dengan sekuat tenaga, aku menahan amarahku. Sisi kemanusiaanku cenderung mengelupas seperti kulit tipis setiap kali aku marah.

"Bisakah kita merahasiakannya di antara kita berdua saja, Sherif? Aku mengerjapkan mataku dengan gaya polos. Toh, cara itu berhasil dengan orang mati. "Aku janji tidak akan melakukannya lagi."

Tangan polisi itu menyusuri ikat pinggangnya saat mempertimbangkan permintaanku. Perutnya yang besar membuncit di balik kemejanya, tapi aku menahan diri untuk tidak berkomentar tentang ukuran tubuhnya atau fakta bahwa ia berbau bir. Akhirnya, polisi itu tersenyum, menampakkan gigi depannya yang tonggos.

"Pulanglah, Byun Baekhyun, dan betulkan lampu belakangmu."

"Baik, Sir!"

Merasa bersyukur karena berhasil lolos, aku segera menyalakan mesin trukku dan melaju pergi. Nyaris saja. Lain kali aku harus lebih berhati-hati.

.

.

.

Orang-orang mengeluhkan tentang memiliki ayah seorang pecundang atau rahasia besar dalam keluarga mereka. Aku mengalami keduanya. Oh, jangan salah paham, bukan berarti sejak awal aku mengetahui tentang apa aku sebenarnya. Ibuku, satu-satunya orang yang mengetahui rahasia itu, baru mengatakannya padaku saat aku berusia enam belas tahun. Aku tumbuh dengan kemampuan yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain, tapi saat aku menanyakannya pada ibuku, ia menjadi marah dan melarangku membicarakannya lagi. Aku belajar untuk menyimpan semua itu dan menyembunyikan perbedaan yang kumiliki. Bagi semua orang, aku hanya aneh. Tidak punya teman. Suka berkeliaran di waktu yang tidak wajar dan memiliki kulit pucat yang tidak biasa. Bahkan, kakek-nenekku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, tapi toh orang-orang yang kuburu juga tidak mengetahuinya.

Sekarang, akhir pekanku memiliki pola tersendiri. Aku pergi ke klub mana pun yang berada dalam jangkauan tiga jam perjalanan mobil untuk mencari mangsa. Bukan mangsa untuk diajak tidur seperti yang dikira si Sherif tadi. Aku minum dan menunggu sampai seseorang yang spesial itu menjemputku. Orang yang aku harap bisa kukubur di halaman belakang, jika aku tidak terbunuh lebih dulu. Aku sudah melakukannya selama enam tahun belakangan ini. Itu adalah tindakan yang berbahaya dan sama saja dengan bunuh diri. Lucu memang, karena secara teknis aku sendiri sudah setengah mati.

Itu sebabnya, nyaris bersinggungan dengan hukum tidak menghentikanku untuk pergi keluar pada hari Jumat berikutnya. Setidaknya, dengan cara ini aku bisa membuat satu orang bahagia. Ibuku. Yah, ibuku punya hak untuk memendam dendam. Aku hanya berharap ia tidak melampiaskannya padaku.

Musik di dalam klub yang menghentak keras membuat denyut nadiku berdetak lebih kencang. Denngan berhati-hati aku menyeruak kerumunan, mencari getaran yang satu itu. Tempat itu penuh, situasi khas Jumat malam. Setelah berkeliling selama hampir satu jam, aku merasakan cengkraman kekecewaan yang pertama. Tampaknya di sini hanya ada manusia biasa. Sambil menghela napas, aku duduk di bar dan memesan gin-tonik. Pria pertama yang mencoba membunuhku yang memesankan minuman itu untukku. Sekarang, itu menjadi minuman pilihanku. Siapa yang bilang aku tidak bisa sentimentil?

Secara berkala pria menghampiriku. Ada sesuatu tentang statusku sebagai wanita lajang yang seolah berteriak "goda aku" pada mereka. Dengan sopan dan sesekali dengan ketus aku menolak mereka, tergantung seberapa keras kepalanya mereka. Aku datang kesini bukan untuk mencari teman kencan. Setelah pacar pertamaku, Daehyun, aku tidak pernah ingin berkencan lagi. Jika pria yang menghampiriku masih dalam keadaan hidup, aku, tidak tertarik. Tidak heran aku tidak memiliki kehidupan percintaan yang bisa kubanggakan.

Setelah minum tiga gelas, aku memutuskan untuk meninggalkan klub, karena sepertinya aku tidak beruntung di sini. Sekarang sudah hampir tengah malam, dan sejauh ini tidak ada yang kutemukan selain alkohol, narkotika, dan dansa.

Bilik-bilik ditempatkan di sudut terjauh klub ini. Saat aku berjalan melewatinya, aku merasakan sesuatu yang tidak biasa. Seseorang, atau sesuatu, sedang mendekat. Aku berhenti dan berputar pelan, berusaha untuk menemukan lokasi keanehan itu.

Di balik bayangan dan cahaya remang-remang, aku melihat puncak kepala seseorang sedang menunduk. Rambutnya terlihat berwarna putih di bawah cahaya yang berkedip-kedip, tapi kulitnya tidak berkerut. Cekungan dan lekukan terlihat semakin jelas saat pria itu menengadah dan melihatku sedang menatapnya. Alis pria itu terlihat sedikit lebih gelap daripada rambutnya, yang ternyata berwarna platinum. Mata pria itu juga sama gelapnya, terlalu dalam bagiku untuk bisa menebak apa warna pastinya. Tulang pipi pria itu terlihat seperti dipahat dari marmer, dan kulit berwarna kreamberlian yang tidak sedikit pun bernoda tampak berkilau dari balik kerah kemejanya.

Bingo.

Sambil menyunggingkan senyuman palsu, aku berjalan melewati sesorang yang jalannya terhuyung karena mabuk dan duduk di seberang pria itu.

"Halo, Tampan," sapaku dengan suara paling menggoda.

"Jangan sekarang."

Nada suara pria itu terdengar tegas, dengan logat Inggris yang kental. Aku mengerjapkan mata dengan bodoh selama beberapa saat, berpikir mungkin aku terlalu mabuk sehingga salah mendengar perkataan pria itu.

"Maaf?"

"Aku sedang sibuk." Pria itu terlihat tidak sabar dan sedikit kesal.

Kebingungan menguasai diriku. Apa mungkin aku keliru? Untuk sekedar memastikan, aku mengulurkan tangan dan menyusurkan jariku ke atas tangannya. Kekuatan besar nyaris terlonjak keluar dari kulit pria itu. Sudah pasti bukan manusia.

"Aku bertanya-tanya, hmm..." aku membiarkan kata-kataku menggantung, berusaha mencari istilah yang lebih menggoda. Sejujurnya, hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, jenis seperti pria ini mudah digoda. Aku tidak tahu bagaimana mengatasi masalah ini seperti seorang wanita pengibur profesional.

"Mau bercinta denganku?"

Kata-kata itu terlontar begitu saja, dan aku ngeri sendiri setelah mengatakannya. Aku nyaris saja menutup mulutku dengan telapak tangan, karena tidak pernah menggunakan kata itu sebelumnya.

Pria itu menoleh dengan bibir melengkung senang, isyarat penolakan berikutnya. Mata pria itu menatapku dengan sorot menilai.

"Pemilihan waktu yang tidak tepat, Luv. Kau harus menunggu. Jadilah burung yang baik dan terbang menjauh, aku akan menemukanmu nanti."

Dengan sentakan tangannya, pria itu mengusirku. Dengan pikiran kosong aku bangun dan beranjak pergi, menggelengkan kepalaku karena situasi yang tidak terduga ini. Sekarang, bagaimana aku bisa membunuhnya?

Dalam keadaan bingung, aku pergi ke toilet wanita untuk memeriksa penampilanku. Rambutku terlihat rapi, meskipun warnanya lebih terlihat merah daripada biasanya, dan aku mengenakan tank top keberuntunganku, yang telah membuat dua pria menuju ajal mereka. Kemudian aku memeriksa deretan gigiku. Tidak ada yang mennyangkut di sana. Terakhir, aku mengangkat lenganku dan mengendus bagian ketiakku. Aku tidak mencium aroma tidak sedap. Kalau begitu kenapa? Sebuah pikiran terlintas dalam otakku. Apa mungkin pria itu gay?

Sambil memandang pantulan diriku sendiri di cermin, aku mempertimbangkan kemungkinan itu. Segalanya mungkin-aku buktinya. Mungkin aku bisa mengawasinya. Mengikuti pria itu setiap kali ia bersama dengan seseorang, pria atau wanita. Setelah membuat keputusan itu, aku melangkah keluar dengan tekat baru.

Pria itu sudah pergi. Meja tempatnya tadi duduk sudah kosong, dan tidak ada jejak baunya di udara. Dengan tergesa-gesa aku mencari ke sekeliling bar, lantai dansa, dan bilik lain. Tidak ada. Aku pasti terlalu lama membuang-buang waktu di toilet. Sambil mengutuk diriku sendiri, aku berjalan kembali ke bar dan memesan minuman lagi. Meskipun alkohol tidak mampu menumpulkan indraku, tapi aku harus minum sesuatu, dan aku merasa sangat tidak produktif.

"Wanitia cantik tidak seharusnya minum sendirian," terdengar suara di sampingku.

Sewaktu berbalik untuk memberikan penolakan, aku langsung terdiam saat melihat pengagumku ternyata setampan Lee Min Ho. Rambut pirang dengan semburat yang lebih gelap daripada pria sebelumnya, dan mata berwarna biru kehijauan.

"Sebenarnya, aku benci minum sendirian."

Pria itu tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang rapi. Semakin besar dorongan untuk menggigitmu, sayang.

"Apa kau datang sendirian ke sini?" dengan sikap malu-malu, aku mengedip-ngedipkan bulu mataku pada pria itu. Aku bersumpah, yang ini tidak akan lolos lagi.

"Aku sangat berharap kau yang datang sendirian."

Sekarang suara pria itu terdengar pelan, sementara senyumannya lebih dalam. Oh Tuhan, mereka memiliki intonasi yang luar biasa. Sebagian besar dari mereka bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai operator telepon seks.

"Yah, aku memang sendirian. Kecuali jika kau mau menemaniku."

Aku membiarkan kepalaku miring ke samping dengan gaya menggoda, sekaligus menampakkan leher polosku. Mata pria itu mengikuti gerakanku, dan dia menjilat bibirnya. Oh, Tuhan, pria itu lapar.

"Siapa namamu, Gadis Cantik?"

"Bek Raven." Itu adalah kependekan dari nama Baekhyun dan warna rambut pria pertama yang mencoba membunuhku. Lihat, kan? Aku sangat sentimentil.

Senyum pria itu melebar. "Nama yang sangat tidak biasa."

Nama pria itu adalah Gu Jun Pyo. Berusia dua puluh delapan tahun dan seorang arsitek, atau begitulah pengakuannya. Jun Pyo baru-baru ini bertunangan, tapi tunangannya mencampakkannya dan sekarang ia ingin mencari seorang wanita yang baik dan menikah. Mendengarkan semua itu, aku berhasil tidak tersedak minumanku. Bualan omong kosong. Kemudian, Jun Pyo memperlihatkan foto sebuah rumah dengan pagar berwarna putih. Tentu saja, Jun Pyo tidak membiarkanku pulang naik taksi-betapa tidak berperasaannya teman fiktifku yang telah meninggalkanku di sini. Betapa baiknya Jun Pyo bersedia mengantarkanku pulang, dan oh, omong-omong, ada sesuatu yang ingin ditunjukkannya padaku. Yah, itu berarti kami memiliki tujuan yang sama.

Pengalaman telah mengajarkanku bahwa, ketimbang alternatif lainnya, mobil akan lebih mudah untuk disingkirkan jika dijadikan tempat pembunuhan. Itu sebabnya, aku berhasil masuk ke kursi penumpang mobil Volksswagen-nya dan berteriak dengan kengerian pura-pura saat Jun Pyo mulai beraksi. Jun Pyo memilih daerah terpencil, sebagian besar mereka memang memilih tempat semacam itu, jadi aku tidak perlu khawatir manusia biasa akan mendengar teriakanku.

Jun Pyo mengikutiku dengan langkah mantap, merasa senang dengan kegugupanku. Berpura-pura terpeleset, aku merintih untuk membuat efek yang meyakinkan, saat Jun Pyo merunduk ke arahku. Wajah Jun Pyo menampakkan sifat aslinya. Senyuman iblis memperlihatkan taring yang tidak tampak sebelumnya, dan mata Jun Pyo yang tadi berwarna biru sekarang berkilau dengan cahaya hijau yang mengerikan.

Aku merangkak, menutupi tanganku yang bergerak ke siku. "Jangan sakiti aku!"

Jun Pyo berlutut, meraih bagian belakang leherku.

"Hanya akan terasa sakit sebentar."

Pada saat itu, aku mulai bertindak. Tanganku mulai melakukan gerakan terlatih dan senjata yang kugenggam langsung menghujam ke jantung Jun Pyo. Aku menghujam berulang kali sampai mulur Jun Pyo membuka lebar dan cahaya memudar dari matanya. Dengan satu pelintiran terakhir, aku mendorong tubuh Jun Pyo dan menyeka tanganku yang berlumuran darah ke celanaku.

"Kau benar." Aku kehabisan napas akibat aksiku barusan. "Hanya terasa sakit sebentar."

.

.

.

Lama setelahnya saat pulang ke rumah, aku bersiul senang. Ternyata malam ini tidak sia-sia. Satu lagi mangsa sudah disingkirkan, mangsa ynag tidak akan lagi berkeliaran di tengah kegelapan malam. Ibuku sedang tertidur di kamar yang kami tempati berdua. Besok pagi baru aku akan menceritakan keberhasilanku malam ini. Itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan ibuku sepanjang akhir minggu ini. Apa ada lagi yang berhasil kau singkirkan, Baekhyun? Ya, tentu saja! Tanpa sedikit pun membuatku terluka atau menjadi korban. Apa lagi yang bisa kuminta?

Bahkan, suasana hatiku sedang baik, dan aku memutuskan untuk mencoba klub yang sama malam berikutnya. Toh, di sana ada penghisap darah berbahaya dan aku harus menghentikannya, iya kan? Jadi, aku menjalankan tugas rumah tanggaku yang biasa dengan tidak sabar. Aku dan ibuku tinggal bersama dnegan kakek-nenekku. Mereka memiliki rumah berlantai dua, yang dulunya merupakan sebuah lumbung padi. Properti yang terisolasi itu, dengan tanah yang berhektar-hektar, ternyata bisa dimanfaatkan. Pada pukul sembilan malam, aku keluar rumah.

Klub itu sepenuh kemarin, karena sekarang malam Minggu. Musiknya sama kerasnya dan wajah tamu sama datarnya. Inisiatifku untuk menyusuri klub ini tidak ada gunanya, membuat suasana hatiku buruk sedikit. Aku menuju ke bar dan tidak menyadar hawa aneh di udara, sebelum aku mendengar suaranya.

"Aku siap untuk bercinta denganmu sekarang."

"Apa?"

Aku beputar, bersiap-siap untuk membuat panas telinga perusuh yang tak di kenal itu, tapi ketika itu juga aku tertegun. Ternyata pria itu. Wajahku merona saat teringat apa yang kukatakan kemarin malam. Tampaknya pria itu juga mengingatnya.

"Ah, yah..." Bagaimana biasanya orang merespons hal itu? "Hmm, minum dulu? Bir atau...?"

"Tidak perlu repot-repot." Pria itu mencegahku memanggil bartender dan menyusurkan jarinya di sepanjang rahangku. "Ayo, kita pergi."

"Sekarang?" aku menoleh ke sekeliling. Bersikap waspada.

"Iya, sekarang. Berubah pikiran, Luv?"

Ada tantangan di mata pria itu dan kilat yang tidak bisa kupahami. Karena tidak mau mengambil resiko kehilangan jejaknya lagi, aku meraih tasku dan berbalik ke pintu.

"Jalanlah lebih dulu."

"Tidak, tidak." Pria itu menyeringai dingin."Wanita lebih dulu."

Dengan beberapa kali menoleh dari atas bahuku, aku mengarahkan pria itu ke tempat parkir. Begitu berada di luar, pria itu menatapku dengan sorot penuh harap.

"Nah, ambil mobilmu dan kita segera pergi dari sini."

"Mobilku? Aku... aku tidak bawa mobil. Di mana mobil-mu?" aku berusaha untuk tetap tenang, tapi dalam hati aku gemetaran. Ini di luar kebiasaan normalku dan aku tidak menyukainya.

"Aku datang ke sini dengan motor. Kau mau naik motor?"

"Motor?" Tidak, tidak bisa. Tidak ada bagasi untuk mengangkut mayat pria itu, dan aku tidak mau membawanya dengan dipalangkan di jok motor. Terlebih lagi, aku tidak tahu cara mengendarai motor. "Hmm, sebaiknya kita menggunakan mobilku saja. Ada di sebelah sana."

Saat aku berjalan menuju ke trukku, aku memperingatkan diriku sendiri untuk berjalan terhuyung. Aku berharap ia berpikir aku dalam keadaan mabuk berat.

"Tadi kau bilang kau tidak bawa mobil," ujar pria itu padaku.

Seketika itu juga aku berhenti, berbalik ke pria itu. Sial, aku memang mengatakannya tadi.

"Aku lupa jika ternyata aku membawanya, itu saja," sangkalku mulus. "Aku pikir aku minum terlalu banyak. Kau mau menyetir?"

"Tidak, terima kasih," hanya itu alasan tertentu, logat Inggris-nya yang kental membuatku terkesima.

Aku mencoba lagi dengan menyunggingkan senyum simpul. Harus pria itu yang menyetir. Senjataku tersimpan di saku kanan celanaku, karena biasanya aku selalu duduk di kursi penumpang.

"Sungguh, aku pikir sebaiknya kau yang menyetir. Aku merasa sedikit pusing. Aku tidak mau membuat kita menabrak pohon."

Ternyata tidak berhasil.

"Jika kau mau menundanya sampai besok malam..."

"Tidak!" Ada keputusasaan dalam suaraku, yang membuat pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Maksudku, kau sangat tampan dan..." Apa yang biasanya dikatakan orangg dalam situasi semacam ini? "Aku benar-benar ingin melakukannya denganmu."

Pria itu tertawa, mata gelapnya berkilauan. Jaket denim terpasang melapisi kemeja berkerahnya. Di bawah sorot cahaya lampu jalanan, tulang pipi pria itu terlihat lebih tajam. Sebelumnya aku tidak pernah melihat fitur wajah yang begitu sempurna.

Pria itu menatapku dari kepala hingga kaki, lidahnya menyapu bagian dalam bibir bawahnya,

"Baiklah kalau begitu, ayo kita pergi. Kau yang menyetir."

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, pria itu naik ke kursi penumpang mobil pikapku.

Karena tidak memiliki pilihan lain, aku naik ke sisi pengemudi dan melaju menuju ke jalan raya. Menit demi menit berlalu, tapi aku tidak tahu harus berkata apa. Kesunyian membuatku gugup. Pria itu tidak bicara, tapi aku bisa merasakan matanya menjelajahi tubuhku. Akhirnya, aku tidak bisa menahannya lagi dan melontarkan pertanyaan pertama yang terlintas di dalam pikiranku.

"Siapa namamu?"

"Memangnya penting?"

Aku menoleh ke kanan dan bertemu pandang dengan pria itu. Mata pria itu berwarna cokelat yang sangat gelap hingga terlihat seperti berwarna hitam. Ada sorot tantangan di dalamnya. Yang jelas, mata itu membuatku gelisah. Padahal mata mangsaku yang lain biasanya menyorotkan kesan ramah.

"Aku hanya ingin tahu. Namaku Bek." Aku keluar dari jalan raya dan berbalik ke jalan berbatu yang mengarah ke danau.

"Bek, hmm? Dari tempatku duduk kau lebih terlihat seperti Bee... lebah kecil."

Kepalaku tersentak dan aku menatapnya dengan sorot jengkel. Oh, aku akan menikmati saat membunuh pria itu.

"Namaku Bek," ulangku dengan tegas. "Bek Raven."

"Terserah kau saja, Bee."

Aku mengerem secara mendadak. "Kau punya masalah, Mister?"

Mata gelap pria itu terangkat. "Tidak ada masalah, Sayang. Apa kita akan berhenti di sini? Kau ingin bermain denganku di sini?"

Suasana hatiku semakin memburuk mendengar suara pria itu yang blak-blakan.

"Hmm, tidak. Sedikit lebih jauh dari sini. Di sana pemandangannya lebih indah." Aku melajukan mobilku ke dalam hutan.

Pria itu tergelak pelan. "Aku yakin itu, Luv."

Ketika trukku berhenti di tempat favoritku, aku menoleh ke arah pria itu. Ia duduk di tempat sebelumnya, tidak bergerak sedikit pun. Tidak mungkin aku bisa mengambil senjata di saku belakang celanaku. Sambil berdehem, aku menunjuk ke pepohonan.

"Kau tidak mau pergi keluar dan... bermain di sana?"

Itu adalah kata yang aneh tapi terdengar lebih baik daripada "bercinta".

Pria itu menyeringai sebelum menjawab. "Oh, tidak. Di sini saja. Aku suka melakukannya di dalam truk."

"Yah..." Sial, apa lagi yang harus kulakukan sekarang? Ini tidak akan berhasil. "DI sini tidak ada cukup ruang untuk bergerak." Dengan penuh kemenangan, aku mulai membuka pintu mobil.

Pria itu tidak beranjak. "Ada cukup ruang, Bee. Aku akan tetap di sini."

"Jangan panggil aku Bee." Suaraku terdengar lebih tajam daripada yang kuniatkan, tapi aku memang benar-benar kesal. Semakin cepat pria itu mati, akan semakin baik.

Pria itu mengabaikan aku."Tanggalkan pakaianmu. Kita lihat apa yang kau punya."

"Apa?" Ini sudah keterlaluan.

"Kau tidak akan berhubungan seks denganku saat masih berpakaian lengkap, kan, Bee?" ujar pria itu. "Aku rasa sebaiknya kau menaggalkan semua pakaianmu. Ayolah. Jangan membuang-buang waktu sepanjang malam."

Oh, aku akan membuat pria itu menyesal. Aku berharap aku bisa membuatnya kesakitan setengah mati. Dengan senyum menantang, aku menatap pria itu.

"Kau saja lebih dulu."

Pria itu menyeringai dengan deretan gigi yang normal. "Kau burung pemalu, ya? Tidak cocok untuk wanita sepertimu, apalagi kau sendiri yang menghampiriku dan memohon padaku untuk menyetubuhimu. Bagaimana jika kita buat kesepakatan? Kita melakukannya bersamaan."

Keparat. Itu adalah kata yang paling kasar yang bisa kupikirkan, dan aku memanamkannya di dalam pikiranku saat aku menatap pria itu sambil membuka kancing celana jinsku. Dengan tidak acuh pria itu membuka ikat pinggangnya, membuka kancing celana, dan mengeluarkan kemejanya. Tindakan itu membuat perut pucat pria itu tersingkap, sampai ke bagian selangkangan.

Ini berjalan lebih jauh daripada yang biasa kulakukan. Aku merasa sangat malu, jari-jariku gemetar, saat aku membuka jinsku dan merogohkan tangan ke dalamnya.

"Lihatlah, Luv, lihat apa yang kumiliki untukmu."

Aku menunduk dan melihat tangan pria itu melingkupi bagian selangkangannya sendiri, sebelum dengan cepat memalingkan wajah. Tanganku sudah menyentuh senjata andalanku, hanya tinggal beberapa detik lagi sebelum...

Akhirnya kesopanan mengalahkan segalanya. Ketika aku berbalik untuk menghindari tatapanku mengarah ke selangkangannya, aku tidak sempat melihat tangan pria itu mengepal. Tinju pria itu bergerak dengan luar biasa cepat untuk menghantam kepalaku. Ada seberkas cahaya yang mengikuti tikaman rasa sakit, dan kemudian kesunyian.

tbc...


semoga saya selamat:') /nda