Suara lenguhan itu terdengar begitu suara berisik dari luar mengusik ketenangannya di pagi hari. Kedua manik hitamnya terbuka lembut, berusaha membiasakan pandangannya dengan cahaya matahari pagi yang merangsak masuk melalui celah jendela. Ten sepenuhnya terbangun, hanya saja kesadarannya belum sepenuhnya kembali.

"Sudah bangun?"

Ten langsung terlonjak begitu suara bass yang familiar itu terdengar cukup dekat dengan telinganya. Lantas lelaki cantik itu mendongak ke atas, dan tatapan keduanya bersinggungan. Yang lebih kecil langsung mendudukkan tubuhnya, mengabaikan Johnny yang masih berbaring di sampingnya sambil memasang senyuman simpul yang membuat wajahnya merona di pagi hari.

"Ku pikir kau akan bangun lebih awal. Tapi saat aku membuka mata, aku menemukanmu dihadapanku."

"Ke-kenapa Hyung tidak membangunkanku?"

"Aku malas saja, lagi pula ini masih pagi. Oh ya, ku pikir kedua matamu sedikit berbeda dari kemarin malam."

Kedua matanya terbelalak, pikirannya melangkah mundur tanpa kendali. Ten tahu jelas alasan kenapa kedua matanya terasa mengganjal seperti sekarang. Semua itu karena pikirannya tak bisa tenang maka dari itu ia menangis di tengah malam seorang diri —sebelum pada akhirnya ia sadar bahwa Johnny mendengar suara tangisannya yang memalukan—.

"A-aku mau mandi duluan, Bibi pasti butuh bantuan di dapur."

Lelaki kecil itu bangkit dari posisinya, melangkah perlahan keluar kamar dengan handuk yang tersampir di bahu kirinya.

.

.

Tubuh kurus milik Taeyong menggeliat di balik selimut tebalnya. Sepasang mata bulat itu terbuka lebar, menatap kosong selama beberapa saat kemudian Taeyong menarik nafas panjang. Selimut yang sempat membalut tubuhnya semalaman itu disampirkan dengan cepat kemudian ia bangkit. Baru saja akan melangkah keluar kamar sampai pada akhirnya ia melihat Jaehyun yang masih tertidur pulas di atas sofa dengan selimut seadanya. Pandangan Taeyong terkunci pada sosok Jaehyun. Matanya mengerjap pelan kemudian Taeyong menahan nafas. Ia tak percaya bagaimana bisa Jaehyun masih terlihat sempurna bahkan dalam kondisi terlelap seperti sekarang. Dan hal itu menghangatkan perasaanya di pagi hari.

Kedua kakinya lantas menuruni ranjang, lalu melangkah menuju kamar mandi dan berakhir dengan menyibukkan diri di dalam dapur. 15 menit setelahnya Jaehyun terbangun, namun tak menemukan Taeyong di dalam kamar ataupun di kamar mandi. Sampai pada akhirnya suara berisik dari arah dapur yang terdengar begitu Jaehyun melangkah keluar kamar. Satu persatu kaki panjangnya melangkah menuruni anak tangga, menghampiri Taeyong yang tengah sibuk membuat sarapan seorang diri.

"Hyung.."

Suara husky Jaehyun refleks mengalihkan perhatian Taeyong. Sosok jangkung dengan wajah bantalnya itu masih berdiam diri di ambang pintu.

"Hei.. Tidurmu nyenyak? Duduklah, aku hampir selesai"

Lelaki jangkung itu tak menjawab, Jaehyun melangkah maju, menghampiri Taeyong yang kembali mengurus masakan di atas kompor yang masih menyala. Tangan-tangan kekar itu mengambil pisau yang tergeletak, kemudian memotong beberapa sayuran dengan sangat lihai. Sebuah pekerjaan yang berbanding terbalik untuk dilakukan oleh orang seperti Jaehyun yang terlihat cukup gagah.

"Jaehyun, aku sudah bilang untuk menunggu di meja makan. Tidak perlu membantu, kau adalah tamu. Jadi aku pantas melayanimu. Kembalilah, biar aku yang mengurus ini."

Benda tajam itu sudah berpindah tangan kepada Taeyong, sedangkan Jaehyun masih berdiri dibelakang Taeyong. Punggung sempit itu menjadi objek pandang sepasang manik hitam itu selama beberapa saat.

"Maaf ya Hyung, aku merepotkanmu."

"Ah tidak masalah, justru aku senang ada seseorang yang mau menemaniku. Rasanya seperti punya teman baru setelah sekian lamanya aku tidak menjalin hubungan dengan orang-orang selain Ten dan juga... Uhm, Yuta."

Jaehyun lihat dengan jelas bagaimana lelaki kecil itu menarik nafas panjang, lalu kembali fokus pada masakannya yang hampir selesai. Jaehyun tahu persis kalau Hyung nya itu tengah berusaha menahan diri untuk tidak terbawa emosi. Satu detik kemudian, pergerakan Taeyong membawa arah pandang Jaehyun untuk sejajar dengan sosok manis itu. Raut wajah yang semula tak menunjukkan ekspresi apapun mendadak tersenyum lebar begitu ia sadar dengan keberadaan Jaehyun.

Jaehyun tahu, Taeyong hanya sedang bermain peran sekarang.

"Makanannya sudah siap, duduklah. Aku akan membawakan makanannya ke meja makan."

Tak ada jawaban dari sosok Jaehyun, ia lebih memilih diam, masih menatap Taeyong yang sibuk membawa makanan yang sudah ia buat ke atas meja

"Ayo makan, setelah itu kau bisa mandi lebih dulu."

Masih tak ada respon. Manik hitam itu masih memperhatikan sosok Taeyong yang mulai menyantap sarapan paginya. Bahkan sarapan yang sudah disiapkan Taeyong untuk Jaehyun sama sekali belum tersentuh oleh lelaki berkulit pucat itu.

"Apakah sesulit itu Hyung?"

Pergerakan tangan Taeyong terhenti, pupil matanya mengarah ke Jaehyun yang mengerjap lembut sambil menghela nafas panjang.

"Apa?"

"Apakah sangat sulit untuk melupakan Yuta Hyung selama beberapa menit saja?"

"Kenapa kau bicara seperti itu?"

"Kau tidak mengerti? Sejak kemarin aku berada disini karena Johnny Hyung dan Ten Hyung. Dan sejak kemarin juga aku melihat Taeyong Hyung yang lain. Tidak, maksudku.. Kau berbeda Hyung. Aku yakin pendapatku ini benar. Aku sudah lama mengenal Hyung meskipun kita tidak sedekat sekarang. Taeyong Hyung tidak seperti ini. Aku tidak ingin bermaksud buruk, tapi tidak bisakah Hyung melupakan masalah Yuta Hyung dan benar-benar tersenyum tanpa ada beban sedikitpun? Aktingmu masih buruk Hyung, sungguh.."

"Jaehyun-ah.."

"Kalau Hyung mau menangis ya menangis saja. Ketimbang menahan semuanya akan lebih baik kalau Hyung mengeluarkan semuanya. Kau tidak mengerti bagaimana rasanya setiap kali melihat Hyung seperti ini? Apa menurut Hyung, Yuta Hyung akan merasa lebih baik kalau Hyung seperti ini?"

Tak ada satupun yang bersuara. Bahkan Jaehyun pun terdiam, menahan nafas sambil menatap lurus ke arah Taeyong yang menundukkan kepalanya. Mengabaikan Jaehyun dan juga sarapan paginya yang baru saja tersentuh beberapa kali. Punggung sempit itu bergetar, suara isakan kecil terdengar samar di telinga Jaehyun.

"Lebih baik Hyung keluarkan semuanya daripada harus menahan emosi. Kau bisa jatuh sakit kalau menahan semuanya, tapi kau akan merasa jauh lebih baik kalau mengeluarkan semuanya. Setidaknya bebanmu berkurang Hyung."

.

.

"Aku sudah selesai."

"Aku mau disana."

"Kau harus habiskan makananmu."

"Bibi ambilkan air."

Suara keributan dari ulah anak-anak panti mendominasi ruang makan berukuran luas itu. Banyak anak yang tak bisa diam, ada yang mengotori lantai, ada yang menangis, dan ada yang merengek minta sesuatu. Setidaknya Ten tak merasa risih karena sebelumnya ia pernah ada diposisi yang sama seperti semua anak-anak disini. Tak ada orang tua, mereka hanya punya Bibi Yoon dan asisten lain sebagai orang tua pengganti. Namun berbeda dengan Johnny yang benar-benar merasa kebingungan harus melakukan apa. Bahkan beberapa anak perempuan terus bergelayut padanya untuk di ajak bermain.

"Ah.. Ku pikir Hyung sangat menarik perhatian para gadis ya?"

Lelaki itu mendesis ke arah Ten sambil bersikap sehalus mungkin untuk melarang anak-anak itu untuk bergelayut di tubuh tingginya. Sedangkan Ten hanya tertawa kecil, kedua tangan kurusnya membawa tumpukan piring kotor kemudian menghampiri Johnny dan anak-anak disekelilingnya.

"Maaf ya, tapi Johnny Oppa harus mencuci piring dengan Oppa."

Gadis-gadis kecil itu mendongak ke atas, memberikan tatapan polosnya ke arah Ten yang tersenyum manis ke arah mereka. Ketiga anak itu kemudian lebih memilih pergi mencari objek lain untuk di ajak bermain. Meninggalkan Johnny seorang yang masih duduk di lantai sambil menarik nafas lega.

"Masa mengatakan hal semacam itu saja tidak bisa. Ayo bantu aku mencuci piring."

Membuat Johnny mengumpati sosok kecil itu dalam hati.

"Hei tunggu aku!"

Pria jangkung itu langsung mempercepat langkahnya sambil membawa tumpukan piring lain menuju wastafel. Disana Ten telah bergerak lebih dulu membersihkan satu persatu piring kotor sekaligus peralatan makan lain dengan spons berbusa ditangannya.

"Taruh disana, hati-hati pecah."

Aksen suara yang terkesan dingin, tak seperti biasanya membuat Johnny melirik Ten dari arah samping. Johnny terdiam, kemudian berdehem dan langsung mengambil satu persatu piring yang telah dibersihkan untuk dibasuh dengan air yang mengalir keluar.

"Tidak mau bertukar, Ten?"

"Tidak, Hyung membilas saja. Kalau piringnya terpeleset dari tanganmu bisa kacau. Ah ya, kalau sudah tolong susun di dalam rak."

Johnny tak memberikan jawabannya, sosok itu justru lebih memilih sibuk membasuh satu demi satu piring dan mangkuk kemudian menatanya di dekat wastafel.

Satu detik kemudian pekerjaan Johnny terhenti, ia masih menunggu Ten yang belum selesai mencuci piring yang tersisa.

"Kau tahu? Wajah bantalmu ini lebih lucu dari biasanya."

"Jadi maksudmu aku terlihat lebih jelek huh?"

"Woah! Bagaimana kau tahu?"

Yang lebih kecil langsung mendesis sambil menyipratkan air ke wajah Johnny. Pria tinggi itu tak membalas, justru tertawa keras karena ekspresi wajah Ten yang lebih terlihat lucu karena menahan amarah. Johnny lebih memilih menarik wajah cantik itu agar persis menatap ke arahnya. Pipi gembul itu ditangkup seraya dicubit sesekali.

"Hei, wajah manismu ini kurang pantas memerankan sosok Ten yang suka marah-marah. Paham?"

Alisnya bertautan, bibir cherry nya mencebik di hadapan Johnny kemudian kedua tangannya melepaskan tangkupan tangan Johnny dengan sedikit kasar.


Dua pasang kaki itu masih tetap pada tempat yang sama seperti kemarin. Satu-satunya tempat yang memang menarik untuk dikunjungi di panti asuhan tua itu hanyalah danau buatan yang masih terjaga sampai sekarang. Aroma khas rerumputan hijau yang menghampar menyambut kedatangan Johnny dan juga Ten yang baru saja tiba. Sama seperti sebelumnya, hanya berdiam diri kemudian berada dalam pikiran mereka masing-masing.

"Dari kemarin kita cuma disini saja, tidak berniat pergi ke pondok itu?"

Suara bass Johnny membuka pembicaraan, jari telunjuknya mengarah ke sebuah pondok kecil yang berdiri kokoh di atas air. Atensinya terambil selama beberapa detik, Ten bahkan baru ingat kalau ada pondok semacam itu di tempat tinggal lamanya ini.

"Kau terlalu banyak berpikir, ayolah."

Cengkeraman halus yang mendarat di pergelangan tangannya membuat Ten tersentak, pikiran pria kecil itu bahkan mendadak kosong entah mengapa. Langkah kaki yang sedikit terburu-buru itu memaksa Ten mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian, takut akan tersandung batu ataupun terpeleset begitu saja.

Kondisi pondok kayu yang terlihat tua dengan beberapa bagian yang mulai rapuh mengharuskan keduanya berhati-hati dalam melangkah. Johnny tiba lebih dulu, tangannya terulur ke hadapan Ten untuk memberikan bantuan sederhana. Johnny tahu benar kalau Ten sedikit khawatir dengan kondisi pondok yang bahkan terlihat hampir roboh itu. Oh okay, ia terlalu hiperbola. Nyatanya tidak seburuk itu.

Situasi yang sama kembali terjadi, saat keduanya persis menempati pondok tersebut. Tak ada pembicaraan, kebersamaan keduanya bahkan hanya terjadi sesaat saja dan terlalu cepat. Mereka terlalu canggung, oh mungkin bukan mereka, tapi Ten saja yang terlalu menjaga jarak.

"Aku tidak terlalu peduli sih.."

Netra hitam itu memicing ke arah suara bass itu terdengar.

"Tapi boleh aku tahu kenapa kau terlalu menjaga jarak dariku?"

Satu menit, lima menit, bahkan hingga sepuluh menit lamanya tak ada suara apapun yang tercipta. Sudah cukup dengan keheningan yang terjadi di antara keduanya, Johnny jengah dengan situasi yang memaksanya ikut menjaga jarak dengan pria kecil itu demi menghormatinya.

"Ten—"

"Kau merasa tidak nyaman ya?"

Johnny mendadak terdiam, rentetan kata yang terdengar barusan menarik atensi Johnny. Tubuh besarnya mengarah pada sosok Ten yang masih betah menatap lurus ke arah perairan berwarna biru kehijauan itu.

"Aku juga tidak tahu kenapa aku menjaga jarak denganmu. Hanya saja aku merasa agak aneh setiap aku berada di dekat Hyung. Tapi di sisi lain aku benar-benar ingin berterima kasih. Kau satu-satunya orang yang mau membantuku mengatasi semua masalah, termasuk... mengembalikan ingatanku lagi. Terima kasih."

"Tapi aku tak bisa mengatakan apapun karena aku merasa tidak enak padamu. Mengingat buruknya perlakuanku dulu padamu. Maaf ya, Youngho Hyung.."

Johnny mencelos dalam hatinya, menatap Ten dengan tatapan tak percaya.

"Hei, bagaimana bisa kau merahasiakan hal ini dariku? Dengan begini aku tidak perlu bersusah payah mengembalikan ingatanmu kembali".

Suara bassnya terdengar di telinga Ten, perhatian lelaki cantik itu teralihkan pada sosok Johnny yang memasang pose menantang, seakan ingin mengajaknya berkelahi sekarang juga.

"Bagaimana aku mau bilang kalau aku saja tidak punya keberanian."

"Jadi selama ini kau ingat semuanya huh?"

Yang lebih kecil tak menjawab, bibir cherry nya mencebik lucu sambil mendongakkan kepalanya ke arah Johnny.

"Tidak semuanya sih, otak ku ini masih perlu proses. Aku juga ingat karena tadi tidak sengaja terbentur jendela dapur. Kepalaku jadi sakit kan. Kau tidak boleh memaksaku untuk mengingat sesuatu, kalau tidak kepalaku bisa meledak Hyung! BOOM! Seperti itu!"

"Kau ingat siapa aku?"

"Kau orang sialan yang seenaknya pergi tanpa memberitahu semua orang. Kemana saja kau selama ini?! Aku mencarimu terus! Aku bahkan menangis setiap hari karena kehilangan teman mainku secara tiba-tiba!"

Raut wajahnya berubah drastis, jauh lebih buruk dari sebelumnya. Kepalanya tertunduk dengan cepat, membuang pandangannya dari Johnny yang perasaannya bercampur aduk.

"Aku membencimu, bodoh.."

Kali ini Johnny tersenyum lebar, ia bahkan menertawakan dirinya sendiri, mengingat bagaimana bodohnya ia selama ini karena telah berhasil tertipu oleh Ten. Kedua tangannya bergerak mengangkat wajah cantik itu untuk berbalik menatapnya. Sedikit terkejut saat mendapati wajah itu basah oleh lelehan air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Entahlah, disisi lain ia merasa bersalah karena telah meninggalkan Ten sejak lama, tapi disisi lain ia benar-benar senang karena lelaki yang lebih pendek darinya itu masih mengingat semuanya.

"Kau tahu? Aku benci perkataanmu barusan Ten."

"Aku lebih membencimu Hyung."

"Jadi aku tidak diperkenankan meminta maaf atas semua kesalahanku dulu?"

"Tidak."

"Ayolah, aku minta maaf untuk semuanya ya Ten. Semuanya~"

Bibir tebal Johnny langsung meraup bibir cherry yang sedikit terbuka itu tanpa persetujuan. Memagutnya dengan cukup lembut hingga membuat hanyut dalam buaian halusnya. Kedua manik hitam itu terpejam erat, mengikuti permainan lembut Johnny dengan mengalungkan kedua tangannya dan memperdalam ciumannya.

Yang lebih kecil justru tak ingin mengalah, Ten berusaha mendominasi meskipun ia tahu benar kalau kenyataan mengatakan kalau Johnny tak akan bisa tertandingi oleh orang lemah sepertinya. Well, Johnny rasa Ten telah berubah menjadi sangat liar secara tiba-tiba. Mereka berdua saling beradu lidah, mengabsen deretan gigi sekaligus mengobrak abrik isi mulut sang submissif.

"Hhh.. Sudah cukup."

Benang saliva entah siapa mengalir turun di rahang keduanya. Baik Johnny maupun Ten saling meraup nafas dengan bebas setelah aksi yang terkesan terlalu tiba-tiba itu telah usai. Wajah Ten sukses memerah dengan kepala tertunduk. Rasa malunya terlambat datang setelah aksi ciuman panjang mereka selesai berlangsung. Ia bahkan tak sadar kalau perilakunya benar-benar diluar nalar. Memalukan.

Kekehan Johnny menginterupsi kilas balik Ten barusan. Kedua telapak tangan besar itu lagi-lagi mengangkat wajahnya, menangkup kedua pipinya yang sedikit berisi kemudian memberikan kecupan singkat.

"Ku pikir tempat ini akan menjadi tempat dimana dua kali ciuman pertama kita terjadi."

"Dua kali ciuman pertama bagaimana maksudmu?"

"Pertama, dulu kita pernah berciuman kan? Well, meskipun cuma saling menempelkan bibir tapi tetap ciuman. Jadi ku anggap itu ciuman pertama kita dalam hal kecup mengecup. Dan sekarang ciuman kita yang pertama dalam hal.. Uhm.. Saling melumat mungkin?"

Well, Ten tahu persis kemana arah pembicaraan Johnny meskipun cara penjelasannya akan membingungkan.

Intinya hanya berbeda cara ciumannya saja.

"Perkataanmu membuatku muak Hyung. Jadi tolong hentikan."

"Sepertinya aku perlu berterima kasih pada jendela dapur. Kalau kau mau ingat lebih banyak aku bisa membenturkan kepalamu dimana pun. Berminat?"

.

.

.

Sepasang netra hitam milik Taeyong masih menatap pantulan dirinya di cermin yang masih dalam proses memakai pakaian. Wajahnya kembali tak berekspresi, kerutan halus pada keningnya seakan memberi isyarat bahwa Taeyong tengah berpikir keras mengenai beberapa hal. Masih hanyut dalam lamunannya, sedangkan kedua tangannya masih sibuk menautkan kancing kemeja hitam pendeknya dengan tatapan kosong.

Mengerjap sekilas kemudian sebuah tarikan nafas keluar dari belah bibirnya. Diam-dia Taeyong melirik ke bagian ranjang melalui pantulan cermin, menelaah jauh hingga menelusuri seisi kamar tidurnya. Jika ada yang bertanya apa yang baru saja ia lakukan, maka sudah jelas ia mencari Yuta. Berusaha membuka kedua matanya lebar-lebar meskipun ia tahu semuanya hanya sia-sia. Orang penuh dosa sepertinya memang pantas mendapatkan penderitaan seperti ini.

Tok! Tok!

"Hyung? Sudah selesai atau belum?"

Suara husky Jaehyun kembali menginterupsi kegiatannya, netra hitam itu memicing ke arah pintu yang tertutup rapat.

"Tunggu sebentar."

Kedua kakinya melangkah perlahan, mengambil ransel yang tergantung di dekat jendela kemudian membuka pintu. Namun Taeyong tak menemukan kehadiran Jaehyun yang semula mengetuk pintu dari luar kamarnya. Melangkah jauh dan semakin jauh, membawa Taeyong ke luar rumahnya dan menemukan Jaehyun yang baru saja selesai mengecek kondisi mesin mobil sebelum melakukan perjalanan.

"Kita mau pergi kemana sih sampai-sampai kau harus mengecek mobilmu?"

Jaehyun tersenyum lepas kemudian bergerak memasangkan sabuk pengaman milik Taeyong dengan sedikit terburu-buru.

"Mencari tempat yang bagus untukmu mungkin? Kau butuh refreshing, bebanmu terlalu banyak sampai kau lupa bagaimana caranya untuk bernafas dengan benar Hyung."

Jaehyun tak terlalu peduli dengan raut wajah Taeyong yang berubah setelah mendengar perkataannya. Setidaknya apa yang ia ucapkan memang benar adanya, memang apa enaknya menopang semua beban sendirian?

Mereka berdua melewati perjalanan yang panjang, benar-benar menjauh dari Seoul hingga membuat Taeyong merasa sedikit khawatir tentang kemana Jaehyun akan membawanya pergi. Perumahan elit sudah terlewati, hanya ada satu dua rumah biasa dan juga hamparan rerumputan hijau yang menghampar. Lalu lima menit setelahnya mereka kembali melewati perkampungan penduduk, lalu melalui jalanan yang berhadapan langsung dengan hamparan perairan biru dan juga pasir putih yang menarik atensi Taeyong.

"Suka dengan apa yang kau lihat Hyung?"

Tak ada respons atas pertanyaan yang diajukan Jaehyun, Taeyong terlalu hanyut oleh suasana yang menenangkan hatinya. Suara kekehan Jaehyun bahkan bagaikan angin lalu, tak di gubris sedikitpun. Taeyong bukannya tak pernah pergi ke pantai, ia sudah beberapa kali berkunjung ke pantai yang berbeda, penuh keramaian, namun suasana yang di hadirkan di tempat yang lagi-lagi berbeda itu sangat menarik perhatian Taeyong hingga ia tak sadar jika Jaehyun telah memarkirkan sedan hitam miliknya ke tanah berumput di dekat pantai yang kosong.

Sepi, terpaan angin kencang dari tengah laut menyambut Jaehyun dan juga Taeyong yang baru saja keluar dari dalam mobil.

"Hyung—"

Ucapannya terpotong lagi begitu kedua netra hitam miliknya menangkap sosok Taeyong yang langsung berlari mendekati bibir pantai, menjauhi Jaehyun yang masih berdiri di daerah rerumputan sambil tersenyum lebar. Taeyong benar-benar dibuat takjub, sebelumnya ia selalu berpikir jika setiap pantai itu akan dipenuhi oleh orang-orang, namun kenyataan berbanding terbalik dengan situasi yang ia hadapi saat ini.

Tenang, deburan ombak dan semilir angin menyambutnya dengan hangat, senyuman lebarnya terbentuk, sangat manis hingga Taeyong lupa dengan apa saja yang sempat membebani pikirannya saat ini. Bahkan ia sendiri tak sadar dengan kehadiran Jaehyun yang telah berhasil menyusulnya.

"Begini lebih baik. Apa aku harus membuatkan sebuah villa disini supaya aku bisa melihat Hyung tersenyum lepas seperti ini?"

Taeyong refleks memicing, semburat merah menjalar halus pada kedua pipinya. Ia berjalan menjauh, menyusuri bibir pantai dengan berlagak seperti seorang bocah polos yang baru pertama kali pergi ke pantai.

"Hyung, tunggu aku.."

Pria kecil itu tak menjawab, bibir cherry itu terbuka sedikit sambil mengeluarkan suara-suara lucu yang berhasil menarik perhatian Jaehyun hingga terkekeh.

"Bagus kan Hyung?"

"Iya."

"Hyung suka?"

"Sangat suka, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini."

Jaehyun kembali tersenyum simpul sembari menatap lautan biru yang terhampar luas, kencangnya terpaan angin membuat surai keduanya tak terbentuk seperti semula.

"Kalau Hyung punya keluh kesah silahkan luapkan saja. Hyung bisa berteriak sekencang mungkin, tidak ada siapapun yang akan dengar. Aku akan menunggu di mobil kalau Hyung mau."

"Ku pikir tidak. Di saat seperti ini bukankah seharusnya suasana hati kita bahagia? Jadi lebih baik lupakan beban pikiran sejenak dan fokuslah pada apa yang tengah kau lakukan sekarang."

Senyuman simpul Taeyong tergantikan dengan bibir yang membulat begitu perhatiannya tertuju ke sisi lain. Pria kecil itu langsung melepaskan sepasang sepatu yang ia kenakan kemudian menarik Jaehyun untuk ikut bersamanya menyusuri tepian pantai berpasir putih bersih itu.

"Hyung mau kemana?"

"Ayo ikuti saja, kita jalan-jalan sebentar disana ya?"

"Okay, tidak masalah."

.

.

.

"Hyung tidak mau membawa celana itu pulang?"

Jari telunjuk Ten langsung mengarah ke sebuah celana bermotif bunga yang sempat Johnny kenakan saat pakaian mereka basah setelah terjun ke danau. Pria jangkung itu langsung mendelik ke arah Ten yang dibalas dengan suara tawa yang cukup keras. Johnny kembali mengabaikan Ten yang tengah melipat kasur lantai yang mereka tempati tadi malam, sedangkan Ten justru terdiam dengan manik mengerjap. Pergerakan tangannya terhenti dalam waktu yang lumayan lama hingga membuat Johnny mengernyit saat menyadari sikap aneh Ten tersebut.

"Ada masalah? Kenapa kasurnya belum kau gulung?"

"O-oh! Tidak ada masalah."

'Kenapa aku jadi ingat kejadian semalam? Oh sial, memalukan!'

"Wajahmu terbakar Ten, ada apa?!"

"Ti-tidak ada kok."

Kedua mata sipitnya semakin menyipit sambil menatap tajam ke arah Ten yang menghindari tatapan mata Johnny yang memang sedikit aneh. Sosok kecil itu kurang nyaman dengan cara Johnny menatap dirinya, terkesan mengintimidasi.

"Aaaahhhh! Aku mengerti sekarang!"

Pria asal Chicago itu langsung melompat ke arahnya hingga membuat Ten tersentak hingga hampir terjungkal ke belakang. Senyuman lebar Johnny terpatri di wajah tampan itu, kedua tangannya telah menangkup kedua pipi tembam milik Ten kemudian mengecup bibirnya sekilas tanpa persetujuan.

"Hei—"

"Apa yang kau pikirkan saat melihat kasur lantai ini? Apa ada sesuatu yang menarik atensimu hmm?"

"Tidak ada!"

"Masa iya? Jadi kau lupa kalau semalam habis menangis diam-diam sampai aku memergoki dirimu?"

"Johnny Hyung!"

"Kau mengingat itu kan?"

"Aku bilang tidak!"

Bibir cherry itu mengerucut lucu dengan pipi yang semakin tembam karena diapit oleh kedua tangan tangan besar milik Johnny.

"Jadi kau memikirkan hal lain? Hal kotor semacam—"

"Hyung yang berpikiran seperti itu! Bukan aku!"

"Aigoo lucunya anak ini~"

Entah ide dari mana yang membuat Johnny seketika menarik kasur lantai dan menggulung Ten ke dalamnya hingga menggelinding di lantai dengan tubuh tergulung kasur. Suara tawa yang terdengar sangat kencang semakin meningkatkan rasa kesal Ten pada pria jangkung yang baru saja bertindak seenak jidat.

"Johnny Hyung! Keluarkan aku dari sini!"

Suara khas itu berteriak selama beberapa kali sambil sesekali menghardik yang lebih tua untuk di bebaskan dari kasur lantai yang membatasi pergerakan tubuhnya. Jangankan untuk bangkit, menggerakkan tangannya saja sulitnya luar biasa.

"Hei apa yang terjadi disini?"

Suara parau wanita paruh baya itu berhasil menarik atensi keduanya dengan cepat. Bibi Yoon telah berdiri di ambang pintu sambil menatap nanar ke arah Ten yang masih tergulung kasur.

"Bibi Yoon?"

"Kenapa kamarnya semakin berantakan saja? Bibi pikir kalian sudah selesai berkemas, ternyata sibuk bermain huh?"

"Bibi Yoon, Johnny Hyung menggulung ku ke dalam sini. Tolong aku Bi~~"

Bibir cherry Ten mencebik sambil memasang tatapan memelas pada Bibi yang pernah mengasuh dirinya sejak kecil, namun bukan sebuah bantuan yang diperoleh, melainkan sebuah suara tawa cukup halus yang keluar dari mulut Bibi Yoon sendiri.

"Aigoo, kalian berdua sudah dewasa, seharusnya jangan bermain seperti ini. Youngho, cepat keluarkan Ten dari sana."

Tepat setelah itu Bibi Yoon melangkah pergi dari ambang pintu, sedangkan Johnny langsung berjongkok di hadapan Ten yang masih menatap tajam ke arahnya sambil sesekali mendengus keras.

"Lepaskan aku Hyung."

"Kau mau keluar?"

"Hyung pikir aku mau disini terus huh? Dasar gila!"

"Sssstt Ten, bisa tidak jangan melontarkan kata-kata kasar? Kau itu cantik tapi bermulut kasar."

"Aku tidak cantik, jadi lepaskan Hyung."

"Katakan aku menyukai Hyung dulu baru aku lepaskan."

Wajah cantiknya semakin menekuk tajam, kedua alisnya saling bertautan, bibir cherry itu sudah merengut sejak beberapa detik yang lalu.

"Biar aku keluar sendiri."

Tak ada penolakan dari Johnny, kedua manik hazel itu hanya sibuk memperhatikan sembari tersenyum kecil saat melihat bagaimana lucunya Ten ketika berusaha melepaskan diri dari gulungan kasur yang sedikit berat. Tak ada yang tahu berapa lama waktu yang dihabiskan Johnny untuk menonton Ten yang akhirnya berhasil keluar dengan sendirinya tanpa perlu melakukan permintaan konyol Johnny yang sudah pasti ditolak mentah-mentah oleh Ten. Johnny ikut bangkit saat Ten juga bangkit sambil menyeret kasur lantai yang sempat memerangkap dirinya, menggulungnya seperti semula kemudian meletakkan di sudut ruangan.

"Kalau kau bisa bebas sendirian kenapa harus minta bantuan?"

"Aku mau bebas dengan cepat, bukan bebas secara bersyarat."

"Bilang saja kau tidak mau bilang kalau kau menyukai aku kan?"

"Memang aku tidak suka kok, Hyung saja yang terlalu percaya diri. Wlee!"

Suara hentakan kaki yang cukup cepat terdengar saat Ten melarikan diri dari dalam kamar tamu. Senyuman lebarnya tercipta dengan cepat sambil menoleh ke belakang untuk mengecek apakah Johnny mengikuti dirinya atau tidak, tapi sayangnya tidak. Ya sudah biarkan saja.

"Bibi Yoon, kami sudah siap untuk pulang."

"Dimana Youngho?"

"Dia... Itu dibelakang!"

Pria berkebangsaan Thailand itu berteriak kencang dengan jari telunjuk yang mengacung ke arah Johnny.

"Mau pulang sekarang juga?"

"Iya Bi, kami tidak mau merepotkan Bibi terus. Taeyong juga sendirian di rumah, kasihan juga kalau ditinggal terus."

"Lain kali kembali kemari ya, bila perlu ajak Taeyong bersama kalian juga. Bibi Yoon titip Ten padamu ya Youngho."

"Kenapa Bibi menitipkan aku pada Johnny Hyung? Aku kan tinggal dengan Taeyong Hyung."

"Disini kan cuma ada Youngho, Taeyong tidak ikut kemari. Lagipula apa salahnya kalau Bibi menyuruh Youngho? Dari dulu juga kamu tidak bisa lepas dari Youngho kan?"

Kedua matanya memicing ke arah Johnny yang balik menatapnya sambil menaikkan sebelah alisnya dan menyeringai kecil. Persis seperti ejekan yang mengisyaratkan jika Ten memang tidak bisa jauh-jauh dari Johnny sejak dulu.

'Masa laluku agak memalukan ternyata.'


"Hyung yakin mau pulang sekarang?"

Taeyong langsung memberikan sebuah anggukan pelan sambil merapikan surai hitamnya yang sempat berantakan karena tertiup angin. Pintu mobil sudah terbuka, Taeyong bisa langsung masuk dan menyusul Jaehyun yang telah masuk ke dalam mobil. Kepalanya menoleh ke belakang, hamparan pasir pantai dan birunya lautan di depan sana masih belum ingin Taeyong lewatkan begitu saja. Sudah lama ia tak ke tempat semacam ini, dan sekarang Jaehyun berhasil membawanya ke tempat yang bagus untuk melepaskan beban pikiran yang cukup memberatkan Taeyong.

"Kalau Hyung masih mau disini ya sudah. Kita bisa turun dan kembali kesana lagi."

"Tidak perlu Jae, kita pulang saja. Kita juga harus beli kue untuk Yuta."

Pintu mobil di samping Taeyong berhasil tertutup rapat setelah Taeyong masuk dan duduk dengan tenang di kursi penumpang setelah mengenakan seat belt dengan benar. Sedan kepunyaan Jaehyun langsung membelah jalanan yang terbilang sepi dari kendaraan lain. Perjalanan mereka masih cukup jauh untuk tiba di Seoul, mungkin sekitar satu atau dua jam.

"Masih mau pergi ke tempat lain Hyung?"

"Toko kue."

"Bukan, maksudku pergi jalan-jalan."

"Tidak, kita beli kue ulang tahun Yuta saja ya. Lagipula Johnny dan Ten mungkin sudah sampai di rumah. Nanti mereka kebingungan karena tidak menemukan kita di rumah."

Persis seperti perkataan Jaehyun, perjalanan memakan waktu yang cukup panjang. Taeyong bahkan sempat tertidur selama beberapa saat karena terlalu lama menunggu. Kali ini mereka telah tiba di Seoul, masih agak jauh dari rumah Taeyong, tapi sudah cukup dekat dengan area Mall yang biasa Taeyong kunjungi untuk mencari sesuatu.

Langkah kaki Jaehyun dan Taeyong semakin menjauhi area basement dan masuk ke dalam Mall yang sudah pasti cukup ramai dengan para pengunjung. Jaehyun hanya mengekori Taeyong yang entah ingin pergi kemana. Setahu Jaehyun mereka sudah melewati deretan Toko kue di lantai pertama, tapi sekarang mereka berada di lantai dua.

"Maaf Jae, apa kau keberatan kalau kita mencari beberapa pakaian baru untuk Ten?"

"Tidak masalah, ini juga baru jam satu siang. Nanti aku akan telepon Johnny Hyung supaya mereka tidak kebingungan saat tiba di rumah."

.

.

Di rumah apanya, Johnny dan Ten masih dalam perjalanan pulang. Padahal Johnny sempat bilang pada Jaehyun kalau mereka akan pulang pagi, tapi ini sudah memasuki tengah hari dan mereka masih dalam perjalanan.

Suara alunan musik yang di setel Johnny dengan volume rendah itu mengisi kesunyian yang menemani Johnny setelah lawan bicaranya tertidur pulas sejak 30 menit yang lalu. Johnny bosan tentunya, biasanya ia akan mengobrol banyak hal dengan Ten yang mungkin akan menjawab seadanya saja. Tapi sekarang Johnny kesepian.

Pandangannya fokus pada jalanan yang dilaluinya. Laju kendaraannya juga masuk dalam batas kecepatan normal, setidaknya Ten tidak akan merasa terganggu saat ada sedikit guncangan. Beberapa kendaraan lalu-lalang dari jalur berlawanan maupun dari jalur yang sama. Pria jangkung itu lantas mempercepat laju kendaraannya untuk mempersingkat waktu. Beberapa kendaraan di depan sana bahkan sanggup Johnny lalui karena ia cukup handal dalam menyetir mobil.

Namun begitu suara lenguhan terdengar, Johnny kembali menurunkan kecepatan ke posisi semula dan melirik Ten yang menggeliat sekaligus mendesah kasar. Kedua manik hitam yang terlihat memerah itu terbuka setelah beberapa kali mengerjap. Tangan kirinya langsung mengusap wajah bantalnya kemudian membenarkan posisi duduknya agar lebih benar dari sebelumnya.

"Selamat siang puteri tidur. Mimpi indah hmm?"

Yang diberikan pertanyaan hanya memicingkan matanya sekilas dan kembali mengerang keras. Keningnya mengernyit dengan wajah sedikit membengkak. Sama seperti bayi yang baru bangun tidur, menggemaskan.

"Masih jauh?"

"Sebentar lagi sampai di Seoul."

"Hmmmm..."

"Kau mau pergi ke suatu tempat?"

Hanya menggeleng.

"Mau pulang saja?"

Kemudian menganggukkan kepalanya.

"Hyung sudah telepon Taeyong Hyung atau Jaehyun?"

"Belum, tidak boleh menggunakan ponsel saat menyetir."

Lagi-lagi hening.

Johnny kembali fokus membelah jalanan, sedangkan Ten hanya diam dengan tatapan kosong karena masih mengantuk. Kepalanya sudah bersandar pada kaca jendela mobil, kedua matanya masih terasa berat bahkan ingin kembali tidur saja supaya ia bisa bangun dan tiba di rumah tanpa perlu kebosanan.

"Eehh jangan tidur lagi, ayo bangun."

"Aku masih mengantuk."

"Nanti saja tidur di rumah."

"Tapi aku bosan."

Mendengar pernyataan Ten barusan berhasil membuat Johnny meraih ponselnya yang tergeletak di dash board mobil dan langsung menyerahkannya pada Ten.

"Main game saja ya, aku lebih merasa bosan karena kau terus tidur. Lebih baik main game dan temani aku menyetir, setidaknya aku tidak perlu mengajak pajangan mobil itu untuk mengobrol."

Karena Ten anak yang penurut jadi ia mengikuti permintaan Johnny atas dasar untuk menghilangkan kebosanan dan kasihan karena Johnny sampai harus mengajak boneka Shinchan itu untuk mengobrol. Jari jemari lentiknya mulai mengotak-atik ponsel mahal Johnny dengan gerakan cepat. Namun baru berjalan 15 menit saja sudah membuat Ten bosan dengan game aneh itu dan lebih memilih mengembalikan ponsel Johnny.

"Sudah selesai?"

"Sudah."

"Kita makan siang dulu ya, sekalian jalan-jalan di Mall baru ini. Setelah ini kita pulang."

Ten tak bisa menolak karena Johnny memang sudah memarkirkan Mobilnya di depan restoran cepat saji yang memang tak jauh dari Mall yang dibicarakan Johnny. Suara dering lonceng di atas pintu memberika sambutan, mereka duduk di salah satu meja kosong dan memesan makanan sesuai keinginan.

"Jaehyun bilang ia dan Taeyong sedang pergi ke Mall juga. Katanya mau beli kue untuk ulang tahun Yuta."

"Mall sini juga?"

"Bukan, Mall yang lain. Jaehyun sudah bilang padaku sebelumnya."

"Ya sudah kalau begitu."

"Apa Taeyong tidak mengabarimu?"

"Dia melakukannya kok. Mengabari lewat dirimu. Aku kan tidak punya ponsel, masa mau kirim surat ke kantor pos."

"Kau tidak punya ponsel?!"

"Taeyong Hyung belum punya uang buat membelikannya untukku."

"Kalau begitu setelah ini kau harus ikut aku."

"Kemana?"


Pria kecil itu langsung mempercepat langkahnya saat Johnny membawanya ke salah satu Toko Handphone yang cukup besar itu. Deretan ponsel baru dengan berbagai merk ternama dan aksesoris ponsel penuh warna berhasil membuat bibir Ten membulat dengan sempurna. Lain halnya dengan Johnny yang hanya menggelengkan kepalanya dan menarik pergelangan tangan Ten ke arah karyawan toko.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Kami sedang mencari ponsel, apa kau punya ponsel yang sama dengan yang ini?"

Johnny langsung memperlihatkan ponsel miliknya pada karyawan toko, sedangkan Ten ikut memperhatikan ponsel milik Johnny sebagaimana karyawan toko tersebut memperhatikan ponsel milik Johnny.

"Tentu saja, ini tipe terbaru. Anda ingin yang seperti ini?"

Lalu Johnny menganggukkan kepalanya dengan cepat hingga karyawan toko itu pergi dari hadapan mereka selama beberapa waktu.

"Ponsel untuk siapa?"

"Kenapa kau bertanya? Sudah pasti untukmu lah."

"Untukku? Tapi kenapa Hyung belikan untukku? Nanti kalau Taeyong Hyung tahu dia bisa marah. Lagipula itu model terbaru, pasti mahal."

"Aku belikan untukmu supaya kau tidak perlu repot meminjam ponsel Taeyong. Kalau kau hilang saat sedang sendirian bagaimana? Mau menghubungi siapa?"

"Tapi kan mahal..."

"Mau ponselnya atau tidak?"

"Ya mau tidak mau sih. Tapi nanti bagaimana mengganti uangnya?"

"Tidak usah diganti, kan aku sudah bilang kalau aku membelikannya untukmu."

"Tapi—"

"Maaf lama menunggu, tapi hanya ada yang ini, kalau yang seperti anda tidak ada."

"Tidak masalah, aku ambil yang ini."

"Johnny Hyung—"

"Masih bicara juga akan ku tinggalkan kau disini tanpa ongkos taksi."

"Jahat!"

.

.

Siapa yang sadar kalau hari sudah semakin sore?

Baik Johnny ataupun Ten sama-sama terbuai dalam suasana menyenangkan setelah lebih dari satu jam lamanya sibuk mengitari seisi Mall tanpa mengingat hari. Mereka kembali menempuh perjalanan saat hari sudah mulai gelap, jauh lebih cepat dari laju sebelumnya untuk mempersingkat waktu. Di sisi lain Jaehyun dan Taeyong baru tiba di rumah sekitar 15 menit yang lalu. Kondisi rumah yang cukup sepi membuat Jaehyun mengoceh panjang lebar karena tidak menemukan keberadaan Johnny dan juga Ten yang katanya akan pulang di pagi hari.

Taeyong tengah sibuk menata ruang keluarga sedemikian rupa untuk menyiapkan pesta ulang tahun yang cukup sederhana untuk adik kesayangannya yang sudah pasti tak kasat mata. Jangankan Taeyong, bahkan Ten saja sudah tidak tahu bagaimana keberadaan dan juga kondisi Yuta setelah menghilang dari pandangannya selama beberapa hari belakangan.

"Kami pulang Hyung..."

Jaehyun segera menoleh ke sumber suara dan berhasil menemukan Ten yang langsung berlari menghampiri Taeyong dan Johnny yang mengekor dibelakang Ten.

"Bilangnya mau pulang pagi tapi sampai dirumah saat hari hampir gelap."

"Berita baiknya kami berdua sudah pulang kan? Jadi kenapa harus marah-marah begitu."

"Tapi maksudku kan seharusnya Hyung bisa mengira-ngira dulu kalau menentukan waktu. Kalau begini sih tidak sesuai dengan omongan."

"Berisik ah, dimana Taeyong?"

"Ada di dalam, cari saja."

Johnny mengikuti perkataan Jaehyun dan melangkah masuk lebih dalam. Di ruang keluarga itu sudah ada kue ulang tahun yang baru saja selesai di letakkan Taeyong di atas meja.

"Siapa yang ulang tahun?"

"Tentu saja Yuta Hyung! Katanya Johnny Hyung temannya Yuta Hyung, masa tidak ingat sih."

Ah benar juga, bagaimana bisa Johnny lupa kalau hari ini ulang tahun Yuta? Padahal tadi Jaehyun sudah memberitahu lewat telepon. Tapi apakah ini tidak terlalu berlebihan? Maksudnya, di saat Yuta sudah meninggal apakah pantas mereka merayakan ulang tahunnya?

"Apa tidak masalah kalau kita menyiapkan semua ini?"

"Kau keberatan John?"

"Tidak, maksudku Yuta kan sudah meninggal, jadi—"

"Di tahun sebelumnya kami tidak pernah mengadakan acara semacam ini. Tapi karena Ten bilang Yuta ada disini, ku pikir tidak masalah kalau kita membuatnya bahagia sedikit."

Well, agak masuk akal juga.

Kali ini semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga dengan penerangan yang cukup temaram. Hanya ada lampu meja yang sengaja dinyalakan dan juga bantuan dari lilin kecil yang telah menyala di atas kue penuh cokelat tersebut.

Sebuah kursi kosong diletakkan di seberang meja. Taeyong bilang untuk tempat duduk Yuta. Padahal Yuta saja tak tahu ada dimana, apakah masih ada di rumah ini atau sudah pergi ke tempat yang seharusnya.

Semua orang terdiam, menatap Taeyong yang tengah duduk menarik nafas panjang lalu menggulum senyuman tipis di sudut bibirnya. Kedua tangannya berpindah dan menopang dagu. Air mukanya dibuat semanis mungkin sebagai upaya untuk mengungkapkan perasaannya hari ini.

"Sekarang ulang tahunmu Yuta, kalau kau masih hidup usiamu sudah 23 tahun. Usia yang sudah cukup matang bukan? Bagaimanapun kondisimu sekarang, selamat ulang tahun Yuta."

Manik hazel Johnny memicing ke arah Ten kemudian menyiku lengan Ten hingga yang lebih kecil menoleh ke arah Johnny dengan alis bertautan.

"Memangnya Yuta ada disini?"

Johnny berbisik cukup pelan dengan tubuh merendah sebagaimana mestinya agar perkataannya bisa terdengar langsung di telinga Ten. Satu detik setelahnya hanya sebuah gedikan bahu yang diperoleh Johnny. Sosok cantik itu balik menoleh ke arah Johnny—lebih tepatnya telinga Johnny.

"Aku tidak bisa lihat dan mendengar Yuta Hyung sedikitpun."

"Bagaimana kalau Yuta tak ada disini? Usaha Taeyong akan sia-sia saja kan?"

"Aku harap Yuta Hyung ada disini, kan kasihan kalau Taeyong Hyung harus mendapatkan hasil yang tidak sepadan dengan apa yang ia inginkan. Makanya jangan bicara yang jelek dong, nanti kalau Yuta Hyung tidak muncul bagaimana?"

Pria jangkung itu langsung menjauhkan telinganya dari Ten dan memasang posisi seperti semula. Ia tidak mau diomeli Ten terus disaat seperti sekarang. Hanya ada Jaehyun yang melirik ke arah Johnny selama beberapa saat, kemudian sosok bermarga Jung itu kembali menatap punggung milik Taeyong.

"Hari ini aku mau minta maaf atas semua kelakuanku dulu. Maaf kalau aku belum bisa membuatmu senang saat kau masih hidup. Maaf kalau aku masih menyusahkanmu saat seharusnya kau sudah beristirahat dengan tenang. Aku pikir aku ingin bertemu denganmu, tapi kalau Ten saja tidak bisa melihatmu lagi, lalu bagaimana denganku? Bukankah itu sangat mustahil?"

"Tapi sekalipun begitu rasa ingin tahuku masih sangat besar. Aku ingin lihat seperti apa sosok Yuta yang sekarang. Ten bilang kau sudah jauh lebih tinggi. Katanya kau sudah jauh lebih tampan dari sebelumnya. Apakah itu benar? Aku selalu ingin bertemu, padahal aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya bisa bertemu denganmu. Bukankah itu hal yang bodoh?"

Masih dalam keheningan yang sama, semua orang kecuali Taeyong hanya diam membisu. Tak ada yang ingin bicara sedikitpun. Bahkan Ten sendiri sibuk mencari-cari keberadaan Yuta sekeras mungkin. Namun hasilnya nihil, tak ada siapapun di sekitar sana. Bahkan tak ada tanda-tanda Yuta yang duduk di hadapan Taeyong.

"Baiklah, selamat ulang tahun Nakamoto Yuta. Semoga kebahagiaan selalu bersamamu. Sekali lagi selamat ulang tahun."

Nyala api yang membakar sumbu lilin berwarna biru itu berhasil di padamkan dengan sekali hembusan nafas yang keluar dari mulut Taeyong. Semua orang disana langsung memejamkan kedua mata dan menyatukan kedua telapak tangan yang mengepal, membuat harapan yang baik di hari ulang tahun Yuta.

"Terima kasih..."

Ten refleks menahan nafas dengan cepat begitu suara familiar itu berhasil terdengar lagi di telinganya. Kedua matanya terbuka dengan cepat, hendak mengecek apakah sosok yang sedang ia cari benar ada disana atau hanya perasaannya saja.

"Y-Yuta san.."

Ten berhasil di buat tersentak keras saat suara Taeyong terdengar sedikit gugup. Pria bermarga Lee itu memiringkan kepalanya untuk mengecek sesuatu di hadapannya. Seseorang yang terlihat tak asing tengah duduk dengan dagu yang menempel di atas meja. Kedua mata besarnya menatap ke arah kue penuh cokelat itu sambil tersenyum lebar.

"Yuta san?!"

Senyuman lebar itu menghilang, kedua alisnya bergerak naik, dagu panjangnya sudah tak lagi menempel di atas meja.

"Eh?"

Ten refleks membelalak sambil menatap ke arah Yuta dan juga Taeyong secara bergantian. Ia tak mengerti akan hal ini. Apakah pada akhirnya Taeyong bisa melihat Yuta? Apakah keajaiban telah berpihak pada Taeyong?

"Yuta Hyung.."

"Yuta san..."

"Apa ini? Kau sudah bisa melihatku Ten? Taeyong juga?"

Nada bicara Yuta terdengar sangat antusias. Jujur saja selama beberapa hari belakangan ia hanya sendirian di rumah ini. Ten tak bisa melihatnya, tak ada yang bisa di ajak bicara saat Yuta sedang bosan. Selama beberapa hari itu juga Yuta melihat bagaimana upaya Jaehyun menjaga Taeyong saat Ten dan Johnny tak ada di rumah. Siapa bilang ia pergi? Ia tak pergi kemanapun, ia tetap disana, namun tak ada seorangpun yang tahu keberadaannya.

"Heol... Di-dia nyata?!"

Kali ini giliran Jaehyun yang bersuara, membuat semua pasang mata menatap lurus ke arah Jaehyun.

"J-Jaehyun, kau juga bisa lihat?! Jangan-jangan Johnny Hyung—"

"Aku juga bisa melihatnya."

Lalu Johnny menatap ke arah Yuta yang langsung tersenyum simpul ke arahnya.

"Lama tak bertemu, Yuta san. Maaf, aku tak pernah tahu kalau kau sudah meninggal."

Hanya ada sebuah anggukan yang merespon perkataan Johnny. Pandangan Yuta kembali jatuh pada sosok Taeyong yang masih menatapnya tanpa henti dengan air muka yang berbanding terbalik sebelum semua ini terjadi. Taeyong langsung bangkit dari atas kursi, kemudian menghampiri Yuta dan mengulurkan tangannya ke hadapan pria berwajah manis itu untuk menyentuh pipi tirus milik Yuta. Namun hasilnya nihil, rasanya seperti menyentuh udara yang kosong. Tangan kanannya tak berhasil menyentuh apapun, padahal ia yakin wajah Yuta sangat dekat dengan tangannya.

"Apa yang terjadi? A-aku tidak bisa menyentuhmu?"

"Bagaimana bisa? Beberapa hari lalu kami bahkan bisa melakukan kontak fisik. Mustahil Hyung."

"Mungkin Taeyong benar, sepertinya kalian hanya bisa melihat wujudku saja, tapi tidak bisa menyentuhku sama sekali. Waktuku sudah tak banyak Ten. Itulah kenapa kau tak bisa melihatku selama beberapa hari belakangan."

"Tidak bisa begitu!"

Suara teriakan Taeyong menggema di seluruh penjuru ruangan. Ia membantah semua perkataan Yuta yang tak ingin ia dengar sedikitpun.

"Kau tidak bisa pergi kemana pun karena aku tidak akan pernah mengizinkanmu! Kau tidak mengerti bagaimana pusingnya aku memikirkan cara untuk bertemu denganmu?! Dan disaat seperti ini kau mau pergi begitu saja?!"

Bibir bawah Yuta digigit pelan, pandangannya menatap kedua telapak tangan pucat miliknya selama beberapa detik kemudian menatap ke arah Taeyong dengan senyuman samar.

"Ku pikir kau belum berubah. Perkataanmu masih sama kasarnya seperti dulu, Taeyong."

Yang disebutkan namanya langsung tersentak dan melangkah lebih dekat ke arah Yuta dengan sebuah gelengan keras. Sungguh, ia tak bermaksud berkata seperti itu pada Yuta. Ia hanya refleks karena tak bisa terima kalau Yuta akan kembali lebih cepat saat mereka baru saja bertemu setelah sekian lama.

"A-aku tidak bermaksud. Maafkan aku Yuta, aku hanya tidak mau kau pergi lebih cepat. Maaf, aku tidak sadar sudah bicara kasar."

"Tidak masalah, mungkin kau sudah terbiasa bicara seperti itu padaku, makanya terulang lagi."

"Yuta..."

"Aku mengerti, aku sudah sering mendengar permintaan maaf darimu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membebani pikiranmu. Seandainya aku tidak muncul, mungkin kalian tidak perlu serepot ini."

"Seharusnya kau tidak perlu bicara begitu, semuanya memang salahku. Kalau saja dulu aku tidak menyalahkanmu terus maka semua ini mungkin tidak akan terjadi. Kau mungkin masih hidup."

"Semua orang sudah punya takdir mereka masing-masing Tae, tak ada yang bisa mengubahnya. Kelahiran, kematian, semua itu ada yang mengaturnya. Jika aku ditakdirkan untuk hidup lebih lama maka sudah pasti semua ini tidak akan terjadi. Johnny belum tentu bertemu dengan Ten, dan kau belum tentu bisa bertemu dengan Jaehyun."

Suara helaan nafas entah milik siapa terdengar jelas saat kesunyian lagi-lagi hinggap di antara semua orang. Taeyong masih sibuk mengulurkan tangannya untuk mencoba menyentuh Yuta walaupun ia tahu hasilnya percuma. Langkah kaki milik Ten perlahan menghampiri Taeyong, pundaknya ditepuk dengan sangat lembut, kemudian senyuman tipis itu tercipta di sudut bibir Yuta ketika Ten menatap ke arahnya.

"Maaf merepotkanmu Ten."

"Maaf karena telah membuatmu jauh dari Taeyong Hyung. Aku tidak pernah tahu kalau Yuta Hyung menyukai Taeyong Hyung. Kalau aku tahu pasti aku akan menjaga jarak dengan Taeyong Hyung. Maaf ya Hyung, maaf."

Tak ada yang bisa disalahkan, tak ada yang perlu disesalkan. Tak ada siapapun yang pantas menjadi tersangka dalam kasus Yuta ini. Tak ada yang perlu disesalkan karena semuanya memang sudah terjadi. Yuta tahu bagaimana kesalnya ia dulu pada Ten karena lebih sering menghabiskan waktu bersama Taeyong.

Yuta ingat bagaimana dulu ia menjauh dari Ten selama beberapa hari dan berakhir dengan melihat Ten menangis sambil meminta maaf berulang kali pada Yuta. Harusnya Yuta yang menyesal karena sudah menyalahkan Ten yang tak tahu apapun. Hanya Johnny yang tahu kalau ia sangat menyukai Taeyong, tapi sudah pasti bukan Johnny yang pantas di salahkan. Ia sudah bilang, semuanya tak ada yang bisa disalahkan. Semuanya terjadi sesuai alur yang di tentukan.

"Hei, sekarang kan hari ulang tahunku. Kenapa kalian harus bersedih? Bukankah harusnya kalian memberiku ucapan selamat ulang tahun langsung sebelum aku benar-benar pergi?"

"Tidak ada yang boleh pergi!"

"Taeyong Hyung.. Jangan bicara seperti itu."

Suara husky Jaehyun membalas perkataan Taeyong dengan cepat. Bagaimanapun ia perlu mencegah Taeyong untuk kembali berkata kasar seperti tadi karena ia tahu Yuta tak suka itu.

"Tidak ada yang boleh pergi.. Tidak ada.."

"Lee Taeyong—"

"Aku sudah bilang tidak ada yang boleh pergi.."

Suaranya mulai bergetar, kepalanya semakin tertunduk lebih dalam, air matanya sudah jatuh sejak tadi. Surai hitam Taeyong berhasil menyembunyikan kesedihan yang tengah di alaminya dari hadapan semua orang termasuk Yuta yang masih diam di hadapannya.

"Kau mau pergi begitu saja saat aku baru bisa melihatmu? Apa kau tidak kasihan padaku? Apa kau tidak lihat bagaimana menyedihkan nya aku sekarang? Ku mohon jangan pergi. Aku tidak butuh apapun selain dirimu. Tinggalah di sini lebih lama lagi."

"Bukankah lebih cepat aku pergi akan lebih baik? Kalau aku tinggal disini lebih lama lagi, maka semakin sulit kau akan membiarkanku pergi Tae. Sudah cukup, kalau kau menangis aku juga jadi ingin menangis."

Semakin waktu berjalan maka waktu yang Yuta punya akan semakin berkurang. Pergerakannya sudah semakin lemah, semua bagian tubuhnya menjadi sulit di gerakkan, bahkan tubuhnya mulai tak terlihat dengan jelas.

"Ku pikir aku tidak bisa memeluk siapapun."

Suara lembut milik Yuta terdengar cukup lemah, bahkan hampir seperti suara bisikan. Kedua matanya mengerjap perlahan, senyuman manisnya masih berusaha dipertahankan meskipun suasana hatinya berbanding terbalik dengan raut wajahnya.

"Taeyong, berhentilah menangis. Bukannya kau itu sangat jarang menangis? Lalu kenapa sekarang kau malah menangis terus?"

"Kau tanya kenapa? Aku menangis karena kebodohanku. Aku terus-menerus menyakiti perasaanmu. Aku seperti orang yang tak punya hati. Jujur aku tidak suka saat aku tahu hanya Ten yang bisa melihatmu. Bukankah aku yang membuatmu seperti ini? Bukankah aku yang sudah membunuhmu? Seharusnya kau datang padaku! Seharusnya kau meminta pertanggung jawaban dariku! Aku tidak mau yang seperti ini! Aku hanya mau kau tetap disini lebih lama lagi! Aku masih belum bisa menebus semua kesalahanku padamu! Jadi ku mohon jangan pergi.."

"Tidak apa-apa kalau kau berbuat salah, semua orang pernah melakukannya."

"Yuta Hyung, Tubuhmu—"

Mendengar perkataan Ten membuat Yuta langsung memperhatikan sekujur tubuhnya yang sudah hampir tak terlihat itu. Senyuman manis Yuta resmi menghilang. Sebaliknya ia menatap Ten dalam-dalam, kemudian menatap Johnny dan juga Jaehyun secara bergantian.

"Aku sudah bilang waktu ku tidak banyak lagi."

"Harusnya kau tidak pergi secepat ini, kita baru bertemu setelah sekian lama. Apa kau melupakannya?"

"Siapa yang bisa lupa? Youngho-ya aku banyak berterima kasih padamu selama ini. Kau satu-satunya orang yang mau mendengarkan ceritaku. Maaf kalau aku pernah menyusahkanmu. Terima kasih juga sudah menjaga Taeyong dan juga Ten."

"Dan untuk Jaehyun, ini pertama kali kita bertemu kan?"

"I-iya.. Maafkan aku Hyung, waktu itu aku tidak percaya kalau kau memang masih ada. Aku minta maaf karena tidak mau membantu Hyung."

"Tidak perlu minta maaf, lagipula kau benar. Siapa yang percaya pada hantu sepertiku? Bukankah menyusahkan saja membantu sesuatu yang tak terlihat?"

"Hyung—"

"Tidak masalah. Kau tahu? Aku banyak berterima kasih padamu karena sudah mau menjaga Taeyong dengan sangat baik. Aku bisa lihat ketulusanmu selama ini, dan ku pikir kau bisa menjaga Taeyong lebih baik."

Jaehyun hanya menganggukkan kepalanya. Ia tak pernah menyangka kalau Yuta benar-benar bisa mengerti dirinya dengan mentolerir semua sikapnya yang sering berprasangka buruk pada Yuta. Jaehyun sedikit menyesal karena telah melakukannya pada orang baik seperti Yuta.

"Ten... Terima kasih banyak."

Ten langsung mendekat ke arah Yuta, tangannya berusaha menggenggam pergelangan tangan Yuta, namun hasilnya sama saja. Padahal ia sangat ingin memeluk Hyung nya yang satu itu.

"Ku pikir aku berhutang banyak padamu. Kalau bukan karena kau, mungkin hari ini aku tak akan pernah bisa bertemu dengan Taeyong."

"Yuta Hyung bisa bertemu Taeyong Hyung bukan karena aku, tapi karena Taeyong Hyung tak lagi menolak bertemu dengan Hyung."

"Tapi peranmu sangat banyak Ten, aku bahkan tak bisa mengatakan semua rasa terima kasihku. Maaf karena dulu aku pernah bersikap buruk padamu. Padahal aku ingin meminta maaf sejak awal, tapi aku tak pernah punya keberanian. Maaf membuatku terlibat dalam urusanku. Maaf sudah menyusahkanmu setiap hari, maaf sudah membuat Taeyong memarahimu, maaf untuk semua yang sudah aku lakukan. Aku tahu aku tak pernah bisa membahagiakanmu dan juga Taeyong. Itulah kenapa Taeyong lebih senang memujimu ketimbang diriku. Aku memang selalu menyusahkan sejak awal."

"Yuta Hyung, jangan bicara seperti itu. Hyung tidak pernah menyusahkan siapapun. Taeyong Hyung, ayo buat Yuta Hyung mengerti dan berhenti meminta maaf. Taeyong Hyung, ayo angkat wajahmu. Apa Hyung tidak mau melihat Yuta Hyung untuk yang terakhir?"

"Aku tidak mau lihat apapun! Aku tidak mau kau pergi kemanapun! Aku sudah bilang tetaplah disini! Kenapa kau tidak mau mengerti juga?!"

Pada akhirnya Yuta memutuskan untuk turun dari atas kursi meskipun ia sedikit kesulitan. Ia duduk di atas lantai yang dingin, menyamakan posisinya dengan Taeyong yang tengah bersimpuh sambil menarik surai hitamnya dengan kuat sembari menahan isakannya.

"Taeyong, dengarkan aku.."

"Apa yang harus aku dengarkan?! Ucapan selamat tinggal darimu?!"

Yuta yang sedikit tersentak langsung memasang senyuman tipis, ia menatap Taeyong yang telah memperlihatkan wajah kacaunya seperti yang biasa Yuta lihat. Wajahnya basah,dan tatanan rambutnya berantakan.

"Kau sudah tahu apa jawabanku, Taeyong."

"Tidak."

"Kau bukan Taeyong yang dulu. Bukankah dulu kau anak yang paling jarang menangis?"

Siapa bilang? Nyatanya Taeyong sangat sering menangis saat semua orang sudah tertidur pulas. Ada berbagai macam alasan yang membuat Taeyong menangis di tengah malam, seperti merindukan orang tuanya yang entah siapa. Taeyong bukan sosok yang kuat, ia hanya seorang pecundang yang bersembunyi dibalik wajah dinginnya.

"A-aku masih ingin bersamamu, masih banyak kesalahan yang belum aku tebus."

"Kalau kau mau menebus semuanya, cukup doakan aku setiap hari, kunjungi aku di tempat penyimpanan abu, dan selalu berikan aku berita baik. Dengan begitu aku akan jauh lebih tenang. Kau tidak perlu khawatir, aku akan lahir kembali dan menjadi sesuatu yang lebih baik. Seseorang pernah bilang, saat kau meninggal, kelak kau akan terlahir kembali. Entah sebagai manusia, atau sebagai tanaman dan juga hewan."

"Tapi aku tidak butuh semua itu, aku hanya membutuhkanmu, aku tidak mau reinkarnasi atau apapun."

"Sekarang mungkin kau akan mengatakan itu, tapi saat nanti kau menemukan sesuatu yang mirip sepertiku, kau akan lihat sendiri. Jadi ku mohon biarkan aku pergi. Kalau kalian terus menahanku, kepergianku tidak akan tenang. Aku tidak bisa beristirahat dengan tenang."

"Tapi nanti bagaimana dengan Hyung?"

"Aku sudah senang disana Ten, tidak perlu khawatir. Jadi ku mohon, lepaskan aku ya? Kalian tidak perlu takut, sudah ada Johnny yang akan menjagamu Ten. Taeyong juga sudah punya Jaehyun, dia bisa menjagamu lebih baik daripada aku. Jadi tolonglah, biarkan semuanya berjalan dengan cepat."

Taeyong kembali menahan nafas, kedua manik hitamnya menatap Yuta selama beberapa saat, lalu sebuah anggukan lemah muncul sebagai jawabannya.

"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, tapi aku juga tidak bisa terus memberatkanmu."

Siapa yang bisa mengikhlaskan kepergian seseorang dengan cepat? Bahkan terkadang saat seseorang yang sangat kita benci telah pergi meninggalkan kita, yang namanya kehilangan sudah pasti ada dalam diri masing-masing. Semua orang menatap Yuta yang masih terduduk di lantai.

Tubuh pria cantik itu semakin lama semakin menghilang, dan pada saat itulah sebuah pelukan erat diperoleh Taeyong dari sosok Ten yang mulai menangis keras. Mungkin setelah ini suasana rumah akan berbeda dari sebelumnya, tak akan ada Yuta yang duduk di atas tempat tidurnya, tak akan ada suara lembut Yuta yang akan ia dengar lagi. Semuanya akan menghilang dalam sekejap.

Meskipun yang Ten temui hanyalah roh, bukan sosok Yuta yang asli, namun ia tetaplah Yuta. Seseorang yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Tangisan keduanya semakin pecah saat sosok Yuta tak ada lagi dihadapan mereka. Ia benar-benar pergi dengan sangat singkat. Pertemuan Taeyong dan juga Yuta hanya berlangsung cukup singkat, seperti hembusan angin belaka.

Di satu sisi Jaehyun dan juga Johnny sama-sama terdiam. Manik hazel Johnny menatap ke sekeliling, kedua kakinya melangkah ke arah saklar lampu dan menyalakannya agar ruang keluarga itu lebih terang. Satu detik kemudian pria jangkung itu menoleh ke belakang. Ia melihat ke arah Taeyong, Ten, dan Jaehyun, namun tak ada Yuta disana. Seperti yang dikatakan pria itu, mungkin memang sudah waktunya ia kembali beristirahat dengan tenang.

"Jangan menangis, Yuta sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Dengan begitu ia akan kembali kesana tanpa beban apapun."

"Johnny Hyung benar, Hyungdeul berhenti menangis, kasihan Yuta Hyung."

"Kalian sudah melakukan yang terbaik, jadi jangan menangis lagi."

Seperti yang dikatakan, dimana ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Ketika akhir sebuah perjalanan akan menjadi awal perjalanan yang lain, dan sebuah perpisahan akan menjadi pertemuan dengan sesuatu yang baru.

.

.

.

4 months later...

"Taeyong Hyung, tolong hias kuenya ya, Jaehyun juga tolong bantu aku menghias toko."

"Ayolah Ten, Johnny masih dalam perjalanan pulang. Kenapa mesti buru-buru?"

"Taeyong Hyung, Johnny Hyung itu sudah pergi dari bandara, sebentar lagi pasti sampai kesini. Kalau semuanya belum siap saat Johnny Hyung datang, maka gagal sudah rencana kita."

Taeyong kembali menggerutu setelah mendengar perkataan Ten barusan. Pekerjaannya semakin banyak saja, bukannya semakin berkurang. Manik hitamnya berusaha fokus menghias kue dengan beberapa buah Cherry dan juga lilin yang masih belum terpasang.

Hari ini hari Ulang tahun Johnny yang ke-24. Empat bulan setelah hari ulang tahun Yuta yang ke-23. Mereka merayakannya di kafe milik Johnny dan juga Ten yang dibangun dengan menggunakan sebagian uang dari orang tua Johnny di Chicago sebagai tambahan modal. Kafe yang sudah berjalan sekitar dua bulan itu berhasil berkembang dengan sangat pesat. Karena faktor desain interior yang sengaja di desain oleh Ten selaku manager, cita rasa setiap menu makanan yang semuanya dibuat langsung oleh Chef utama mereka, Jung Jaehyun, dan asistennya, Lee Taeyong, dan Johnny selaku pemilik kafe. Suatu kombinasi yang cukup sempurna bukan?

Drrrttt Drrrrttt

"Ten Hyung, ponselmu bergetar."

Ten langsung mengambil ponsel pemberian Johnny yang tergeletak di atas meja yang tak jauh dari tempat Jaehyun dan Ten mendekorasi sebagian kafe. Nama Lovely Giant terpampang nyata di layar ponsel milik Ten. Itu nama panggilan yang Ten berikan untuk Johnny karena notabene nya Johnny memang punya tubuh yang tinggi besar, cukup indah dipandang mata. Apalagi melihat foto-foto Johnny yang sangat sering Ten ambil secara diam-diam dari ponsel Johnny.

Mereka sepasang kekasih?

Tidak. Hubungan mereka berjalan tanpa status yang jelas, berbeda dengan Taeyong dan Jaehyun yang sudah resmi sebagai sepasang kekasih sekitar 3 bulan yang lalu. Johnny sudah sering menyatakan cintanya pada Ten yang langsung mendapatkan sebuah penolakan mentah-mentah dari pria bertubuh cantik itu.

Siapa bilang Ten tak menyukai Johnny?

Ia sangat menyukai Johnny dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kalau ia tak menyukai Johnny lalu kenapa ia perlu repot-repot membuat sebutan khusus untuk Johnny?

"Iya Hyung?"

-Aku masih dalam perjalanan, kira-kira 10 menit lagi akan sampai.

"10 menit?!"

-Apa ada masalah?

"Psssttt Jaehyun..."

"Iya?"

"10 menit lagi."

"Oh astaga."

-Ten? Ada apa?

"Oh tidak ada apa-apa. Hati-hati dijalan ya, kau ingat kan harus pergi kemana?"

-Aku tahu, ya sudah aku tutup teleponnya ya. Sampai bertemu di kafe.

Piiip~

"Hei hei ayo sedikit lebih cepat, Hyung bagaimana kuenya?"

"Sudah siap."

"Tolong letakkan di meja, setelah itu tolong matikan semua lampunya Hyung. Jaehyun, apa sudah selesai?"

"Baru saja selesai."

"Syukurlah, kita hanya perlu menunggu Johnny Hyung lagi."

Hanya ada suara laju kendaraan, cahaya beragam dari lampu lampu jalan ataupun toko disekitar kafe saat ketiganya tengah menunggu kedatangan Johnny setelah pulang dari Chicago untuk mengunjungi kedua orang tuanya selama 5 hari lamanya. Selama itu juga pekerjaan Ten bertambah dua kali lipat dengan menggantikan posisi Johnny selama ia pergi ke Chicago.

"Dia datang! Dia datang!"

Suara husky Jaehyun langsung membuat Ten bangkit dan langsung berlari keluar kafe, menghampiri Johnny yang baru saja akan keluar dari dalam taksi.

"Hyung!"

"Oh hei, lama tak bertemu. Aku merindukanmu."

Surai hitam Ten di usak dengan gemas sekaligus diberi kecupan singkat. Tubuh kecil itu langsung memeluk erat tubuh besar Johnny sambil mengusap wajahnya ke hoodie abu-abu yang dikenakan Johnny.

"Aku juga merindukan Hyung, mana oleh-olehnya?"

"Sabar, aku bahkan belum sempat duduk. Oh iya, kenapa kafenya ditutup? Bukankah ini belum waktunya menutup kafe?"

"Kami sengaja menutup kafe lebih awal untuk mengucapkan selamat datang padamu Hyung. Sekarang ayo masuk, biar aku bawakan tasmu."

"Ini berat, biar aku saja yang bawa."

Dering lonceng kecil menyambut kehadiran Johnny dan juga Ten di dalam kafe bergaya khas British itu. Bukan hanya suara lonceng kecil yang menyambut Johnny, melainkan sebuah nyanyian selamat ulang tahun yang dilantunkan Jaehyun dan Taeyong yang sudah langsung menghampiri Johnny dengan sebuah kue ulang tahun dengan lilin berangka 24 yang tertanam di atas kue. Hei, bahkan Johnny saja lupa kalau hari ini ia berulang tahun

"Happy birthday Johnny Hyung. Blow the candles and make a wish after that."

Nyala api di sumbu lilin berhasil padam setelah Johnny meniupnya dengan sedikit tergesa. Kedua manik hazel itu tertutup selama beberapa saat kemudian kembali terbuka. Sudah ada Ten yang mengambil sepotong kue yang langsung disodorkan dihadapan Johnny.

"Harusnya aku yang menyuapimu, bukan kau yang menyuapiku."

"Hyung makan saja, aku bisa makan nanti."

Sepotong kue meluncur masuk ke dalam mulut Johnny, menghasilkan tekstur lembut dan rasa manis yang bersarang di lidah Johnny dalam hitungan detik. Jari telunjuk Johnny mencolek krim kue dalam ukuran besar dan langsung mendarat di atas hidung mancung milik Ten. Stik cokelat dari atas kue langsung di berikan Johnny dan mendapatkan sambutan dari Ten yang memakan setengah bagian.

"Selamat ulang tahun Johnny Hyung."

"Terima kasih Jeff, ah ayo makan saja kuenya. Berikan ke Taeyong juga."

"Hari ini hari ulang tahun Hyung, tapi aku tidak memberi hadiah apapun. Tadinya aku mau beli, tapi aku tidak tahu hadiah apa yang cocok untuk Hyung. Hyung bilang saja hadiah apa yang Hyung inginkan, nanti akan aku berikan."

"Benar akan kau berikan?"

"Uhum!"

"Kalau begitu, aku punya satu hal yang sangat aku inginkan. Kau mau tahu?"

"Beritahu aku Hyung, nanti pasti akan ku berikan."

"Aku ingin kau menjadi hadiah ulang tahunku. Kau tahu? Saat aku pergi ke Chicago, aku mengenalkanmu pada Mommy dan Daddy. Aku sudah minta izin, dan mereka setuju."

"Hei, tunggu sebentar. Setuju apa?"

"Di usiaku yang ke 24 ini, aku ingin meminta hadiah darimu. Aku tidak butuh apapun, aku hanya ingin kau menerima permohonanku dan melanjutkan hidup bersamaku ke jenjang pernikahan."

"Tunggu sebentar, Hyung sedang melamarku?"

"Apakah itu tidak terdengar seperti sebuah lamaran?"

"Bukan begitu, tapi kan kita tidak pernah menjalin hubungan apapun seperti pasangan kekasih. Masa mau langsung menikah?"

"Aigoo Ten, itu lebih bagus. Bukankah itu artinya Johnny serius denganmu?"

"Taeyong benar, bukannya tadi kau sendiri yang bilang akan mengabulkan apapun permintaanku? Jadi bagaimana?"

Yang diberikan pertanyaan hanya mengerjap sambil menatap Johnny, Jaehyun dan juga Taeyong secara bergiliran. Ia tak tahu harus memberikan jawaban yang benar atau tidak.

"Apa kau betah berada dalam hubungan tanpa status ini Ten?"

"Sebenarnya tidak.."

"Kalau begitu kenapa kau masih diam."

"A-aku perlu meminta izin Bibi Yoon dulu. Baru aku akan berikan jawabannya. Biar aku telepon Bibi dulu, semoga dia belum tidur."

Ten langsung mengotak-atik ponselnya dan pergi ke dapur untuk menelepon Bibi kesayangannya itu, meninggalkan Johnny, Taeyong, dan Jaehyun yang masih duduk di salah satu meja pelanggan.

"Menurutmu dia akan menerimaku Jeff?"

"Tentu saja, siapa yang akan menolak pesona Hyung ku ini huh?"

"Bagaimana denganmu Taeyong?"

"Aku pikir dia akan menerimamu. Ten memang sering seperti itu, dia akan mengulur waktu dan menanyai banyak orang demi mendapatkan jawaban yang sesungguhnya."

"Aku harap seperti itu. Oh iya Tae, 5 hari lagi Jaehyun berulang tahun, kau tidak mau dia melamarmu juga?"

Wajah Taeyong langsung merona setelah mendengar perkataan Johnny. Kedua manik hitamnya menatap Jaehyun dengan mata membesar, sedangkan Jaehyun hanya tersenyum simpul.

"Aku punya cara tersendiri. Mengikuti cara orang lain itu bukan gayaku. Lihat saja nanti."

"Ten sudah kembali..."

Ketiganya langsung memasang mimik seperti semula setelah Ten kembali dari dapur sambil menggigit bibir bawahnya.

"Bagaimana?"

"Bibi sih setuju.."

"Kalau begitu kau juga setuju kan?"

"Tunggu dulu, masih ada satu orang lagi."

.

.

.

Jendela mobil sengaja dibuka Ten untuk menghirup udara pagi yang segar dan baik untuk pernafasan. Sesuai permintaan Ten semalam, ia ingin Johnny pergi ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah. Katanya ingin mengunjungi seseorang, tapi Ten belum bilang siapa yang akan dikunjungi. Johnny juga kurang tahu barang apa yang dibawa Ten di dalam eco bag yang diletakkan Ten dibangku belakang. Ia tak ingin bertanya banyak dan lebih memilih untuk tahu jawabannya sendiri.

Seperti kata Ten, tidak ada banyak orang yang datang berkunjung di pagi hari. Kondisi area parkir juga sepi dari kendaraan lain. Mereka melangkah menaiki anak tangga, kemudian masuk ke dalam bangunan besar bernuansa putih itu. Sekarang Johnny tahu kemana Ten mengajaknya pergi. Deretan guci berukuran kecil dengan beragam bentuk tersimpan di dalam rak berbahan kaca dengan berbagai foto dan identitas sang pemilik abu. Mereka masuk di sisi bangunan yang lain. Kemudian Ten melangkah lebih dulu ke arah sebuah rak dan berdiri di sana sambil tersenyum manis. Ten langsung mengeluarkan beberapa barang bawaannya dari dalam eco bag. Ada pajangan dari kayu, ada sebuah gelang yang kalau tidak salah memang barang peninggalan Yuta, dan ada sebingkai foto berukuran kecil yang baru di letakkan Ten di dekat guci berisi abu milik Yuta.

"Aku datang lagi Hyung, kali ini dengan Johnny Hyung."

Johnny langsung tersenyum simpul sambil menatap sebuah bingkai foto berisi foto Yuta, lalu Johnny menatap ke arah bingkai foto berisikan foto Johnny, Ten, Jaehyun dan Taeyong yang akan menambah jumlah foto di dalam rak untuk Yuta.

"Kau bawa foto ini?"

"Memangnya tidak boleh ya? Kita kan bisa cetak fotonya lagi. Hyung lupa kalau Yuta Hyung pernah menyuruh kita untuk berkunjung dan membawakan berita bagus?"

Ten langsung menoleh ke arah foto Yuta dan kembali tersenyum lebar. Sebuah sapu tangan yang dibawa Ten langsung dikeluarkan untuk membersihkan bingkai kaca yang sudah mulai tertutup debu.

"Aku datang dengan kabar yang sangat baik Hyung. Mau dengar?"

"Tentu saja."

"Isshh aku tanya Yuta Hyung, bukan Johnny Hyung."

"Sudah tahu Yuta tidak ada, masih ditanya."

Lidah panjangnya menjulur ke arah Johnny. Lagi-lagi pandangannya tertuju pada wajah manis Yuta, belah bibirnya kembali terbuka setelah menaruh kembali bingkai foto yang semula berada dalam pegangan tangannya.

"Hyung tahu? Semalam Johnny Hyung melamarku. Mengejutkan bukan? Padahal kami belum pernah berpacaran, tapi tahu-tahu datang dan mengajakku menikah."

"Itu tandanya aku serius padamu Ten. Buat apa berlama-lama pacaran kalau akhirnya harus terhenti di tengah jalan. Apakah aku benar Yuta?"

"Jadi maksud kedatanganku kemari untuk memberitahu Hyung soal itu. Oh iya, aku juga mau minta izin dari Hyung, bolehkan aku menikah dengan Johnny Hyung?"

"Hei, kau serius?!"

"Sssttt diam, aku sedang tanya pada Yuta Hyung."

Aigoo, berita baiknya sudah datang.

"Jadi apa jawabanmu sekarang?"

"Jawaban apa?"

"Tidak usah pura-pura lupa Ten. Tawaran ini hanya berlaku sekali, kalau kau menolaknya maka tidak akan ada kesempatan lain."

"Ya sudah kalau memang tidak ada kesempatan lain. Aku tidak takut."

Mimik wajah Ten dibuat se acuh mungkin dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Berhasil memancing seribu pertanyaan yang siap di lontarkan Johnny pada pria kecil kesayangannya itu.

"Jadi maksudnya kau menolak lamaranku? Ini cuma berlaku sekali ya."

"Sekalipun aku menolak lamaran Hyung, aku yakin Hyung akan terus menunggu jawabanku yang sesungguhnya. Jadi kenapa aku harus takut? Tapi karena semalam aku sudah berjanji, jadi baiklah."

"Baiklah apa?"

"Apa ya.."

"Tennnnn!"

"Ya ampun Hyung, kenapa sekarang malah kau yang merengek seperti bayi? Dengarkan perkataanku. Ayo kita lakukan. Ayo kita menikah Hyung."

1 detik, 2 detik, 3 detik...

Lalu suara tawa yang terdengar semakin keras itu mengalihkan perhatian Ten dengan cepat. Johnny langsung menabrakkan tubuhnya pada tubuh kecil Ten, kedua tangannya melingkari pinggang ramping itu dan mengangkat tubuhnya ke atas hingga Ten sedikit berteriak karena terkejut dengan respon yang Johnny berikan.

"Hyu—"

Bibir tebal Johnny langsung memagut bibir cherry miliknya tanpa peringatan awal. Kedua matanya terpejam dengan pelukan di pinggang Ten yang semakin mengerat. Lain halnya dengan Ten yang langsung menangkup kedua pipi tirus Johnny sekaligus menahan berat tubuhnya agar tidak merosot. Suara decakan terdengar di sela-sela kegiatan keduanya yang bisa dibilang kurang tahu tempat. Jangan salahkan Ten, tapi salahkan saja Johnny yang sembarangan menabrakkan bibir keduanya tanpa berpikir dua kali.

Namun siapa yang peduli, faktanya Ten justru ikut memejamkan kedua matanya sambil berusaha menyamakan permainan Johnny yang semakin panas. Lidah panjangnya menggelitik langit-langit mulut Ten kemudian mengabsen deretan gigi rapi itu. Wajah keduanya sudah merah padam, apalagi Ten yang sudah seperti kepiting rebus. Pagutan keduanya terlepas setelah Johnny mengakhirinya tanpa perintah Ten yang kehabisan nafas. Mungkin sudah merasa cukup, atau mungkin karena kehadiran seorang gadis yang datang bersama adik laki-lakinya.

Itulah kenapa kita perlu tahu tempat saat ingin melakukan sesuatu.

Johnny langsung menurunkan Ten dan mengajak pria kecil itu untuk pergi setelah meminta maaf terlebih dahulu pada gadis yang masih terlihat shock itu. Tidak masalah dengan gadis itu, tapi bagaimana dengan adik laki-lakinya yang masih kecil?

Aaakkhh ia sudah mengotori pikiran anak yang masih suci itu. Sialan.

Well, siapa yang peduli. Lupakan itu dan pikirkan saja bagaimana dan dimana mereka akan melangsungkan pernikahan mereka nanti.

"Oh iya Ten, nanti kita mau bulan madu dimana?"

"Menikah saja belum sudah pikirkan bulan madu! Dasar mesum!"

"Aku kan cuma bertanya."

"Tanyakan hal yang lain dong, jangan bulan madu."

"Bagaimana dengan jumlah anak?"

"Laki-laki mana ada yang bisa hamil Hyung!"

Karena semua orang sudah punya takdir mereka masing-masing. Johnny ditakdirkan untuk memiliki Ten dengan cara yang lumayan aneh untuk diingat lagi. Mereka sudah mengenal sejak kecil dan kembali dipertemukan saat menginjak dewasa. Bukankah itu artinya takdir mereka memang sudah terhubung?

.

.

.

Finish!


Ending yang gak jelas sama seperti jalan ceritanya. Sorry lama update karena sibuk ngurusin RL. Maaf kalo ini bener2 gak jelas, apalagi dibagian Yuta nya :')))) pikiran sedikit kacau, jadi agak ngaco gimana gitu. Akhirnya gak berhasil buat Baper, tapi berhasil lunasin hutang.

Rela gak rela ya relain aja lah, kasian utang Yuyut masih banyak :'))) thanks banget buat semua readers yang udah follow, favorite, dan review. Kalian luar biasa! ILYSM :*

Semoga ada yang masih baca sih setelah4 bulan gak apdet karena sibuk ngurusin UN SMA :'()()()()

Thank you so muchhhh buat yg udah review, maaf gak bisa disebutin semuanya. ILYSMMMMMMM